MasukBeberapa menit setelah mobil Dante menghilang di tikungan, dua mobil hitam lain muncul dari arah berlawanan. Lampu depannya redup, pelat nomornya disamarkan. Mereka berhenti tak jauh dari tempat Diana berdiri.
Salah satu pria berpakaian serba hitam turun, membungkuk hormat.
“Nyonya, kami sudah di sini. Apa perintah selanjutnya?”
Diana menatap lurus ke arah jalan tempat mobil Dante tadi pergi.
“Ikuti mobil Bentley hitam dengan nomor plat 83-DS. Jangan terlalu dekat, jangan sampai dia sadar.”
“Baik, Nyonya.”
Mobil-mobil itu segera melaju, mengikuti arah yang sama. Diana masih berdiri diam beberapa saat, memegang ponselnya erat, napasnya berat dan penuh amarah yang ditahan.
Suara Risa jelas, menembus ruang. Ia memandang satu per satu — ada Rendy dan Serena yang kini membatu, ada sekelompok anak kampus yang menunduk, ada dosen-dosen yang gelisah.Hening yang berat mengembang. Tidak ada yang berani menjawab. Mereka tahu — di sela kebisingan gosip dan hinaan mereka — bahwa ada kebenaran yang tidak mereka inginkan.Dante berdiri beberapa langkah di belakang Risa. Wajahnya tidak menunjukkan amarah terbuka—lebih seperti sebuah jurang dingin yang menganga. Ia mengangkat bahu sedikit, menatap ke arah dekan, lalu suaranya—suaranya datang rendah dan lambat, penuh kekuatan yang tak perlu dipamerkan.“Kau tahu apa yang harus dilakukan untuk mereka, bukan?” tanyanya pada dekan. Seketika semua orang merasakan tekanan seperti udara yang ditekan ke dada.
Hari berikutnya, Risa berjalan masuk ke kampus dengan langkah pelan, mencoba menenangkan diri. Namun, seketika dia menyadari tatapan aneh dan bisik-bisik yang menyelubungi lorong. Beberapa mahasiswa menatapnya dengan tatapan tajam, bergumam pelan, tapi cukup terdengar: “Itu dia… Risa, si simpanan om-om?”Jantung Risa berdegup kencang. Ia menelan ludah, berusaha menenangkan diri. Sahabat-sahabatnya, Andien, Leny, dan Gio, sudah berdiri di dekatnya, wajah mereka memerah karena marah dan frustasi.Namun, bully itu tidak berhenti di situ. Sekelompok mahasiswa lain maju, menuding-nuding Risa, suara mereka naik:“Kalian tahu kan dia naik turun mobil mewah sama om-om itu! Pantas saja dia di sini, cewek panggilan!”Risa menahan napas, wajahnya mem
Risa tersenyum lebar, merasa lega. Sementara hatinya masih sedikit gelisah memikirkan Dante, kehadiran teman-temannya membuatnya bisa melupakan sejenak segala kekhawatiran itu. Mereka bertiga benar-benar berhasil mencuri perhatian Risa, membuatnya tertawa dan merasa nyaman, seolah semua ketegangan tiga hari terakhir bisa ditunda.Percakapan mereka pun berlanjut—tentang dosen baru, jadwal kuliah, dan rencana semester ini—dan untuk beberapa saat, Risa benar-benar merasa seperti dulu, sebelum semua drama tentang Dante, Vivian, dan Diana muncul dalam hidupnya.Risa sedang tertawa lepas bersama Andien, Leny, dan Gio di bangku kafetaria. Suasana pagi yang cerah seketika terasa hangat, tawa mereka memenuhi udara.Namun, langkah kaki yang tiba-tiba menghentikan obrolan mereka. Risa menoleh, dan pandangannya langsu
Pagi itu, Risa terbangun dengan mata masih setengah mengantuk. Begitu membuka ponsel, layar langsung penuh dengan notifikasi: ribuan pesan masuk dari grup chat dengan Andien, Leny, dan Gio. Jari-jarinya gemetar saat ia mulai membaca satu per satu pesan itu.“Mereka… ngomongin Dante?” gumamnya pelan, mata membesar.Di antara tumpukan chat, terselip kabar yang membuat jantungnya berdebar kencang: keributan antara Diana dan Vivian terjadi di vila Vivian semalam. Dante menginap di sana. Risa menatap layar ponselnya, mencoba mencerna informasi itu.Seharusnya, pikirnya, Dante menghabiskan waktu dengan Vivian, teman lama dan masa lalunya. Lalu, mengapa ia menelpon Risa sampai puluhan kali?Tanpa pikir panjang, Risa menekan tombol panggilan. Satu kali… tak ada
Beberapa menit setelah mobil Dante menghilang di tikungan, dua mobil hitam lain muncul dari arah berlawanan. Lampu depannya redup, pelat nomornya disamarkan. Mereka berhenti tak jauh dari tempat Diana berdiri.Salah satu pria berpakaian serba hitam turun, membungkuk hormat.“Nyonya, kami sudah di sini. Apa perintah selanjutnya?”Diana menatap lurus ke arah jalan tempat mobil Dante tadi pergi.“Ikuti mobil Bentley hitam dengan nomor plat 83-DS. Jangan terlalu dekat, jangan sampai dia sadar.”“Baik, Nyonya.”Mobil-mobil itu segera melaju, mengikuti arah yang sama. Diana masih berdiri diam beberapa saat, memegang ponselnya erat, napasnya berat dan penuh amarah yang ditahan.
Risa terlonjak, spontan berdiri. “Tante—”“Diam, Risa.” potong Diana cepat tanpa menatapnya. Matanya hanya tertuju pada Dante, dingin, menusuk, tapi bergetar karena emosi.Dante bangkit dari duduknya, suaranya rendah tapi tegas, “Jaga bicaramu, Diana.”“Jaga bicara?”Diana tertawa kecil, getir, hampir seperti menertawakan dirinya sendiri. “Kau yang membawa perempuan itu kembali ke hidup kita, lalu kau suruh aku jaga bicara?”Risa menunduk, hatinya berdebar cepat. Ia bisa merasakan aura tajam dari Diana seolah ruangan itu penuh dengan bara yang siap meledak kapan saja.“Tidak ada yang perlu kau salahkan,” kata Dante,







