MasukPagi menjelang, cahaya matahari menembus tirai tipis kamar. Risaa terbangun dengan kepala masih berat, lalu matanya langsung membelalak. Ponsel masih ada di sampingnya, layar redup, sambungan telepon semalam sudah terputus.
Apa… aku benar-benar tertidur saat masih bersama Dante di telepon? pikirnya panik. Ia buru-buru turun dari ranjang, menyambar ponsel, lalu keluar kamar dengan langkah cepat. Pandangannya menyapu ke segala arah, mencari sosok yang memenuhi kepalanya sejak semalam.
Langkahnya terhenti mendadak saat pintu salah satu kamar terbuka dari dalam. Diana muncul, wajahnya tenang, senyumnya lembut seperti biasa.
“Tante…” sapa Risaa tergagap.
Diana menatapn
Erick menatapnya dalam diam. Senyum kecil akhirnya terbit di wajahnya yang bengkak. “Tuan Dante beruntung karena Nona peduli seperti ini.”Risa terdiam. Ada sesuatu di balik kata-kata itu — sesuatu yang membuat dadanya terasa sesak.Karena entah mengapa, dalam hati kecilnya, ia tahu:seseorang seperti Dante… bisa menghancurkan siapa pun, hanya demi melindunginya.Pagi dihari berikutnya itu terasa lebih tenang dari biasanya. Tidak ada jadwal, tidak ada tekanan, dan tidak ada Dante yang tiba-tiba menjemput.Risa akhirnya memutuskan untuk menghubungi teman-temannya — Andien, Leny, dan Gio — hanya untuk menghabiskan waktu bersama.Namun, ketika pesan ajakannya terkirim
Matahari baru saja muncul di balik gedung-gedung tinggi ketika mobil Dante berhenti di depan apartemen. Langit masih berwarna pucat keemasan, dan jalanan belum terlalu ramai. Risa menguap kecil, matanya berat karena semalaman mereka tak benar-benar tidur.“Udah nyampe,” ucap Dante sambil menatap ke depan, suaranya rendah dan serak.Risa menoleh pelan. “Om nggak mau mampir dulu?” tanyanya.Dante hanya tersenyum tipis, ekspresinya datar tapi matanya lembut. “Enggak. Aku harus langsung ke kantor. Banyak yang harus diselesaikan.”Risa mengangguk pelan. Ia tidak memaksa. Ada sesuatu dalam cara Dante bicara — seolah ada beban yang masih belum selesai, sesuatu yang ia simpan sendiri.“Baiklah… hati-hat
Risa hanya mengangguk pelan.Untuk pertama kalinya, ia benar-benar mengerti — bahwa cintanya pada Dante bukan sekadar perasaan hangat, tapi sesuatu yang penuh bahaya, rahasia, dan janji yang mungkin akan menuntut segalanya.Dante terdiam lama setelah ucapannya yang terakhir.Risa menatapnya, menunggu, karena jelas ada sesuatu yang belum diucapkan.Sampai akhirnya Dante bersandar ke sofa, menatap langit-langit ruangan sebelum berkata pelan,“Risa… aku nggak mau kamu dekat-dekat sama Diana bukan cuma karena dia istriku.”Nada suaranya berubah — rendah, berat, seperti sedang menahan sesuatu yang lebih gelap.“Dia bukan perempuan biasa.”Risa men
Suasana hening sejenak. Hanya suara jam tua di dinding yang berdetak pelan.“Rumah ini,” lanjut Dante sambil memandangi sekeliling, “adalah rumah persembunyian mereka. Kakekmu sendiri yang memberikan tempat ini. Dia tidak mau ibumu dan kamu terluka. Di sini mereka bersembunyi setiap kali keadaan terlalu berbahaya.”Risa mengelus permukaan sofa tua di bawah tangannya, seolah mencoba merasakan jejak masa lalu di sana.“Erlang hanya sempat datang beberapa kali,” tambah Dante. “Dia tidak pernah bisa lama. Tak ada yang tahu rumah ini selain keluarga inti dan beberapa orang kepercayaan.”Dante tersenyum tipis—senyum yang lebih mirip luka lama yang belum sembuh. “Dunia yang kami jalani waktu itu keras. Dalam dunia hitam
Suara Dante pelan, suaranya nyaris seperti bisikan.Namun justru ucapan itu membuat Risa tersungkur dalam tangis.Ia berbalik, memeluk Dante sekuat yang ia bisa, seolah hanya itu satu-satunya hal yang bisa menahan tubuhnya agar tidak roboh.Dante memejamkan mata, membalas pelukan itu dengan hangat dan lembut.Mereka terdiam lama, hanya diiringi suara napas dan isak yang saling bertaut.Setelah Risa mulai tenang, mereka berdua duduk di sofa ruang tamu.Rumah itu terasa hidup meski sudah tua—setiap perabotan, dari meja kayu hingga tirai lusuh di jendela, tampak terawat seolah masih menunggu pemilik lamanya pulang.“Maaf… kemarin aku meninggalkan
Risa tertegun.Udara seolah berhenti berputar.Seketika sekelebat bayangan melintas di kepala Risa.Ingatan samar yang selama ini terkunci di sudut pikirannya kini muncul perlahan, seolah layar masa lalu dibuka kembali.Seorang lelaki tersenyum, mengangkat tubuh kecilnya tinggi-tinggi hingga hampir menyentuh langit-langit.“Kapten Manis 999, persiapan lepas landas!” katanya riang, sementara mulutnya mengeluarkan bunyi pesawat terbang.Tawa bocah kecil itu—tawanya sendiri—terdengar jelas.“Pegang kuat-kuat, Risa! Sekarang papa dan Risa mau taklukin langit!”Dari arah dapur, suara seorang wanita ikut terdengar, lembut namun hangat.