MasukDante membeku sejenak setelah mendengar kata-kata itu. Bercerai. Kata itu menampar telinganya. Sorot matanya langsung berubah—tajam, bergejolak, seperti api yang siap melahap siapa pun penyebabnya.
Namun, ketika menatapku, ia berusaha menenangkan ekspresinya. Ia menarik napas dalam, menunduk sedikit, lalu bertanya dengan suara berat yang jelas bergetar menahan emosi.
“Dia… ngusir kamu?”
Aku terdiam. Pertanyaan itu menohok jantungku. Aku ingin menyangkal, tapi apa gunanya? Bukankah buktinya jelas—aku berada di jalan tengah malam, tanpa apa pun?
“Om..” suaraku pecah, “aku… memang diusir.”
Dante mengatup rahangnya. Urat di lehernya menegang. “Dengan keadaan begitu? Tengah malam, sendirian, tanpa barang, tanpa uang, tanpa siapa pun?!” suaranya meninggi, meski jelas ia mencoba menahannya.
Aku akhirnya membuka semua. Tentang perselingkuhan Rendy. Tentang keluarga mertuaku yang selalu merendahkan. Tentang malam itu, ketika aku benar-benar diusir, dilempar keluar, dan dibiarkan basah kuyup dalam hujan.
Dante mendengarkan, tanpa sekalipun memotong. Tapi aku bisa melihatnya—tangan besarnya mengepal di lutut, urat-urat menonjol. Sorot matanya tak pernah lepas dariku, tajam, penuh amarah, tapi juga terluka mendengar penderitaanku.
“Aku hanya bawa dua ratus ribu, Om… itu saja. Ponselku mati. Aku tidak tahu harus ke mana. Jadi aku jalan saja. Sampai akhirnya…” aku menunduk, air mata jatuh deras.
Dante mengulurkan tangan, menangkup wajahku dengan hati-hati, seolah takut aku pecah. “Risa,” suaranya rendah, namun berat bagai gemuruh yang ditahan, “kau tidak perlu menjelaskan lebih jauh. Aku mengerti. Dan aku sudah cukup tahu.”
Aku menggeleng, terisak. “Om, jangan marah…”
Dia menutup matanya, menghela napas panjang, berusaha meredam gejolak. Saat menatapku lagi, sorot matanya lembut, meski aku bisa melihat jelas—ada badai yang ia simpan di baliknya.
“Tenanglah, sayang…” bisiknya. “Aku tidak akan marah… padamu.”
Jeda sebentar, lalu suaranya merendah, namun dingin bagai pisau.“Marahku… hanya untuk mereka.”Aku menunduk, tanganku meremas selimut.
“Om.. jangan lakukan apa-apa. Tolong. Mereka bahkan nggak tahu siapa aku. Semua ini salahku sendiri.”Dante terdiam lama. Nafasnya berat, tapi ia tidak langsung membantah. Ia menatapku dalam-dalam, sorot matanya jelas memendam amarah.
“Kau diperlakukan seperti itu… diusir malam-malam, tanpa satu barang pun. Itu bukan salahmu, Risa,” katanya pelan, tapi tegas.
Aku menggigit bibirku, mataku panas. “Kalau aku nggak kabur dari rumah, kalau aku nggak maksa menikah, semua ini nggak akan terjadi.”
Tangannya bergerak pelan, menyentuh rambutku, membenarkannya ke belakang telinga. “Kau cuma memilih dengan hati. Itu bukan dosa.”
Aku menoleh, menatap wajahnya yang keras tapi sekaligus rapuh. “Aku mohon, jangan cari mereka. Aku… aku takut, Om. Aku nggak mau ada masalah lagi.”
Dante menarik napas dalam-dalam, lalu mengangguk singkat. “Baik. Kalau itu yang kau mau, aku tidak akan menyentuh mereka.”
Namun setelah itu ia menatapku lagi, lebih lembut. “Tapi ada satu hal yang harus kau tahu, Risa. Aku tidak akan pernah biarkan hal seperti ini terjadi padamu lagi. Selama aku ada, kau tidak akan sendirian.”Aku terdiam. Rasanya dadaku hangat sekaligus sesak. Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku merasa benar-benar dilindungi.
Aku menarik napas panjang, mencoba meredakan getaran di dada. “Om… tolong. Jangan perbesar lagi masalah ini. Aku cuma… nggak mau kenal mereka lagi. Nggak mau berurusan.”
Dante menatapku tajam. Rahangnya mengeras, sorot matanya menusuk. “Seharusnya kau minta aku menghancurkan mereka, Risa. Supaya mereka tahu siapa yang mereka usik. Supaya mereka tahu kau ini putri siapa.”
Aku menatapnya yang mengatakan hal itu.
"Kau itu putri keluarga Santoso, anak ku. Berani sekali mereka memperlakukanku seperti ini!" tegasnya dengan suara menggema di dalam ruangan itu.
Aku menunduk, menatap sesekali. “Itu nggak penting lagi, Om…aku nggak peduli. Aku cuma mau semuanya selesai.”
Hening sejenak. Dante menarik napas dalam-dalam, lalu suaranya menjadi lebih tenang. “Kalau begitu, apa yang kau inginkan sekarang?”
Aku mendongak menatapnya. “Aku mau selesaikan semuanya sendiri. Aku nggak mau ada yang turun tangan. Aku yang harus mengakhiri ini.”
Ruby menutup mata, air matanya jatuh ke pipi Clarissa.Jauh di negara lain, Dante berdiri di tengah lorong kampus yang dingin, tapi dadanya panas penuh kemarahan, bukan pada Ruby, bukan pada Clarissa… tapi pada dunia yang membiarkan dua orang itu hidup seberat ini.Hari berikutnya Clarissa sudah jauh lebih baik. Panasnya turun, ruamnya memudar, dan anak kecil itu kembali cerewet seperti biasa.Ruby pun jadi lebih tenang, dan Dante sejak malam itu, jadi seseorang yang selalu hadir lewat suara di seberang telepon.Setiap Ruby membahas Clarissa, Dante tidak pernah menolak.Tidak pernah terdengar bosan.Tidak pernah menyela.Hanya mendengarkan… dengan tenan
Rumah kecil di pinggir kota itu masih baru, catnya belum benar-benar kering, bau kayu dari rangka bangunan masih menusuk hidung. Rumah itu sederhana, tapi sangat aman. Dante yang membangunnya diam-diam, memastikan siapa pun musuh keluarga Santoso tak bisa menemukannya. Itulah rumah yang akan dihuni Ruby dan Erlang, dua remaja yang dipaksa tumbuh terlalu cepat.Sore itu, langit memerah. Ruby sedang berada di dalam, ditemani ibunya, sementara Erlang berdiri di depan rumah menunggu Dante yang bilang ingin bicara empat mata.Mobil hitam milik keluarga Santoso berhenti pelan di depan pagar. Dante keluar tanpa senyum seperti biasanya. Wajahnya serius, rahangnya mengeras, seolah kalau dia tidak menahan diri dia bisa langsung memukul Erlang.Erlang menelan ludah.“Dante… makasih buat rumahnya. Aku—”“Diam.” Suara Dante datar, tapi dingin seperti pisau.Erlang terkejut, mulutnya langsung tertutup.Dante mendekat. Langkahnya pelan tapi berat. Mata hitamnya menatap Erlang seperti melihat ancaman
Dunia Darma runtuh saat itu juga.Suara jam dinding seakan berhenti berdetak.“Siapa…?” suara Darma melemah, nyaris tidak keluar.Ruby menunduk, air matanya jatuh membasahi rok seragamnya.“…Erlang.”Darma terdiam.Untuk beberapa detik, ia tidak bisa bernapas.Anak yang ia jaga sejak bayi.Putri sahabatnya.Anak perempuan yang ia sayangi lebih dari apa pun…Hamil di usia segitu.Dan pelakunya… Erlang Mahardika.
Dante hampir tersedak dengan kata sayang, tapi ia memaksakan senyum.“Ya… kalau Ruby ingin begitu, kita ikut.”Ruby terlihat bahagia, Erlang menggenggam tangannya.Vivian menahan senyum kemenangan kecil.Ia tahu Dante tak akan membohongi Ruby. Dan selama Ruby melihat Dante bersikap manis padanya, maka hubungan pura-pura ini akan terasa nyata, setidaknya bagi orang lain.Ruby dan Erlang pergi mengambil makanan, meninggalkan Dante dan Vivian sendiri di dapur.Vivian membuka kulkas, mengambil es batu. Sunyi. Hanya dengusan halus AC yang terdengar.Dante bersandar di meja, menatap meja, bukan Vivian.
Dante terangkat menatapnya. “Apa?”“Waktu itu… Ruby bercanda ke aku. Dia bilang lucu kalau suatu hari aku pacaran sama kamu, terus kita bisa double date bareng dia dan Erlang.”Dante terdiam. Bukan karena kalimatnya aneh, tapi karena dia tahu Ruby benar-benar pernah bercanda begitu.Dan Dante… selalu punya kelemahan terhadap apapun yang berhubungan dengan Ruby.Vivian melihat perubahan emosinya. Dia menekan sedikit lagi.“Bayangin wajah Ruby kalau tahu sahabatnya dan kakak kesayangannya pacaran. Dia pasti bahagia banget.”Dante mengepalkan tangan. Ini… bukan tentang Vivian. Bukan tentang perasaan.Ini tentang Ruby.“Dante,” ucap Vivian lembut, mencondongkan tubuh sedikit. “Aku cuma minta… pura-pura.”Dante mengerutkan alis. “Vivian…”“Aku nggak perlu hatimu. Aku cuma perlu status. Di depan orang lain, aku pacarmu.”Suara Vivian merendah, hampir seperti bisikan.“Terserah kamu hatimu buat siapa.”Dante menutup mata sejenak. Bagian dari dirinya menolak keras. Tapi bagian lain… menyadari
Awal Dante menyukai Ruby, bertahun-tahun sebelum luka dan kekacauan terjadi…Hari itu hujan turun deras. Langit kelabu, udara dingin, halaman rumah Santoso becek. Semua orang memilih tetap di dalam rumah, kecuali Ruby, gadis kecil yang selalu punya rasa ingin tahu lebih besar dari tubuhnya sendiri.“Kak Dante, ayo main hujan.”Ruby menarik tangan Dante, matanya bersinar seperti cahaya di tengah badai.“Ruby, nanti kamu sakit,” Dante menolak setengah hati.“Ndak kok… ayolah, cuma sebentar.”Nada memohon Ruby adalah senjata maut sejak dulu.Dante menghela napas dan akhirnya menyerah. “Sebentar saja.”Ruby langsung tertawa senang dan berlari keluar tanpa menunggu jawaban penuh. Dengan pakaiannya yang sudah basah, dia menengadahkan wajah ke langit sambil memutar badan.Dante hanya berdiri di teras, menonton gadis itu.Saat itu Ruby berusia 11 tahun, Dante 14.Dan entah kenapa, hari itu terasa berbeda.Ruby memanggilnya, “Kak! Cepat!”Dante akhirnya melangkah keluar. Hujan langsung membasa