LOGINAku tidak tahu sudah berapa lama aku tertidur. Saat aku membuka mata, langit-langit putih dan bau obat langsung menyeruak ke inderaku.
Tubuhku terasa berat, lenganku sakit—dan saat menoleh, kulihat jarum infus tertanam di tanganku. Tetesan cairan bening turun perlahan ke dalam selang.
Rumah sakit
Pintu ruangan tiba-tiba berderit terbuka. Cahaya lampu lorong rumah sakit masuk ke dalam, siluet seorang pria tinggi tampak di ambang pintu.
Aku refleks menoleh, meski tubuhku masih lemah. Dan saat mata kami bertemu… jantungku seakan berhenti berdetak.
“Risa…” sekali lagi dia memanggilku, dan tanpa memberi waktu untukku merespons, tubuhnya melesat mendekat.
Tangannya langsung melingkupiku, mendekapku erat. Hangat tubuhnya, aroma yang begitu kukenal—semua menyeruak sekaligus, membuat nafasku tercekat.
“...Om,” bisikku di antara isak, sebelum tangisku pecah tak terbendung. Aku meremas bajunya, membenamkan wajahku di dadanya. Tangisku pecah, pilu, seperti semua luka dan penyesalan ikut tumpah bersamanya.
Dia menunduk, suaranya bergetar ketika berusaha menenangkanku. “Risa, apa yang kau rasakan sekarang? Kau baik-baik saja?”
Pelukannya melonggar hanya untuk menangkup pipiku. Telapak tangannya hangat, sementara wajahku basah oleh air mata. Dia menatapku dalam-dalam, seakan tak percaya aku benar-benar ada di hadapannya.
Aku hanya bisa mengangguk, tak sanggup menjawab. Lalu kembali menubruk tubuhnya, memeluknya lebih erat.
“Jangan pergi lagi… aku mohon,” suaranya patah, hampir seperti rintihan. Dia memelukku seakan takut aku hilang lagi. “Pulanglah… pulanglah, Risa. Tolong…”
Aku menutup mata, tubuhku bergetar menahan rasa bersalah. Tapi aku masih merasakan kasih sayang yang sangat besar dari pelukan itu, tidak ada yang berubah sejak hari itu—sejak lebih dua tahun lalu ketika aku memilih kabur.
Saat aku berusia delapan belas, aku meninggalkan dia demi Rendy. Demi lelaki yang kujadikan pelabuhan bodoh, tempat aku buang identitasku, yang pada akhirnya hanya menjadikan aku sampah.
Kini, setelah semua hancur, aku kembali. Tapi apa aku masih pantas?
Aku mendongak, menatap wajahnya yang menunduk.
Dante Nathaniel Santoso. Ayah angkatku. Lelaki yang namanya saja membuat orang-orang di Kota Dragon menunduk hormat. Salah satu sosok paling berkuasa—dingin, keras, dan ditakuti.
Dan aku, anak bodoh yang pernah meninggalkan semuanya hanya demi seorang lelaki yang ternyata menghancurkanku.
“Risaa, jangan pergi lagi, oke?” suaranya berat, nyaris serak. “Apa pun yang kau mau… aku akan kabulkan.”
Aku menatapnya lama, mataku bergetar. Wajahnya tetap sama– tegas, kaku, jarang bicara manis. Dante bukan pria pandai kata-kata. Ia tak pernah tahu cara menyenangkan perempuan. Ia kuno, kaku, dingin.
Namun kini, di hadapanku, lelaki itu bisa menangis. Bisa bicara lembut meski canggung. Bisa menunduk hanya untuk menenangkan aku.
“Risaa…” panggilnya lagi, matanya kini lurus menatapku.
Aku menghela napas panjang, air mata menetes tak terkendali.
“Iya… aku tidak akan pergi lagi…” suaraku pecah. “Tapi…” aku menunduk, jemariku meremas baju rumah sakit itu erat. “…apakah kau masih mau menerima aku?”
Ruangan hening. Hanya bunyi tetesan infus yang terdengar. Aku bisa melihat rahangnya mengeras, matanya berkilat seperti menahan sesuatu.
Dia perlahan melepas pelukannya, lalu kedua tangannya menangkup wajahku dengan hati-hati, seolah takut aku akan menghilang lagi.
“Risaa… kau putriku yang berharga,” ucapnya pelan, lalu bibirnya singgah di keningku.
Hangat.
Seketika, semua perasaan rendah diri, hina, dan sakit hati yang sempat menjeratku saat berhadapan dengan Rendy dan keluarganya—hilang, sirna, lenyap begitu saja. Dalam dekap lelaki ini, aku merasa… aman. Nyaman. Seolah dunia tak bisa menyentuhku lagi.
“Tapi… aku sudah pergi. Kakek tidak akan menerimaku,” suaraku pecah, penuh ragu.
“Risaa, kau salah sangka.” Jemarinya mengusap kepalaku, turun ke punggung, menenangkan. “Sejak kepergianmu, kakek jatuh sakit. Pulanglah… dia pasti akan senang melihatmu kembali.”
“Om…” panggilku lirih, suaraku bergetar.
“Jangan pikirkan yang tidak-tidak,” balasnya cepat, tatapannya menusuk tapi penuh kasih. “Kau putri keluarga Santoso. Aku Ayah kamu. Jadi jangan pernah merasa sungkan lagi.”
Aku terisak, lalu semakin mengeratkan pelukan. Rasa sesak, rindu, dan hangat bercampur jadi satu. Senang rasanya dia terus menenangkanku seperti ini, tanpa henti.
Kami berdua masih larut dalam pertemuan yang penuh kerinduan itu, seolah waktu berhenti hanya untuk kami.
Lama aku membiarkan diriku tenggelam dalam pelukannya. Hangat tubuhnya menenangkan setiap gigil di tubuhku. Tapi akhirnya, dengan berat hati, aku melepaskan pelukan itu.
Dia menatapku dalam, seolah menunggu kata-kata keluar dari bibirku.
Matanya merah, basah—jarang sekali aku melihat Dante Nathaniel Santoso seperti ini.Aku menarik napas panjang, lalu suaraku pecah lirih, hampir malu,
“...Om, aku bercerai.”Ruby menutup mata, air matanya jatuh ke pipi Clarissa.Jauh di negara lain, Dante berdiri di tengah lorong kampus yang dingin, tapi dadanya panas penuh kemarahan, bukan pada Ruby, bukan pada Clarissa… tapi pada dunia yang membiarkan dua orang itu hidup seberat ini.Hari berikutnya Clarissa sudah jauh lebih baik. Panasnya turun, ruamnya memudar, dan anak kecil itu kembali cerewet seperti biasa.Ruby pun jadi lebih tenang, dan Dante sejak malam itu, jadi seseorang yang selalu hadir lewat suara di seberang telepon.Setiap Ruby membahas Clarissa, Dante tidak pernah menolak.Tidak pernah terdengar bosan.Tidak pernah menyela.Hanya mendengarkan… dengan tenan
Rumah kecil di pinggir kota itu masih baru, catnya belum benar-benar kering, bau kayu dari rangka bangunan masih menusuk hidung. Rumah itu sederhana, tapi sangat aman. Dante yang membangunnya diam-diam, memastikan siapa pun musuh keluarga Santoso tak bisa menemukannya. Itulah rumah yang akan dihuni Ruby dan Erlang, dua remaja yang dipaksa tumbuh terlalu cepat.Sore itu, langit memerah. Ruby sedang berada di dalam, ditemani ibunya, sementara Erlang berdiri di depan rumah menunggu Dante yang bilang ingin bicara empat mata.Mobil hitam milik keluarga Santoso berhenti pelan di depan pagar. Dante keluar tanpa senyum seperti biasanya. Wajahnya serius, rahangnya mengeras, seolah kalau dia tidak menahan diri dia bisa langsung memukul Erlang.Erlang menelan ludah.“Dante… makasih buat rumahnya. Aku—”“Diam.” Suara Dante datar, tapi dingin seperti pisau.Erlang terkejut, mulutnya langsung tertutup.Dante mendekat. Langkahnya pelan tapi berat. Mata hitamnya menatap Erlang seperti melihat ancaman
Dunia Darma runtuh saat itu juga.Suara jam dinding seakan berhenti berdetak.“Siapa…?” suara Darma melemah, nyaris tidak keluar.Ruby menunduk, air matanya jatuh membasahi rok seragamnya.“…Erlang.”Darma terdiam.Untuk beberapa detik, ia tidak bisa bernapas.Anak yang ia jaga sejak bayi.Putri sahabatnya.Anak perempuan yang ia sayangi lebih dari apa pun…Hamil di usia segitu.Dan pelakunya… Erlang Mahardika.
Dante hampir tersedak dengan kata sayang, tapi ia memaksakan senyum.“Ya… kalau Ruby ingin begitu, kita ikut.”Ruby terlihat bahagia, Erlang menggenggam tangannya.Vivian menahan senyum kemenangan kecil.Ia tahu Dante tak akan membohongi Ruby. Dan selama Ruby melihat Dante bersikap manis padanya, maka hubungan pura-pura ini akan terasa nyata, setidaknya bagi orang lain.Ruby dan Erlang pergi mengambil makanan, meninggalkan Dante dan Vivian sendiri di dapur.Vivian membuka kulkas, mengambil es batu. Sunyi. Hanya dengusan halus AC yang terdengar.Dante bersandar di meja, menatap meja, bukan Vivian.
Dante terangkat menatapnya. “Apa?”“Waktu itu… Ruby bercanda ke aku. Dia bilang lucu kalau suatu hari aku pacaran sama kamu, terus kita bisa double date bareng dia dan Erlang.”Dante terdiam. Bukan karena kalimatnya aneh, tapi karena dia tahu Ruby benar-benar pernah bercanda begitu.Dan Dante… selalu punya kelemahan terhadap apapun yang berhubungan dengan Ruby.Vivian melihat perubahan emosinya. Dia menekan sedikit lagi.“Bayangin wajah Ruby kalau tahu sahabatnya dan kakak kesayangannya pacaran. Dia pasti bahagia banget.”Dante mengepalkan tangan. Ini… bukan tentang Vivian. Bukan tentang perasaan.Ini tentang Ruby.“Dante,” ucap Vivian lembut, mencondongkan tubuh sedikit. “Aku cuma minta… pura-pura.”Dante mengerutkan alis. “Vivian…”“Aku nggak perlu hatimu. Aku cuma perlu status. Di depan orang lain, aku pacarmu.”Suara Vivian merendah, hampir seperti bisikan.“Terserah kamu hatimu buat siapa.”Dante menutup mata sejenak. Bagian dari dirinya menolak keras. Tapi bagian lain… menyadari
Awal Dante menyukai Ruby, bertahun-tahun sebelum luka dan kekacauan terjadi…Hari itu hujan turun deras. Langit kelabu, udara dingin, halaman rumah Santoso becek. Semua orang memilih tetap di dalam rumah, kecuali Ruby, gadis kecil yang selalu punya rasa ingin tahu lebih besar dari tubuhnya sendiri.“Kak Dante, ayo main hujan.”Ruby menarik tangan Dante, matanya bersinar seperti cahaya di tengah badai.“Ruby, nanti kamu sakit,” Dante menolak setengah hati.“Ndak kok… ayolah, cuma sebentar.”Nada memohon Ruby adalah senjata maut sejak dulu.Dante menghela napas dan akhirnya menyerah. “Sebentar saja.”Ruby langsung tertawa senang dan berlari keluar tanpa menunggu jawaban penuh. Dengan pakaiannya yang sudah basah, dia menengadahkan wajah ke langit sambil memutar badan.Dante hanya berdiri di teras, menonton gadis itu.Saat itu Ruby berusia 11 tahun, Dante 14.Dan entah kenapa, hari itu terasa berbeda.Ruby memanggilnya, “Kak! Cepat!”Dante akhirnya melangkah keluar. Hujan langsung membasa