Share

Bab 2

Author: Lalapoo
last update Last Updated: 2025-09-27 08:01:51

Aku tidak tahu sudah berapa lama aku tertidur. Saat aku membuka mata, langit-langit putih dan bau obat langsung menyeruak ke inderaku.

Tubuhku terasa berat, lenganku sakit—dan saat menoleh, kulihat jarum infus tertanam di tanganku. Tetesan cairan bening turun perlahan ke dalam selang.

Rumah sakit

Pintu ruangan tiba-tiba berderit terbuka. Cahaya lampu lorong rumah sakit masuk ke dalam, siluet seorang pria tinggi tampak di ambang pintu.

Aku refleks menoleh, meski tubuhku masih lemah. Dan saat mata kami bertemu… jantungku seakan berhenti berdetak.

“Risa…” sekali lagi dia memanggilku, dan tanpa memberi waktu untukku merespons, tubuhnya melesat mendekat.

Tangannya langsung melingkupiku, mendekapku erat. Hangat tubuhnya, aroma yang begitu kukenal—semua menyeruak sekaligus, membuat nafasku tercekat.

“...Om,” bisikku di antara isak, sebelum tangisku pecah tak terbendung. Aku meremas bajunya, membenamkan wajahku di dadanya. Tangisku pecah, pilu, seperti semua luka dan penyesalan ikut tumpah bersamanya.

Dia menunduk, suaranya bergetar ketika berusaha menenangkanku. “Risa, apa yang kau rasakan sekarang? Kau baik-baik saja?”

Pelukannya melonggar hanya untuk menangkup pipiku. Telapak tangannya hangat, sementara wajahku basah oleh air mata. Dia menatapku dalam-dalam, seakan tak percaya aku benar-benar ada di hadapannya.

Aku hanya bisa mengangguk, tak sanggup menjawab. Lalu kembali menubruk tubuhnya, memeluknya lebih erat.

“Jangan pergi lagi… aku mohon,” suaranya patah, hampir seperti rintihan. Dia memelukku seakan takut aku hilang lagi. “Pulanglah… pulanglah, Risa. Tolong…”

Aku menutup mata, tubuhku bergetar menahan rasa bersalah. Tapi aku masih merasakan kasih sayang yang sangat besar dari pelukan itu, tidak ada yang berubah sejak hari itu—sejak lebih dua tahun lalu ketika aku memilih kabur. 

Saat aku berusia delapan belas, aku meninggalkan dia demi Rendy. Demi lelaki yang kujadikan pelabuhan bodoh, tempat aku buang identitasku, yang pada akhirnya hanya menjadikan aku sampah.

Kini, setelah semua hancur, aku kembali. Tapi apa aku masih pantas?

Aku mendongak, menatap wajahnya yang menunduk.

Dante Nathaniel Santoso. Ayah angkatku. Lelaki yang namanya saja membuat orang-orang di Kota Dragon menunduk hormat. Salah satu sosok paling berkuasa—dingin, keras, dan ditakuti.

Dan aku, anak bodoh yang pernah meninggalkan semuanya hanya demi seorang lelaki yang ternyata menghancurkanku.

“Risaa, jangan pergi lagi, oke?” suaranya berat, nyaris serak. “Apa pun yang kau mau… aku akan kabulkan.”

Aku menatapnya lama, mataku bergetar. Wajahnya tetap sama– tegas, kaku, jarang bicara manis. Dante bukan pria pandai kata-kata. Ia tak pernah tahu cara menyenangkan perempuan. Ia kuno, kaku, dingin.

Namun kini, di hadapanku, lelaki itu bisa menangis. Bisa bicara lembut meski canggung. Bisa menunduk hanya untuk menenangkan aku.

“Risaa…” panggilnya lagi, matanya kini lurus menatapku.

Aku menghela napas panjang, air mata menetes tak terkendali.

“Iya… aku tidak akan pergi lagi…” suaraku pecah. “Tapi…” aku menunduk, jemariku meremas baju rumah sakit itu erat. “…apakah kau masih mau menerima aku?”

Ruangan hening. Hanya bunyi tetesan infus yang terdengar. Aku bisa melihat rahangnya mengeras, matanya berkilat seperti menahan sesuatu.

Dia perlahan melepas pelukannya, lalu kedua tangannya menangkup wajahku dengan hati-hati, seolah takut aku akan menghilang lagi.

“Risaa… kau putriku yang berharga,” ucapnya pelan, lalu bibirnya singgah di keningku.

Hangat.

Seketika, semua perasaan rendah diri, hina, dan sakit hati yang sempat menjeratku saat berhadapan dengan Rendy dan keluarganya—hilang, sirna, lenyap begitu saja. Dalam dekap lelaki ini, aku merasa… aman. Nyaman. Seolah dunia tak bisa menyentuhku lagi.

“Tapi… aku sudah pergi. Kakek tidak akan menerimaku,” suaraku pecah, penuh ragu.

“Risaa, kau salah sangka.” Jemarinya mengusap kepalaku, turun ke punggung, menenangkan. “Sejak kepergianmu, kakek jatuh sakit. Pulanglah… dia pasti akan senang melihatmu kembali.”

“Om…” panggilku lirih, suaraku bergetar.

“Jangan pikirkan yang tidak-tidak,” balasnya cepat, tatapannya menusuk tapi penuh kasih. “Kau putri keluarga Santoso. Aku Ayah kamu. Jadi jangan pernah merasa sungkan lagi.”

Aku terisak, lalu semakin mengeratkan pelukan. Rasa sesak, rindu, dan hangat bercampur jadi satu. Senang rasanya dia terus menenangkanku seperti ini, tanpa henti.

Kami berdua masih larut dalam pertemuan yang penuh kerinduan itu, seolah waktu berhenti hanya untuk kami.

Lama aku membiarkan diriku tenggelam dalam pelukannya. Hangat tubuhnya menenangkan setiap gigil di tubuhku. Tapi akhirnya, dengan berat hati, aku melepaskan pelukan itu.

Dia menatapku dalam, seolah menunggu kata-kata keluar dari bibirku.

Matanya merah, basah—jarang sekali aku melihat Dante Nathaniel Santoso seperti ini.

Aku menarik napas panjang, lalu suaraku pecah lirih, hampir malu,

“...Om, aku bercerai.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Jerat Hasrat Ayah Angkat   Bab 24

    Risa baru saja masuk ketika Mbok Sarti, pengasuh lama keluarga itu, datang menghampiri.“Non, Tuan besar manggil ke ruang kerja,” ucapnya pelan.Risa sempat tertegun. Sudah lama sekali rasanya ia tidak dipanggil secara khusus ke ruang itu—ruangan yang selalu menegangkan dengan aroma kayu tua dan suara jam antik yang berdetak pelan di sudutnya.Begitu pintu dibuka, Kakek sudah duduk di balik meja besar, kacamata digantungkan di ujung hidungnya, menatap beberapa berkas di depannya sebelum akhirnya mengangkat pandang.“Duduklah, Risa.”Risa menuruti, menunduk sopan.Suasana hening sesaat, hanya terdengar detak jarum jam yang seakan memperlambat waktu.

  • Jerat Hasrat Ayah Angkat   Bab 23

    Risaa terbangun pelan. Cahaya matahari yang menembus tirai membuat matanya menyipit. Ia butuh beberapa detik untuk sadar bahwa dirinya masih berada dalam pelukan Dante. Laki-laki itu tertidur dengan posisi miring, wajahnya tenang, seolah tidak pernah menyembunyikan rahasia apa pun.Risaa menatapnya lama. Ada rasa hangat di dadanya, tapi juga nyeri kecil yang sulit dijelaskan. Ingatan malam tadi membuat pipinya memanas, tapi ucapan terakhirnya—tentang keinginan agar Dante menceraikan istrinya—membuat dadanya terasa sesak.Perlahan, ia bangkit, berusaha tidak membangunkan Dante. Namun tangan laki-laki itu tiba-tiba terangkat dan menarik pinggangnya kembali.“Bangun pagi-pagi sudah mau kabur?” suara Dante terdengar serak tapi lembut.Risaa tersenyum tipis. &l

  • Jerat Hasrat Ayah Angkat   Bab 22

    "Lebih cepat Om!" pinta RisaDante diam saja, namun gerakannya semakin mantap, seolah membiarkan setiap desah dan napas Risaa menjadi irama yang menuntunnya. Suasana di ruangan yang sunyi seketika dipenuhi oleh gema langkah napas mereka yang saling terburu, membiarkan ketegangan antara keduanya semakin memuncak.Risaa menekuk tubuhnya sedikit, menahan dan menikmati dorongan yang terus mengalir, sementara Dante membalas dengan ciuman lembut di leher dan dada, membuat setiap sentuhan terasa begitu intens.Tubuh Risaa menegang, detik demi detik seakan melambangkan ketegangan yang tak kunjung reda, namun ada kenyamanan aneh dalam kedekatan itu, membuat keduanya larut dalam momen yang hanya milik mereka.Dante memutar tubuh Risaa perlahan, menekannya dengan ritme yang pas namun membuat detak jantung Risaa berlari. Risaa menekanka

  • Jerat Hasrat Ayah Angkat   Bab 21

    “Cukup?” suara Risaa terdengar serak, tapi ada senyum nakal di ujung bibirnya.Dante menatapnya lama. Risaa masih terlihat mabuk — bukan hanya oleh alkohol, tapi juga oleh perasaan yang menyesakkan dada. Mata itu berkilat, berani, seolah menantang batas yang selama ini mereka pura-pura tidak lihat.Tanpa banyak bicara, Risaa melangkah mendekat, kemudian naik ke pangkuan Dante. Aroma alkohol bercampur wangi tubuhnya memenuhi udara.“Risaa…” panggil Dante dengan suara berat.“Kamu bilang cukup, Om?” bisiknya pelan, suaranya menggoda dan lembut sekaligus, membuat dada Dante terasa sesak.Risaa mengangkat wajahnya sedikit, jarak di antara mereka nyaris tidak ada. Jemarinya menyentuh dagu Dant

  • Jerat Hasrat Ayah Angkat   Bab 20

    Kata-kata Dante datar, tapi nadanya lembut — seolah mencoba menahan amarah yang hampir pecah.Risa menunduk, memainkan ujung jarinya.“Aku cuma… pengin ngerasain bebas sedikit aja,” ucapnya pelan.“Bebas itu bukan berarti hilang kendali,” jawab Dante cepat.Hening sesaat.Angin malam lewat di antara mereka.Cahaya lampu jalan memantul di wajah Risa — merah muda, sedikit lembap, matanya lelah tapi masih berkilat.“Aku tahu kamu marah…”Risa menatap Dante, matanya sendu.“Tapi aku cuma mau lupa sebentar, Om. Lupa semuan

  • Jerat Hasrat Ayah Angkat   Bab 19

    “Maaf, Tuan?”“Lampu, kabut, efek—apapun yang bisa bikin semua orang sibuk menikmati malamnya. Sekarang.”Pria itu mengangguk cepat. Beberapa detik kemudian, DJ menaikkan volume musik, lampu sorot menari-nari di udara, dan kabut turun makin tebal. Kerumunan pun bersorak, perhatian yang tadinya tertuju pada Dante kini teralihkan oleh pesta yang mendadak jadi lebih hidup.Dante berdiri di tepi bar, menatap dari jauh.Sorot matanya menembus cahaya dan kabut — berhenti tepat pada Risa yang masih tertawa, tak sadar sedang diawasi.Ia memutar gelas di tangannya, tapi tak benar-benar meminumnya.Erick meliriknya dari sisi kanan.&ld

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status