Andien langsung mengangkat dagu penuh percaya diri. “Jelas aku dong.”
Leon menatapnya lama, lalu tiba-tiba meledak tertawa. “Halah! Kau masuk bar aja paling-paling disangka nyari colokan buat ngecas powerbank.”
Andien langsung melotot, sementara Gio dan Risaa hampir jatuh dari kursinya karena menahan tawa.
“Sialan kau, Leon!” gerutu Andien, memukul lengannya.
Leny tak mau kalah. Ia menegakkan badan, menyeruput minuman yang baru saja dibelikan Leon, lalu berkata penuh percaya diri, “Kalau aku masuk bar, cowok-cowok pasti langsung nawarin traktiran. Aura mahal, Beb!”
Leon melirik tajam, senyu
Suara Dante tiba-tiba terdengar di sampingnya.Risa tersentak kecil, tapi cepat-cepat memejamkan mata lagi, pura-pura tenang.“Risa,” panggil Dante, suaranya berat dan dalam.Risa tak menjawab. Ia masih berpura-pura tertidur, tapi napasnya yang tidak teratur jelas terbaca. Dante menunduk, menatap wajah Risa yang berpaling ke arah lain, lalu dengan lembut memegang dagunya agar menoleh.Tatapan mereka akhirnya bertemu. Dante menatapnya lama, lalu menunduk sedikit dan mencium bibirnya pelan.“Kenapa?” tanya Dante lembut, masih menatapnya.Risa menelan ludah, matanya bergetar.“kamu mau ngomong sesuatu?” Dante menegaskan lagi.
Entah sudah berapa kali mereka bermain dalam pelukan satu sama lain. Risa merasa tubuhnya mulai berat, ditambah kurang tidur selama dua hari terakhir membuat matanya terasa perih. Akhirnya, daripada keluar kamar, ia memilih untuk tidur saja sambil menunggu Dante kembali dari pertemuannya.Suara ponselnya tiba-tiba berdering. Saat melihat nama yang muncul di layar, Risa menghela napas — Diana.Ia menatap layar itu beberapa detik, ragu. Namun pada akhirnya, ia hanya menekan tombol diam dan membiarkannya berdering sampai berhenti sendiri.“Bukan waktunya,” gumamnya pelan, lalu memejamkan mata lagi.Ia baru terbangun saat matahari mulai condong ke barat. Cahaya jingga senja menyusup lewat celah
Risa hanya tersenyum nakal, matanya berkilat di bawah cahaya matahari terbenam.“Om juga dong, buka aja… cuma kita berdua kok.” Suaranya lembut, tapi jelas menantang. Ia melirik ke arah Dante, menunggu, dadanya berdebar.Dante menghela napas panjang, lalu jemarinya tanpa ragu membuka satu per satu kancing kemejanya, melepas celana, membiarkan tubuhnya telanjang di hadapan wanita yang sudah meluluhlantakkan hidupnya. Kini hanya ada mereka, di pulau yang seperti dunia sendiri. Dante mendekat, menarik tangan Risa dan mengajaknya kembali ke air.Gelombang membasuh kaki saat mereka melangkah ke laut—kulit ke kulit, tubuh ke tubuh, tanpa sekat apa pun. Ciuman mesra langsung menyala, bibir mereka saling melumat di bawah sisa cahaya senja yang memantul di permukaan air. Suara tawa Risa pecah, napasnya berat oleh hasrat dan kebahagiaan liar yang hanya bisa ia rasakan di sini. Ia bahkan sempat mengangkat ponselnya, jari gemetar mengabadikan momen
Pagi menjelang dengan cahaya tipis menelusup lewat celah tirai, tapi kehangatan kamar masih jauh dari usai. Risa terbangun dalam keadaan setengah sadar, tubuhnya terasa lemas dan nyaman di bawah selimut yang kusut. Seketika, ia merasakan bibir Dante yang hangat dan basah menempel lembut di bibirnya—sentuhan itu tidak hanya membangunkan, tapi juga membuat tubuh Risa langsung menegang, pinggangnya melengkung tanpa sadar, gelombang kenikmatan menyeruak tiba-tiba hingga ia terengah.Risa membuka mata dengan pandangan setengah kabur, melihat Dante menyeringai puas di atas tubuhnya.“Om!” serunya, setengah protes, setengah dimabuk malu.Tapi Dante hanya mendekat, melumat bibir Risa dengan rakus, napas pagi dan aroma tubuh lelaki itu memenuhi seluruh inderanya.“Om belum sikat gigi loh…” protes Risa, pipinya bersemu merah, bibirnya masih merekah karena ciuman liar barusan.Tapi Dante hanya tersenyum, menegakkan tubuhny
Dante hanya melirik kearah nakas namun mengabaikannya. Lebih memilih melanjutkan apa yang dia inginkan karena wanita ini jauh lebih menggoda dari apapun didunia ini. Dante sudah jujur menyukainya sejak awal, jadi sekarang dia seperti lelaki yang baru tahu namanya jatuh cinta dan hanya membutuhkan wanita ini saja.Udara kamar sudah penuh aroma tubuh dan suara napas yang saling berkejaran. Seprai kusut, bercak air masih tersisa di lipatan ranjang, kulit Risa basah oleh keringat dan sisa percikan kolam. Tubuhnya tergeletak di atas dada Dante, rambut berantakan menutupi pipi, dada naik turun, bibirnya merah menggoda akibat ciuman dan gigitan sepanjang malam.Lampu temaram membuat kulit mereka tampak lebih gelap, garis tubuh Risa menempel di tubuh Dante tanpa jarak sedikit pun. Tangan Dante mengusap punggungnya, menelusuri lekuk pinggang hingga ke pangkal paha—gerakan lembut tapi penuh hasrat yang belum juga padam meski malam terus merangkak.Risa terkeke
Nada suaranya tak bisa dibantah.Risa menghela napas, lalu menatap kaca depan — melihat pesawat yang baru saja lepas landas di kejauhan. Dadanya berdebar hebat, bukan hanya karena ketakutan… tapi juga karena rasa asing yang menggelitik saat menyadari: untuk tiga hari ke depan, dia akan pergi bersama Dante, jauh dari semua mata yang bisa menghakimi.Udara lembap laut langsung menyambut mereka begitu pintu kamar terbuka. Gelombang kecil berdesir di bawah dek kayu tempat kamar itu berdiri, dan dari jendela kaca besar terlihat hamparan samudra Hindia membentang sejauh mata memandang.Risa terpaku beberapa detik, lalu menoleh pada Dante dengan mata berbinar.“Om mau ketemu sama orang di sini?” tanyanya pelan, setengah tak percaya mereka benar-benar ada di tempat seindah itu.