LOGINRisa mengangkat wajahnya, pandangannya tajam. “Mau aku makan di mana pun, bisa bayar atau nggak itu bukan urusan kalian.”
Nada suaranya tenang, tapi tegas — membuat beberapa orang di sekitar mulai berbisik pelan.
“Hei, Risa! Bicara yang sopan kalau sama orang tua!” bentak Nyonya Benardi.
Risa menatapnya lekat-lekat. “Aku dan kalian udah nggak ada hubungan apa-apa. Jadi berhenti bersikap seolah kita masih kenal.”
“Ya ampun, Kak Risa, omonganmu kasar banget,” potong Radya dengan nada pura-pura prihatin.
Risa menarik napas panjang, menahan amarah yang hampir meledak. Tapi sebelum dia sempat bicara lagi—
“Hei, pela
Risa seolah menanyakan langsung pada foto yang diam membeku di layar.Tangannya gemetar halus, bukan karena marah—lebih karena perasaan tak nyaman yang tiba-tiba merayap dari dada hingga tenggorokannya.Dia menatap foto itu lama, seolah berharap jawabannya bisa muncul dari tatapan mata Dante di masa lalu itu.Di bawah foto itu, tertera empat nama.Dante Santoso.Vivian Kurniawan.Erlang Mahardika.Ruby Aghastya.Empat sahabat masa kecil—dua laki-laki dan dua perempuan.Dante bersama Vivian, sementara Erlang dengan Ruby.Risa menatap layar ponsel
Dada Risa terasa sesak.Tangannya gemetar memegang ponsel itu.Baru semalam dia tahu bahwa Dante tengah bersama Vivian Kurniawan, cinta pertamanya — dan sekarang pria itu menulis pesan seolah tak terjadi apa-apa.Risa tertawa kecil, getir.“Rindu? Kamu bahkan liburan dengan wanita lain…” gumamnya pelan.Namun di balik rasa marah itu, ada denyut rindu yang tak bisa ia tolak.Dia menatap layar itu lama, jari-jarinya sempat mengetik, lalu dihapus.Begitu terus, hingga akhirnya ponsel itu ia letakkan kembali di meja.Ia menutup mata, mencoba mematikan perasaannya —
Risa berusaha menjaga nada suaranya tetap tenang, wajahnya setenang mungkin, walau dadanya terasa sesak luar biasa.Sejujurnya, ia ingin sekali berlari ke kamar, menutup pintu, dan melampiaskan amarahnya seperti Diana.Tapi tidak sekarang. Tidak di depan wanita yang sudah lebih dulu hancur karena lelaki yang sama.Diana menarik napas panjang, lalu merebut ponselnya dari tangan Risa.“Aku akan ke ruang Kakek,” katanya seraya bangkit.Baru beberapa langkah, tubuh Diana terhuyung.Refleks, Risa memegangnya erat.“Tante hati-hati,” ucap Risa cepat.Tatapan Diana kosong sesaat, lalu melembut—meski hanya s
Hari ini ulang tahun Dante.Namun sejak kemarin hingga siang, tak ada satu pun kabar darinya — tidak panggilan, tidak pesan, bahkan tanda baca read pun tak muncul di ponselnya.Risa sudah mencoba menelpon, mengirim pesan singkat, bahkan mengirim stiker seadanya hanya agar Dante tahu ia menunggu.Tapi semuanya sepi.Begitu sunyi hingga detak jam di kamarnya terdengar terlalu nyaring.Saat keluar untuk makan siang, langkahnya terhenti di depan kamar Diana.Pintu itu terbuka sedikit, hanya celah sempit, tapi cukup untuk membuat suara di dalam terdengar jelas.“Jangan main-main sama aku! Kau pikir aku tidak tahu, hah?” suara Diana terdengar parau — campura
Pesan itu terkirim ke grup — seketika centang dua di bawahnya berubah biru satu per satu.Tak sampai semenit, notifikasi bermunculan bertubi-tubi.Andien: AKHIRNYA! “Kamu ke mana aja, Ris? Gila, kita kira kamu udah kabur ke luar negeri!”Leny: “Sumpah ya, aku sampe ngecek semua akun kamu, gak ada update sama sekali.”Gio: “Kukira kamu diculik alien atau lari sama bule.”Risa tersenyum miring membaca semua pesan itu. Ada rasa hangat, tapi juga getir — karena selama ini dia memang “menghilang” untuk sesuatu yang bahkan gak bisa dia ceritain.“Cuma butuh waktu buat diri sendiri,”
“Kalau kamu nggak mau tanda tangan, ya sudah. Aku juga nggak mau ketemu sama kamu,” ucap Risa cepat, nadanya tegas dan dingin.“Risa, kasih aku kesempatan sekali lagi. Aku benar-benar nggak bisa tanpa kamu,” suara Rendi kini terdengar memelas, hampir bergetar.“Iya, kamu nggak bisa tanpa aku karena kamu nggak punya babu lagi!” seru Risa, amarahnya akhirnya pecah.“Risa, bukan seperti itu! Aku bener-bener pengin kamu kembali. Aku janji… aku akan berubah,” seru Rendi putus asa.“Rendi…” suara Risa kini berat, nyaris bergetar.Rendi diam. Hanya terdengar helaan napas dari seberang.“Aku bisa terima kamu jadi pembunuh a






