Share

Bab 7

Author: Vaa_Morn
last update Last Updated: 2025-12-06 02:38:35

Keysha tak bergeming.

Mobil yang katanya akan mengantar Keysha ke kampus itu terparkir tepat di depan pintu rumah—dan bukan sembarang mobil.

Keysha sampai harus memijit mata sendiri, memastikan penglihatannya tidak memproduksi halusinasi akibat stres kemarin.

Bodi hitam mengilap. Lampu depan tajam seperti tatapan Alestair. Grill depan mengkilat seperti sepatu Damian. Dan interiornya… dari kaca yang terbuka sedikit saja sudah terlihat jok kulit beige yang lebih empuk daripada masa depan Keysha sendiri.

Keysha otomatis mengeluarkan decakan kagum.

“Gila… berapa ratus juta atau berapa milyar untuk satu mobil ini…” gumam Keysha kecil.

Sopir bersetelan rapi—yang sepertinya kalau berdiri sebelahan dengan Damian bisa disangka dua penjaga kerajaan—membukakan pintu penumpang belakang dengan hormat. “Silakan, Nona Keysha.”

Keysha tertegun. Jelas perkataan hormat itu tidak ada di dalam kehidupan Keysha selama ini.

"Ayo Nona... bukankah Nona tadi mengatakan akan ada jam kuliah sebentar lagi."

Keysha akhirnya menghela napas. Mau bagaimanapun, hidupnya sekarang berubah drastis dalam waktu sesingkat ini. Yang menjadi permasalahan, dia seolah hidup mewah tanpa usaha. Sisi realistis Keysha yang selama ini hidup dengan utang dan kredit jelas membuatnya sadar.

Keysha langsung menggeleng cepat.

Tidak. Tidak boleh.

Mobil ini tidak pantas untuknya. Apalagi semua orang tau jika Keysha tidak selevel dengan mereka.

Kasta dia di kampus itu, ada diurutan paling bawah persetan dia pintar.

Bisa saja karena mobil ini, orang-orang akan mengira dia telah disponsori Om-om, hutang budi pada mafia? atau yang lebih parah, dia dikira jual diri?

Dan yang paling ekstrem—bagaimana jika teman-temannya mengira dia baru saja menjual ginjal satu sisi demi masa depan yang lebih baik?!

“Maaf, Pak,” ucapnya pelan, tapi tegas. “Aku naik bus aja.”

Sopir itu mengernyit, tampak tidak paham seperti manusia yang baru saja mendengar kalimat dalam bahasa alien.

“Bus…?” ulang sang sopir hati-hati. “Nona, dengan mobil ini perjalanan Nona jauh lebih aman. Dan lebih cepat. Lagipula, Tuan Alestair memberi instruksi langsung agar saya—”

“Aku naik bus aja, beneran,” potong Keysha buru-buru sambil mengibaskan tangan. “Bukan apa-apa, Pak. Ini soal… keberlangsungan hidup.”

Sopir itu makin bingung. “Justru mobil ini—”

“Pak…” Keysha mencondongkan badan dan berbisik lirih seperti sedang berkata rahasia negara, “kalau aku muncul ke kampus naik mobil beginian… aku bisa mati dibully. Atau difitnah. Atau dianggap pakai tubuh buat dapetin fasilitas. Aku nggak mau tiba-tiba jadi headline gosip jurusan.”

Sopir membuka mulut, menutupnya lagi, persis seperti komputer nge-blank.

Keysha menghembuskan napas pelan, lalu menepuk-nepuk tasnya.

“Udah deh, Pak. Saya jalan kaki aja.” ucap Keysha mantap.

Sang sopir menegang. “Jalan… kaki? Tapi...”

“Nggak ada tapi-tapi Pak...” Keysha mengangguk seperti itu keputusan paling normal sedunia. “Jalan kaki tuh sehat, nggak bikin orang mati kok Pak. Kecuali nih... kalau kita jalan di tengah jalan raya. Nahhh… itu baru bahaya. Tapi saya kan masih waras, Pak.”

Sopir itu berkedip seperti habis kena cahaya matahari terlalu terang. “Nona… tapi gerbang Mansion ini..."

“Gampang!” potong Keysha cepat. “Bisa diatur kok."

"Tapi..."

Keysha sudah melangkah pergi sebelum sang sopir sempat protes lagi.

Langkahnya santai, meski sebenarnya dalam hati kini mulai panik.

Dalam 60 detik pertama tadi, Keysha memang masih percaya diri.

Di menit ketiga… Dia mulai sadar sesuatu. Dia akhirnya paham setelah sekian lama berjalan, tapi ternyata gerbang utama masih jauh di depan sana.

“Gila… luas amat sih,” gumam Keysha memandangi jalan panjang yang seperti tidak ada ujung. "Orang kaya kalau bikin rumah, harus banget ya nyisain satu hektar buat lahan kosong?"

Keysha mengerutkan kening, lalu melirik jam di ponselnya.

08.52.

“Ah, mampus… makin telat,” desis Keysha frustrasi. Ia memang hampir telat setiap hari, tapi kali ini levelnya super deluxe telat. "Biasanya jam segini, udah dapet bus dan belajar sebentar."

TIIIN!

Klakson keras memotong napas Keysha yang sedang ngos-ngosan seperti baru saja lari marathon tiga dunia paralel.

Refleks, Keysha menepi sambil menoleh ke belakang. Mobil hitam yang lebih sporty, lebih mahal, dan lebih banyak dipakai anak muda melambat tepat di sampingnya. Kaca depan mulai turun secara perlahan. .

Sebastian.

Dengan wajah setajam pisau dapur baru dibeli.

Dan tatapan yang jelas-jelas mengejek mengatakan: ngapain hidup susah kalau ada yang mudah?

“Bodoh,” kata Sebastian detik itu juga. “Naik.”

Keysha otomatis mencibir, namun tak urung juga untuk naik ke mobil Sebastian. Meski tak pernah naik mobil semahal ini, Keysha tau bagaimana caranya membuka pintu mobil.

Mau bagaimanapun dia anak Horizon University. Serendah-rendahnya kasta Keysha di kampus, dia masih memiliki teman yang kastanya cukup tinggi dibandingkan dirinya.

"Ada-ada aja, berpikiran untuk jalan kaki." komentar pedas Sebastian langsung meluncur ketika Keysha sudah duduk disampingnya.

Keysha berdehem, "Biar sehat."

"Katanya untuk harga diri?" kata Sebastian melanjutkan.

Menyebalkan. Ternyata sopir pribadi itu melaporkan semua perkataan Keysha tanpa di filter dulu. Untung saja Alestair dan Damian sudah berangkat ketika Keysha sedang bersiap tadi.

jadi ini keuntungan Keysha karena tidak dikatai bodoh selama tiga kali.

"Kamu harusnya mulai membiasakan diri dengan hidup barumu, bukan menghindarinya." lanjut Sebastian lagi, "Karena cepat atau lambat kamu akan mengikuti pergaulan kelas atas. Bahkan dalam minggu ini, kamu akan mulai terekspos di media sebagai perwakilan Dominic untuk acara bisnis."

Hah?

Apa?!

Keysha langsung menoleh detik itu juga. "Perwakilan Dominic? Pergaulan kelas atas?"

Sebastian menginjak gas pelan, membuat mobil melaju mulus menyusuri jalan yang akan mereka lalui menuju kampus. Tatapannya lurus ke depan, tapi nada suaranya tenang—tenang yang membuat Keysha semakin tidak tenang.

“Karena Dominic sudah memiliki perempuan di dalam hidupnya.”

Begitu kalimat itu keluar, Keysha sampai terpaku seperti ada yang menepok ubun-ubunnya dari belakang.

Sebastian melirik sekilas, lalu melanjutkan “Dan harusnya yang jadi pasangan pesta atau acara bisnis itu kamu. Mulai sekarang."

“Aku?” Keysha menunjuk dirinya sendiri, seolah tak menyangka, "Kenapa harus aku? Aku—"

Sebastian ikut menoleh ke arah Keysha. Anak tengil di sampingnya itu mendadak serius, seperti harus mendengarkan konsep baru di dalam hidupnya.

“Bahkan kemungkinan kami...” ucap Sebastian perlahan, “akan mulai menghadirkan kamu sebagai anggota keluarga resmi Dominic dalam minggu-minggu ini.”

Hah? Keysha jadi kaget lagi.

Secepat itukah dirinya dianggap sebagai keluarga resmi Dominic?

Keysha semakin bengong.

“Masih bingung?" akhirnya Sebastian bertanya dulu sebelum melanjutkan.

Dan Kesyha hanya mengangguk.

"Kami tu orang penting, Keysha. Dalam acara bisnis, pesta formal, gala, charity—mereka butuh seseorang yang bisa mendampingi. Biasanya, itu dilakukan oleh pasangan, tunangan, atau perempuan yang memiliki hubungan jelas.” Sebastian mengangkat alis. “Dan posisimu… sekarang... adalah anak perempuan Dominic.”

Keysha langsung mengangkat tangan seperti menghentikan traffic. “Sebentar. Sebentar. Ini tuh maksudnya bukan cuma sekedar ‘ayo ikut pesta, pake gaun cantik, terus makan-makan kan’ kan? Ini tuh… pake gaun mahal, harus berkelas, duduk manis sambil senyum ke kamera? Yang lebih menjengkelkan, akan ada banyak penjilat, iya kan?”

Sebastian mengerjap. “Kurang lebih begitu.”

“Aku bisa mati mendadak, tau!”

Sebastian tidak menggubris drama Keysha. Sebaliknya, dia justru melanjutkan dengan nada lebih lembut, tapi tetap tegas.

“Kedepannya, kamu akan jadi representasi keluarga Dominic. Itu artinya, orang akan melihatmu, memperhatikanmu, memperhitungkanmu. Jadi kemungkinan, kamu tidak bisa hidup dengan bebas lagi.”

Keysha terdiam.

Bukan diam biasa—melainkan diam jenis dunia mendadak jadi hitam putih tanpa kontras. Kata-kata Sebastian tentang kebebasan yang akan hilang itu bergelanyut di kepalanya seperti kabut tebal.

Tidak bisa bebas.

Tidak bisa bebas.

Dia sudah tidak bisa hidup sesuka hati? Benarkah?

“Dominic itu bukan nama keluarga yang sederhana,” kata Sebastian lagi. “Musuh Dominic saja tidak sesederhana itu. Intinya bisnis besar, pengaruhnya juga besar. Dan setiap orang besar… selalu punya lawan.”

Keysha menelan ludah.

Sebastian menatap lurus ke depan, rahangnya mengeras sedikit.

“Jika nanti dunia tahu ada perempuan tersembunyi di dalam keluarga Dominic. Cepat atau lambat, mereka akan mengincar perempuan itu. Karena mereka berpikir, itu titik yang paling lemah.”

Diam.

Kata mengincar itu menampar Keysha begitu keras hingga bulu kuduknya berdiri.

“Maksudnya…” suara Keysha pecah kecil, “mengincar aku?”

“Ya,” jawab Sebastian tanpa ragu, seperti sedang membaca fakta cuaca. “Kamu bisa jadi target semua musuh. Dan itu bukan sesuatu yang main-main.”

Hati Keysha mencelos.

Benar-benar mencelos sampai rasanya isi perut turun satu lantai.

“Berat banget…” gumamnya, nyaris tak terdengar. “Kenapa tiba-tiba hidupku jadi begini… Aku cuma mau hidup bebas, uang bebas, pengangguran bebas…”

Sebastian tidak mengomentari itu. Dia hanya memberikan waktu sebentar hingga Keysha menarik napas panjang, mencoba menguasai diri.

"Selama ini aku berpikir, gimana rasanya jadi orang kaya. Tapi ternyata jadi orang kaya nggak sesederhana itu."

Lalu... dengan suara yang lebih serak karena stres, Keysha bergumam pelan.

“Kenapa cuma bahayanya aja yang datang? Kenapa bukan CEO tampan, muda, kaya raya yang tiba-tiba datang terus nargetin aju? Aku lebih suka dikejar laki-laki tampan, daripada dikejar orang-orang yang berniat ngerebut kerjaan malaikat pencabut nyawa.”

Sebastian langsung melirik, mata menyipit seperti kucing yang baru saja dicolok kupingnya pakai sedotan.

“Ngomong apa tadi?” tanya Sebastian datar. “Kamu masih kecil. Tidak boleh cinta-cintaan.”

“Masih kecil dari mana?” Keysha memutar bola mata. “Aku udah 18 tahun, udah kuliah, udah pasti dianggap dewasa.”

“Umurmu terlalu muda untuk ukuran anak kuliah,” balas Sebastian cepat. “Jangan berpikir cinta-cintaan lagi, kamu masih anak-anak.”

Keysha mengerucutkan bibir sedikit—hanya sedikit, tapi Sebastian melihatnya.

“Sebenarnya... Yang paling aku takutkan dari kamu yang kini sudah menginjak dunia perkuliahan, adalah..." Sebastian menjeda kalimatnya sebentar, "Kalau otakmu suatu saat tidak bisa menanggung beban setinggi ilmu yang akan kamu raih, lalu meledak… bagaimana? Aku lebih takut pundakmu sengklek sebelum waktunya.”

Keysha menatapnya tidak percaya.

“…Sengklek?” ulangnya dengan nada tersinggung.

“Tulangmu kecil, seperti bayi.” jawab Sebastian enteng.

Keysha mendelik. “Hei! Pundak aku kuat! Jangan nganggep aku lemper! Aku bukan anak bayi lagi! Aku tuh—”

Sebelum Keysha sempat lanjut marah, Sebastian memotong—kali ini nada suaranya lebih rendah, berbeda dari sebelum-sebelumnya. Seperti ada lapisan kejujuran yang jarang dia keluarkan.

“Kedepannya… kalau bebanmu tiba-tiba terlalu berat dan kamu tidak sanggup menopang semuanya… ceritakan saja kepadaku.”

Keysha mendadak diam.

“Aku akan jadi tameng dari ketiga manusia kulkas itu.” lanjut Sebastian.

Nada suaranya tidak berubah, tetap dingin. Tapi ada sesuatu yang lain di baliknya. Ada sedikit proteksi, sedikit kedewasaan, sedikit… peduli.

Keysha, yang tadinya marah, akhirnya hanya mencibir kecil seperti tidak mau mengakui bahwa ucapan itu sedikit menenangkan.

“Kamu juga manusia kulkas,” gumam Keysha, “Nggak jauh beda dari yang lain.”

Sudut bibir Sebastian bergerak, nyaris tidak terlihat. Seperti menahan senyum atau menahan emosi entah apa.

“Selama ini... Aku tidak suka menjadi anak bungsu.” bisik Sebastian tiba-tiba.

Keysha mengerjap. “Hah? Kenapa”

Sebastian melanjutkan lirih. “Mereka terlalu kejam waktu mengajariku banyak hal. Dan sekarang… kamu menggantikan posisiku sebagai anak bungsu.”

Iya kah?

Sekejam apa mereka?

Keysha jadi takut sendiri sekarang.

“Tapi karena aku pernah merasakan betapa beratnya menjadi anak bungsu…” Sebastian menatap lurus ke jalan, tapi suaranya merendah lebih jauh. “Aku akan berdiri di sampingmu.”

Hening.

Kali ini bukan hening yang canggung.

Hening yang… mengikat sesuatu di antara mereka.

Keysha pelan-pelan berpaling ke jendela, menutupi pipinya yang sedikit panas.

Sebastian sadar, jika gadis itu salah tingkah sekarang. Lucu.

"Kedepannya, panggil aku Kakak. Mengerti?" lanjut Sebastian.

Keysha tidak membalas, namun melihat Horizon University yang hampir di depan mata dan dia masih punya cukup waktu untuk tidak menjadi tukang sapu, Keysha langsung menoleh kepada Sebastian.

"Turunkan aku disini aja, ini masih lama kok. Aku masih adaptasi, jadi jalan perlahan-lahan aja. Paham maksud aku kan, Kak?"

Sebastian dipanggil Kakak? Maka keinginan Keysha langsung dituruti Sebastian detik itu juga. Pasalnya Sebastian sepertinya menjadi yang pertama dianggap keluarga oleh Kesyha sendiri.

"Lain kali, mungkin akan aku antarkan sampai depan fakultas kamu."

Keysha mengangkat jempol, tak masalah. Selagi bukan dekat-dekat ini, Kesyha tidak keberatan sama sekali.

"Terimakasih, Kakak." kata Keysha dengan senyum cerah.

Keysha langsung turun dari mobil, meninggalkan Sebastian yang tiba-tiba mematung. Mendapat senyum secerah dan setulus itu, siapa yang tidak suka.

Bahkan Sebastian pikir, sebagian es di dalam dirinya sudah mulai mencair!

*****

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Jerat Mafia Tampan   Bab 7

    Keysha tak bergeming. Mobil yang katanya akan mengantar Keysha ke kampus itu terparkir tepat di depan pintu rumah—dan bukan sembarang mobil.Keysha sampai harus memijit mata sendiri, memastikan penglihatannya tidak memproduksi halusinasi akibat stres kemarin. Bodi hitam mengilap. Lampu depan tajam seperti tatapan Alestair. Grill depan mengkilat seperti sepatu Damian. Dan interiornya… dari kaca yang terbuka sedikit saja sudah terlihat jok kulit beige yang lebih empuk daripada masa depan Keysha sendiri.Keysha otomatis mengeluarkan decakan kagum.“Gila… berapa ratus juta atau berapa milyar untuk satu mobil ini…” gumam Keysha kecil.Sopir bersetelan rapi—yang sepertinya kalau berdiri sebelahan dengan Damian bisa disangka dua penjaga kerajaan—membukakan pintu penumpang belakang dengan hormat. “Silakan, Nona Keysha.”Keysha tertegun. Jelas perkataan hormat itu tidak ada di dalam kehidupan Keysha selama ini. "Ayo Nona... bukankah Nona tadi mengatakan akan ada jam kuliah sebentar lagi."K

  • Jerat Mafia Tampan   Bab 6

    Keysha tidak habis pikir…Bagaimana bisa mereka barusan menguliahinya soal kedisiplinan jam enam pagi—tapi sekarang, sudah pukul delapan lewat sepuluh, dan tidak satu pun dari ketiga manusia super sibuk itu tampak berniat pergi dari rumah.Terkecuali Arya yang telah pergi karena ada urusan mendesak. Keysha duduk bersila di atas sofa ruang tengah, seperti anak kecil yang sedang dihukum tapi tidak tau salah apa. Di kanan, Damian duduk tegak seperti satpam pribadi. Sedangkan di sisi kiri, Sebastian terlihat santai… tapi posisi duduknya cukup dekat untuk membuat ruang gerak Keysha terasa seperti skripsi bab 4 yang belum kelar—mepet dari segala arah.Alestair? Laki-laki itu berdiri sambil menyilangkan tangan, mengawasi seperti CCTV hidup.Suasana itu membuat Keysha akhirnya tak tahan.“Ehm… aku boleh tanya sesuatu?” ucap Keysha sambil menatap mereka satu per satu. “Kenapa… kalian belum bekerja? Bukannya tadi kalian bilang harus disiplin? Mulai jam enam pagi?”Damian melirik jam tangannya,

  • Jerat Mafia Tampan   Bab 5

    Suasana meja makan akhirnya tenang. Setidaknya… secara visual untuk sementara. Tidak ada yang bersuara ketika makan, termasuk Keyra yang fokus dengan makanannya. Meski mual karena tidak terbiasa sarapan pagi, dia tetap menghabiskan makanan yang disajikan di piringnya. Kini, hanya terdengar suara sendok diletakkan pelan di piring. Arya membersihkan tangannya dengan serbet, lalu menatap ke arah Keysha. Dia berusaha untuk tersenyum, tapi tetap saja tajam di waktu yang sama. “Keysha,” kata Arya tenang, “kau tidak pergi sekolah hari ini?” Keysha yang baru saja meneguk jus jeruk langsung terbatuk kecil. “Sekolah?” Alestair melirik jam tangannya. “Sekarang pukul tujuh lewat sepuluh.” nada suaranya seperti guru killer yang sudah mencatat siapa saja yang datang terlambat. “Biasanya jam segitu, murid sepertimu sudah duduk di kelas.” "Oh ya?" Keysha menaikkan alisnya, nada suaranya terdengar polos. Mungkin terlalu polos untuk seseorang yang baru saja ketahuan tidak sekolah. Damian, yang

  • Jerat Mafia Tampan   Bab 4

    Suasana pagi di rumah Dominic tidak pernah benar-benar terasa seperti pagi. Semuanya terlalu tenang, terlalu rapi, terlalu... teratur. Jam di dinding baru menunjukkan pukul 06.05, tapi meja makan sudah penuh hidangan. ada roti panggang, omelet, kopi hitam, sampai buah yang tersusun nyaris simetris di piring perak. Keysha berdiri di ambang pintu, mengucek mata berkali-kali, hingga akhirnya menguap lebar seperti tak ada dosa. "Terlalu lambat." komentar Alestair Dominic tiba-tiba. Keysha akhirnya membuka matanya lebar-lebar. Meski merasa tersinggung, tapi melihat wajah dingin dari seluruh orang yang sudah duduk di meja makan, membuatnya matanya terbuka lebar-lebar. Perlahan Keysha menemukan letak jam dan kemudian mendesis, "Emang ada... sarapan jam enam pagi?" Beberapa pelayan di sekitar meja menunduk cepat, seolah takut menertawakan komentar itu. Dan di ujung meja, Alestair Dominic sudah duduk tegak, kemeja hitamnya rapi tanpa satu lipatan pun. Tatapannya sudah tidak sedingin se

  • Jerat Mafia Tampan   Bab 3

    Dominic, itu marga bukan sembarang marga. Nama yang membuat banyak orang bergetar hanya dengan mendengarnya. Dari dunia bisnis, politik, sampai jaringan bawah tanah. Semuanya punya hutang budi, atau justru dendam pada keluarga itu. Arya Dominic memijit pelipisnya yang tiba-tiba pusing. Baru kali ini dia banyak menahan emosi. Antara kesal karena tingkah gadis itu, marah karena merasa dipermainkan oleh gadis itu, kemudian lega dengan hasil yang sejak awal dia duga itu. Tapi dari semua yang terjadi hari ini, dia bingung antara harus sedih atau terharu! "Ternyata benar… gadis itu darah dagingku." Kalimat itu terus berputar dikepala Arya Dominic, seperti gema yang sulit padam. Pintu besar pintu utama tiba-tiba berderit terbuka. Seorang pria muda masuk dengan langkah tegap dan aura yang menekan udara di sekitarnya. Dibalut kemeja hitam dan mantel panjang, wajahnya dingin tanpa ekspresi. Mata tajamnya menyorot seolah bisa menembus siapa pun yang berani menatap balik. Alestair Dominic

  • Jerat Mafia Tampan   Bab 2

    "Aneh... Aneh... Aneh... Perasaan selama ini hidupku datar-datar aja, nggak ada yang menarik. Kenapa sekarang tiba-tiba jadi genre thriller begini? Keysha Elena, gadis itu mendumel tidak jelas sejak tadi. Padahal dia sudah menjawab dengan jujur, bahkan dengan segenap pertimbangannya mengatakan tidak ingin lima puluh juta lagi disaat nyawanya terancam. Tapi kenapa sekarang Keysha di kurung di kamar megah ini? Alasannya apa? Apakah mereka kekurangan uang, sehingga berniat jahat kepadanya? "Nggak mungkin kekurangan uang. Kecuali kalau itu aku, jelas aku butuh uang segepok." kata Keysha yang kemudian berjongkok, "Tapi kan..." Keysha akhirnya meraung sekeras mungkin, suara lantangnya menggema di dalam kamar megah itu. “Bebasiiiin aku! Hei! Kalian salah orang, sumpah! Kalau mau duit, ginjalku murah kalau dijual di pasar gelap! Tapi Ambil aja satu, bonusnya aku kasih ketombe buat cendol di atasnya sekalian!” teriaknya sambil menendang pintu yang sama sekali nggak goyah. Ia jatuh terdud

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status