Share

Bab 6

Author: Vaa_Morn
last update Last Updated: 2025-12-04 22:14:08

Keysha tidak habis pikir…

Bagaimana bisa mereka barusan menguliahinya soal kedisiplinan jam enam pagi—tapi sekarang, sudah pukul delapan lewat sepuluh, dan tidak satu pun dari ketiga manusia super sibuk itu tampak berniat pergi dari rumah.

Terkecuali Arya yang telah pergi karena ada urusan mendesak.

Keysha duduk bersila di atas sofa ruang tengah, seperti anak kecil yang sedang dihukum tapi tidak tau salah apa. Di kanan, Damian duduk tegak seperti satpam pribadi. Sedangkan di sisi kiri, Sebastian terlihat santai… tapi posisi duduknya cukup dekat untuk membuat ruang gerak Keysha terasa seperti skripsi bab 4 yang belum kelar—mepet dari segala arah.

Alestair? Laki-laki itu berdiri sambil menyilangkan tangan, mengawasi seperti CCTV hidup.

Suasana itu membuat Keysha akhirnya tak tahan.

“Ehm… aku boleh tanya sesuatu?” ucap Keysha sambil menatap mereka satu per satu. “Kenapa… kalian belum bekerja? Bukannya tadi kalian bilang harus disiplin? Mulai jam enam pagi?”

Damian melirik jam tangannya, lalu menatap Keysha seperti pertanyaan itu justru menyinggung harga dirinya sebagai manusia terstruktur.

“Kamu benar,” Damian mengangguk perlahan. “Kami memang disiplin.”

“Tapi kenapa kalian masih di sini?” Keysha membalas dengan nada realistis, "Maksudnya, bekerja?"

Sebastian yang dari tadi memainkan ponselnya akhirnya bicara, “Karena ada hal lain yang harus kami pastikan dulu. Sepertinya kami akan libur bekerja hari ini.”

Keysha mengerutkan dahi. “Ada masalah?”

Damian mencondongkan tubuh, menatapnya seperti dokter sedang mau menyampaikan diagnosis serius. “Kenapa kamu sendiri belum berangkat kuliah?”

Keysha menatapnya balik, lama, memastikan apa yang dia dengar barusan bukan imajinasi. “Kuliah? Sekarang?”

Keysha menatapnya balik, lama, memastikan apa yang dia dengar barusan bukan imajinasi. “Kuliah? Sekarang?”

Sebastian menyela sebelum Damian kembali menginterogasi, “Damian hanya ingin memastikan kamu disiplin dan tidak telat lagi. Kamu tau sendiri, reputasimu sebagai ‘tukang sapu’ itu masih membekas.”

“Aku bukan—” Keysha mendengus, hampir berdiri kalau saja Damian tidak mengangkat tangan untuk menahannya.

Alestair menatap Keysha lama, tatapannya datar, dingin, dan… jujur saja, membuat Keysha merasa seperti murid SD yang ketahuan mencontek.

“Keysha,” ucap Alestair akhirnya, suaranya rendah dan teratur. “Ada beberapa hal yang harus kau patuhi selama tinggal di rumah ini.”

Keysha langsung menegakkan punggung. “Tinggal? Di sini?” gumamnya lirih, tapi tak ada yang menanggapi.

Alestair melanjutkan seperti sedang membaca pasal undang-undang.

“Pertama, disiplin waktu. Bangun pagi. Sarapan tepat waktu. Kedua, jadwal kuliah—tidak boleh bolos tanpa pemberitahuan. Ketiga…” ia menatapnya lebih tajam, “Untuk pulang, kau tidak boleh lewat dari jam delapan malam. Kecuali dengan izin.”

Keysha berkedip pelan, menatap mereka bertiga dengan tatapan serius ini rumah apa akademi militer?

“Eh… permisi,” Keysha menyipitkan mata, “emang udah pasti aku bakal tinggal di sini? Kita bahkan belum—”

“Tes DNA sudah keluar kemarin.” potong Alestair dingin.

“Itu baru satu,” Keysha membalas cepat. “Masih ada tes lanjutan. Belum fix—”

Damian akhirnya angkat suara, nada suaranya terdengar seperti orang yang tidak terbiasa dipertanyakan. “Apa yang membuatmu ragu dengan hasil tes sebelumnya?”

Keysha memeluk bantal sofa, menatap mereka seperti seseorang yang harus menjelaskan logika paling dasar kepada tiga pria dewasa dengan power yang terlalu berlebihan.

“Karena itu terlalu cepat,” jawabnya jujur. “Tes DNA paling cepat itu butuh beberapa jam. Dan alat yang bisa menghasilkan hasil secepat itu… biasanya hanya digunakan untuk kasus sangat mendesak atau institusi tertentu.”

Damian menaikkan satu alis, skeptis. “Kamu calon dokter. Kamu tidak tau teknologi canggih untuk mencocokkan DNA dalam beberapa jam?”

Keysha langsung menatapnya tajam. “Aku tau.”

Ia menghela napas frustasi, lalu mulai menjelaskan sambil menghitung pakai jari.

“PCR cepat bisa dapet hasil dalam tiga sampai lima jam. Tapi itu biasanya dipakai untuk kondisi klinis, bukan tes garis keturunan. Ada juga rapid DNA analyzer—itu pun alatnya nggak sembarangan. Biasanya dipakai kepolisian atau badan intelejen. Dan untuk hasil yang benar-benar akurat, tetap butuh verifikasi manual dan analisis laboratorium yang lebih lama.”

Sebastian bersiul pelan. “Lihat tuh, calon dokter kita. Pinter kan, Dam?”

Damian hanya mengangguk, tetapi ekspresinya tidak berubah. “Semua yang kamu sebutkan,” katanya tenang, “kami punya.”

Keysha terdiam.

Sebastian menepuk bahunya seperti kakak yang baik hati tapi sebenarnya sedang menahan tawa. “Jadi, Keysha… hasilnya valid.”

Alestair menambahkan—tetap dengan nada sedingin freezer, “Dan kedepannya, kau akan tinggal di sini. Kami tidak ingin mendengar gosip, apalagi harus mendengar berita kami menelantarkan anak tidak diinginkan.”

Keysha memegangi dadanya tiba-tiba. Ada denyut kecil—bukan sakit fisik, lebih seperti… sesuatu yang menusuk dari dalam.

Ia tidak tahu kenapa. Mungkin karena kata-kata Alestair yang mengatakan kalau dirinya "anak tidak diinginkan."

Kata itu seperti dilempar begitu saja, dingin, datar, tanpa emosi—tapi justru karena itu rasanya lebih sakit daripada kalau diteriakkan.

Sambil menahan sensasi ngilu yang muncul begitu saja, otaknya malah sibuk menghitung sesuatu.

Alat PCR cepat? Rapid DNA analyzer? Verifikasi lab lanjutan? Keysha menelan ludah pelan. Itu… berapa miliar ya kira-kira?

Keluarga Dominic bukan sekadar kaya. Ini level:

“Kalau mereka batuk, rumah sakit mungkin bisa beli nebulizer baru hanya demi mereka.”

Namun, pikiran itu langsung buyar ketika telinganya kembali memutar kata Alestair: tidak diinginkan.

Ia menghela napas dalam, lalu berkata pelan, “Ada yang ngilu… tapi bukan gigi.”

Alestair tidak gentar. “Itu fakta. Kau memang tidak diinginkan.”

Keysha mengangguk-angguk cepat, seperti orang yang sedang menerima nilai ujian paling buruk tapi tetap harus terlihat tegar.

“Nggak masalah,” ujar Keysha ringan. “Aku bukan tipikal anak yang gampang terbawa perasaan.”

Sebastian memicingkan mata. Damian tetap menatap lurus, Alestair nyaris tidak bereaksi.

Keysha akhirnya berdehem sebentar.

“Sebenernya kalian nggak perlu repot-repot nampung aku di rumah megah ini. Serius. Kalo mau simpel…” Ia mengangkat dua jarinya. “Cukup kasih aku dua ratus juta terus di bebas liarkan. Udah, selesai.”

Sebastian langsung menatapnya, kali ini lebih serius daripada sebelumnya. “Berarti… keluarga tidak ada harga dirinya dibanding uang?”

Keysha tersenyum tipis—senyum yang tidak lucu sama sekali. “Hidupku sudah lama sebatang kara, Mas bro. Uang itu utama, keluarga itu dinomor sekian. Pokoknya, asal ada uang segepok, aku bakalan bungkam.”

Alestair akhirnya bicara lagi, nadanya sama dinginnya.

“Dan bagaimana jika kami memberikan uang itu, lalu kau membocorkan identitasmu ke media?”

Keysha mendengus pelan, seolah pertanyaan itu terlalu tinggi untuknya.

“Siapa yang mau percaya sama anak sebatang kara?”

Keysha mengangkat bahu. “Kalaupun aku bisa ketemu wartawan dan diwawancara, publik bakal memihak siapa? Aku? Atau keluarga Dominic yang super kaya dan punya nama besar? Publik itu gampang berpihak pada yang kuat.”

Lalu Keysha menjentikkan jarinya, santai namun menusuk.

“Jadi—” Keysha bersandar pada sofa, “tanyakan aja ke Bapak Arya Dominic. Uangnya udah disiapin apa belum? Baru setelah itu aku bisa diam dengan tenang.”

Ketiga pria itu terdiam. Bukan terkejut—lebih seperti sedang memproses apakah makhluk bernama Keysha ini serius atau hanya error bawaan pabrik.

Lalu, tanpa peringatan apa pun…

Alestair bergerak lebih dulu.

Pria itu meraih dompet tipis elegan dari saku jasnya. Begitu dibuka, kilau kartu hitamnya memantul seperti sinar matahari mengenai benda mahal.

Ia mengulurkan kartu itu ke Keysha.

“Jangan coba-coba mempermalukan nama Dominic hanya untuk uang kecil,” ucap Alestair dengan suara sedingin freezer industri. “Ambil ini.”

Keysha menatap kartu itu seperti menatap portal menuju kehidupan baru. Ini pertama kalinya Keysha melihat kartu limited edition dan hanya ada beberapa di dunia, seketika matanya berbinar karena jaminan masa depannya tidak buram lagi.

Jaminan menjadi pengangguran kaya raya sudah ada di depan mata!

Tapi sebelum dia sempat menolak atau pura-pura menolak—

Damian juga merogoh saku jasnya.

Dengan gerakan tegas, presisi, seolah sedang menyerahkan bukti investigasi rahasia, ia mengulurkan sebuah kartu platinum.

“Jangan berpikir yang tidak-tidak,” katanya sambil menatap lurus. “Ambil ini untuk keperluan kuliahmu.”

Keysha mulai bengong. Ini apa? Lelang kartu terbuka?

Belum selesai shock-nya, Sebastian tiba-tiba menyandar santai, menepuk saku celananya, dan ikut mengeluarkan kartu berwarna biru metalik yang berkilau.

Ia melambaikan kartu itu seperti magician sedang memperlihatkan kartu pilihan.

“Aku juga ada,” katanya ceria. “Meski kartu ini biasa aja dan bukan limited edition… tapi kartu ini banyak uangnya.”

Keysha membuka mulut, mau bilang “nggak perlu”—tapi Sebastian mendekat, memberi kode rahasia.

“Kata sandinya 111111.” bisiknya bangga, seperti baru membocorkan kombinasi brankas nasional.

Keysha: “…”

Sebastian menambahkan dengan wajah polos: “Biar gampang diingat.”

Tentu saja.

Akhirnya, ketiganya menyodorkan kartu masing-masing dalam jeda yang sempurna, seperti adegan slow motion di film aksi.

Keysha otomatis mengambil semuanya karena… ya, siapa yang tidak akan refleks mengambil tiga kartu full saldo dari tiga pria super kaya?

Matanya semakin berbinar cerah, seperti anak kecil yang baru menemukan mesin permintaan uang.

Tapi dia buru-buru menggeleng kuat-kuat, mencoba menjaga harga diri yang tersisa.

“Aku… aku bukan matre,” katanya terengah, meski tangannya mencengkeram ketiga kartu itu erat seolah itu oksigen. “Tapi karena kalian maksa, aku… ya… aku nggak bisa nolak.”

Ketiga laki-laki itu menatap datar Keysha. Tapi tak urung, mereka cukup terhibur dan terbilang biasa saja ketika memberikan harta berharga mereka.

Sedangkan Keysha sendiri, kini menepuk dadanya dengan dramatis.

“Katanya Tuhan itu Maha Pemberi Rezeki. Masa aku nolak rezeki? Aku takut durhaka.” kata Keysha melanjutkan, "Para manusia baik, terimakasih. Kedepannya, kalau kalian butuh sesuatu, panggil saja Kesyha yang cantik, imut, dan bahenol ini.”

Ketiganya rasanya ingin menyumpal mulut Keysha. Bahenol dari mana? Dari sisi manapun, badannya serata papan triplek dan tidak ada kombinasinya.

*****

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Jerat Mafia Tampan   Bab 7

    Keysha tak bergeming. Mobil yang katanya akan mengantar Keysha ke kampus itu terparkir tepat di depan pintu rumah—dan bukan sembarang mobil.Keysha sampai harus memijit mata sendiri, memastikan penglihatannya tidak memproduksi halusinasi akibat stres kemarin. Bodi hitam mengilap. Lampu depan tajam seperti tatapan Alestair. Grill depan mengkilat seperti sepatu Damian. Dan interiornya… dari kaca yang terbuka sedikit saja sudah terlihat jok kulit beige yang lebih empuk daripada masa depan Keysha sendiri.Keysha otomatis mengeluarkan decakan kagum.“Gila… berapa ratus juta atau berapa milyar untuk satu mobil ini…” gumam Keysha kecil.Sopir bersetelan rapi—yang sepertinya kalau berdiri sebelahan dengan Damian bisa disangka dua penjaga kerajaan—membukakan pintu penumpang belakang dengan hormat. “Silakan, Nona Keysha.”Keysha tertegun. Jelas perkataan hormat itu tidak ada di dalam kehidupan Keysha selama ini. "Ayo Nona... bukankah Nona tadi mengatakan akan ada jam kuliah sebentar lagi."K

  • Jerat Mafia Tampan   Bab 6

    Keysha tidak habis pikir…Bagaimana bisa mereka barusan menguliahinya soal kedisiplinan jam enam pagi—tapi sekarang, sudah pukul delapan lewat sepuluh, dan tidak satu pun dari ketiga manusia super sibuk itu tampak berniat pergi dari rumah.Terkecuali Arya yang telah pergi karena ada urusan mendesak. Keysha duduk bersila di atas sofa ruang tengah, seperti anak kecil yang sedang dihukum tapi tidak tau salah apa. Di kanan, Damian duduk tegak seperti satpam pribadi. Sedangkan di sisi kiri, Sebastian terlihat santai… tapi posisi duduknya cukup dekat untuk membuat ruang gerak Keysha terasa seperti skripsi bab 4 yang belum kelar—mepet dari segala arah.Alestair? Laki-laki itu berdiri sambil menyilangkan tangan, mengawasi seperti CCTV hidup.Suasana itu membuat Keysha akhirnya tak tahan.“Ehm… aku boleh tanya sesuatu?” ucap Keysha sambil menatap mereka satu per satu. “Kenapa… kalian belum bekerja? Bukannya tadi kalian bilang harus disiplin? Mulai jam enam pagi?”Damian melirik jam tangannya,

  • Jerat Mafia Tampan   Bab 5

    Suasana meja makan akhirnya tenang. Setidaknya… secara visual untuk sementara. Tidak ada yang bersuara ketika makan, termasuk Keyra yang fokus dengan makanannya. Meski mual karena tidak terbiasa sarapan pagi, dia tetap menghabiskan makanan yang disajikan di piringnya. Kini, hanya terdengar suara sendok diletakkan pelan di piring. Arya membersihkan tangannya dengan serbet, lalu menatap ke arah Keysha. Dia berusaha untuk tersenyum, tapi tetap saja tajam di waktu yang sama. “Keysha,” kata Arya tenang, “kau tidak pergi sekolah hari ini?” Keysha yang baru saja meneguk jus jeruk langsung terbatuk kecil. “Sekolah?” Alestair melirik jam tangannya. “Sekarang pukul tujuh lewat sepuluh.” nada suaranya seperti guru killer yang sudah mencatat siapa saja yang datang terlambat. “Biasanya jam segitu, murid sepertimu sudah duduk di kelas.” "Oh ya?" Keysha menaikkan alisnya, nada suaranya terdengar polos. Mungkin terlalu polos untuk seseorang yang baru saja ketahuan tidak sekolah. Damian, yang

  • Jerat Mafia Tampan   Bab 4

    Suasana pagi di rumah Dominic tidak pernah benar-benar terasa seperti pagi. Semuanya terlalu tenang, terlalu rapi, terlalu... teratur. Jam di dinding baru menunjukkan pukul 06.05, tapi meja makan sudah penuh hidangan. ada roti panggang, omelet, kopi hitam, sampai buah yang tersusun nyaris simetris di piring perak. Keysha berdiri di ambang pintu, mengucek mata berkali-kali, hingga akhirnya menguap lebar seperti tak ada dosa. "Terlalu lambat." komentar Alestair Dominic tiba-tiba. Keysha akhirnya membuka matanya lebar-lebar. Meski merasa tersinggung, tapi melihat wajah dingin dari seluruh orang yang sudah duduk di meja makan, membuatnya matanya terbuka lebar-lebar. Perlahan Keysha menemukan letak jam dan kemudian mendesis, "Emang ada... sarapan jam enam pagi?" Beberapa pelayan di sekitar meja menunduk cepat, seolah takut menertawakan komentar itu. Dan di ujung meja, Alestair Dominic sudah duduk tegak, kemeja hitamnya rapi tanpa satu lipatan pun. Tatapannya sudah tidak sedingin se

  • Jerat Mafia Tampan   Bab 3

    Dominic, itu marga bukan sembarang marga. Nama yang membuat banyak orang bergetar hanya dengan mendengarnya. Dari dunia bisnis, politik, sampai jaringan bawah tanah. Semuanya punya hutang budi, atau justru dendam pada keluarga itu. Arya Dominic memijit pelipisnya yang tiba-tiba pusing. Baru kali ini dia banyak menahan emosi. Antara kesal karena tingkah gadis itu, marah karena merasa dipermainkan oleh gadis itu, kemudian lega dengan hasil yang sejak awal dia duga itu. Tapi dari semua yang terjadi hari ini, dia bingung antara harus sedih atau terharu! "Ternyata benar… gadis itu darah dagingku." Kalimat itu terus berputar dikepala Arya Dominic, seperti gema yang sulit padam. Pintu besar pintu utama tiba-tiba berderit terbuka. Seorang pria muda masuk dengan langkah tegap dan aura yang menekan udara di sekitarnya. Dibalut kemeja hitam dan mantel panjang, wajahnya dingin tanpa ekspresi. Mata tajamnya menyorot seolah bisa menembus siapa pun yang berani menatap balik. Alestair Dominic

  • Jerat Mafia Tampan   Bab 2

    "Aneh... Aneh... Aneh... Perasaan selama ini hidupku datar-datar aja, nggak ada yang menarik. Kenapa sekarang tiba-tiba jadi genre thriller begini? Keysha Elena, gadis itu mendumel tidak jelas sejak tadi. Padahal dia sudah menjawab dengan jujur, bahkan dengan segenap pertimbangannya mengatakan tidak ingin lima puluh juta lagi disaat nyawanya terancam. Tapi kenapa sekarang Keysha di kurung di kamar megah ini? Alasannya apa? Apakah mereka kekurangan uang, sehingga berniat jahat kepadanya? "Nggak mungkin kekurangan uang. Kecuali kalau itu aku, jelas aku butuh uang segepok." kata Keysha yang kemudian berjongkok, "Tapi kan..." Keysha akhirnya meraung sekeras mungkin, suara lantangnya menggema di dalam kamar megah itu. “Bebasiiiin aku! Hei! Kalian salah orang, sumpah! Kalau mau duit, ginjalku murah kalau dijual di pasar gelap! Tapi Ambil aja satu, bonusnya aku kasih ketombe buat cendol di atasnya sekalian!” teriaknya sambil menendang pintu yang sama sekali nggak goyah. Ia jatuh terdud

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status