Setelah percintaan kami sore itu aku tertidur dalam keadaan menangis. Tidurku terganggu oleh sebuah tangan yang melingkar di pinggang, dan itu adalah Arsen. Dia mendekap tubuhku sangat dekat di dadanya, yang membuat hangat perasaanku.
Sekuat itu efek yang dia berikan padaku? Padahal, sore tadi dia mengabaikanku. Namun, aku menahan diri untuk tetap berpura-pura tidur saat kurasakan bibir Arsen mengecup pundak dan bagian leherku. Aku tak akan membalas, aku tahu dia hanya ingin agar kami melakukan hubungan intim sekarang.
Di pagi harinya, aku bangun seperti biasa dan menyiapkan keperluan Arsen ke kantor. Ini sudah menjadi salah satu rutinitas harianku semenjak kami resmi tinggal di apartemen ini. Arsen tidak suka jika Bi Ratna yang mengurusnya.
"Pasangkan dasiku," ucapnya. Tangan kanan yang tengah memegangi dasi itu dia sodorkan padaku.
Sejak kapan dia ingin aku yang memasang dasinya? Biasanya dia melakukannya sendiri.
Tanpa bersuara, kuraih das
Dia tertawa. Dua bulan hidup dengannya baru kali ini aku mendengar Arsen tertawa. Tapi siapa pun yang mendengar tawa Arsen, tentu paham kalu itu hanya ejekan terhadapku.Sekarang lihat lah bibirnya sudah kembali pada garis lurus, yang menunjukkan ekspresi datar. Arsen menatapku beberapa detik sebelum membuka mulutnya."Tidak memiliki ayah?" Mendengus. "Lalu, menurutmu memangnya siapa lagi yang akan menjadi ayahnya?"Kalau kau ingin jadi ayah anak ini, seharusnya kau memperjelas statusku, Brengsek!"Nara, aku tak mengerti isi kepalamu. Tentu saja aku akan jadi ayahnya. Jangan ragukan itu dan urus lah dia selagi dikandungan."Arsen memutar tumitnya, bisa kucium bau parfume-nya mulai menjauh.Maksudnya apa? Apa menurutnya aku hanya pengurus anak ini di dalam kandungan, lalu setelahnya dia akan mengambil anakku? Dia akan membuangku setelah bosan agar dia bisa memiliki banyak wanita di sisinya? Maaf, seperti apa aku di matanya? Ternak yang
"Ibu Nara, tanpa kujelaskan sesuatu, aku yakin kau sudah tahu apa yang ingin kukatakan tentang janinmu."Dokter yang duduk di depanku berbicara. Matanya lurus menatapku dan aku merasa seperti seseorang yang tertangkap basah di sini. Ya, aku mengerti maksud perkataannya yang tengah membahas ...."Ma-maaf, Dok. Itu ....""Tidak usah dijelaskan."Dia menutup buku resume pasien di tangannya, dan bisa kubayangkan semerah apa wajahku sekarang."Ke depanya, tolong dengarkan ucapan dokter, oke. Katakan pada suami Anda untuk menahan diri sampai kandungan Anda sedikit lebih tua."Sangat memalukan. Dia tahu aku dan Arsen tidak menikah, tapi dia menyebutnya suamiku. Bukannya dia paman Arsen? Ck! Mungkin menjaga agar perawat di yang tengah berjalan itu tidak menduga yang aneh-aneh padaku."Terima kasih, Dokter. Akan aku lakukan."Dengan sedikit terburu aku meninggalkan meja itu. Aku terlalu malu sampai pintu di depan sana terasa sangat
Dari arah lain Arlan datang dan langsung mendekati Arsen. Dia membisikkan sesuatu yang hanya bisa didengar oleh mereka berdua. Lalu setelahnya, Arsen mengangguk sebelum melangkah ke dekatku.Lebih heran lagi, kulihat Arlan pun mendekati Ferdy. Kemudian mereka berjalan bersamaan."Ayo." Arsen menarikku ke arah dalam rumah sakit itu.Ada apa ini? Aku meliriknya dan Arsen hanya mengangguk seakan berkata, 'Ikut saja.' Lantas kupercayakan langkah kakiku padanya.Dia melirik kakiku yang terpincang. Matanya berhenti sekian detik di bagian yang ditutupi dengan perban."Kenapa itu?" tanya Arsen."Itu ... aku jatuh."Demi apa pun di muka bumi ini, aku tak rela jika Arsen tahu aku menduduki pecahan vas bunga di rumah. Biarlah hanya Bi Ratna dan Arlan yang tahu akan kebodohanku menangisinya.Di depan sebuah pintu yang bersebelahan dengan tangga darurat, Arlan berhenti dan membuka ruangan itu. Dia masuk lebih dulu yang langsung
Tentu aku tak pernah berpikir ingin pergi darinya. Tapi, jika Arsen memang tak lagi menginginkanku, apa yang bisa aku perbuat?"Kalau kau bosan, memangnya aku harus bertahan di sini? Aku tak punya hak untuk terus menyusahkanmu, kalau kau sendiri tak ingin aku tinggal," terangku, dan bisa kurasakan lagi hatiku berdarah sekarang.Dia mendengus dua kali. Lalu kikik tawanya terdengar sumbang dengan mata yang masih tetap padaku. Tapi rahangnya yang mengetat itu bisa kuartikan bahwa tawanya adalah sebuah kemarahan."Apa memang kebiasaanmu seperti itu? Kau sengaja mencari alasan untuk pergi?"Dia salah paham lagi. Kenapa dia sangat suka beranggapan buruk tentang aku? Bukankah aku hanya sekedar bertanya dan memberi saran? Aku hanya tak ingin Arsen membuangku setelah anak ini lahir. Aku tak terima diperlakukan seperti itu. Lagian, jika pada ujungnya dia akan membuangku juga, bukankah sekarang adalah waktu yang tepat?"Kau yang punya permainan, kau yang ber
Danau? Alisku menukik menatap pemandangan di depan kami. Danau luas dengan air berwarna hijau terlihat di depan mata kami sekarang."Ayo turun," ajak Arsen, dia melepaskan lagi sabuk yang melingkar di dadaku, sebelum akhirnya dia turun.Mengikuti gerakannya, pun aku turun dari dalam mobil. Arsen berjalan dua langkah di depanku yang mengikutinya dalam diam.Mau apa kami ke sini? Oh ... khayalan setinggi langit yang sempat menyelimuti otakku, perlahan sirna. Dia tak mungkin melamarmu, Nara!"Ke mari, Nara."Melangkah ragu, kuikuti Arsen duduk di atas tikar kain yang sudah terbentang di sana. Keranjang buah dan snak juga kaleng soft drink terletak di tengah tikar yang tak lebih dari dua meter itu. Entah siapa yang mempersiapkannya, tapi sepertinya itu disuruh oleh Arsen.Dia mengambil bir kaleng beralkohol rendah dari balik keranjang buah, aku tak melihat minuman itu sebelumnya. Arsen membuka salah satunya dan menawarkannya padaku."Kau ingin m
Arsen menatapku bergeming. Bisa kulihat pupil matanya membesar dan kaget akan pertanyaan yang baru saja aku lontarkan padanya. Perasaan kecewa langsung melanda hatiku membayangkan penolakan keras yang akan dia berikan.Kenapa kau sebodoh ini, Nara? Arsen baru saja bersikap sedikit lembut dan kau sudah mencari perkara padanya? Bagaimana jika dia marah dan melemparmu jatuh dari sepeda bebek ini?Perasaan takut dan bersalah langsung menyelimuti hatiku, membuat aku menyesali perkataan itu."Ma-maaf," ucapku lirih. "Aku sudah keterlaluan." Memaksa bibirku tersenyum, kuseka kedua pipi dengan telapak tangan untuk menghibur diriku. "Jangan dipikirkan, Arsen. Anggap aku baru saja berkata melantur, anggap kau tak mendengar apa pun dariku."Tak ingin aku dia terbebani oleh perkataanku, dan akhirnya membuat dia lepas kontrol lagi."Nara," panggil Arsen.Bisa kurasakan jantungku melompat di dalam sana. Batinku mengumpat, mengataiku dengan ber
Kakiku gemetar sehingga aku harus berhenti melangkah. Tante Riana menyenggolku pelan, dan dia berbisik mengingatkanku lagi. Tapi belum lagi aku berani melangkah, Arsen sudah lebih dulu merangkul pundakku dan menggiringku menuju sofa. Kami duduk bersebelahan."Jangan takut," bisiknya, sedang rangkulan tangannya masih setia di pundakku.Di depanku ada Ferdy yang duduk berdempetan dengan Nindy. Kulihat, sebagian wajah Ferdy masih menyisakan bekas memar atas pukulan Arsen tempo hari. Mata kami beradu beberapa detik, lalu Nindy segera memeluk lengan Ferdy seakan takut aku akan merebut suaminya."Arsen dan Nara sudah di sini, sekarang bisa menjelaskan kedatangan kalian?" Tante Riana yang berbicara."Seperti kata kami tadi, kami ke sini ingin menuntut perbuatan putra ibu dan bapak. Lihat wajah putra kami, apa pantas dia mendapatkan perlakuan seperti ini? Anak kalian sudah memukul dan mempermalukan Ferdy di depan umum, jadi tontonan banyak orang. Bukan hany
Kini semua pasangan mata tertuju padaku. Aku yakin itu, meski aku masih tetap menunduk seperti ini. Mereka tentunya ingin mendengar jawaban dari ajakan Ferdy."Nara, apa yang kamu pikirkan, Sayang? Ayo pulang sama aku, kumohon," pinta Ferdy lagi, suara serak itu membuat hatiku terenyuh.Jika aku menyetujui ajakannya, benarkah Ferdy akan kembali menjadi baik? Dan kalau pun dia baik, bagaimana dengan Arsen ke depannya? Dia mungkin akan membenciku."Pulang ke mana?"Kupaksa suara itu keluar dari mulutku. Nada yang gemetar dan serak membuatku terdengar seperti seekor kodok. Ferdy mengerut keningnya dan melihatku dalam."Ke rumah kita. Memangnya ke mana lagi?"Hatiku mencelus mendengar kalimat terakhirnya. Ya, suaranya memang terdengar lembut, tapi kalimat itu sangat tak enak di telingaku."Rumah kita?" Aku terkekeh miris. "Kamu sendiri yang usir aku dari sana, kan? Kamu mukul aku demi istri ke dua kamu. Kamu juga hina aku, maki