"El, sudah kamu siapkan tongkat dan juga talinya?"
Gadis dengan balutan seragam pramuka lengkap tersebut menganggukkan kepala guna menjawab pertanyaan dari kakak pembinanya. Gurat wajah letih menandakan jika ia sudah teramat lelah.
Namun demi sebuah tanggung jawab yang diembannya, sebagai anggota inti ekskul pramuka Ellea rela mengesampingkan rasa pusing yang mulai mendera.
Setidaknya untuk dua jam kedepan.
"Sepertinya anggota sudah lengkap, Kak. Kita bisa memulainya sekarang."
"Benar, suruh ketua regu mengatur barisan kelompoknya masing-masing, El."
Ellea masih berusaha terlihat normal, meski sesungguhnya bukan rasa pusing yang semakin pening. Perutnya pun sudah terasa keram dan nyeri.
'Ya Allah... kenapa sakit sekali?'
Langkah kakinya terhenti, lututnya ia lipat dengan kedua tangan meremas pelan perut bagian depannya.
"El, kamu kenapa? Sakit? Ayo Kakak bantu berdiri, masih kuat jalan atau mau Kakak gendong saja?"
Esta, kakak kelas Ellea yang menjabat sebagai ketua regu penegak atau bisa disebut dengan pradana, menghampiri Ellea. Melipat kedua lutut agar dapat melihat dengan jelas kondisi adik kelasnya yang juga menjabat sebagai kerani di susunan keanggotaan pramuka.
"Jalan saja, Kak." jawab Ellea lirih.
Dengan menumpukan berat tubuhnya kepada Esta. Langkah demi langkah dilalui Ellea dengan amat pelan menuju ruang kesehatan.
"Pulang saja ya, El. Biar Kakak suruh Pak Jojo antar kamu, atau kamu ada yang jemput?"
"Aku butuh istirahat sebentar, Kak. Mungkin nanti sudah enakkan."
"Yakin, El? Kamu sudah pucat, lho?"
"Iya, Kak. Lebih baik Kakak lekas ke lapangan mungkin teman-teman sudah menunggu kedatangan Kakak."
Sepeningal Esta, kedua mata Ellea mulai dipejamkan. Berharap akan cepat mengurangi rasa sakit di kepala juga inti perutnya.
"Ssshhhh," desah Ellea.
'Sepertinya aku memang harus pulang, rasa sakit ini malah semakin kuat.' ucapnya dalam hati.
Dengan susah payah ia bangkit dari atas brangkar, perlahan kakinya diayunkan bergantian. Mencoba tetap kuat setidaknya sampai depan gerbang sekolah untuk menunggu jemputan.
"Mau kemana, El?" Sapa salah satu temannya.
Zia, yang merupakan satu-satunya sahabat yang Ellea punya.
"El, kamu kenapa? Wajahmu pucat sekali, dan ini... keringat dingin. Kamu sakit, El? Apanya yang sakit?"
Dengan raut khawatir, Zia memberondong pertanyaan yang tidak dapat dijawab oleh Ellea. Karena Zia sama sekali tidak memberinya kesempatan untuk sekedar membuka mulut.
"Sebaiknya kita pulang, El. Ayo! Aku yang antar kamu pulang."
Tanpa diminta Zia dengan sigap meraih lengan Ellea untuk disampirkan ke pundaknya. Sama dengan yang dilakukan Esta sebelum ini. Ellea juga menumpukan bobot tubuhnya pada Zia.
"Sampai depan saja, Zi. Biar aku minta tolong Lak Elang untuk jemput."
"Sama aku saja kamu masih kuat, kan, duduk di atas motor? Hari ini aku bawa motor sendiri soalnya."
Ellea mengangguk pasrah, dia hanya ingin secepatnya sampai rumah."
"Tunggu sebentar ya, aku pamit sama Kak Esta sama ambil motor dulu di parkiran."
'Semoga tidak ada yang perlu aku khawatirkan. Ini hanya sakit biasa, iya mungkin karena aku yang kurang istirahat'
Dalam hatinya Ellea tak hentinya berdoa, dan berharap apa yang dirasakan ini hanya rasa sakit biasa. Tidak efek mengerikan di belakang rasa sakitnya.
Nyatanya sebanyak apa pun doa yang dipanjatkan oleh gadis 16 tahun tersebut, tidak akan dapat merubah takdir yang saat ini telah menyertainya.
"Terima kasih, Zi." ucapnya ketika Zia sudah sampai di halaman rumahnya.
Belum berapa lama Ellea turun dari motor Zia, rasa pusing itu kini membuat pandangan matanya berkunang-kunang. Kepalanya terasa semakin berat. Perlahan tapi pasti Ellea mulai tidak dapat melihat, mendengar, dan merasakan apa pun lagi.
Tubuhnya terhuyung tepat di daun pintu masuk kediamannya. Ellea sudah tidak mampu lagi menopang bobot tubuhnya sehingga gadis yang masih berseragam pramuka lengkap itu akhirnya jatuh tersungkur tepat di depan pintu dengan mata yang tertutup rapat.
***
Guyuran air yang dirasakan oleh Ellea, seketika menyadarkannya. Kedua kelopak matanya terbuka sempurna. Dan pemandangan pertama yang dilihatnya ialah wajah merah Hendrik. Sang ayah yang masih menggengam gayung di tangan kanannya.
'Tuhan... kenapa yang aku takutkan terjadi? Apa tidak cukup aku saja yang merasakan sakitnya? Dan kenapa juga dia harus ada?'
Dalam benaknya Ellea sudah dapat menebak, akan arti tatapan nyalang dari sang ayah. Dan itu adalah sesuatu yang buruk, sangat buruk.
"Katakan, siapa pria itu?!" tanya Hendrik dengan suara serat akan emosi.
"Tidak mau menjawabnya, jalang kecil!"
Langkah kaki Hendrik diperpendek untuk bisa menatap wajah putrinya. Tubuhnya membungkuk, tangannya menyentuh dagu Ellea untuk dapat menatap lebih dekat wajah dari putrinya yang telah mempermalukan keluaarga besarnya
"Kau tahu jalang kecil bahkan saat ini aku sudah sangat siap untuk membunuh kalian semua! Jadi cepat katakan siapa pria yang sudah menjadi pasanganmu untuk berbuat hal menjijikkan itu!"
Ellea tertunduk.
Tidak sepatah kata pun yang mampu terucap.
"CEPAT KATAKAN ANAK SIALAN! PELACUR CILIK BERANINYA KAU LEMPARKAN KOTORAN DI WAJAH KAMI! MATI SAJA KAU SANA BEDEBAH! TAK ADA GUNANYA KAU HIDUP HANYA BUAT MALU SAJA!"
Plak!
Bugh!
Bugh!
Tamparan, pukulan dan tendangan seketika mampir di setiap tubuh ringkih Ellea. Pelakunya tak lain adalah Hendirk.
Hendrik begitu murka mendapati putri yang selama ini teramat disayangi terbukti telah menghancurkan harga dirinya sebagai seorang ayah.
Tangannya mencengkram kasar dagu sang putri, napasnya memburu dan kilatan amarah masih tercetak jelas di wajah pria dewasa tersebut.
"Masih tidak ingin menjawabnya, jalang kecil?"
Perih, itu lah yang dirasakan Ellea. Tapi ia tetap bungkam. Seluruh tubuhnya sudah terlihat mengenaskah. Dan Hendrik masih belum merasa puas untuk menyiksa putrinya, agar mau buka mulut akan siapa pria itu.
"Apa kurangnya kami dalam mendidikmu Ellea, selama ini kami selalu memanjakanmu tidak pernah sekalipun kami tidak menuruti keinginan atau permintaanmu kasih sayang kami keluargamu tak kurang diberikan untukmu tapi kenapa seperti ini balasanmu!"
Pukulan dan tendangan dari Hendrik sudah tak terelakkan lagi, tubuh Ellea serasa remuk redam, yang bisa dilakukannya hanya berdoa agar apa yang sudah tumbuh di dalam dirinya tetap baik-baik saja.
"Ibu sudah pasrah, El, nggak tahu lagi gimana caranya agar kamu mau mengatakan siapa laki-laki brengsek itu."
'Ya, dia memang brengsek, Bu. Tapi jika kalian tahu siapa yang kalian sebut laki-laki brengsek itu apa kalian masih bisa untuk menyebutnya begitu, pasti kalian tidak akan percaya bahwa dia sanggup melakukan tindakan itu terhadapku.' Batin Ellea menyahut.
Ellea pun berharap jika kejadian itu tidak membuahkan hasil, tapi apa mau dikata sekuat apapun Ellea menolak nyatanya janin itu tetap hadir dan tumbuh dengan baik di dalam kandungannya. Sekarang Ellea hanya ingin melindunginya sebagai calon ibu, apa itu salah?
Ellea sudah berbuat dosa dengan menghadirkannya, walau itu tanpa disengaja tapi apa Ellea juga akan melakukan tindakan yang berdosa pula untuk melenyapkannya? Tidak! Ellea akan tetap mempertahankannya biarpun dia hadir dari kesalahan dan juga ketidak inginannya.
"Dek, cepat katakan dengan siapa kamu melakukannya, kenapa hanya diam saja?" Dan Ellea masih tetap bungkam. "Kakak akan berusaha melindungimu jika kamu mau kasih tahu siapa laki-laki itu. Jujur kakak kecewa sama kamu, Dek. Kenapa bisa sampai melakukan tindakan itu sejauh ini? Apa kamu tidak berpikir akan seperti ini kejadiannya."
'Andai kakak tau kebenarannya, apa masih kecewa denganku?' Lagi, batin Ellea menyahuti setiap pertanyaan.
"Jalang kecil ini tidak akan bisa diajak bicara baik-baik, Elang. Ayah bahkan sudah malu mengakuinya sebagai anak. Minggir! biar ayah tunjukkan seperti apa caranya agar dia mau mengatakan siapa bajingan itu!."Hendrik, seolah belum merasa puas menjadikan anak perempuannya itu samsak hidup. Tendangan dan pukulan kembali diarahkan ke tubuh kecil putrinya. Ingin Ellea berteriak dan meminta supaya sang ayah berhenti, tetapi rupanya dia sudah tak dapat mengeluarkan suaranya. Terlalu lemah untuk dilakukan Ellea dalam keadaan yang cukup mengenaskan.
Berat, hanya menggerakkan bibir saja Ellea sudah tidak sanggup, karena terlalu menahan sakit yang diterima, perlahan napasnya pun mulai tersengal-senggal.
Seluruh tubuhnya sudah tidak bisa digerakkan, sekarang hanya tinggal bola matanya saja yang masih bisa melihat betapa beringasnya sang ayah menyiksa dirinya tanpa ampun.Tak ada yang berusaha menghalangi ayahnya, ibu maupun kakaknya. Semua seolah mendukung tindakan yang dilakukan oleh kepala keluarga itu.
Satu tendangan keras tepat mengenai kepala Ellea, membuatnya tidak bisa lagi membuka mata, sakit disekujur tubuh yang dirasakan semakin lama semakin hilang. Sebab Ellea sudah mulai tidak sadarkan diri, lagi.
Ellea berharap semoga saat dia membuka mata nanti, dia sudah tidak lagi berada di dunia ini, Ellea sudah hancur dan tidak bisa terselamatkan.
Bukan hanya tubuhnya, namun jiwanya pun ikut hancur berkeping-keping. Dalam ketidak sadaranya bayangan rentetan kejadian naas itu menyeruak dalam ingatan Ellea.
"Kak, kumohon jangan lakukan itu El takut lepasin kak. Toloooong ... eemmmppp." Orang yang dipanggilnya kakak itu mencium bibir Ellea dengan kasar, supaya tidak lagi berteriak meminta tolong. "Dek, kakak janji tidak akan menyakitimu, tapi kamu diam dan menurutlah." "Aku gak mau kak, tolong lepasin El." "Nggak, kakak nggak bisa berhenti, Dek. kakak janji akan bertanggung jawab nanti, jadi kamu nggak usah khawatir, ya." Dengan paksa laki-laki itu mengoyak mahkota kesucian yang berusaha Ellea pertahankan namun akhirnya gagal, laki-laki itu dengan bejatnya melakukan hal terlarang terhadap Ellea, gadis yang usianya bahkan masih 16 tahun. Masih sangat dini untuk menerima perlakuan yang di luar batas kemampuannya. Ellea tak kuasa menahan perih dan sakit yang dia rasakan ketika laki-laki itu secara paksa memasukinya d
"Aku diperkosa." Entah kenapa Ellea bisa mengatakan itu kepada Ale, sementara selama ini dia hanya diam saja ketika keluarganya menanyainya perihal ini. Tapi dengan Ale, Ellea seperti ringan sekali membagi beban hidup pada Ale, satu-satunya teman yang masih mau menganggapnya ada. "Kenapa loncerita ini ke gue?" "Hanya ingin," jawab Ellea singkat. Ellea lantas menceritakan semua kejadian yang dialaminya kepada Ale, tanpa ada yang ditutup-tutupi. Anehnya Ellea tidak menceritakan kejadian tragis yang dialaminya itu seperti tanpa beban, tidak ada raut sedih dan terluka yang terpampang di wajah ayunya. "Termasuk yang ini juga?" tunjuk Ale sedikit menyingkap rok yang dikenakan Ellea.
Dengan langkah ragu Ellea mengumpulkan sedikit demi sedikit keberanian yang dia punya. Untuk sekedar bertatap muka kepada seluruh anggota keluarganya yang sedang berkumpul di ruang keluarga. Pertama langkah Ellea tertuju kepada sang kepala keluarga, Hendrik Tanjung. Mengabaikan rasa takutnya, Ellea lantas bersimpuh di bawah kaki sang ayah. "Ayah.. terima kasih telah sudi membiayai sekolah Ellea sampai hari ini Ellea dinyatakan lulus. Ellea minta maaf jika belum bisa jadi anak yang Ayah inginkan." Sunyi, tidak ada balasan dari seorang ayah untuk putrinya. Bahkan ketika Ellea mengulurkan tangan bermaksud untuk meminta restunya, Hendrik menolaknya secara langsung dengan pergi begitu saja. 'Tak apa setidaknya aku sudah mencoba, dan meminta maaf.' Hatinya sangat terluka, tetapi Ellea harus terima apa pun keputusan sang ayah. Fokusnya beralih kepada sosok wanita yang telah berjasa
Kehidupan baru Ellea dimulai ketika dia membuka kedua matanya. Sang surya telah berada di puncaknya. Artinya ia sudah tertidur lumayan lama.Mereka tiba di apartemen dini hari tadi, dan keduanya langsung istirahat karena merasa lelah akibat perjalanan yang begitu panjang. Beranjak, Ellea membuka daun jendela istananya lebar-lebar, hal pertama yang dilihatnya ialah pemandangan deretan gedung pencakar langit seperti yang ditempatinya ini. Berikut barisan mobil berjejer rapih di jalanan yang nampak begitu kecil dari tempatnya berdiri. Menghembuskan napas perlahan, Ellea beranjak keluar dari sana untuk sekedar melihat-lihat detail bangunan yang akan menjadi tempat tinggalnya. Ekor matanya melirik ke arah jam yang menempel di dinding ruang tamu yang ditapakinya, jarum jam menunjuk diangka 2 siang. 'Pantas saja aku merasa lapar, ternyata aku sudah melewatkan waktu isi perut sebanyak dua kali.'
"El, lo bisa masak, kan?" tanya Ale. Tidak ada kegiatan yang dilakukan keduanya selepas makan, mereka hanya menghabiskan waktu dengan bersantai menikmati tontonan televisi sebagai hiburan. "Bisa, kenapa?" "Oh good! Kalau gitu kamu bersiap, ya. Kita akan belanja kebutuhan dapur dan mulai hidup sehat dengan makan masakan rumahan." Ellea menyatukan kedua alisnya, merasa ada yang aneh dari ucapan Ale. "Memang selama ini Kakak makan makanan yang tidak sehat?" "Karena gue tidak ada bakat memasak, jadi selama ini makanan yang masuk ke perut gue ya makanan cepat saji." "Tapi aku tidak ada baju ganti lagi, Kak." Ellea memandang dirinya sendiri yang masih memakai pakaian semalam. Itu pun hasil beli dadakannya di toko baju pinggir jalan saat posisinya masih berada di kawasan kota tempat tinggalnya. Sebelum akhirnya Ale memasuki pintu
Sesuai janjinya pada Ale semalam, pagi ini Ellea memutuskan untuk mengikuti saran Ale. Dengan ikut serta pergi ke kampus yang nantinya akan menjadi tempatnya meneruskan jenjang pendidikan di bangku kuliah. Ellea sudah bangun pagi-pagi sekali untuk membereskan apartemen lalu memasak dan setelah itu membangunkan Ale. Baru setelahnya ia membersihkan diri dan bersiap.Ketika Ellea keluar dari istananya, Ale sudah menunggu di mini bar dengan penampilan yang sudah nampak rapi dan siap untuk mengantarnya melihat kampus yang menjadi pilihannya. Sekali lagi Ellea terampil mengambilkan makanan di piring Ale, hasil dari acara menontonnya semalam menjadi ajang pengungkapan bagi Ale. Ale memberitahu apa pun tentangnya kepada Ellea. Tentang Ale yang tidak akan bangun jika hanya dipanggil dari luar, dan juga tentang dia yang tidak bisa menyiapkan makananya sendiri."Kak Al, apa penampilanku sudah cocok?" Tanya Ellea melihat dirinya send
Ale berpikir jika Ellea sudah bisa mengatasi traumanya, karena setelah dia lulus dan tinggal di kota ini, Ale hanya bisa berkomunikasi dengan Ellea melalui chat dan telepon saja. Kemarin malam adalah pertemuan pertama mereka setelah satu tahun berpisah, tepatnya Ale yang harus pergi untuk melanjutkan kuliahnya di kota ini.Kedatangan Ale semata-mata untuk menepati janjinya kepada Ellea, Ale sudah menyiapkan semua selama setahun ini demi bisa membantu Ellea dan juga memastikan Ellea bisa hidup bahagia disini. Ale bekerja keras untuk itu menyiapkan tempat tinggal senyaman mungkin untuk menyambut kedatangan Ellea."El, are you okay?" Tanya Ale lqgi yqng melihat masih tidak adanya jawabaan dari Ellea."I'm fine, Kak.""Maaf, gue hanya berusaha jujur sama lo, El. Karena bagaimana pun gue tidak ingin ada rahasia diantara kita."
Hari demi hari, Ellea lalui dengan kesibukan barunya menjadi seorang mahasiswi. Dikehidupan yang baru dijalaninya sekarang, Ellea semakin sulit untuk membuka diri dan menjadi pribadi yang tertutup. Dia seolah menjelma menjadi sosok Ellea yang ambisius, dan hanya fokus sama tujuannya. Sehingga tidak banyak teman yang segan dan tak betah berlama-lama bergaul dengannya.Ellea semakin tak tersentuh, dia hanya akan menjadi dirinya sendiri ketika sedang bersama Ale, itu pun dilakukannya ketika di apartemen, karena selain itu Ellea akan tetap pada sifatnya yang pendiam dan cuek sama keadaan sekitar.Tidak terasa sudah satu semester berhasil dilalui Ellea, selama itu pula Ellea hanya bisa fokus sama pelajarannya saja. Tidak pernah sekalipun Ellea mau ketika ada seorang teman yang mengajaknya untuk sekedar hang out bareng saat jam kuliah mereka selesai lebih awal, ataupun ketika dosen sedang berhalangan hadir.