Share

1. Awal Kehancuran

"El, sudah kamu siapkan tongkat dan juga talinya?"

Gadis dengan balutan seragam pramuka lengkap tersebut menganggukkan kepala guna menjawab pertanyaan dari kakak pembinanya. Gurat wajah letih menandakan jika ia sudah teramat lelah.

Namun demi sebuah tanggung jawab yang diembannya, sebagai anggota inti ekskul pramuka Ellea rela mengesampingkan rasa pusing yang mulai mendera.

Setidaknya untuk dua jam kedepan.

"Sepertinya anggota sudah lengkap, Kak. Kita bisa memulainya sekarang."

"Benar, suruh ketua regu mengatur barisan kelompoknya masing-masing, El."

Ellea masih berusaha terlihat normal, meski sesungguhnya bukan rasa pusing yang semakin pening. Perutnya pun sudah terasa keram dan nyeri.

'Ya Allah... kenapa sakit sekali?'

Langkah kakinya terhenti, lututnya ia lipat dengan kedua tangan meremas pelan perut bagian depannya.

"El, kamu kenapa? Sakit? Ayo Kakak bantu berdiri, masih kuat jalan atau mau Kakak gendong saja?"

Esta, kakak kelas Ellea yang menjabat sebagai ketua regu penegak atau bisa disebut dengan pradana, menghampiri Ellea. Melipat kedua lutut agar dapat melihat dengan jelas kondisi adik kelasnya yang juga menjabat sebagai kerani di susunan keanggotaan pramuka.

"Jalan saja, Kak." jawab Ellea lirih.

Dengan menumpukan berat tubuhnya kepada Esta. Langkah demi langkah dilalui Ellea dengan amat pelan menuju ruang kesehatan.

"Pulang saja ya, El. Biar Kakak suruh Pak Jojo antar kamu, atau kamu ada yang jemput?"

"Aku butuh istirahat sebentar, Kak. Mungkin nanti sudah enakkan."

"Yakin, El? Kamu sudah pucat, lho?"

"Iya, Kak. Lebih baik Kakak lekas ke lapangan mungkin teman-teman sudah menunggu kedatangan Kakak."

Sepeningal Esta, kedua mata Ellea mulai dipejamkan. Berharap akan cepat mengurangi rasa sakit di kepala juga inti perutnya.

"Ssshhhh," desah Ellea.

'Sepertinya aku memang harus pulang, rasa sakit ini malah semakin kuat.' ucapnya dalam hati.

Dengan susah payah ia bangkit dari atas brangkar, perlahan kakinya diayunkan bergantian. Mencoba tetap kuat setidaknya sampai depan gerbang sekolah untuk menunggu jemputan.

"Mau kemana, El?" Sapa salah satu temannya.

Zia, yang merupakan satu-satunya sahabat yang Ellea punya.

"El, kamu kenapa? Wajahmu pucat sekali, dan ini... keringat dingin. Kamu sakit, El? Apanya yang sakit?"

Dengan raut khawatir, Zia memberondong pertanyaan yang tidak dapat dijawab oleh Ellea. Karena Zia sama sekali tidak memberinya kesempatan untuk sekedar membuka mulut.

"Sebaiknya kita pulang, El. Ayo! Aku yang antar kamu pulang."

Tanpa diminta Zia dengan sigap meraih lengan Ellea untuk disampirkan ke pundaknya. Sama dengan yang dilakukan Esta sebelum ini. Ellea juga menumpukan bobot tubuhnya pada Zia.

"Sampai depan saja, Zi. Biar aku minta tolong Lak Elang untuk jemput."

"Sama aku saja kamu masih kuat, kan, duduk di atas motor? Hari ini aku bawa motor sendiri soalnya."

Ellea mengangguk pasrah, dia hanya ingin secepatnya sampai rumah."

"Tunggu sebentar ya, aku pamit sama Kak Esta sama ambil motor dulu di parkiran."

'Semoga tidak ada yang perlu aku khawatirkan. Ini hanya sakit biasa, iya mungkin karena aku yang kurang istirahat'

Dalam hatinya Ellea tak hentinya berdoa, dan berharap apa yang dirasakan ini hanya rasa sakit biasa. Tidak efek mengerikan di belakang rasa sakitnya.

Nyatanya sebanyak apa pun doa yang dipanjatkan oleh gadis 16 tahun tersebut, tidak akan dapat merubah takdir yang saat ini telah menyertainya.

"Terima kasih, Zi." ucapnya ketika Zia sudah sampai di halaman rumahnya.

Belum berapa lama Ellea turun dari motor Zia, rasa pusing itu kini membuat pandangan matanya berkunang-kunang. Kepalanya terasa semakin berat. Perlahan tapi pasti Ellea mulai tidak dapat melihat, mendengar, dan merasakan apa pun lagi.

Tubuhnya terhuyung tepat di daun pintu masuk kediamannya. Ellea sudah tidak mampu lagi menopang bobot tubuhnya sehingga gadis yang masih berseragam pramuka lengkap itu akhirnya jatuh tersungkur tepat di depan pintu dengan mata yang tertutup rapat.

***

Guyuran air yang dirasakan oleh Ellea, seketika menyadarkannya. Kedua kelopak matanya terbuka sempurna. Dan pemandangan pertama yang dilihatnya ialah wajah merah Hendrik. Sang ayah yang masih menggengam gayung di tangan kanannya.

'Tuhan... kenapa yang aku takutkan terjadi? Apa tidak cukup aku saja yang merasakan sakitnya? Dan kenapa juga dia harus ada?'

Dalam benaknya Ellea sudah dapat menebak, akan arti tatapan nyalang dari sang ayah. Dan itu adalah sesuatu yang buruk, sangat buruk.

"Katakan, siapa pria itu?!" tanya Hendrik dengan suara serat akan emosi.

"Tidak mau menjawabnya, jalang kecil!"

Langkah kaki Hendrik diperpendek untuk bisa menatap wajah putrinya. Tubuhnya membungkuk, tangannya menyentuh dagu Ellea untuk dapat menatap lebih dekat wajah dari putrinya yang telah mempermalukan keluaarga besarnya

"Kau tahu jalang kecil bahkan saat ini aku sudah sangat siap untuk membunuh kalian semua! Jadi cepat katakan siapa pria yang sudah menjadi pasanganmu untuk berbuat hal menjijikkan itu!"

Ellea tertunduk.

Tidak sepatah kata pun yang mampu terucap.

"CEPAT KATAKAN ANAK SIALAN! PELACUR CILIK BERANINYA KAU LEMPARKAN KOTORAN DI WAJAH KAMI! MATI SAJA KAU SANA BEDEBAH! TAK ADA GUNANYA KAU HIDUP HANYA BUAT MALU SAJA!"

Plak!

Bugh!

Bugh!

Tamparan, pukulan dan tendangan seketika mampir di setiap tubuh ringkih Ellea. Pelakunya tak lain adalah Hendirk.

Hendrik begitu murka mendapati putri yang selama ini teramat disayangi terbukti telah menghancurkan harga dirinya sebagai seorang ayah.

Tangannya mencengkram kasar dagu sang putri, napasnya memburu dan kilatan amarah masih tercetak jelas di wajah pria dewasa tersebut.

"Masih tidak ingin menjawabnya, jalang kecil?"

Perih, itu lah yang dirasakan Ellea. Tapi ia tetap bungkam. Seluruh tubuhnya sudah terlihat mengenaskah. Dan Hendrik masih belum merasa puas untuk menyiksa putrinya, agar mau buka mulut akan siapa pria itu.

"Apa kurangnya kami dalam mendidikmu Ellea, selama ini kami selalu memanjakanmu tidak pernah sekalipun kami tidak menuruti keinginan atau permintaanmu kasih sayang kami keluargamu tak kurang diberikan untukmu tapi kenapa seperti ini balasanmu!"

Pukulan dan tendangan dari Hendrik sudah tak terelakkan lagi, tubuh Ellea serasa remuk redam, yang bisa dilakukannya hanya berdoa agar apa yang sudah tumbuh di dalam dirinya tetap baik-baik saja.

"Ibu sudah pasrah, El, nggak tahu lagi gimana caranya agar kamu mau mengatakan siapa laki-laki brengsek itu."

'Ya, dia memang brengsek, Bu. Tapi jika kalian tahu siapa yang kalian sebut laki-laki brengsek itu apa kalian masih bisa untuk menyebutnya begitu, pasti kalian tidak akan percaya bahwa dia sanggup melakukan tindakan itu terhadapku.' Batin Ellea menyahut.

Ellea pun berharap jika kejadian itu tidak membuahkan hasil, tapi apa mau dikata sekuat apapun Ellea menolak nyatanya janin itu tetap hadir dan tumbuh dengan baik di dalam kandungannya. Sekarang Ellea hanya ingin melindunginya sebagai calon ibu, apa itu salah?

Ellea sudah berbuat dosa dengan menghadirkannya, walau itu tanpa disengaja tapi apa Ellea juga akan melakukan tindakan yang berdosa pula untuk melenyapkannya? Tidak! Ellea akan tetap mempertahankannya biarpun dia hadir dari kesalahan dan juga ketidak inginannya.

"Dek, cepat katakan dengan siapa kamu melakukannya, kenapa hanya diam saja?" Dan Ellea masih tetap bungkam. "Kakak akan berusaha melindungimu jika kamu mau kasih tahu siapa laki-laki itu. Jujur kakak kecewa sama kamu, Dek. Kenapa bisa sampai melakukan tindakan itu sejauh ini? Apa kamu tidak berpikir akan seperti ini kejadiannya."

'Andai kakak tau kebenarannya, apa masih kecewa denganku?' Lagi, batin Ellea menyahuti setiap pertanyaan.

"Jalang kecil ini tidak akan bisa diajak bicara baik-baik, Elang. Ayah bahkan sudah malu mengakuinya sebagai anak. Minggir! biar ayah tunjukkan seperti apa caranya agar dia mau mengatakan siapa bajingan itu!."

Hendrik, seolah belum merasa puas menjadikan anak perempuannya itu samsak hidup. Tendangan dan pukulan kembali diarahkan ke tubuh kecil putrinya. Ingin Ellea berteriak dan meminta supaya sang ayah berhenti, tetapi rupanya dia sudah tak dapat mengeluarkan suaranya. Terlalu lemah untuk dilakukan Ellea dalam keadaan yang cukup mengenaskan.

Berat, hanya menggerakkan bibir saja Ellea sudah tidak sanggup, karena terlalu menahan sakit yang diterima, perlahan napasnya pun mulai tersengal-senggal.

Seluruh tubuhnya sudah tidak bisa digerakkan, sekarang hanya tinggal bola matanya saja yang masih bisa melihat betapa beringasnya sang ayah menyiksa dirinya tanpa ampun.

Tak ada yang berusaha menghalangi ayahnya, ibu maupun kakaknya. Semua seolah mendukung tindakan yang dilakukan oleh kepala keluarga itu.

Satu tendangan keras tepat mengenai kepala Ellea, membuatnya tidak bisa lagi membuka mata, sakit disekujur tubuh yang dirasakan semakin lama semakin hilang. Sebab Ellea sudah mulai tidak sadarkan diri, lagi.

Ellea berharap semoga saat dia membuka mata nanti, dia sudah tidak lagi berada di dunia ini, Ellea sudah hancur dan tidak bisa terselamatkan.

Bukan hanya tubuhnya, namun jiwanya pun ikut hancur berkeping-keping. Dalam ketidak sadaranya bayangan rentetan kejadian naas itu menyeruak dalam ingatan Ellea.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status