Share

Amankan Uang Suami

Kuambil KTP yang tadi dipinta oleh CS Bank. Kuperhatikan tiap detail tanda tangan Mas Abraham. Lumayan rumit. Kusut kayak rambut nenek.

Lah, ya, paraf coret-coretan gini aja, bagaiamana bisa diangkat carik. Harusnya kayak tanda tanganku yang simpel dan elegan, tinggal sat set, jadilah mirip logo petir. Sudah keren,  mudah pula.

"Mbak, saya coba dulu dikertas coretan, ya."

"Silakan."

Setelah berkutat selama bermenit-menit, akhirnya aku bisa meniru tanda tangan suamiku. Dengan bangga kupersembahkan pada CS tanda tangan yang diminta.

Tak berapa lama, pegawai bank tersebut menyerahkan padaku alat elektronik mungil entah apa namanya aku lupa. Ia menyuruhku mengetik enam angka sebagai PIN baru.

"Baik, selanjutnya ketik ulang, ya, Pak."

Taraaa, PIN ATM suamiku sudah kurenovasi siap melakukan invasi dana miliknya.

Keluar dari BCI, aku langsung menuju mesin ATM. Rasanya, deg-degan kayak sedang menang lotre.

Di depan mesin ATM, sebelum beraksi, kugosok-gosok kedua telapak tangan lalu meniupnya.

"Bismillah, semoga uangnya ada sekitar lima jutaan," bisikku pelan dengan hati penuh harap.

Begitu selesai konfimasi PIN dan melakukan langkah untuk mengetahui isi saldo, mataku terbelalak tak percaya. Kalau bahasa jawanya ketenggengen lantaran mendapat kejutan luar biasa. Ini melebihi ekspektasiku.

Mau tahu nominal uang dalam rekening suamiku?

Empat ratus juta rupiah! Gilaaa, dia dapat uang itu dari mana?

Aku tak menyangka ia mendapat uang sebanyak itu. Ini masih satu ATM. Belum dua ATM lainnya.

Kuharap curiga itu tak sama dengan su'udzon, jujur aku sangat curiga padanya.

Berapa, sih, gaji Carik? Kurasa tak lebih dari dua juta enam ratus. Bagaimana bisa dalam tiga tahun menjabat sebagai Carik bisa menabung sampai empat ratus juta? 

Apa ia memiliki bisnis sampingan? Kalau iya, mengapa aku sama sekali tak tahu?

Sekarang kusadari bahwa ternyata selama ini aku belum mengenal suamiku. Terlalu banyak rahasia yang disimpannya.

Mas Abraham, siapa kau sebenarnya?

Nanti kuselidiki lagi. Sekarang aku ambil lima juta dulu untuk biaya rumah sakit dan lain sebagainya.

Begitu selesai dan akan melangkah keluar tiba-tiba teringat sesuatu. Segera kuberbalik kembali ke depan mesin ATM.

Untuk berjaga-jaga, sebaiknya kutransfer lima puluh juta ke rekeningku. Rekening atas nama Ulfa Khairiyah. Aku tak tahu berapa lama berada di dalam tubuh ini. Jadi biarlah kumanfaatkan saja.

Aku yakin, Tuhan punya maksud besar dengan kejadian kecelakaan kemarin. Banyak fakta terkuak yang selama ini sama sekali tak terlihat olehku.

Selesai urusan di ATM, aku segera pulang untuk menemui Maryam.

Perlahan aku mulai beradaptasi dengan raga yang sedang kuhuni. Senantiasa membisikkan di hati bahwa aku lelaki. Bertingkahlah seperti kaum Adam.

Dari ATM, kini aku menuju tempat di mana Maryam dititipkan. Rumah Mbok Darsih sebelah kediamanku.

Mbok Darsih membukakan pintu ketika diketuk olehku.

"Pak Carik? Bagaimana keadaam Bu Ulfa?" tanyanya.

"Masih di ruang ICU, Mbok."

"Monggo, Pak Carik. Lenggah!" Mbok Darsih mempersilakanku agar masuk ke dalam dan duduk di kursi ruang tamunya yang terbuat dari rotan.

Maryam muncul dari balik tirai. Ia mendekati Mbok Darsih.

"Maryam sini. Ikut Ib ... eh, Ayah." Nyaris saja kukatakan "Ibu" untung segera sadar.

Dengan agak takut, Maryam berjalan ke arahku. Melihat kenyataan ini, aku merasa miris. 

Satu fakta lagi baru kumengerti bahwa anakku tak dekat dengannya. Ia merasa asing dengan sosok yang membuatnya terlahir di dunia ini.

Ini akibat prinsipnya yang membebaniku kepengasuhan anak seratus persen padaku. Sekalipun ia tak hendak turut menyentuh sekedar bercanda atau pun bermain dengannya.

Kupulek erat anak semata wayangku. Biarlah setelah hari ini ia merasakan kasih sayang Bapaknya. Tak hanya sebagai simbol tapi memang sosok yang suatu saat dirindukannya.

"Ibuuu," panggilnya sambil merengek.

Mataku melebar, ia memanggilku Ibu. Apa aku tak salah dengar? 

"Apa, Nak?" tanyaku memastikan sambil melepas pelukan.

"Ibu di mana?" tanyanya padaku dengan mata berkaca-kaca dan tersengut-sengut.

Ah, ternyata dia bukan memanggilku Ibu. Legaa, tadinya sempat bingung.

"Ibu masih di rumah sakit. Maryam mau ke sana?"

Gadis mungilku mengangguk seketika ia menghentikan rengekannya.

"Mbok, saya pamit dulu. Mau ke rumah sakit lagi." Aku berkata sambil bangkit dari duduk lalu mengangkat maryam untuk kugendong di pundak kiriku.

Lengan Maryam memeluk erat leherku. Mungkin ini pertama kali baginya digendong oleh raga Mas Abraham.

Langkahku terhenti ketika mendengar teriakan Mbok Darsih dari dalam rumah. Rupanya saat Maryam mendekat padaku, pemilik rumah ini segera masuk ke dapur.

"Loh, sebentar! Ini sedang saya buatkan teh, Pak Carik. Jarang-jarang sampeyan masuk rumah ini. Mbok ya sekali-kali minum teh kami."

Dengan senang hati, aku kembali duduk dan meletakkan Maryam di paha kiriku.

"Maryam mau minum." Kuberikan gelas berisi teh yang baru saja diletakkan Mbok Darsih ke arah bibir Maryam. 

Anak ini tersenyum senang setelah menyeruput teh. Bahagia hati Ibu melihat senyummu, Nak.

Mbok Darsih diam saja melihat keakraban kami tapi dari ekspresi wajahnya terbaca olehku seakan ingin mengatakan sesuatu, hanya saja ia menahannya. Entah apa yang membuatnya terkesan sungkan untuk langsung berkata-kata.

"Mbok Darsih ingin bertanya?" Akhirnya kupancing saja.

"Eh, iya, Pak Carik. Kemarin kejadiannya bagaimana? Kok, bisa sampai kecelakaan? Untungnya tidak ada luka parah. Menurut saksi mata yang kebetulan duduk di warung dekat terjadi kecelakaan. Pak Carik seperti berusaha menghindari sesuatu. Padahal tidak ada apa-apa di depan, karena saat itu sepi kendaraan."

Eh, masak, sih. Sebelum motor oleng aku sempat melihat severkas cahaya terang di sela huja  deras. Kupikir lampu mobil atau sejenisnya.

"Entah, Mbok. Karena saya waktu itu melihat seperti lampu mobil mendekat. Lagi pula hujan begitu deras sehingga jalan di depan tertutup lebatnya air."

"Aneh," gumam Mbok Darsih.

Aku juga heran, sebenarnya. Saat kejadian, tubuhku merasa melayang sambil mendekap Maryam. Harusnya kondisi kami fatal. Namun, maryam seperti tak terluka sama sekali. Janinku dalam raga yang asli bisa selamat.  Tak ada luka yang serius selain jiwaku yang tersangkut di badan suamiku.

Apa ini skenario–Nya, seperti do'a yang kupanjatkan. Entahlah, terlalu cepat kesimpulan ini.

Kami bungkam beberapa saat merenungkan kejadian kemarin. Sampai suara dering ponsel dalam saku baju yang kupakai mengalihkan pikiran kami.

Segera kusentuh gambar telepon hijau di ponsel suami.

"Ham! Cepat ke sini! Istrimu baru saja sadar sebentar. Tapi pingsan lagi."

Hah, Mas Abraham akan siuman. Gawat badannya masih kupakai.

Bagaimana ini? Bagaimana caranya aku kembali ke tubuh asalku?

"Halooo! Ham! Kamu dengar tidak!"

"Iya, Mbakyu. Aku segera ke sana!"

Hatiku kebat-kebit. Apa Mas Abraham pingsan lagi gara-gara tidak cocok dengan tubuhku. Ketika mau bangun, eh jiwanya tidak menemukan raganya di sana. Jadi balik pingsan lagi. Ah entahlah.

"Mbok, saya pamit dulu. Mas Ab ..., eh, salah. Ibunya Maryam siuman."

"Ya, monggo, monggo. Titip salam  ke Mbak Ulfa. Semoga lekas pulih. Nanti sore, Mbok akan jenguk ke sana."

"Nggeh, Mbok. Matur suwun."

Aku segera keluar memesan ojek untuk ke rumah sakit.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Mahendra jamil
tepatnya fantasy... bener plot jln ceritanya di susun dgn apik agar benang merah nya tetap trjaga spy lebih natural... goodjob thor
goodnovel comment avatar
Arif Zaif
keren ini walaupun cuma cerita halu
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status