Dompet Mas Abraham sudah kutemukan di laci meja dekat ranjang pasien, sesuai dengan petunjuk Mbak Fatma Kumala.
Kartu ATM suamiku ada tiga. Apa semuanya berisi uang?
Yang mana, yang akan kupakai untuk membayar tagihan rumah sakit ini nanti. Aku tercenung menatap isi dompet suamiku.
Selembar uang senilai sepuluh ribu ada di tangan. Nanti jika diizinkan pulang oleh dokter aku mau menengok Maryam. Tadi kata Mbak Fatma Maryam dititipkan pada tetanggaku.
Setidaknya aku beruntung punya tetangga yang baik hati. Hubungan kami simbiosis mutualisme, saling menguntungkan. Jika darurat, saya bisa titip Maryam padanya dan dia jika butuh sayur mayur segar bisa memetik di kebun belakang rumahku, halal. Apalagi saat harga cabai meroket, dia akan bersyukur sekali kuperbolehkan memetik di kebunku.
Aduuh! Aku kebelet pipis. Panggilan alam membuatku menghentikan lamunan.
Dengan langkah tergesa, aku menuju ke kamar mandi.
Ih, ribet sekali buang air kecil harus melepas celana panjang. Mana keburu keluar lagi.
Aku mondar-mandir sambil berusaha melepas resleting agar tak mengucur di lantai sebelum masuk toilet. Duh, seret pula. Demi bisa ngempet kualihkan pikiranku dengan sebungkus sate, kalau tidak begitu bisa mengucur tanpa kendali. Ah, akhirnya bisa. Tergesa kumasuk.
Sambil duduk atau berdiri?
Biasanya laki-laki kalau buang air kecil sambil berdiri. Aelah, duduk sajalah lagi pula tak ada yang lihat. Sunnahnya duduk 'kan meskipun lelaki.
Malam harinya dokter berkunjung. Ia mengatakan aku boleh pulang besok pagi. Ada yang kupikirkan sejak sebelum kedatangan Dokter, yaitu tentang PIN ATM suamiku. Aku tak tahu PIN dia.
Jadi ketika dokter bertanya, "Ada keluhan apa?"
Kujawab saja padanya, "Dok, saya kesulitan mengingat beberapa hal penting. Tapi, saya masih ingat nama, istri dan anak saya."
"Contohnya?"
"Seperti, saya lupa PIN ATM, lupa detail pekerjaan saya sebagai Carik. Lupa kenapa saya bisa berada di rumah sakit ini detail kejadiannya seperti apa. Lupa kenapa istri saya tak ada yang menjenguk. Kemana keluarganya?"
Entah apakah ada istilah medis lupa sebagain atau sama saja amnesia istilahnya. Apakah ada amnesia lupa gender? Untuk yang satu ini aku tak ingin mengatakannya pada Dokter ini.
Tentu saja drama bahwa aku bukan laki-laki harus kutahan. Demi diagnosis jiwaku normal.
"Tampaknya benturan di kepala cukup keras sampai Bapak lupa. Berapa tahun Bapak sudah menikah?"
"Nah, itu dia saya juga lupa. Mungkin empat tahun karena saya ingat punya anak usia tiga tahun."
"Bisa jadi Bapak saat ini menderita amnesia sementara."
"Bisa balik 'kan, Dok?" tanyaku khawatir.
"Pasti bisa. Jangan khawatir."
Dokter ini baik sekali, kata-katanya selalu positif.
"Oh, begitu. Dok, bisa tolong buatkan surat dokter agar saya bisa ke bank untuk mengubah PIN karena saya lupa. Ini penting buat saya untuk bisa membayar tagihan rumah sakit, nantinya."
Hanya itu ide yang terbetik di pikiran. Khawatir jika ke bank mengatakan lupa PIN, mereka tak percaya dan bikin lama prosedurnya, lebih baik nanti kusodorkan surat dokter. Aku juga belum tahu cara lain karena semenjak jadi istri Mas Abraham, ATM ku kosong. Untung Syari'ah wadi'ah jadi rekening tidak gosong apalagi sampai diblokir meski isinya cuma seribu selama dua tahunan.
Pikiranku bekerja keras untuk hari esok. Sementara Pak Dokter sedang berbicara pada perawat yang sedang mengiringinya.
"Nanti ingatkan saya untuk buat surat dokter tentang Bapak ini. Besok pagi boleh pulang, jangan lupa suratnya nanti berikan."
Para perawat mengiyakan lalu mereka permisi untuk mengunjungi pasien lain.
"Ham, kamu amnesia?" tanya Mbak iparku.
Oh, aku lupa bercerita. Mbak iparku, ada di ruang ini sejak tadi tapi dia lebih banyak diam saat kunjungan dokter tadi.
"E-he ... he ... sedikit, Mbakyu," ucapku sambil menyipitkan sebelah mata lalu ibu jari dan telunjuk membentuk huruf o yang saling tak bersentuhan. Bahwa yang kulupa hanya sak ndulit, sedikit sekali.
"O, pantes."
"Pantes apanya, Mbakyu."
"Pantes dari kemarin manggil aku Mbakyu terus. Biasanya saja cuma Mbak. Apalagi yang kamu lupa?"
"Aku lupa kalau aku laki-laki Mbakyu," ucapku spontan. Segera aku tersadar dan menutup mulutku.
"Heh! Jadi yang kamu ingat kamu perempuan? Amnesia macam apa itu?"
Kutepuk-tepuk mulutku. Asem, gara-gara lidah tak bertulang aku bisa dikata abnormal. Huh!
"Becanda, Mbakku, becanda ... suwer."
Jujur aku sendiri bingung dengan kondisiku. Bagaimana bisa aku merasa perempuan tapi sebenarnya laki-laki dan seolah aku Ulfa Khairiyah. Bagaimana medis menjelaskan itu? Apa iya kepribadian ganda? Mana mungkin. Aku kan tak punya trauma masa lalu. Ah, tak taulah.
Aku hanya meyakini bahwa sebenarnya jiwaku ini adalah istri Mas Abraham.
Masa kecilku sangat bahagia sebagai putri tunggal keluarga yang kemampuan ekonominya cukup. Apa saja yang kuinginkan, nyaris selalu terpenuhi. Jarang dikecewakan dan aku mengingat semua itu.
Hanya ketika menjadi istri Mas Abraham saja hidupku agak susah. Makan hati, mbatin terus. Ada suami sepelit dia, apalagi kikirnya cuma padaku, tambah nyesek tiap tahu ia sedekah besar besaran ke orang lain. Untung orang tuaku mewariskan rumah dan kebun belakang untukku. Jadi hidupku tak segera berakhir kelaparan.
Aku jadi teringat saat Mas Abraham mengatakan bahwa Almarhum Kahunan memberikannya jabatan Carik. Sebetulnya tak begitu serta merta beliau yang mengangkat, tapi dulu ayahku lah yang minta pada beliau agar menantunya itu diangkat Carik setelah ia menjabat.
Seharusnya Mas Abraham punya utang budi pada ayahku kenapa ia justru menduakanku dengan alasan utang budi ke Almarhum Kahunan.
Apa baginya membayar budi itu harus menikahi anak perempuannya?
Kasihan Arina. Nasibnya bakal berakhir sepertiku juga nantinya.
Keesokan harinya aku menghadap ke perawat jaga menanyakan biaya yang harus kubayar.
Setelah menunggu beberapa saat untuk menghitung semuanya, wanita berpakaian medis itu menyerahkan nota biaya rinciannya.
"Sus, saya tidak bisa membayar sekarang. Kalau boleh pukul sembilan nanti saya bawa dulu surat keterangan dokter. Nanti saya segera kembali. Lagi pula istri saya masih di sini."
Perawat tersebut tampak berpikir keras.
"Harusnya dilunasi dulu, ya, Pak. Tapi, coba saya telpon dulu diizinkan tidaknya." Perawat cantik di depanku mulai menghubungi atasannya.
Pfff! Rasanya susah juga beradaptasi dengan kelelakian suamiku. Sebenarnya pihak bank mau tidak ya, mengurusku mengubah PIN yang tak kuketahui tanpa surat dokter?
"Oh, ya, Pak. Sebenarnya mengurus PIN tidak perlu menggunakan surat dokter. Tapi, agar Bapak bisa mengurus biaya tagihan rumah sakit. Bapak boleh ke bank dulu."
Alhamdulillah, kalau bisa. Aku segera permisi darinya.
Kepada Mbak Fatma Kumala, aku meminta agar ia tetap menunggu istriku sebentar.
Singkat cerita, aku sampai di bank BCI setelah sebelumnya buru-buru pulang untuk mengambil buku tabungan.
Saat CS Bank meminta tanda tanganku. Dia kembali menyodorkan kertas.
"Maaf, tanda tangan harus sama dengan KTP, ya, Pak."
Aku menerima kertas yang harus kutanda tangani. Tanganku meraba dompet dan mengeluarkan KTP.
Di situ aku baru tersadar belum berlatih tanda tangan suamiku.
Duh, gimana ini? Mengapa aku kurang perhitungan?
Kuambil KTP yang tadi dipinta oleh CS Bank. Kuperhatikan tiap detail tanda tangan Mas Abraham. Lumayan rumit. Kusut kayak rambut nenek.Lah, ya, paraf coret-coretan gini aja, bagaiamana bisa diangkat carik. Harusnya kayak tanda tanganku yang simpel dan elegan, tinggal sat set, jadilah mirip logo petir. Sudah keren, mudah pula."Mbak, saya coba dulu dikertas coretan, ya.""Silakan."Setelah berkutat selama bermenit-menit, akhirnya aku bisa meniru tanda tangan suamiku. Dengan bangga kupersembahkan pada CS tanda tangan yang diminta.Tak berapa lama, pegawai bank tersebut menyerahkan padaku alat elektronik mungil entah apa namanya aku lupa. Ia menyuruhku mengetik enam angka sebagai PIN baru."Baik, selanjutnya ketik ulang, ya, Pak."Taraaa, PIN ATM suamiku sudah kurenovasi siap melakukan invasi dana miliknya.Keluar
Sejujurnya, aku cukup panik membayangkan apa yang akan terjadi di depan mata.Sambil menggendong Maryam, aku berjalan setengah berlari di koridor rumah sakit. Tak sabar ingin melihat istriku. Ehem, sekarang aku jadi suami, ingat itu.Badan rasanya ringan meski berjalan cepat sambil membawa anakku di pundak. Beda sekali saat aku dalam ragaku sendiri.Sesampainya di depan pintu ruang ICU, aku menurunkan Maryam lalu menghampiri Mbak Fatma Kumala yang tampaknya memang menunggu kedatangan kami."Bagaimana, Mbak. Kondisi istriku?" tanyaku panik."Tadi bangun sebentar, Ham. Terus, dia bertanya 'dimana istriku?', 'kan ya aku jadi bingung."Ingin rasanya aku tertawa terbahak-bahak. Pasti dia bingung dengan kondisinya, persis seperti aku kemarin."Terus, Mbak jawab apa?" tanyaku tak sabar."Ya, kubilang, 'kamu itu aneh kok tanya istri, kamu kan istri Abraham!' Eh, dia meraba tubuhnya. Kan lucu.""Hua ... ha ... h
Aku kembali mendekati ranjangnya."Istriku sayang, kamu tidak mau 'kan dimasukkan rumah sakit jiwa gara-gara mengaku sebagai suami? Jika tidak mau, bersikaplah layaknya istri yang berbakti. Oke," kataku sambil menyentuh dagunya. Lalu sebuah ciumam dikeningnya kuberikan.Ia menggeram kesal."Kutinggal dulu, yah. Mau makan apa, Sayang? Biar kubelikan makanan enak berkualitas tinggi kaya protein dan gizi. Kasihan tubuh kurusmu tinggal kulit pembalut tulang, karena kekikiran suamimu ini yang hanya memberi nafkah lima ratus ribu setiap tanggal lima," ucapku sambil mataku menelisik setiap inci tubuhnya terutama pergelangan tangannya.Bola mata Mas Abraham mengikuti pandangan tajamku lalu ia menyingkap pergelangan tangannya seolah terhipnotis ikut memeriksa tubuhnya. Sepertinya, ia baru menyadari betapa kurus istrinya selama ini."Baiklah, kalau enggan menjawab. Biar aku yang pili
"Heeg, mmmh!" Suara neg dari gumaman suamiku terdengar.Mas Abraham menutup mulutnya kuat-kuat dan segera berlari ke arah kamar mandi. Akan tetapi, ia menghentikan langkahnya saat selang infus tertarik."Emmm ... emm ... em." Ia mengumamkan sesuatu dengan mulut tertutup digerakan ke sana kemari mengikuti gerak penglihatannya yang ke arahku lalu ke infus.Bisa kupahami, ia menyuruhku dengan bahasa isyarat agar aku membawakan botol infus mengikuti langkahnya. Ia tak bisa membuka mulut lantaran menahan diri agar tak muntah sembarangan. Maklum suamiku hamil muda sedang mengalami morning sicknes yang datangnya bukan morning saja.Kuikuti langkahnya sambil membawa botol infus dari belakang.Sesampai di depan WC ia segera beraksi."Hueeek ..., hueeek!"Ia memuntahkan cairan berwarna putih karena dari kemarin sore belum terisi makanan.&nb
"Permisi, ya, Bu. Tolong, ini dibuka," kata dokter kandungan.Beliau satu-satunya dokter kandungan perempuan di rumah sakit ini. Aku cukup lega, ragaku tidak diperiksa oleh dokter laki-laki, tapi tidak dengan suamiku.Ia tak paham perintah dokter atau bagaimana? Dia justru membuka lengannya hingga bahu. Apa dikira dokter mau melakukan tensi?"Apakah belum diperiksa tensinya?" tanya dokter pada perawat jaga."Sudah, Dok," jawab perawat yang mengiringinya."Maaf, ya, Bu." Perawat itu mengulurkan tangan untuk membantu Mas Abraham menyingkap bagian perutnya."Heh, mau apa?" protes Mas Abraham. sambil beringsut duduk.Seketika tangan perawat mengambang di udara. Ia tak mengira mendapat penolakan dari suamiku."Fa, dokter hendak memeriksa detak jantung bayi. Bukalah bagian perut," ujarku berusaha memberikan pengertian
Keesokan harinya, kami bisa pulang pukul sebelas siang setelah menyelesaikan administrasi. Sebelumnya aku sudah selesai mengurus PIN ATM yang kedua di bank BKI (Bank Kecil Indonesia). Isinya sepuluh juta. Tak begitu mengejutkan seperti ATM BCI. Mungkin karena namanya bank kecil jadi Mas Abraham juga menabung dana kecil di situ.Tinggal ATM yang ketiga belum kuganti PINnya. Nanti saja, saat sudah longgar waktuku.Untuk pulang, kami memesan taxi online. Di dalam mobil inilah, Mas Abraham tak sabar menanyakan ATMnya."Berapa banyak yang kau ambil dalam ATMku?" tanyanya."Siapa bilang ATMmu? Ini ATM atas nama Abraham dan akulah orangnya. Kamu hanya istri tidak perlu tahu isi ATMku," jawabku dingin."Fa, aku malas berdebat. Aku hanya ingin mengatakan bahwa dalam salah satu ATM itu, uangnya bukan milikku. Itu uang penduduk kelurahan Walang Sangit dan menyangkut nyawa seluruh kelurahan
"Sudah kubilang aku tidak bisa masak, dipaksa," sungut Mas Abraham. "Tuh, lanjutkan goreng telurnya." Aku berkata tanpa peduli keluhannya. "Fa!" "Panggil aku 'Mas'!" "Kalau aku panggil 'Mas', apakah kamu mau masakin buatku?" "Tidak! Itu pekerjaan perempuan!" tolakku tegas. "Aku lapar," katanya sedikit memelas. "Lanjutkan masaknya agar bisa makan," ucapku. Ia menggeram kesal. Helm yang tadi sempat dilepas sekarng dikenakannya lagi siap tempur di depan wajan. Dari arah kamar terdengar suara Maryam merengek memanggil-manggil ibunya kebiasaan dia ketika bangun tidur. Jiwa keibuanku masih ada dalam diri ini mendorongku untuk menghampirinya. "Ayo, Maryam bangun. Anak shalihah ikut Ayah dulu. Ibu lagi masak." Biarlah saat ini kumandikan Mary
"Jemur baju itu bukan asal gini!"Tak tahan aku, kalau tak menggerutu.Bagaiamana tidak kesal bin sebal, masak jemur baju kayak naruh gombal sembarangan. Hih, gregetan pingin nyubit.Asal nyantol di jemuran tanpa dibentangkan. Kapan mau kering? Sampai Februari tanggal tiga puluh kali. Selain itu airnya masih menetes deras tanda tidak diperas sama sekali."Perhatikan!"Aku memberinya contoh memeras baju dan cara menjemur yang benar."Lanjutkan, ya, Fa," ucap Mas Abraham padaku."Tidak bisa!" Kutarik pergelangan tangannya saat ia berbalik mau masuk rumah."Kalau siang ini ingin tak masak, jemur yang benar!" perintahku."Siang ini aku tak perlu masak lagi? Kita makan apa? Daging ayam, ya?" tanya Mas Abraham dengan senyum sumringah."Bothok buatan Nek Sariyem," jawabku."Calon istri baru