"Tapi, Fa, kurasa wajar mereka enggan pindah. Aku pun kalau jadi mereka tak mau," kataku memberikan argumen padanya.
"Itulah, dirimu. Keputusan menggunakan perasaan. Tidak memikirkan jangka panjang."
Enak saja dia bilang begitu. Aku tak terima, seolah pikiranku cupet cuma mikirin perasaan.
"Yang tidak memikirkan jangka panjang itu, kamulah!" Sungutku.
"Iya, iya, semua aku bagian yang jelek-jelek. Yang bagus-bagus hanya perilakumu," ucapnya, sambil mengelus dadanya yang tak lagi rata, lalu melanjutkan perkataannya seolah bicara pada dirinya sendiri, "sabar, sabar."
Huh! Aku mencebik sebal dia selalu begitu pura-pura bilang iya padahal maksudnya mengejek. Tidak mau ikhlas kalau ingin memuji. Sudah lah.
"Mas," panggilnya.
"Apa?!" bentakku masih sakit hati atas ucapannya tadi.
"Sabar, sabar," gumamnya lirih.
"Eh, Maryam?" Mas Abraham menoleh ke kanan dan kiri lalu melihat ke arah jalan."Apa Maryam jatuh, ya?" tanyanya.Bagaimana, sih, jadi Ibu masak anaknya ketinggalan dibilang jatuh. Tanpa harus menunggunya naik motor. Aku langsung tancap gas. Kubiarkan dia di halaman rumah Pak Darso sementara aku menyusuri jalan menuju rumah Pak Dirman kembali.Di halaman itu Maryam menangis kencang. Sedang di kedua sisinya ada Pak Dirman dan istrinya yang sedang membujuknya."Nah, itu. Ayah Maryam datang. Ayo, berhenti nangisnya."Maryam pun perlahan sesenggukan tatkala berusah berhenti menangis."Lah, ya, Pak Carik kok sampai anak ketinggalan."Duh, rasanya malu sekali kalau begini. Berasa jadi orang tua yang tak perhatian."Iya, kok, bisa ibunya lupa anaknya," ucapku. Padahal salah kami berdua lupa anak, tapi aku lebih suka menyalah
"Mbak Ulfa sakit, Mas?" tanya Muzakka padaku."Biasa," jawabku enteng."Maksudnya?" tanyanya keheranan dengan sikapku."Dia sedang hamil muda, jadi sering mual.""Oh, Maryam akan punya adik," gumam Muzakka dengan raut wajah yang tak bisa kumengerti."Iya, betul. Istriku sangat senang dengan bakal hadirnya adik Maryam. Ia juga pernah cerita tentang Mas Muza dan berharap Mas bisa bahagiadengan istri Mas Muza kelak."Mudah-mudahan jika ia tahu bahwa aku yang dikenalnya sebagai Ulfa, berharap kebahagiannya, maka ia bisa menerima Arina. Karena tak seharusnya Muzakka tenggelam dalam masa lalu. Aku tak mungkin bisa bersamanya.Pemuda ini mengangguk lalu seolah merenung sebentar, ia berkata, "Baiklah, Mas. Nanti saya akan minta restu orang tua dulu. Jika Umi dan Abi setuju, saya akan datang langsung melamar Dek Arina."
"Ramuan penangkal tafsir mimpi buruk dan kapsul panjang umur?" tanyaku lirih pada Mas Abraham.Ia menoleh padaku."Iya, masak lupa ketika kita pergi ke orang pintar dikasih itu?" Ia berkata sambil tangannya menepuk-nepuk pahaku pelan di bawah meja. Seolah isyarat agar aku tak banyak bertanya padanya.Padahal aku masih ingin menanyakan mengapa tadi dia berkata dari dukun, sekarang malah bilang bahwa itu dari orang pintar. Ah, aku jadi curiga. Jangan-jangan ...."Pak Tajam mau tidak ramuan tersebut? Syarat dari orang pintar habis minum itu, Bapak harus meninggalkan tempat di mana Bapak pernah bermimpi buruk."Suami istri di depan kami saling pandang."Jadi habis minum kami harus pergi dari rumah ini?" tanya Bu Tajam."Betul, Pak. Takdir Bapak yang lama akan tertinggal di rumah ini."Itu teori dari mana? Kok,
"Turunlah dari dipan dulu."Mas Abraham menurut. Ia berdiri di depan ranjang tidur kami.Dipan tempat tidur kami tingginya hanya satu meter."Gini, lakukan seperti ini," suruhku.Ia meniru gerakanku yang seperti posisi orang ruku tapi meletakkan seluruh bagian tubuh dan kedua tangan di atas ranjang kecuali bagian perut bagian bawah."Nah, begitu."Setelah sesuai arahanku, aku mulai memijat punggungnya. Tiap kali kutekan dan bergerak ke arah kepalanya ia seperti mengeluarkan napas lega. Mungkin aliran darahnya menjadi lancar."Mas, seingatku besok jatuh tempo pembayaran tanah yang akan kita tempati di lokasi baru. Besok bayarlah, ya, menggunakan uang yang ada di rekekning BCI," ucapnya."Ke siapa?" tanyaku."Pak Lurah besok pasti mengajakmu ke tempat kontraktor. Mintalah desain rumah se
Perubahan watak Mas Abraham menyikapi tentang keluarga kecil kami membuat hatiku tentram. Semoga ini bukan akal bulusnya untuk kembali ke raga asli saja. Akan tetapi perubahan permanen. Semoga saja, Aamiiin. Itu harapanku menjelang tidur malam ini.Tengah malam, aku terjaga karena mendengar benturan di dinding. Suara apa itu? Perasaanku sungguh jadi tak enak.Pelan-pelan aku keluar dari kamar ayahku.Arahnya di ruang tamu.Eh, ternyata Mas Abraham kenapa dia di situ sendirian mengusap-usap kepala."Kamu tidak tidur, Fa? Ini sudah jam dua belas malam, loh. Jangan sampai diincar kuyang.""Kuyang hanya ada di Kalimantan dan sekitarnya. Kita berada di desa Walang Sangit yang tidak berdekatan dengan pulau mana pun. Jadi tak akan ada kuyang. Makanya jangan keseringan baca novel horor di medsos," bantah Mas Abraham."Terus tadi denger suara oran
Et, dah, cahaya yang tadi kulihat rupanya dari cermin yang ditaruh oleh sopir truk di balik kaca depan sehingga mematulkan sinar matahari jam sembilan. Saking silaunya aku tadi memilih banting setir ke kiri takut nabrak. Ternyata truknya masih jauh."Ada apa, Mas?" tanya Mas Abraham padaku, suaranya beradu dengan suara truk yang melintas.Truk yang kumaksud melewati kami melaju dengan kecepatan tinggi."Tadi kupikir nyaris ketabrak truk itu gara-gara silau liat pantulan sinar matahari di depan kacanya," jawabku"Harusnya tadi melaju saja. Kemarin waktu tubuh kita tertukar aku melaju saja waktu liat cahaya dari kejauhan. Kayaknya cahaya itu penyebabnya kecelakaan." Ia berkata seolah menyesal atas tindakanku menghindari tadi.Hal ini membuatku marah. Menurutku dia egois. Terlalu yakin tanpa memikirkan resiko lain."Ngawur, iya kalau kejadiannya kaya
Aku selalu tertarik pada sebuah cerita termasuk asal usul nama seseorang. Itulah sebabnya kuambil posisi yang enak untuk mendengarkan bagaimana kisah asal muasal nama Pak Konang.Sedangkan Mas Abraham biasanya tak suka mendengar kisah semacam itu, tapi karena ia sangat ingin kembali ke raganya, maka informasi bagaimanapun ingin didengarnya.Kami berdua mencodongkan tubuh ke arah beliau, siap memyimak Pak Konang bercerita. Kami sedang tak peduli dengan Maryam saat ini."Dulu waktu saya dilahirkan ibu dan bapak saya ngasih nama Konang karena waktu itu ada maling masuk rumah sembunyi di bawah kolong ranjang tidur saya. Saya nangis sampai terkencing-kencing. Nah karena jaman saya kecil alas tempat tidur cuma tikar dan tidak pakai popok diapers, air seni saya netes ke bawah kena kepala maling. Akibatnya si Maling kepalanya kebentur dipan sehingga konangan alias ketauan ibuku. Makanya karena itu mereka ngasih nama saya dengan
Meskipun aku memintanya untuk bercerita, ia tetap bungkam seribu bahasa. Tak mungkin juga aku memaksa.Entah apa yang membuat Mas Abraham berubah."Sudahlah, jangan pedulikan aku. Kita jalani saja takdir masing-masing." Akhirnya Mas Abraham mau buka mulut. Sayangnya, apa yang barusan dikatakan seperti mengubah segalanya.Ia bicara seperlunya, melakukan aktifitas juga tanpa protes dan bicara. Benar-benar jadi sosok yang serius.Kami jadi tidak bisa saling mengolok atau juga saling berdebat. Aku bosan menghadapi situasi seperti ini. Hambar sekali rasanya. Seperti serumah dengan orang lain saja.Kalau dulu rasanya nyesek, orang yang diharapkan jadi tumpuan hidup tidak memperhatikan istri. Kini perasaan itu tidak muncul. Mungkin karena ragaku laki-laki punya otoritas yang membuatku bisa mencari pengalihan kemana saja sehingga membuatku tidak tertekan.