Aku tak ingat tentang detail yang terjadi sore itu.
Ketika pertama kali membuka mata, yang terlihat olehku hordeng biru menjadi sekat yang mengelilingi ranjang tempat tidur.
"Sudah siuman, Pak?" tanya seseorang berbaju putih khas seragam petugas medis rumah sakit.
Matanya jelas mengarah padaku. Tentu saja aku bingung. Dia memanggil "Pak" kepada siapa?
Di sini hanya ada aku dan dia. Sedang aku bukan seorang bapak. Aneh bukan?
"Apa yang dirasakan, Pak? Apakah kepala pusing?" tanya perawat itu lagi. Seolah ia mengerti aku kebingungan.
"Suster tanya pada saya?" tanyaku menunjuk ke dada.
Eh, tunggu kenapa suaraku berubah seperti lelaki. Ngebas banget.
"Eergh, hem. Haloo, ... tes ...tes." Aku berusaha menghilangkan suara aneh ditenggorokan. Akan tetapi tetap saja yang keluar suara laki-laki.
Perawat itu tersenyum aneh, seperti menganggapku sedang melucu. Padahal sumpah aku sedang bingung.
"Tentu saja saya bertanya pada Bapak. Tidak mungkin ngomong sama tembok, Pak," ucapnya tersenyum cengengesan.
Aku segera memperhatikan kedua tangan ini. Jarinya guede kayak jari suamiku. Tanpa sadar mulutku menganga memperhatikan bagian anggota tubuh yang tak tertutup baju seperti lengan dan kaki. Bulu-bulu yang keriting di betis kaki. Aku bergidik, hiii. Tanganku menyentuh dada, pfff, rata. Di mana gundukan kembarku?
Ternyata, aku bukan perempuan, pemirsa!
"Pak, Bapak kenapa melotot? Apa jantung Bapak terasa sesak?"
"Sus, saya betulan laki-laki?" tanyaku untuk meyakinkan diri sendiri.
"Eh, apa bapak amnesia? Sampai lupa jenis kelamin segala," ucap suster di depanku keheranan.
Mana mungkin aku amnesia.
"Saya masih ingat, kok, Sus. Nama saya Ulfa Khairyah, anak saya Maryam dan suami saya emm ... Abraham."
Suster menahan tawa.
"Nanti saya panggilkan dokter, ya, Pak. Agar diperiksa kejiwaan Bapak."
"Eh, jangan. Saya tidak gila. Saya ingat, kok. Saya hanya bercanda."
Memalukan kalau aku sampai divonis gila. Tidak, itu tidak boleh terjadi.
"Bapak lucu sekali. Bangun dari pingsan langsung melawak. Humoris sekali." Ia tertawa.
"Kalau begitu, nanti jika ada keluhan sampaikan saja pada dokter saat berkunjung kemari," lanjutnya.
Setelah berkata demikian, suster itu segera berlalu meninggalkan aku dalam misteri.
Perlahan aku bangkit. Nyeri luar biasa pada bahu dan pinggangku. Pasti akibat kejadian sore itu. Namun, kupaksakan kaki melangkah menuju wastafel karena ingin melihat wajahku di depan cermin.
"Hah!"
Raut wajah Mas Abraham ada di cermin. Ini benarkah? Terus bagaimana dengan wajahku? Tubuhku ada di mana?
Dengan tertatih aku menyibak hordeng. Tak ada pasien lain di sini. Di mana tubuhku juga anakku.
Demi untuk mengetahui kondisi mereka, aku pergi ke tempat suster jaga.
"Mbak, istri dan anakku ada di mana?" Kali ini aku tidak ingin lagi dikatakan gila jika mengaku mencari suamiku dan ragaku.
"Oh, ada di ruang ICU, karena ternyata kondisinya si Ibu yang sedang hamil jadi ia perlu pemeriksaan ekstra, Pak. Tapi, Alhamdulillah bayi dan ibunya masih bisa diselamatkan. Kalau mau lihat di lorong sebelah sana, lalu belok kiri. Sedangkan anak Bapak tidak ada di sini."
Mendengar penjelasannya, aku tak henti mengucapkan syukur sambil mengelus dadaku yang kini rata karena nyawa anak dalam kandungan selamat. Akan tetapi, aku cemas dengan kondisi Maryam. Ibu mana yang tak khawatir jika tak tahu keberadaan anaknya.
Dengan langkah terseok, aku menuju ruang ICU tempat di mana tubuhku mungkin berada.
"Loh, Ham. Sudah siuman?" tanya Mbakyu iparku, Fatma, "tadi kutinggalkan sebentar untuk melihat istrimu yang masih koma."
"Iya, Mbak."
Tak banyak yang bisa kuceritakan tentang iparku. Keluarga suamiku tidak terlalu ikut campur urusan keluarga kami. Akan tetapi, untuk urusan poligami kemarin entahlah. Apakah Mas Abraham sudah meminta restu pada saudara dan ibunya atau belum?
Tiba-tiba terlintas di pikiranku untuk menanyakan apa pendapatnya tentang rencana poligami suamiku.
"Mbak, kami kecelakaan ketika akan pergi ke rumah Arina."
"Arina anak mantan lurah itu?"
Aku mengangguk.
"Ngapain ke sana, Ham?"
Oh, jadi keluarga suamiku tidak tahu kalau saudara laki-lakinya akan menikah lagi.
"Mbak, tempo hari apa aku tak pernah bilang, ya? Kalau aku akan menikahi Arina sebagai istri kedua."
"Kukira bercanda, Ham. Lagi pula kamu kan Carik mana bisa seenaknya punya dua istri."
Jadi mbak iparku sudah diberi tahu. Hanya saja tak mengira kalau Mas Abraham serius.
"Tapi, kalau tujuanmu agar bisa jadi lurah di pemilihan berikutnya, strategi menikahi Arina memang patut diperhitungkan. Lurah yang sekarang 'kan pastinya tak lagi mencalonkan diri. Otomatis kalau kamu ingin jadi lurah Arina bisa jadi batu loncatan."
O, ho. Jadi begitu. Pernikahan politik. Kupikir suamiku menyukai Arina karena ia lebih cantik dari pada diriku yang sudah beranak satu dan akan kedua kalinya.
Satu lagi yang kusadari, Mas Abraham menikahiku bukan karena mencintaiku. Namun karena aku anak tunggal Almarhum Carik di desa Walangsangit ini dan baru sekarang alasan tersebut kuketahui.
Aku yakin seyakin-yakinnya bahwa Mas Abraham gila hormat dan jabatan. Merasa berhasil menjadikanku batu loncatan, ia menggunakan cara yang sama untuk meraih jabatan yang lebih tinggi.
Kelurahan ini memang perangkat desanya masih kental dengan nepotisme. Lurah yang sekarang saja bisa diangkat karena masih saudara laki-laki bapaknya Arina. Begitu pula dengan diriku. Andai kata aku tak menikah dengan Mas Abraham mungkin Ayah akan menyuruhku untuk mengajukan diri sebagai carik berikutnya.
Jika kuingat-ingat, Mas Abraham memang mendekati ayahku semenjak beliau diangkat menjadi sekretaris desa ini. Sedemikian carmuknya dia sampai-sampai Ayah mau menjodohkan aku dengannya.
Aku yang waktu itu lugu dan polos tentu saja tak mengerti ada segerombolan udang dibalik batu. Ada maksud tersembunyi dibalik keinginan Mas Abraham menikahiku. Ia mau jabatan ayahku.
"Ham! Kamu melamun?" tanya Mbak Fatma.
"Eh, mboten, Mbakyu." Aku memang kadang berbahasa halus kepada mbak iparku. Walau tak secara keseluruhan.
"Gaya ngomongmu, kok, kayak Ulfa, to."
Waduh, lupa lagi.
"Wajar Mbakyu, 'kan suami istri kadang saling terpengaruh kebiasaan pasangannya." Aku mencoba memberikan alasan yang kupikir masuk akal.
"Oh, ya, Ham. Biaya rumah sakit kalian berdua pasti besar. Aku cuma bisa bantu sedikit." Mbak Fatma mengeluarkan selembar uang merah lalu memberikannya kepadaku.
Hanya seratus. Bukan aku tak bersyukur tapi aku tak punya tabungan sama sekali, uang yang diberikan Mas Abraham cukup untuk makan saja. Hanya kebun belakang rumah yang menjadi penopang separuh hidupku dan Maryam.
Tagihan rumah sakit pasti jutaan. Apalagi tubuhku berada di ruang ICU, entah kapan tersadar.
Eh, tunggu. Yang berada di ICU hanya tubuhku. Artinya dengan raga Mas Abraham aku bisa mengambil uang di ATM.
Ya, benar. Baru kusadari fakta ini.
Dengan senyum mengembang, aku berniat mengambil kartu ATM suamiku.
"Ham, kenapa senyum-senyum sendiri?"
"Eh, anu ... Mbak, tau di mana dompetku?"
"Oh, itu. Ada di laci dekat meja ranjangmu. Carilah. Tapi uangnya tak ada. Kamu pernah bilang tidak mau menyimpan uang di dompet dalam jumlah besar, takut diambil istrimu. Jadi tadi kulihat hanya ada uang sepuluh ribu saja. Aku ndak ngambil sama sekali, loh, ya."
Duh, suamiku keterlaluan kamu, Mas. Masak sama istri sendiri curiga. Kucuri beneran baru tahu rasa.
Dompet Mas Abraham sudah kutemukan di laci meja dekat ranjang pasien, sesuai dengan petunjuk Mbak Fatma Kumala.Kartu ATM suamiku ada tiga. Apa semuanya berisi uang?Yang mana, yang akan kupakai untuk membayar tagihan rumah sakit ini nanti. Aku tercenung menatap isi dompet suamiku.Selembar uang senilai sepuluh ribu ada di tangan. Nanti jika diizinkan pulang oleh dokter aku mau menengok Maryam. Tadi kata Mbak Fatma Maryam dititipkan pada tetanggaku.Setidaknya aku beruntung punya tetangga yang baik hati. Hubungan kami simbiosis mutualisme, saling menguntungkan. Jika darurat, saya bisa titip Maryam padanya dan dia jika butuh sayur mayur segar bisa memetik di kebun belakang rumahku, halal. Apalagi saat harga cabai meroket, dia akan bersyukur sekali kuperbolehkan memetik di kebunku.Aduuh! Aku kebelet pipis. Panggilan alam membuatku menghentikan lamunan.D
Kuambil KTP yang tadi dipinta oleh CS Bank. Kuperhatikan tiap detail tanda tangan Mas Abraham. Lumayan rumit. Kusut kayak rambut nenek.Lah, ya, paraf coret-coretan gini aja, bagaiamana bisa diangkat carik. Harusnya kayak tanda tanganku yang simpel dan elegan, tinggal sat set, jadilah mirip logo petir. Sudah keren, mudah pula."Mbak, saya coba dulu dikertas coretan, ya.""Silakan."Setelah berkutat selama bermenit-menit, akhirnya aku bisa meniru tanda tangan suamiku. Dengan bangga kupersembahkan pada CS tanda tangan yang diminta.Tak berapa lama, pegawai bank tersebut menyerahkan padaku alat elektronik mungil entah apa namanya aku lupa. Ia menyuruhku mengetik enam angka sebagai PIN baru."Baik, selanjutnya ketik ulang, ya, Pak."Taraaa, PIN ATM suamiku sudah kurenovasi siap melakukan invasi dana miliknya.Keluar
Sejujurnya, aku cukup panik membayangkan apa yang akan terjadi di depan mata.Sambil menggendong Maryam, aku berjalan setengah berlari di koridor rumah sakit. Tak sabar ingin melihat istriku. Ehem, sekarang aku jadi suami, ingat itu.Badan rasanya ringan meski berjalan cepat sambil membawa anakku di pundak. Beda sekali saat aku dalam ragaku sendiri.Sesampainya di depan pintu ruang ICU, aku menurunkan Maryam lalu menghampiri Mbak Fatma Kumala yang tampaknya memang menunggu kedatangan kami."Bagaimana, Mbak. Kondisi istriku?" tanyaku panik."Tadi bangun sebentar, Ham. Terus, dia bertanya 'dimana istriku?', 'kan ya aku jadi bingung."Ingin rasanya aku tertawa terbahak-bahak. Pasti dia bingung dengan kondisinya, persis seperti aku kemarin."Terus, Mbak jawab apa?" tanyaku tak sabar."Ya, kubilang, 'kamu itu aneh kok tanya istri, kamu kan istri Abraham!' Eh, dia meraba tubuhnya. Kan lucu.""Hua ... ha ... h
Aku kembali mendekati ranjangnya."Istriku sayang, kamu tidak mau 'kan dimasukkan rumah sakit jiwa gara-gara mengaku sebagai suami? Jika tidak mau, bersikaplah layaknya istri yang berbakti. Oke," kataku sambil menyentuh dagunya. Lalu sebuah ciumam dikeningnya kuberikan.Ia menggeram kesal."Kutinggal dulu, yah. Mau makan apa, Sayang? Biar kubelikan makanan enak berkualitas tinggi kaya protein dan gizi. Kasihan tubuh kurusmu tinggal kulit pembalut tulang, karena kekikiran suamimu ini yang hanya memberi nafkah lima ratus ribu setiap tanggal lima," ucapku sambil mataku menelisik setiap inci tubuhnya terutama pergelangan tangannya.Bola mata Mas Abraham mengikuti pandangan tajamku lalu ia menyingkap pergelangan tangannya seolah terhipnotis ikut memeriksa tubuhnya. Sepertinya, ia baru menyadari betapa kurus istrinya selama ini."Baiklah, kalau enggan menjawab. Biar aku yang pili
"Heeg, mmmh!" Suara neg dari gumaman suamiku terdengar.Mas Abraham menutup mulutnya kuat-kuat dan segera berlari ke arah kamar mandi. Akan tetapi, ia menghentikan langkahnya saat selang infus tertarik."Emmm ... emm ... em." Ia mengumamkan sesuatu dengan mulut tertutup digerakan ke sana kemari mengikuti gerak penglihatannya yang ke arahku lalu ke infus.Bisa kupahami, ia menyuruhku dengan bahasa isyarat agar aku membawakan botol infus mengikuti langkahnya. Ia tak bisa membuka mulut lantaran menahan diri agar tak muntah sembarangan. Maklum suamiku hamil muda sedang mengalami morning sicknes yang datangnya bukan morning saja.Kuikuti langkahnya sambil membawa botol infus dari belakang.Sesampai di depan WC ia segera beraksi."Hueeek ..., hueeek!"Ia memuntahkan cairan berwarna putih karena dari kemarin sore belum terisi makanan.&nb
"Permisi, ya, Bu. Tolong, ini dibuka," kata dokter kandungan.Beliau satu-satunya dokter kandungan perempuan di rumah sakit ini. Aku cukup lega, ragaku tidak diperiksa oleh dokter laki-laki, tapi tidak dengan suamiku.Ia tak paham perintah dokter atau bagaimana? Dia justru membuka lengannya hingga bahu. Apa dikira dokter mau melakukan tensi?"Apakah belum diperiksa tensinya?" tanya dokter pada perawat jaga."Sudah, Dok," jawab perawat yang mengiringinya."Maaf, ya, Bu." Perawat itu mengulurkan tangan untuk membantu Mas Abraham menyingkap bagian perutnya."Heh, mau apa?" protes Mas Abraham. sambil beringsut duduk.Seketika tangan perawat mengambang di udara. Ia tak mengira mendapat penolakan dari suamiku."Fa, dokter hendak memeriksa detak jantung bayi. Bukalah bagian perut," ujarku berusaha memberikan pengertian
Keesokan harinya, kami bisa pulang pukul sebelas siang setelah menyelesaikan administrasi. Sebelumnya aku sudah selesai mengurus PIN ATM yang kedua di bank BKI (Bank Kecil Indonesia). Isinya sepuluh juta. Tak begitu mengejutkan seperti ATM BCI. Mungkin karena namanya bank kecil jadi Mas Abraham juga menabung dana kecil di situ.Tinggal ATM yang ketiga belum kuganti PINnya. Nanti saja, saat sudah longgar waktuku.Untuk pulang, kami memesan taxi online. Di dalam mobil inilah, Mas Abraham tak sabar menanyakan ATMnya."Berapa banyak yang kau ambil dalam ATMku?" tanyanya."Siapa bilang ATMmu? Ini ATM atas nama Abraham dan akulah orangnya. Kamu hanya istri tidak perlu tahu isi ATMku," jawabku dingin."Fa, aku malas berdebat. Aku hanya ingin mengatakan bahwa dalam salah satu ATM itu, uangnya bukan milikku. Itu uang penduduk kelurahan Walang Sangit dan menyangkut nyawa seluruh kelurahan
"Sudah kubilang aku tidak bisa masak, dipaksa," sungut Mas Abraham. "Tuh, lanjutkan goreng telurnya." Aku berkata tanpa peduli keluhannya. "Fa!" "Panggil aku 'Mas'!" "Kalau aku panggil 'Mas', apakah kamu mau masakin buatku?" "Tidak! Itu pekerjaan perempuan!" tolakku tegas. "Aku lapar," katanya sedikit memelas. "Lanjutkan masaknya agar bisa makan," ucapku. Ia menggeram kesal. Helm yang tadi sempat dilepas sekarng dikenakannya lagi siap tempur di depan wajan. Dari arah kamar terdengar suara Maryam merengek memanggil-manggil ibunya kebiasaan dia ketika bangun tidur. Jiwa keibuanku masih ada dalam diri ini mendorongku untuk menghampirinya. "Ayo, Maryam bangun. Anak shalihah ikut Ayah dulu. Ibu lagi masak." Biarlah saat ini kumandikan Mary