Share

Berawal dari Hujan Deras

Sambil meringis pura-pura kesakitan kulirik raut wajahnya yang memerah menahan kejengkelan. Akan tetapi, ia tak bisa melampiaskan kemarahanya. Tentu saja karena kondisi yang kualami.

"Makanya, hati-hati," ucapnya lalu mengulurkan tangan agar aku berdiri.

"Perutku, Mas! Aku takut keguguran," rintihku mencoba mencuri belas kasihannya.

"Sakit? Nanti pergilah ke bidan. Mau diantar atau pergi sendiri?" tanya lelaki mirip Roy Sortin, bintang film tahun sembilan puluhan. Tolong jangan dibantah penialianku, jangan pula salahkan namanya kalau agak meleset. 

"Mana bisa nyetir motor kalau perutku seperti ini," kataku pura-pura lemah 

Lelaki di depanku berdecak kesal.

"Aku ganti baju dulu. Nanti kuantar. Jalan hati-hati lantai masih basah. Awas jatuh!"

Inilah kebaikan yang dimilikinya. Ia masih mau mengantar jika melihatku kondisi darurat. Mungkin takut dikira tetangga ia mengabaikan istri yang sedang hamil. Bisa saja 'kan dugaanku benar, karena baginya penilaian orang tentang kebaikannya itu penting.

Ia benar-benar mengantarku ke bidan. Anakku, Maryam kutitipkan ke tetangga sebelah kanan rumah sebentar, pasti bisa dimengerti.

Sesampainya di Klinik Sehat, suamiku mengantar depan pintu.

"Apa yang dikeluhkan, Bu Ulfa?" tanya Bidan Wuri.

"Tadi saya terpeleset rasanya sakit seperti diremas." 

Maaf, Bu Bidan, aku harus berbohong demi kebaikan janin yang kukandung.

"Harus hati-hati, ya, Bu. Tidak ada darah yang keluar 'kan?"

"Alhamdulillah, tidak ada, Bu."

"Jangan melakukan pekerjaan yang berat dulu sampai menguat janinnya,"

"Nasehat Bu Bidan tidak bisa dilakukan jika hanya disampaikan pada saya. Yang bisa melaksanakan suami saya, bisakah Bu Bidan mengatakan itu di depannya nanti."

Ia membalas permintaanku dengan senyum penuh arti.

Aku turun dari pembaringan sedangkan Bidan Wuri mengantar sampai di depan suamiku.

"Tolong, awasi sang Nyonya, ya, Pak. Jangan kerja berat dulu, tidak boleh mencuci, tidak boleh mengepel dan memasak sampai janinnya menguat sekitar umur 5 bulanan."

Wajah suamiku kebingungan. Air mukanya keruh seperti air hujan yang bercamput dengan lumpur. Rasakan! 

Mengapa aku jadi seperti ini, ya?

Aku jadi suka liat kesusahan suamiku.

Mungkin karena hatiku tak rela diduakan, sementara dia justru bahagia. Bukankah suami istri harus saling berbagi rasa sakit dan kebahagiaan?

Jadi aku hanya membagi yang seharusnya dirasakannya dengan caraku.

"Demi kebaikan Ibu dan bayi yang dikandung." Bu Wuri menegaskan sambil tersenyum kepada Mas Abraham.

"I–iya, Bu Bidan." Tampaknya ayahnya Maryam terpaksa mengiyakan. 

Aku bersorak dalam hati. 

"Terima kasih banyak, Bu Wuri," ucapku dengan rasa syukur.

Sepulang kami dari Klinik, Mas Abraham tampak mondar-mandir berpikir di ruang tamu sedangkan aku duduk memangku Maryam yang baru saja diantar oleh tetangga ke rumah.

"Menurutmu, apakah pernikahanku dengan Arina dipercepat saja minggu ini? Supaya nanti ada yang menggantikan semua pekerjaanmu selama kehamilan."

Hah! Tidak! Mengapa justru dipercepat. Bagaimana kalau aku tak bisa mengontrol emosi di dalam diriku sendiri. Bayi dalam kandunganku akan menerima akibatnya jika aku depresi. 

Ya, Allah tolong beri aku jalan keluar. Bukan untukku tapi untuk mahluk yang Engkau ciptakan dalam tubuh ini.

"Mas,  jangan! Tunggu lahiran saja, ya, nikahnya. Mas cuma perlu membantuku sampai umur kehamilan menginjak lima bulan saja, kok."

"Tapi, kamu 'kan tahu aku tidak bisa. Itu pekerjaan wanita."

Bukan tidak bisa, tepatnya tidak mau. Itu hanya alasan dia saja yang enggan turun tangan meringankan bebanku. 

Mana ada di dalam Al-Qur'an atau Hadits yang menyebutkan memasak, mengepel dan mencuci pekerjaan wanita. Buktinya ia tidak komentar kalau ada chef dari kalangan lelaki atau ada cleaning service ngepel di kantor atau tukang loundry yang sering kali juga ditangani oleh kaum Adam.

"Carikan kami seorang pembantu hanya sampai usia kandungan lima bulan saja, ya," pintaku memelas.

"Dari pada uang ratusan ribu bahkan bisa jutaan untuk bayar pembantu lebih baik digunakan untuk sedekah, Fa. Banyak pahalanya."

"Apa meringankan istri tak ada pahalanya, Mas?" tanyaku hati-hati.

"Kalau semua kerjaan istri dilakukan oleh pembantu, kamu dapat pahala apa, Ulfa?"

"Pahala mengandung," jawabku santai.

"Cuma mengandung saja berharap surga. Sudah bersiap saja besok ikut aku. Lebih baik pekerjaan  rumah diambil alih Arina, biar dia yang dapat pahala banyak."

Dia bilang mengandung itu "cuma". Duh, Gusti, apa perlu dia hamil dulu agar tahu kalau membawa janin itu resikonya besar dan semakin berat seiring bertambahnya umur kandungan.

Aku harus bagaimana? Ia begitu gigih untuk mempercepat pernikahannya dan begitu kuat prinsipnya tentang sedekah lebih penting dari pada memberi lebih banyak pada istri.

Keesokan harinya.

"Ayo!" ajak Mas Abraham.

"Kemana?" tanyaku malas.

"Rencana kemarinlah, apa lagi?"

Kutarik kuat-kuat napasku lalu menghempaskan hembusan sekaligus. Cara itu hanya sekedar mengeluarkan tekanan yang terasa sesak di dada.

"Maryam juga diajak," ucapnya.

Baiklah, aku masih belum siap untuk bertemu dengan calon maduku. Terlalu sakit, jadi kugunakan jurus menghindar. 

"Mas, perutku muuuleees." Aku merintih sambil meringis serta memegangi bagian pinggang dan perut.

Kali ini aku tidak bohong, sebab beberapa hari ini sekitar jam segini, panggilan alam menuntutku untuk ke toilet. 

Mas Abraham langsung panik melihatku.

"Aduh, kontraksi lagi? Kemarin apa tak diberi obat oleh Bu Bidan?"

"Semalam aku lupa meminumnya, pagi tadi sibuk. Jadi belum sempet diminum. Udah, ya, takut tercecer," ucapku tergesa-gesa sambil buru-buru ke toilet.

Selanjutnya, tak lagi kuperhatikan bagaimana reaksi suamiku. Entah panik atau tidak, aku sudah di toilet. Akan tetapi, tak berapa lama pintu kamar mandi digedor.

"Apa pendarahannya deras?"

Yap, kena! Ia pasti mengira tercecer yang kumaksud adalah darah dari rahim. Padahal yang kumaksud jelas pup, soalnya sudah kebelet buang hajat.

"Tidak, Mas. Hanya mules terus."

"Kalau begitu, lekas keluar dan minum obatnya agar berhenti kontraksi."

Selesai menunaikan hajat, aku segera keluar dengan wajah yang masih meringis.

"Ini kuambilkan air minum untuk menelan obat."

Segera, aku menerima cangkir berisi air tersebut. Sedangkan dia diam memastikan obat yang diberi kutelan.

"Istirahatlah! Sore saja kita pergi. Aku ke balai desa dulu. Barusan Pak Lurah mengirim pesan menyuruhku ke sana."

Lalu ia berjalan keluar dengan motornya.

Aku sendiri duduk termenung. Sementara, anakku bermain sendiri dengan boneka usangnya.

***

Sore itu, mau tak mau  siap tak siap aku harus menghadapi. 

Awal keberangkatan kami, langit tampak bersahahat, mendung tipis sedikit kelabu sehingga angin sepoi-sepoi menyertai laju kendaraan. Akan tetapi, tak berapa lama, awan tebal mulai berarak.

"Sebentar lagi kayaknya akan hujan. Pegangan yang kuat agar kita bisa sampai di rumah Arina sebelum hujan turun!" Samar kudengar suamiku berusaha berkata keras mengimbangi dengan laju kendaraam dan arah angin.

Tanganku segera memegang erat bajunya.  Maryam juga merapatkan tubuhnya ke punggung Mas Abraham. Ia duduk di antara kami berdua.

Suamiku mulai menaikkan kecepatan.

Tiba-tiba angin berubah dingin dan suara hujan deras seolah mulai mengejar kami. 

Tampaknya Mas Abraham mulai panik. Entah apa yang dipikirannya, kemudi menjadi oleng bersamaan dengan cahaya menyilaukan disela-sela lebatnya titik-titik hujan.

Dan ....

Braaak!

Aku terpental dengan memeluk Maryam untuk melindunginya.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Mahendra jamil
kasihan bumil sama de maryam nya.. suaminyabodo amatlah......
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status