Setelah kembali dari Turki, hidup kembali ke rutinitas.
Anaya kembali menjadi mahasiswi tingkat akhir yang sedang masuk fase penyusunan skripsi. Liburannya habis, realita menyambut dengan laptop, referensi jurnal, dan… begadang tak berkesudahan. Tengah Malam Kamar mereka seperti kapal pecah. Kertas berserakan. Laptop terbuka. Kopi tumpah sedikit di sisi meja. Anaya tertidur sambil duduk. Masih memakai kacamata dan hoodie. Skrip skripsinya terhenti di paragraf ke-14. Raka pulang kerja, membuka pintu kamar, dan langsung... tertawa pelan. “Istriku ini bisa banget ngacak-ngacak kamar kayak abis syuting film perang.” Bukan kekacauan yang membuat Raka menatap lebih lama, tapi wajah Anaya yang lelah tapi tenang. Ia mendekat, pelan-pelan melepas kacamata dari wajah Anaya, memindahkannya ke tempat tidur. Lalu… ia membaca skripsi yang ditulis Anaya. “Hm... struktur ini bisa diperkuat. Narasinya bagus, tapi masih berantakan. Ini bisa diperbaiki.” Dibukanya laptop, dibacanya satu-satu, dan...Raka memperbaiki semuanya. Merapikan kutipan, memperhalus kalimat, dan bahkan membuat daftar isi otomatis. Hingga kamar pun rapi kembali. Semua beres. Pagi Hari Anaya terbangun dengan mata setengah terbuka, matanya menyapu kamar... “Lho... kamar kok rapi? Laptop udah mati? Skripsi... udah tersusun rapi? Siapa yang ngerjain?”* Dia menduga, “Apa Bik Onah ya? Tapi dia nggak ngerti komputer…” Ia berdiri, hendak mandi. Tapi begitu membuka pintu kamar mandi... BRAK! "MAS?!” Raka baru keluar dari kamar mandi. Basah kuyup, hanya memakai handuk pendek. Karena suara kaget Anaya, handuk itu pun terlepas. Keduanya langsung panik. “MAS!! KAMU BUGIL!!” "Heh! Salah kamu juga tiba-tiba buka pintu!” “INI KAMAR MANDI KITA BERDUA, BUKAN KAMU SENDIRIAN!” “Ya elah, biasa aja. Sama suami sendiri juga.” “INI KONTRAK!!! NGGAK TERMASUK LIAT YANG GITU-GITU!” Wajah Anaya merah padam. Ia berbalik dan menutup matanya dengan dua tangan. “Astaga… jantungku…” Raka dengan cuek mengambil kembali handuknya dan tertawa. “Makanya kalau mau masuk, ketuk pintu dulu, Saset.” Pagi itu jadi kacau, tapi dalam hati Anaya, satu kalimat menggaung : “Kontrak… tapi kenapa hati ikut lelah, ya?” ** Weekend itu dimulai dengan suara ketukan pintu yang ramai. “Rakaaaa! Kakakmu datang nih! Buka pintu, dasar anak dingin!” Raka membuka pintu sambil menguap. Di balik pintu, Kakak perempuannya berdiri dengan tas besar, dibuntuti oleh seorang remaja cowok umur 15 tahun, lengkap dengan hoodie dan headset nyangkut di leher. “Kak Indira? Hah? Keponakanku juga ikut?” “Kamu kira kami kangen kamu? Nggak. Kami pengen ketemu sama istrimu yang viral itu. Si bocil lucu itu!” “Namanya Anaya,” Raka menghela napas. Anaya keluar dari dapur sambil bawa dua gelas jus, masih pakai celemek. Begitu melihat tamu, ia buru-buru melepas celemek dan membungkuk sopan. “Halo Kak... eh, Mbak! Eh, Kakak?” Indira tertawa ngakak. “Bocil ini lucu banget sih! Raka, kamu tega ya kontrak sama anak semanis ini? Gimana, enak nggak rasanya nikah?” “Enak apanya…” gumam Raka malas. Sementara itu, keponakan Rakam si remaja tanggung, mendekat ke Anaya. “Kak... Anaya ya? Aku Rey. Boleh minta I*******m-nya?” “Hah?!” Raka langsung melotot. “Rey! Itu istri Om!” “Lho, aku kan cuma mau follow. Aku suka cewek imut soalnya.” Raka hampir semaput. Anaya cuma nyengir kuda. "Duh, suami kontrakku ini mulai dikelilingi keluarga yang... kocak semua ya." Untuk menghindari interogasi Kakak dan keponakannya yang makin menjadi-jadi, Raka pun mengajak Anaya pergi. “Ayo, kita isi weekend. Jalan, nonton, terserah. Jangan di rumah terus, nanti kamu stres.” Anaya senyum manis. “Mas, kamu perhatian juga ya. Nggak nyangka, suami kontrak bisa sweet.”--- Mereka sedang berjalan di atrium mall, saat mata Anaya menangkap sosok yang familiar. Tinggi. Kulit bersih. Kacamata bulat. Senyum manis. Cowok itu berdiri di dekat rak buku. "Randy…" Anaya membeku sesaat. Raka menangkap perubahan ekspresi istrinya. “Kenapa? Tuh cowok yang dulu kamu suka ya?” Anaya menoleh cepat. “Hah? Enggak kok…” “Salah jawab. Jawabannya, iya tapi udah lewat. Karena kamu udah punya suami super tampan kayak aku.” Anaya kesal, tapi wajahnya memerah. “Mas, bantuin dong... Aku mau dia tahu kalau aku udah nikah. Bilangin ke dia, aku istri kamu. Ayo dong...” Raka menahan senyum. Anaya berbisik ke telinga Raka, terlalu dekat. “Mas… katakan saya istrimu. Aku udah bersuami. Suamiku lebih tampan darinya.” Raka diam. Deg. "Gawat. Kenapa polos gini malah bikin jantungku lari-lari?" Ia balas berbisik. Pelit jarak. Nafasnya hampir menyentuh kulit leher Anaya. “Hmm… bilang aja kamu masih naksir dia. Ngaku deh…” Anaya mundur setengah langkah, matanya membulat. “Mas,.. mas,.. mas… jangan deket banget bisikannya. Merinding tau. Tamu mas berdiri semua nih.” Raka ngakak. “Tamu?” “Iya… bulu kuduk maksudnya!” Tawa mereka pecah berdua. Dari jauh, Randy memperhatikan. Mereka terlihat seperti pasangan suami-istri muda yang sedang mesra-mesranya. dan… memang sedikit demi sedikit* semua ini tidak lagi pura-pura.Malam minggu seharusnya jadi malam biasa, tapi tidak untuk Anaya, istri kontrak yang kini malah ikut suaminya nonton film romantis di bioskop.Awalnya, dia senang. Suaminya ngajak nonton? Itu kemajuan besar!“Mas, kita nonton film horor ya, biar kalau aku takut bisa pegangan,” kata Anaya sambil bercanda.Raka melirik, senyum miring.“Pegangan ke pundak aku?”“Enggak, Ke botol minum aja.”Mereka tertawa berdua, namun, begitu sampai di dalam bioskop, baru terjadi tragedi kecil yang tak terduga…“Mas... kursi kita di mana?”“E12 dan E13,” jawab Raka santai sambil melihat tiket elektronik di HP-nya.Saat sampai di deretan kursi... Anaya mengerutkan dahi. Hanya ada satu kursi kosong.Kursi di sebelahnya? Sudah diduduki pasangan yang sibuk main HP.“Mas... ini kenapa cuma satu?”“Tunggu bentar, aku tanya petugas...”Beberapa menit kemudian, Raka kembali. Wajahnya datar tapi sebal.“Kesalahan sistem. Mereka ngasih dua tiket tapi cuma ada satu kursi kosong. Harusnya kursi satunya nggak dijual
Setelah kembali dari Turki, hidup kembali ke rutinitas.Anaya kembali menjadi mahasiswi tingkat akhir yang sedang masuk fase penyusunan skripsi. Liburannya habis, realita menyambut dengan laptop, referensi jurnal, dan… begadang tak berkesudahan.Tengah MalamKamar mereka seperti kapal pecah. Kertas berserakan. Laptop terbuka. Kopi tumpah sedikit di sisi meja. Anaya tertidur sambil duduk. Masih memakai kacamata dan hoodie. Skrip skripsinya terhenti di paragraf ke-14.Raka pulang kerja, membuka pintu kamar, dan langsung... tertawa pelan.“Istriku ini bisa banget ngacak-ngacak kamar kayak abis syuting film perang.”Bukan kekacauan yang membuat Raka menatap lebih lama, tapi wajah Anaya yang lelah tapi tenang.Ia mendekat, pelan-pelan melepas kacamata dari wajah Anaya, memindahkannya ke tempat tidur.Lalu… ia membaca skripsi yang ditulis Anaya.“Hm... struktur ini bisa diperkuat. Narasinya bagus, tapi masih berantakan. Ini bisa diperbaiki.”Dibukanya laptop, dibacanya satu-satu, dan...Raka
Pagi itu, suasana rumah Opa Hartono kembali ramai dengan suara semangat yang nggak kira-kira.“Kalian mau bulan madu ke Turki! Tiket udah Opa siapin, hotel udah dipesan, koper tinggal angkut. Gimana? Senang nggak?”Opa Hartono menyeringai lebar sambil mengangkat dua lembar tiket pesawat. Anaya melongo, Raka mendesah.“Opa... kita nikahnya nikah kontrak lho, bukan ikut kuis jalan-jalan gratis.”“Ssst! Jangan rusak suasana!” Opa pura-pura nggak dengar.Di Kamar, setelah Semua RibutAnaya duduk di ranjang sambil menatap tiket yang sekarang sudah resmi di tangan mereka.“Mas…” katanya pelan.Raka menoleh. “Hm?”“Gimana kalau... tiket ini kita jual aja?”Raka nyaris keselek udara. “Apa?!”“Iya, kita bisa dapat duit lumayan! Terus tinggal pura-pura upload foto di Turki pakai AI, kan banyak sekarang…”Raka menggeleng pelan, lalu tertawa.“Kamu ini ya... yang paling semangat teriak ‘nikah kontrak’, tapi malah paling niat akalin semuanya.”“Lho, ini kan buat logistik rumah tangga. Kita realist
Malam itu, kamar pengantin baru... terasa seperti medan perang.Di tengah tempat tidur king size, terbentang tali rafia warna merah muda, dipasang rapi dari ujung kepala sampai kaki.“Inget ya, ini pembatas. Batas wilayah. Kalau kamu lewat ke zona aku, kamu kena sanksi,” tegas Anaya sambil menunjuk tali itu dengan tatapan waspada.Raka hanya melirik malas.“Oke, Bu Komandan.”Anaya menyiapkan selimut dan bantalnya sendiri, bahkan bawa guling tambahan dari rumah orangtuanya.Saat ia sibuk merapikan sisi ranjangnya, terdengar suara pintu kamar mandi terbuka.Anaya menoleh... dan langsung syok.Raka keluar dari kamar mandi hanya pakai celana training tanpa baju, rambut masih basah, dan... dia terlihat sangat santai.“APA NGGAK PUNYA MALU?!” teriak Anaya refleks, langsung menutup mata dengan tangan.Raka mengangkat alis. “Lho, ini rumahku. Kamarku. Masa ganti baju harus izin?”“KAMU ITU COWOK! Aku cewek! Kita baru kenal TIGA HARI! TIGA, Om! Bukan tiga tahun!”Raka terkekeh sambil mengambi
Anaya berdiri di depan pintu kamar yang ditunjukkan Raka, matanya menyipit curiga.Kamar itu besar, luas, bersih... tapi tetap saja, ...satu kamar, satu tempat tidur.Dia harus berbagi dengan kadal buntung paling menyebalkan se-planet ini.“Ini kamarnya,” ujar Raka santai sambil bersandar di pintu.“Mulai malam besok, kita resmi jadi suami-istri. Setidaknya di mata Opa.”Anaya melangkah masuk perlahan, lalu memutar badan sambil menunjuk ke tengah ranjang.“Besok kita beli tali. Kita pasang di sini. Tengah-tengah. Pembatas. Garis demarkasi. Siapa yang lewat batas, kena sanksi.”Raka menaikkan alis. “Serius amat. Kita nikah kontrak, bukan perang dunia.”Anaya melipat tangan di dada. “Laki-laki itu pada dasarnya pencuri ulung. Bisa saja kamu tiba-tiba menerkam aku pas aku tidur.”Raka terkekek.“Halah, mana nafsu lihat kemasan saset kayak kamu.”Matanya mengarah ke tubuh Anaya sekilas. “Itumu aja kecil… nggak selera.”DEG.Anaya melotot. “APA?! SIAPA BILANG?!”Raka menyengir makin lebar.
Jam di ponsel Anaya baru menunjukkan pukul 08.55 ketika ia sudah berdiri di depan pintu rumah mewah milik Raka atau yang lebih tepat, rumah Opa Hartono.“Dasar kadal buntung nggak laku,” gumamnya dalam hati sambil menekan bel.Tapi lima menit berlalu… dan belum juga ada yang keluar.Anaya mendesah, lalu melangkah masuk, memutuskan menunggu di ruang tamu yang luas dan dingin.Matanya tertumbuk pada sebuah kotak kaca kecil di sudut ruangan.Di dalamnya ada hewan kecil unik yang langsung menarik perhatiannya: seekor landak albino yang sedang memejamkan mata di tumpukan jerami.Anaya mendekat perlahan, penasaran.“Ah, durinya pasti tajam ya?” gumamnya sambil menyodorkan ujung jarinya ke kotak itu.Saat jarinya nyaris menyentuh duri landak, tiba-tiba pintu samping terbuka!“JARI!” teriak seseorang dari balik pintu, membuat Anaya terkejut dan spontan menarik jarinya.Tak disangka, yang muncul adalah Opa Hartono, yang langsung latah kaget.“Astaga! Kenapa bisa kesakitan? Biar Opa lihat!” kat