Share

Bab 2. Nadira

Sean tak pedulikan lagi, Sonia sudah duduk dengan gelisah.

"Sebaiknya, kita tidak melakukan hal seperti ini lagi, Tidak boleh."

Sonia terdiam, ih, sok suci amat sih, tadi aja napsu banget. Batin Sonia sewot. Karena keinginannya tak terpenuhi.

Sean kembali, melajukan mobilnya pelan, keluar dari area parkir, dan melaju sedikit kencang, untuk mengantarkan Sonia pulang.

Hampir setengah jam perjalanan. Akhirnya sampailah di tempat indekos Sonia.

"Turunlah, aku tidak usah mengantar sampai depan kamarmu yah, karena sudah malam, nggak enak dengan penghuni kost lainnya."

Sonia mengangguk, dan meminta maaf atas tindakannya.

Setelah say goodbye, mobil Sean pun pergi meninggalkan tempat tersebut.

Sebenarnya Sonia agak kecewa juga, karena pria idamannya, menolak saat diajak bermesraan. Seakan dirinya tak dihargai.

Hem, Sonia melenggang pergi menuju kamarnya.

Pagi kembali hadir, Sean sudah berada di ruangan kerjanya. Sudah mengolah data -data kantor. Kinerja Sean yang bagus. Selalu mendapatkan bonus pula oleh bos utama, apa lagi jabatan untuk kepala keuangan, benar-benar menjadi incaran saat ini. Terlebih lagi untuk David. Lelaki macho, pemuda lokal, yang prestasinya pun tak kalah dengan Sean. Mereka dua kandidat yang selalu bersaing untuk jabatan tersebut.

Sean pun menyadari hal tersebut. Makanya Sean selalu berangkat tepat waktu setiap hari.

Sonia sudah ada di bagian PR. Hari ini, ada meeting harian. Budi asissten Sean, rekan kerja yang terbaik. Selalu mambantunya membuatkan projek dalam komputernya.

Begitu juga kali ini.

"Budi, bisa buatkan aku grafik untuk pendapatan dan pengeluaran?"

"Bisa, Pak, nanti saya buatkan. Saya transfer dulu data bulan lalu ya, Pak."

"Oke, terima kasih."

Dua bulan berlalu, tanggal bulan pun sudah ditentukan, dua minggu acara pernikahan Sean dan Dira. Surat-surat sudah beres. Dira sudah setengah mantap untuk terus melanjutkan perjodohan hingga jenjang pernikahan ini.

Sean sudah mengajukan ijin cutinya selama satu minggu. Terakhir bertemu Dira, saat mengurus surat-surat ke KUA, Sean kaget dengan perubahan pada diri Dira. Gaya tomboynya sudah tak terlihat. Bahkan riasan tipis-tipis di wajahnya, menambah paras ayunya. Sean jatuh cinta pada Dira. Mengapa tidak dari dulu kamu begini Dira. Sontak hati Sean berpacu.

Ada rasa gengsi Sean untuk jatuh cinta, tapi hati yang lainpun berkata, "Seksi Sonia lah,"

Ah, dasar lelaki.

Acara demi acara sudah dilalui dengan sukses, ijab kabul sudah Sean ucapkan untuk Andira Saptarini.

Sean ingin memboyong istrinya, ke kota Batam di mana dirinya meniti karir. Berarti Dira harus merelakan meninggalkan semua pekerjaan dan kegiatannya.

"Baiklah, aku ikut denganmu. Sebagai seorang istri, aku manut." ucap Dira pasrah.

"Percayalah, aku ingin berubah, agar rumah tangga ini tak sia-sia."

Dira mengangguk."Tapi, maafkan aku, aku belum siap untuk —"

"Aku tahu, aku akan menunggumu untuk siap. Aku tak memaksamu."

Mereka mempunyai kesepakatan tidak saling menyentuh, Dira ingin Sean melakukan tugas suaminya benar-benar karena cinta.

Seminggu setelah acara pernikahan, mereka pun ijin untuk berangkat ke Batam. Tangis ayah Dira, mengiringi kepergian Sean dan Dira.

Dua jam perjalanan pesawat, akhirnya sampai juga di kota Batam, ini pertama kalinya Dira ke tempat tersebut.

Sean tinggal di apartemen. Ini memudahkan segalanya bagi Dira. Kebetulan apartemen mempunyai dua kamar, mereka tidur dalam masing-masing kamar. Walaupun tindakan mereka salah. Namun Dira belum mau menyerahkan kegadisannya pada Sean.

"Maafkan, aku, Mas." Dira mencoba memanggil Sean dengan sebutan 'Mas'.

Sean tersenyum, mendengar namanya di panggil 'Mas'

"Terserah, kau saja. Silakan, ada dapur, dan kamar mandi sebelah sana."

Sikap dingin Sean kadang selalu berubah-ubah, terkadang terlihat baik, kadangpun terlihat angkuhnya.

Dira, mengembuskan napasnya, ah biarlah aku jalani saja dulu.

"Aku ingin sholat, kau tak sholat?" tanya Dira.

"Iya, nanti." jawab Sean pelan.

"Oh, " Dira pun berlalu dari ruangan tamu, dan menuju kamar yang di tunjuk Sean, sebagai kamarnya.

Hari ini, berlalu dalam diam, Dira pun paham, ada ruang batas yang tak bisa Dira lalui. Namun ruang batas itu, masih tetap menjadi miliknya. Mungkin belum saatnya.

Sean sedang bermain dengan laptopnya, di ruang tengah.

"Mas .... Mas!"

"Iya! " seru kaget dari Sean yang belum terbiasa dipanggil dengan sebutan tersebut.

"Tak ada bahan makanan di lemari es, aku periksa dapur pun tak ada makanan apa pun, aku lapar."

Sean tersenyum, sebenarnya dirinya pun lapar.

"Ayo, kita makan di luar."

"Hampir jam 11 malam, ada yang jual?"

"Hey, ini di kota, pasti adalah, emang di desa sana. Ayok."

"Tunggu, aku pakai kerudung dan jaket." Dira segera berlalu dari hadapan Sean.

Tak lama Dira sudah berkerudung dan memakai jaketnya.

Sean tersenyum. "Ayo."

Mereka kini berada dalam satu mobil. Dalam diam hingga sampai pada warung mie tek-tek, yang memang buka 24 jam. Setelah makan, mereka mampir ke swalayan untuk membeli semua keperluan rumah tangga.

Kemudian mereka pun pulang.

Pagi buta, Dira sudah bangun, membereskan dapur, memasukkan belanjaan yang tadi malam belum sempat dibongkar.

Segelas kopi panas, dan beberapa roti lapis, sudah tersedia di meja makan.

Sean keluar dari kamar mandi, hanya berbalut handuk di bagian bawah saja. Tubuhnya yang kekar nampak terlihat seksi Di mata Dira, segera dipalingkan wajahnya menghindari asumsi yang aneh-aneh.

"Hem, kopi ini menggugah seleraku." Sean langsung duduk, hendak menikmati segelas kopi tersebut.

"Eit! Tunggu dulu, masih panas, dan Mas, pakai baju dulu, maaf, apa boleh aku ke kamar mas, dan menyiapkan baju kerjamu, untuk hari ini?" tanya Dira pelan .

Sean terdiam, dia terlupa, kalau Dira bukan lagi teman kecilnya, tapi sudah menjadi isterinya.

"Oh, aku siapkan baju sendiri saja, maaf, aku pakai baju dulu." Tangan Sean menutup bagian dadanya malu.

Dalam kamar, Sean terduduk dan meruntuki dirinya sendiri. Sebenarnya ada rasa bahagia tersirat, namun mengapa hatinya belum mau menerima Dira sebagai isterinya. Mungkin karena dia adalah teman masa kecilku. Sean tertawa kecil. Semoga waktu bisa mengubah segalanya. Batin Sean .

Sean keluar, sudah berpakian lengkap, dan rapi. Aroma parhum tercium oleh Dira. Baunya, membuat Dira melayang sesaat.

Armany, ini aroma parhum Armany. Batin Dira.

Dira membuatkan sekotak bekal untuk Sean.

Mendorong bekal tersebut di depan Sean.

"Apa ini?! Memangnya aku baka TK, kasih bekal segala." Sean agak sewot dengan perlakuan Dira.

Dira menarik lagi bekal tersebut.

"Kalau tidak berkenan, bilang saja, jangan nyolot begitu!" Dira agak tersinggung bekalnya di tolak Sean.

"Maaf, bukannya begitu, nanti besok atau lain kali, tanya dulu, jadi tidak ada kesalahpahaman." Sean mencoba mendamaikan suasana.

Dira terdiam, "Maafkan aku, bukannya gimana, bekal ini setidaknya bisa menunda laparmu, saat jam makan siang belum tiba."

"Sini, biar bekalmu aku bawa, aku juga minta maaf ya, kita —"

"Aku berusaha untuk berperan menjadi pendampingmu, karena kita —" Dira sudah menitikkan air matanya.

Sean paling tidak bisa melihat air mata wanita di hadapannya.

"Maafkan aku, janganlah menangis, kau tau sendiri kan, sudah lah Dira, jangan menangis."

"Iya, aku tidak menangis." cepat-ceoat dihapusnya air matanya.

Sean tersenyum melihat kejadian ini.

Dira, Dira, mengapa kau buat hatiku berdenyut.

Sean pun membawa bekal tersebut. Memasukkan dalam tas kerjanya.

"Aku berangkat." Sean langsung berdiri dan melenggang pergi.

"Tunggu! Tunggu Mas!" Dira mengejar Sean.

Dan Sean pun berhenti, "Ada apa?"

Dira mendekati Sean, mengulurka tangannya.

Sean pun mengikuti Dira, Dira menjabat tangan Sean dan mencium punggung tangan suaminya.

"Begini, seoarang istri, saat suami berangkat kerja, Salim dulu."

Sean terpaku, tersenyum hambar, dan mengiyakan kata-kata Dira.

Sean segera berlalu.

Dira memandang suaminya pergi, semoga perjodohan ini baik untuk kami. batin Diri.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Geny Giany
semangat kaa .........
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status