“Maafkan aku, Nona. Kalau nanti aku tidak kerja, mau makan apa anak aku di rumah.” Bujuk Evita dengan wajah memelas pada Elissa sang majikan.
“Itu bukan urusan aku, kamu bisa cari pekerjaan lain di luar sana. Masih banyak yang mau terima kamu. Akan tetapi, kamu harus tahu. Kalau kerja itu yang di jaga kepercayaan, bukan asal bicara.” Jelas Elissa.“Ada apa lagi ini, Elissa?” Mama datang melihat keributan di dapur saat itu.“Ma, Evita aku pecat.”“Kenapa kamu pecat?” Tanya Mama lagi.“Ma, Evita tidak perlu kerja di sini lagi. Lihatlah, ucapan saja tidak bisa di jaga, bagaimana dengan pekerja lain.”“Maksud kamu apa? Mama tidak mengerti.”“Ma, Evita sudah bicara buruk tentang aku. Makanya aku tidak suka dia tetap di sini.”“Semua bisa di bicarakan baik-baik, Elissa. Jangan pakai emosi lagi ya.”“Ah, sudahlah. Pokoknya aku tidak mau tahu, hari ini juga Elisa harus angkat kaki dari tempat ini.”“Ya sudah, terserah kamu saja.” Ucap Mama tidak ingin banyak perdebatan dengan anak semata wayangnya.Mama tidak tahu harus bicara apa lagi. Elissa sudah terlalu sering pecat pembantu dengan setiap masalah yang di buat. Jika salah saja rasa pada masakan, Elissa juga tidak sungkan-sungkan lagi untuk pecat pembantu itu. Apa lagi soal masalah besar yang mengganggu dirinya, pasti akan Elissa selesaikan saat itu juga.“Bu, aku tidak salah. Tolong percaya sama aku.” Evita datang mengemis dan bersimpuh di kaki mama Belinda untuk memohon. Namun Mama kali ini tidak akan bertindak lagi, karena sudah menjadi keinginan Elissa untuk memecatnya.“Ada apa ini ribut-ribut, Ma, Elissa? Baru juga pulang dari pernikahan Diana, sudah buat keributan saja.” Papa Rajendra datang menghampiri perkumpulan para pembantu, Elissa dan juga mama di dapur tersebut.“Tanya dengan Evita, dia yang sudah buat ulah ini.” Jawab Elissa ketus dengan kedua tangan melipat ke dada. Papa hanya menggelengkan kepalanya tanda juga sudah mengerti dengan ucapan Elissa. Sepertinya, Evita tidak dapat di beri ampun lagi.“Pasti kamu pecat dia karena kesalahannya bukan?” Tanya Papa memastikan.“Jelas dong, Pa. Haha, mana mungkin Mama dan Papa larang aku. Jadi untuk kamu Evita, lebih baik kamu jadikan ini semua pelajaran. Tidak semudah itu aku pekerjaan orang yang kurang ajar di rumah ini. Kalau di antara kalian ingin menyusul Evita silahkan! Aku tidak sungkan-sungkan untuk pecat kalian semua saat ini juga.” Ucap lantang Elissa yang sok paling berkuasa. Mama dan papa hanya menggelengkan kepalanya lalu meninggalkan keributan itu. Sikap mama dan papa membiarkan tindakan Elissa lah yang membuat Elissa merasa berkuasa dan seenaknya sendiri.Mama dan Papa lebih baik diam, daripada ribut dengan Elissa. Namun lambat laun, mama memberanikan diri untuk bicara lebih dulu mengenai sikap anaknya.“Pa, apa tidak salah selama ini kita biarkan Elissa bersikap seperti ini? Mama percaya kalau dia sebenarnya anak yang baik, akan tetapi kekayaan yang kita miliki ini membuat dia lupa diri.”“Ma, semua sudah aku pikirkan. Mama tahu sendiri, Elissa susah di nasihati. Mama percayakan saja dengan Papa, dalam waktu dekat ini. Papa akan lakukan sesuatu pada anak kita agar tidak salah langkah.”“Papa mau lakukan apa, Pa?” Tanya Mama penasaran.“Nanti Mama juga pasti tahu.” Jawab Papa dengan senyum tipis di bibirnya.***“Arrraggh! Mimpi apa aku semalam? Kok bisa-bisanya, aku ketemu wanita sombong itu lagi. Menyesal banget aku ikut pindah kemari. Tahu begitu, lebih baik aku tinggal di kampung saja. Dengan begitu, aku pasti tidak akan ketemu dengan Elissa wanita angkuh itu.”Tubuh kekar itu di hempaskan begitu saja di atas ranjang tanpa ampun. Baju yang basah masih melekat di tubuh sepulang dari bertemu dengan Elissa tadi. Arga tidak peduli dengan baju yang basah menembus Seprai berwarna putih itu.“Arga, di mana saja sih kamu? Sejak tadi aku telepon kok tidak aktif.” Suara dari seberang telepon milik Arga itu tengah menggerutu dengan Arga ketika baru di angkat.“Sorry, Aku tadi lagi sibuk. Ada apa?” Jawab Arga beralasan.“Jangan lupa nanti malam kumpul di tempat biasa ya. Gea juga ada di sana nanti.”“Oh ya! Kenapa kamu tidak ngomong dari tadi.” Ucap Arga terlihat sangat bahagia ketika mendengar nama Gea sang pujaan hati.“Kamu kadang-kadang suka bercanda ya! Jelas-jelas kamu yang susah di hubungi.”“Hehe, sorry. Oke, nanti malam aku pasti datang.”“Huu! Giliran sebut nama Gea saja, langsung gerak cepat banget.”“Iya, dong. Namanya juga lagi berusaha dapatkan pujaan hati. Ya sudah, aku mau mandi dulu ya. Sudah sore.”“Ya, biasanya juga tidak mandi. Haha!” Ucap Boy.“Memangnya kamu yang jarang mandi.” Timpal Arga. Lalu segera menutup handphone miliknya dan bergegas menuju kamar mandi. Dia tahu, jika di teruskan bicara dengan temannya itu pasti tidak akan selesai.Di sebuah tempat, di mana mereka yang selalu bertemu dan berkumpul bersama sebagai anak balap mobil. Di sana, mereka berasal dari anak-anak orang kaya. Termasuk Arga dan Boy.“Hei, Bro! Sudah datang kamu!” Sapa Boy dan menyambut kedatangan temannya dengan adu tos tangan, lalu berpelukan.“Hem, kamu pasti cari Gea ‘kan?”Boy menebak ekspresi Arga yang memang tengah melihat kanan dan kirinya.“Iya, kok dia tidak terlihat? Kata kamu dia ada di sini juga malam ini?” Tanya Arga dengan menaikkan alis kanannya ketika menatap Boy. Dia merasa tengah di bohongi temannya saat itu.“Arga, Arga! Haha.” Tawa Boy menggelitik Arga saat itu. Tiba-tiba!“Hai, Arga. Kamu cari aku ya?”Suara yang begitu lembut dan membuat Arga terperangah ketika mendengarnya.“Ge-gea!” Ucapnya dengan gugup ketika melihat sang pujaan hati sudah di dekatnya saat itu.“Kenapa? Kok kamu gugup seperti itu?” Tanya Gea bingung. Namun dengan sengaja Boy mendorong tubuh Arga agar semakin dekat dengan Gea.“Boy!” Ucap Arga dengan sedikit menekankan nada bicaranya. Mata sedikit melotot karena ulah temannya itu. Boy hanya tertawa cekikikan lalu membiarkan Arga dan Gea pendekatan dengan menjauhi mereka berdua.“Hem, maaf ya Gea. Dia memang teman yang usil. Boy teman yang baik, meski kami baru kenal. Oh iya, kamu hobby balapan juga ya? Hebat ya, padahal kamu wanita.”“Tidak, tidak, aku tidak ikutan kok. Aku hanya suka nonton saja. Kamu baru di sini ya?”“Iya, aku baru pindah.” Jawab Arga.“Oh iya, kok kamu tahu nama aku? Pasti dari Boy ya?”“Iya, siapa lagi kalau bukan dia.” Balasnya dengan senyuman.“Oh,” jawab Gea singkat.“Pasti dia teman dekat kamu.” Sambungnya.“Iya, dia teman konyol aku.”“Hem, sudah aku kira.” Balas Gea dengan senyuman lagi.Percakapan mereka saat itu begitu sangat dekat. Akhirnya, Arga bisa melupakan Elissa sejenak dari pikirannya.‘Hem, akhirnya aku bisa sedekat ini dengan Gea. Tidak akan aku sia-siakan kesempatan ini.’ Gumam Arga.“Papa, apa ini? Ma, apa yang terjadi?” Suara parau dan bergetar ketika melihat kedua orang tuanya bersimpuh di atas lantai sore itu. Elissa tidak bisa lagi menahan begitu banyak pertanyaan di benaknya ketika dia melihat Mama dan papanya duduk berlutut di tanah. Menatap pintu rumah yang sudah tertutup rapat oleh dua orang dan juga sosok lelaki tua yang sudah sering datang ke rumah Elissa selama ini. Saat itu, Elissa baru saja pulang dari kampus dan dikejutkan dengan pemandangan tak wajar di hadapannya. Beberapa koper berisi pakaian juga sudah disiapkan untuk dibawa pergi. Namun, Elissa tidak mengerti apa yang telah terjadi.“Ma, Papa, jawab aku! Ada apa ini? Kenapa kalian ada di sini, dan orang-orang ini?” Elissa duduk dan menatap mata Mama dan papanya.“Elissa, sayang. Ini bukan rumah kita lagi. Rumahnya sudah di sita.” Mama menjelaskan dengan air mata berlinang.“Ya, tapi kenapa? Kenapa, Ma? Apa kita tidak bisa melakukan sesuatu? Lalu, kenapa rumah kita di sita? Apa salah kita?” T
“Tunggu, maksudmu anakmu suka balap liar?” Tanya Papa Rajendra dengan mengerutkan keningnya diiringi alis yang melengkung dengan berbagai macam belokan.“Hahaha, maaf. Hobinya di luar. Makanya di usianya yang sekarang, dan kebiasaannya, aku ingin menikahkannya saja dan sepertinya dia cocok untuk anakmu.” Kata Daniel.“Ya, makanya dengan menikahkan anak kita, kamu tidak perlu menyewa rumah ini. Tapi itu akan menjadi milikmu!” Daniel menjelaskan lagi.“Jadi sama saja, Paman sudah membeli aku ‘kan? Atau Papa sudah menjualku untuk menikahi anak Paman Daniel.” Ungkap pendapat Elissa. Sementara itu, mama Belinda diam saja. Berbeda dengan papa Raja, bahkan dia merasa itu adalah hal yang benar.“Bukan, bukan, bukan itu maksud Paman. Paman percaya saja padamu, kalau nanti kamu pasti bisa mengubah sikap anak Paman.” Bujuk Daniel. Elissa hanya menatap dengan curiga dan menyipitkan sebelah matanya ke arah Daniel. Entah kenapa Daniel begitu mudah menjodohkan Elissa dan anaknya.“Aneh!” Elissa menj
Setelah tidak sengaja menyenggol Adel hingga jatuh, Elissa tidak peduli dan segera menuju kursi. Di sana dia menumpahkan tangisnya yang sudah tidak terbendung lagi.“El, apa yang kamu lakukan?” Adel mendekati Elissa yang menangis di meja belajarnya. Adel memberi Elissa sebuah tisu yang dia miliki.“Kenapa kamu dekat-dekat! Aku miskin, aku sudah sering mengganggumu,” katanya dengan nada keras.“Bukankah teman menemani teman saat susah, meski dia tidak pernah dianggap teman?” Kata-kata itu membuat Elissa menghentikan amarahnya dan menatap wajah Adel yang saat ini berada di sampingnya.“Kamu serius? Jadi selama ini aku banyak merepotkanmu, tapi kamu masih menganggapku teman? Kamu tidak malu berteman denganku yang malang ini?”“Elissa, bagiku sahabat yang saling mengerti. Selama ini aku berusaha baik sama kamu, tapi apa kamu tidak mengerti aku? Aku butuh teman, dan tidak ada yang menemaniku. Apa salahku? Dan apa salahnya jika Aku baik padamu? Kita berteman 'kan?” Adel membuka kesempatan u
“Maaf, Papa harus lakukan ini. Kamu harus ikut Papa sekarang juga.” Papa Daniel harus menarik Arga untuk masuk ke dalam mobil. Malam itu banyak disaksikan oleh teman-teman Arga yang melihat langsung kejadian tersebut. Arga tidak bisa menahan diri sampai dia masuk ke dalam mobil. Teman-temannya hanya mengejek Arga saat itu juga.“Haha, anak Papa dijemput lagi.” Teman-teman Arga mengejek Arga.“Iya, takut diculik tante kalau tidak pulang mungkin. Haha!”“Bisa jadi!” Sahut yang lain lagi.Itulah yang mereka katakan satu sama lain. Sempat terdengar di telinga Arga dan ingin marah saat itu juga. Tapi papa tetap menarik Arga dengan paksa.“Awas saja kalian!” Ancamnya dari balik kaca mobil.“Arga, ayo. Ayo kita pulang!”Tiga puluh menit perjalanan, Arga dan papa Daniel tiba di rumah. Tempat balap mobil Arga memang tidak jauh. Karena itulah Arga lebih memilih untuk mengikuti hobinya bersama teman-teman lainnya.“Papa, apa yang salah? Main paksa saja. Di mana aku taruh wajahku ketika mereka se
Arga terus berusaha mengejar lawannya. Sedangkan di urutan ketiga adalah temannya yang akrab disapa Boy, yaitu teman dekat Arga.Beberapa menit berlalu, Arga hampir bisa menyalip mobil yang kini berada di posisi nomor satu itu. Tapi pemandangan di belakang sepertinya ada sesuatu yang terjadi.Brak! Tabrakan keras dari mobil belakang Arga yang lepas kendali menghantam mobil Arga yang ada di depannya. Hal ini mengakibatkan tabrakan fatal yang membuat setiap mobil terlempar hingga rusak parah. Keadaan mobil Boy saat itu juga terpental jauh. Namun beruntungnya Boy berhasil keluar sebelum mobilnya hancur menabrak bangunan, sehingga dia selamat dari kecelakaan maut terserah. Sementara itu, mobil Arga melaju di luar kendali dan menabrak pohon besar di jalan. Sehingga kaca mobil pecah dan wajah Arga terbentur keras oleh gagang setir mobil. Saat itu, wajah Arga terluka parah. Kemudian, setiap orang yang mengalami kecelakaan langsung dibawa ke rumah sakit.Salah satu teman Arga menghubungi papa
“Pa, aku tidak mau dijodohkan! Batalkan perjodohan ini segera.” Elissa tampak sangat marah dengan wajah yang sudah mulai merah merona. Sepertinya masalah itu sangat serius baginya. Tas ransel kesayangan yang selalu dibawa Elissa ke kampus di banting ke kursi tamu. Saat itu, Papa sedang bersantai membaca koran di kursinya. Kemudian papa Rajendra terkejut dengan sikap dan perkataan Elissa, yang tiba-tiba berbicara dengan nada tinggi dan melampiaskan amarahnya saat itu. “Apa maksudmu, Elissa! Tidak bisakah kamu sedikit turunkan nada bicaramu itu?" Ucap papa masih dengan nada rendah dan mencoba meredam amarah Elissa. Sembari sesekali meneguk kopinya.“Pa, pokoknya aku tidak mau dijodohkan. Titik!”“Kenapa? Bukannya kamu juga sudah setuju?” Papa masih bersikap tenang dan mulai meletakkan koran yang dipegangnya. Sambil sesekali menyeruput kopi yang sudah dingin di atas mejanya lagi. “Kapan aku bilang setuju? Aku tidak pernah menyetujui perjodohan ini. Aku bukan siti Nurbaya. Dijodohkan be
“Arga, akhirnya kamu sadar juga. Bagaimana kabarmu?”“Papa, aku baik-baik saja kok.”“Ya, syukurlah.”“Maafkan aku, Pa!”“Untuk apa?” Papa mengerutkan kening saat Arga meminta maaf pada papa Daniel.“Aku tidak mendengar apa yang Papa katakan. Andai aku tidak pergi malam itu. Mungkin tidak seperti ini jadinya.”“Yah, mungkin sudah jalannya. Jadikan ini pelajaran untuk kamu. Jangan banyak berpikir lagi, Papa sudah memaafkanmu. Tapi jangan lakukan lagi ya? Tolong hentikan, sayang.”“Aku tidak ingin berjanji, Pa. Karena sudah menjadi kebiasaanku. Tapi aku akan berusaha sebaik mungkin.”“Dengan keadaan kamu seperti ini, akan tetapi kamu belum bisa melepaskan kebiasaan buruk itu?”“Ada apa denganku, Papa? Aku baik-baik saja kok.”“Ini yang kamu maksud baik?”Papa memberikan telepon dan menyalakan kamera. Papa ingin menyadarkan Arga bahwa wajahnya hancur akibat kecelakaan itu. Tetapi karena Arga belum menyadarinya, Papa memberi tahu langsung wajah Arga yang di bungkus perban.“Lihat ini, lih
Semenjak jatuh miskin, mama Belinda membuat kue untuk usaha kecil-kecilannya. Pagi itu mama sudah sibuk di dapur dengan berbagai macam kue sudah siap dan di masukkan ke dalam kotak kue. Elissa baru saja bangun untuk mandi, namun dia menatap heran dengan mamanya yang sudah membuat kue sebanyak itu. Dengan menenteng handuk, rambut awut-awutan, Elissa datang mendekati mamanya yang masih sibuk.”“Ma, tumben buat kuenya banyak sekali.” Sambil mengambil satu kue dan memakannya.“Ini usaha baru Mama, kemarin waktu Mama jenguk Arga, dan banyak ngobrol sama papanya. Mereka beri kesempatan kita untuk berjualan di depan perusahaannya.”“Apa? Jadi Mama mau saja begitu?” Ucapnya tidak percaya, kalau mantan anak konglomerat sekarang jadi anak tukang jualan kue. ‘Duh, bahaya kalau sampai tahu teman kampus, apa lagi kalau Audrey tahu. Lagi-lagi, Paman Daniel lagi. Kenapa sih hidup aku rumit banget!’ Gumam Elissa kesal. Namun mulutnya saat itu terus menyantap beberapa kue di hadapannya.“Kalau tidak d