Home / Horor / KAIN PENGLARIS / Bab 7 — Api yang Tak Padam

Share

Bab 7 — Api yang Tak Padam

last update Last Updated: 2025-11-09 06:46:47

Kebakaran itu sudah seminggu berlalu. Tapi abu dari warung Bu Rini belum juga dingin sepenuhnya. Setiap malam, warga yang lewat mengaku masih mencium bau melati, padahal semua bunga di sekitar lokasi sudah hangus.

Di siang hari, puing-puing warung itu tampak biasa saja—arang kayu, genteng pecah, dan bekas meja yang gosong. Tapi begitu matahari tenggelam, udara di sana berubah. Dingin. Hening. Dan entah mengapa, setiap orang yang melintas selalu merasa seperti sedang diawasi dari balik reruntuhan.

Kabar cepat menyebar. Ada yang bilang api itu bukan api biasa. “Warung itu bukan tempat rezeki halal,” kata beberapa warga. “Katanya Bu Rini pakai kain penglaris. Diah pun ikut jadi korban.”

Namun, malam ketujuh setelah kebakaran, sesuatu yang ganjil terjadi.

Seorang pemuda bernama Bayu—petugas ronda kampung—berhenti di depan reruntuhan warung karena mendengar suara langkah kaki dari dalam. Suara itu pelan, seperti seseorang sedang menyapu lantai. Ia menyorotkan senter. Tak ada siapa-siapa.

Tapi saat ia mematikan senter dan diam sejenak, suara itu terdengar lagi. Srak… srak… srak…

Bayu menggigil. “Siapa di sana?” teriaknya. Tak ada jawaban. Hanya bau melati yang tiba-tiba memenuhi udara, begitu pekat hingga membuatnya mual.

Ketika ia hendak pergi, sesuatu menarik ujung celananya. Ia menoleh cepat—tak ada orang. Tapi di tanah, ada kain kecil berwarna merah, gosong di tepinya, masih mengeluarkan asap tipis.

Bayu menunduk, ingin memungutnya. Tapi sebelum tangannya menyentuh kain itu, ia mendengar bisikan lembut di telinganya.

“Tubuhmu hangat… boleh aku pinjam sebentar?”

Bayu menjerit dan jatuh terduduk. Kain itu tiba-tiba melayang pelan di udara, lalu terbakar dengan api biru yang tak menghasilkan panas. Dari tengah api, muncul siluet perempuan berambut panjang, matanya kosong, tubuhnya terbentuk dari asap.

Bayu lari terbirit-birit. Tapi di belakangnya, suara langkah kaki tetap mengikuti—srak… srak… srak…—seperti sesuatu yang diseret di tanah.

Keesokan paginya, warga menemukan Bayu terbaring di depan pos ronda dengan tubuh pucat dan mata terbuka lebar. Tidak ada luka di tubuhnya, tapi di telapak tangannya tergenggam potongan kain merah berbau melati.

Setelah itu, kampung jadi geger. Tak ada yang berani lewat depan warung itu lagi. Bahkan anak-anak yang biasanya bermain petak umpet di sekitar sana kini menjauh sejauh mungkin.

Namun, satu orang memberanikan diri datang ke lokasi itu—seorang perempuan tua bernama Nyai Surti, mantan dukun yang dulu dikenal sebagai penolong warga ketika diganggu makhluk halus. Ia datang membawa dupa, botol kecil berisi minyak kelapa, dan kitab tua berwarna hitam.

Begitu Nyai Surti berdiri di depan reruntuhan, angin berhenti bertiup. Udara mendadak berat. Bau melati semakin kuat, dan dari balik abu, muncul suara perempuan tertawa lirih.

“Rini… Rini…” suara itu memanggil. “Kau tak bisa kabur dari janji darahmu.”

Nyai Surti menatap ke arah suara itu, matanya tajam. “Aku tahu siapa kau. Roh yang terikat dalam kain penglaris. Tapi kenapa kau masih di sini? Tubuh Diah sudah terbakar, Bu Rini pun sudah mati. Seharusnya kau ikut pergi.”

Suara itu tertawa lagi, kali ini lebih nyaring.

“Tubuhku memang terbakar, tapi jiwaku belum bebas. Kain itu masih ada, sebagian hidup, dan sebagian lagi mencari daging baru.”

Dari balik abu, kain merah itu muncul perlahan. Meski setengah gosong, kain itu tampak berdenyut, seperti masih bernyawa. Di tepinya menetes cairan merah pekat yang bukan darah, bukan pula minyak.

Nyai Surti mundur selangkah, lalu menancapkan dupa di tanah dan mulai melantunkan mantra. Api dari dupa menyala lebih besar dari seharusnya. “Dengan nama Tuhan yang hidup, aku kembalikan kau ke tanah tempat kau dilahirkan! Jangan lagi ganggu manusia!”

Tapi kain itu berputar di udara, mengeluarkan jeritan nyaring yang memekakkan telinga. Dari dalamnya keluar bentuk kabut hitam yang membentuk wajah Diah—wajah yang dulu lembut kini tampak kosong, tanpa jiwa.

“Nyai… tolong aku…” suara itu lirih, memelas. “Aku tak mau di sini. Aku tak mau jadi dia.”

Nyai Surti terkejut. “Diah? Kau masih ada di dalamnya?”

“Aku tak bisa keluar… dia menahanku… dia pakai tubuhku untuk mencari darah baru…”

Tiba-tiba, kabut hitam itu berubah liar. Suara tawa roh kain penglaris bergema keras.

“Tidak ada yang bisa menolongmu, Diah. Kau dan aku satu. Dan sekarang, waktunya aku mencari tubuh baru—lebih muda, lebih kuat.”

Nyai Surti segera menyiram kain itu dengan minyak dari botolnya dan menyalakan api. Tapi api biasa tak bisa membakar kain tersebut. Malah, nyala api itu menyebar ke tanah, membentuk lingkaran merah yang mengurung Nyai Surti di tengahnya.

Suara jeritan Diah dan tawa roh kain penglaris bercampur menjadi satu, menggema ke seluruh kampung. Warga yang mendengarnya menutup telinga, tapi tetap bisa mendengar bisikan lembut di telinga mereka:

“Aku haus… aku ingin hidup lagi…”

Beberapa warga yang datang untuk menolong melihat pemandangan mengerikan—Nyai Surti berdiri di tengah lingkaran api merah, tubuhnya seperti membeku. Dan di belakangnya, bayangan perempuan dengan rambut panjang berdiri tegak, wajahnya mirip Diah, tapi matanya hitam seluruhnya.

Kemudian semua padam. Api hilang, angin berhenti, dan suara melati kembali memenuhi udara.

Namun setelah kejadian itu, Nyai Surti tak pernah terlihat lagi. Hanya tongkatnya yang tertinggal di tanah, patah dua.

Dan malam-malam berikutnya, warga yang melintas di depan bekas warung itu bersumpah melihat sosok perempuan muda berdiri di sana—wajahnya mirip Diah, tapi bajunya compang-camping, matanya kosong, dan di tangannya ia menggenggam sehelai kain merah kecil yang belum sepenuhnya terbakar.

Ketika ada yang berani menatapnya lebih lama, sosok itu akan tersenyum, lalu berbisik pelan:

“Kau mau kaya sepertiku?”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • KAIN PENGLARIS    BAB 50 — Kembali pada Pemiliknya

    Rumah bergetar semakin hebat, seperti hendak runtuh dari dalam. Aku dan Gibran berusaha bangkit, namun sosok hitam itu sudah mengisi hampir seluruh ruang tamu. Udara dingin dan berat, seperti menekan dada dari segala arah.Gibran meraih tanganku. “Alya! Tetap sadar! Jangan biarkan dia menguasamu!”Tapi suaranya terdengar jauh—sangat jauh.Karena sosok itu sekarang tepat di hadapanku.Ia mengangkat wajah gelapnya, dan dari balik kabut hitam yang berputar, wajah perempuan itu muncul semakin jelas. Bekas luka bakar, kulit mengelupas, mata yang tak lagi berbentuk. Meski rusak, aku mengenalinya.Itu adalah wajah perempuan yang dulu—bertahun-tahun lalu—aku lihat di sebuah warung kecil di pasar tua. Wajah yang dulu terlihat murung… dan hilang beberapa minggu setelahnya."Alya…" suara sosok itu menggema dalam kepalaku, bukan di telinga.Kata-katanya menusuk seperti jarum es.“KAU MENGAMBIL TEMPATKU…”Aku mencoba mundur, tapi tidak bisa. Kakiku seperti terpaku oleh bayangan gelapnya.“Aku… aku

  • KAIN PENGLARIS    BAB 49 — Rumah yang Tidak Lagi Berpihak

    Gelap menelan seluruh ruang, begitu pekat sampai aku tidak bisa melihat telapak tanganku sendiri. Hanya suara napas cepatku yang terdengar—dan napas Gibran yang berusaha tetap tenang meski aku bisa merasakan tubuhnya menegang.“Alya, tetap di belakangku,” bisik Gibran. Suaranya serak, nyaris tak terdengar.Aku mengangguk meski ia tidak bisa melihat.Di tengah kegelapan itu, langkah kaki berat yang tadi terdengar kini menjadi lebih jelas. Tidak cepat. Tidak terburu-buru. Justru lambat… dan seolah menikmati setiap detik ketika mendekati kami.DUG…DUG…DUG…Setiap hentakan membuat lantai bergetar halus, seperti ada sesuatu yang jauh lebih besar daripada manusia yang melangkah di atasnya.Gibran meraih senter ponselnya. Baru saja ia menyalakannya—lampu itu langsung mati seperti dicabut paksa oleh sesuatu.Aku menahan napas. “Gibran…”“Ssh…” Ia meraih tanganku, menggenggamnya erat. “Dia ingin kita takut. Jangan beri dia yang dia mau.”Tapi itu mustahil. Karena rasa dingin mulai merayap da

  • KAIN PENGLARIS    BAB 48 — Bayangan yang Tidak Ingin Pergi

    Malam sudah hampir bergeser menuju dini hari, tapi rumahku tidak terasa seperti rumah. Tidak ada kehangatan. Tidak ada rasa aman. Hanya ada keheningan tebal yang terasa seperti menempel di kulit, seolah udara pun takut bergerak.Aku duduk di sofa dengan tubuh yang masih bergetar. Tangisku sudah berhenti, tapi setiap kali mengingat tatapan suamiku barusan, jantungku kembali mencelos.Di sampingku, Gibran masih duduk dalam diam. Tidak memaksa bertanya, tidak menuntut penjelasan. Ia hanya berada di sana—dan entah mengapa, kehadirannya lebih menenangkan daripada kata-kata apa pun.Setelah cukup lama, ia akhirnya berbicara.“Alya… kalau kamu takut dia akan melakukan sesuatu, kamu boleh ikut aku pergi. Setidaknya untuk malam ini.”Aku menatapnya. Ada kekhawatiran tulus di matanya. Tapi di balik semua itu, ada sesuatu yang lain—ketidakpercayaan terhadap apa yang bisa dilakukan suamiku.“Aku nggak tahu,” jawabku pelan. “Aku belum siap meninggalkan rumah ini. Belum sekarang.”Gibran mengangguk

  • KAIN PENGLARIS    BAB 47 — Saat Dua Dunia Bertabrakan

    Langkah kaki itu mendekat—cepat, berat, dan penuh amarah yang sudah lama kukenal. Nafasku tersengal, seolah dada terlalu sempit untuk menampung semua kecemasan yang tiba-tiba meledak.Suamiku muncul dari balik pagar. Matanya langsung menyapu halaman, lalu tertancap ke arahku—dan seseorang di sampingku.Gibran.Aku melihat bagaimana ekspresi suamiku berubah dalam hitungan detik—dari bingung, menjadi curiga, lalu membara. Rahangnya mengeras. Tangan kanannya mengepal. Aku bisa menebak isi kepalanya bahkan sebelum ia membuka mulut.“Apa ini?” suaranya rendah, tapi jelas sedang menahan ledakan.Gibran hanya berdiri tegak, tidak mundur. Tidak mencari alasan. Tidak kabur. Ia memandang suamiku dengan tatapan netral, tapi tegas. Sementara aku—aku berdiri di tengah, seperti seseorang yang diikat di antara dua jurang yang sama-sama menganga.“Apa yang kamu lakukan di sini?” suamiku mendekat, suaranya mengeras. “Siapa kamu?”Gibran menelan ludah, kemudian menjawab dengan suara tenang yang justru

  • KAIN PENGLARIS    BAB 46 — Yang Tidak Pernah Kukira Akan Datang

    Rumah itu terasa terlalu hening malam ini. Bukan hening yang menenangkan, melainkan hening yang membuat dada terasa sesak, seperti seseorang menaruh batu besar di atas napasku. Lampu ruang tamu menyala redup, menorehkan bayangan panjang di lantai keramik yang dingin. Aku berdiri di ambang pintu kamar, memandangi isi rumah yang dulu begitu kukenali, dan kini terasa seperti tempat asing yang entah bagaimana masih harus kutinggali.Hari ini seharusnya biasa saja. Tapi hidup tidak pernah benar-benar memberi jeda pada orang-orang yang sudah terlalu lama bertahan dalam luka.Ponselku bergetar pelan di atas meja kecil. Nama yang muncul membuat jantungku berdetak sedikit lebih cepat—bukan karena cinta, bukan karena rindu, tapi karena campuran takut dan sesuatu yang tak bisa kuterjemahkan.Gibran.Pesan pendek muncul:“Alya… kamu baik-baik saja hari ini?”Pertanyaan sederhana, tapi entah mengapa menamparku lebih keras dari teriakan siapa pun. Karena suamiku sendiri tidak pernah menanyakan itu.

  • KAIN PENGLARIS    Bab 45 — Rumah Penenun Kematian

    Pintu rumah itu menganga seperti mulut raksasa yang siap menelan siapa pun yang masuk. Udara yang keluar dari dalamnya terasa dingin, lembap, dan berbau seperti tanah basah bercampur darah lama. Arini menutup hidungnya, berusaha tidak muntah.Aminah melangkah paling depan. “Jangan tertinggal. Jangan menyentuh apa pun yang tidak perlu. Dan apa pun yang terjadi… jangan menatap bayangan kalian sendiri.”Pak Jaya menelan ludah. “Bayangan?”Aminah tidak menjawab. Ia hanya masuk ke kegelapan rumah itu, membawa lampu minyak kecil yang baru dinyalakannya.Cahaya lampu itu tidak memantul.Seolah rumah itu menelan cahaya.Di Dalam Rumah GelapBegitu mereka masuk, pintu rumah tertutup dengan gedebuk keras, membuat Arini menjerit.Pak Jaya mencoba membuka pintu, namun pintu itu tidak bergerak sama sekali. Bahkan tidak bergoyang.“A-apa ini…? Bu Aminah… pintunya terkunci!”Aminah berdiri tegak, tanpa menoleh. “Memang begitu. Begitu kita masuk, rumah ini akan menentukan siapa yang boleh keluar.”Ar

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status