Hujan mengguyur kota. Rintiknya menyapa lewat jendela. Mengabarkan bahwa ia telah tiba. Angin menggelitik bumi. Menerbangkan dedauan kering dan sampah ringan sesuka hatinya. Suara desakan petir ikut memeriahkan pertunjukan hujan kali ini.
Dewo menatap kota Jakarta dengan sendu. Sudah lebih dari tiga tahun ia meninggalkan kota ini dengan semua kisah haru. Dewo tak pernah mengharapkan dirinya hadir kembali karena kisah pilu. Ia selalu berharap akan datang ke Jakarta ketika mendengar kabar bahagia dari putri semata wayangnya—Byanca.
“Pak, kita sudah sampai,” beri tahu supir.
Dewo menatap lekat rumah yang tampak sepi, seakan tak ada penghuni. Ia menurunkan sedikit kaca dan bertanya pada sekuriti yang berjaga. “Byanca ada di dalam?”
“Ibu Byanca? Maaf Pak. Setahu saya rumah ini bukan milik Ibu Byanca lagi. Rumah ini sudah dijual tiga minggu yang lalu.”
Alis Dewo bersatu. Seribu guratan kebingungan melintasi wajah
Dewo mencengkeram pundak Bian. Matanya memerah dan menyayat hati Bian. “Setidaknya kamu memulangkannya kepadaku. Dimana rasa hormatmu?” Dewo menampar pipi Bian. Emosi berkecamuk di dadanya. Penyesalan menghiasi setiap langkahnya.Bian menyeka darah dari hidungnya. Ia menatap Dewo dengan penuh ketakutan. Bukan takut karena dihajar, tapi takut karena telah melukai hati pria yang mempercayainya itu. Bian ingin saja menyatakan kebenaran dan hatinya seakan menolak. Ia telah bersusah payah membiarkan Byanca pergi, maka ia tak akan bisa melihat Byanca kembali.“Layakkah Byanca diperlakukan seperti itu?” teriak Dewo dengan suara parau. Ia terjatuh ke lantai dengan lutut tertekuk. Air matanya menjadi pertanda betapa hancur perasaannya. “Bahkan Byanca belum pernah merasakan kebahagiaan yang sesungguhnya.”Jika Dewo bisa memutar waktu, ia ingin memperlakukan Byanca jauh lebih baik lagi dan tak akan pernah mengizinkan Bian masuk dalam keh
Rina langsung mengambil ponsel Byanca. Ini bukan saat yang tepat untuk dia hadir ke dalam permasalahan Rams. Rina tentu saja sudah mengetahui permasalahan ini, bahkan ia juga sangat menyesali keputusan Dewo. Namun satu sisi dia senang karena bisa membalas kejahatan keluarga itu.“Ini bukan waktu yang tepat untuk kamu menghubungi mereka.”“Tapi, Mi.” Byanca menatap dengan penuh permohonan, hingga air matanya kembali menetes. Salahkan Byanca yang memiliki hati lembut dan mudah tersentuh.“By, lagi pula itu keputusan Papi dan tidak ada hubungannya dengan kamu. Jika mereka menyalahkan mu maka mereka tak tahu malu,” murka Rina. Ia membawa Byanca ke dalam pelukannya.“Mi… seluruh keluarga Bian bergantung pada Bay Air, meskipun perusahaan Bian maju tapi tidak bisa menandingi kemajuan Bay Air. Byanca khawatir jika mereka bangkrut, terlebih lagi Bunda Rentina sudah vakum dari dunia musik.” Kini mereka hanya be
Awalnya niat jahat itu tidak pernah terbesit, namun ketika seseorang menoreh luka, rasanya sangat sakit sehingga menimbulkan dendam dan rasa ingin terbalaskan. Maka, tak salah bila ada yang mengatakan orang jahat terbentuk dari orang baik yang tersakiti.Dewo memamerkan senyuman kepada rekan-rekan bisnisnya. Ia sengaja mengundang mereka memadati rumah—yang sudah lama tak ia tempati bahkan akan segera dijual. Tujuannya adalah menjual saham Bay Air agar ia tak terlibat lagi dengan keluarga Bian. Dewo memegang saham sekitar 30% dan menjadikannya salah satu dari 3 pemegang saham terbesar lainnya. Kali ini, Dewo tak peduli jika mereka menghargai saham itu dengan harga murah sekalipun karena rasa muaknya sudah sangat menggerogoti.“Baiklah! Saya akan membeli dengan harga sepuluh milyar rupiah.” Salah satu pria berusia sekitar 40 tahun mulai membuka penawaran. Ia sudah mempertimbangkan jika Dewo menjualnya dahulu—di kala Bay Air sedang dalam masa perke
Tidak ada yang mengenal siapapun dengan baik kecuali dirinya sendiri. Bertahun-tahun saling mengenal tidak menjadi jaminan untuk kita dekat, dalam arti kata mengetahui semua rasa dan rahasia. Tidak, waktu tidak bisa membeli sebuah kenyamanan, meski ada yang mengatakan bahwa kita akan nyaman karena terbiasa. Nyatanya, itu tidak berlaku pada semua orang. Seperti halnya, Byanca. Ia tak mengenal siapa Bian, padahal di awal pernikahan profil Bian adalah profil yang diidamkannya, namun kini beralih menjadi profil yang sulit untuk dipahami.“Mi… bagaimana penampilan Ken?”Byanca terkesiap dari lamunan panjangnya, ia melirik pada anaknya yang kini sedang memakai seragam sekolah baru. Ya, hari ini Ken sudah mulai bersekolah di Busan. “Kenapa anak mami tampan sekali?” Ia mengulurkan tangannya untuk meraih Ken dalam dekapannya.“Jangan ciumi Ken terus, Mi,” rajuk Ken. Ia mengerucutkan bibirnya dan melipat tangan di dada. &ld
Seperti membuka lembaran lama kembali; mengeja semua kisah buruk yang pernah terjadi. Lukanya masih sama, dampaknya juga masih sama. Pernyataan pisah dari Rams masih terus berulang di kepala Rentina. Sebagai wanita yang pernah gagal dalam berumah tangga, ada harapan besar pada pernikahan kedua ini untuk melangkah sampai garis finish. Rentina merasa sangat egois untuk mengukung Rams dan memohon agar membatalkan ucapannya, tetapi harga diri Rentina sangat tinggi. Maka, ia hanya diam saja dan membiarkan Rams mengemasi barang-barangnya sebelum berlalu pergi tanpa memberitahu akan kemana tujuannya.Rentina bukan wanita bodoh yang tak tahu bahwa kehancuran perusahaan Rams memang sangat memukul. Ia tahu bahwa Rams sudah lebih dari dua puluh tahun merintis usaha tersebut dan hanya karena Bian semuanya jadi hancur. Mungkin jika ia menjadi Rams, sudah dipastikan bahwa ia berujung ke rumah sakit atau rumah sakit jiwa sekalipun. Namun, sebagai ibu, ia juga tidak bisa menyalahkan Bian seu
Terkadang perasaan cemas tak diterima oleh lingkungan merupakan sebuah ancaman. Pemikiran buruk selalu menghantui. Akan seperti apa ke depannya? Mampukah menjalani hari-hari dengan orang baru? Ken punya kecemasan itu ketika ia kali pertama menginjakkan kaki di sekolah. Ia menatap halaman yang luas di depan sebuah gedung bertingkat yang terlihat sangat megah layaknya istana yang ada di buku dongeng. Ia sempat ragu dan berpikir lebih baik pulang saja dari pada melanjutkan masuk ke sekolah. Ini bukan hanya ketakutan tak diterima melainkan ia juga belum bisa memahami bahasa mereka seutuhnya. Rina mengelus surai hitam Ken, ia mengamati gerak-gerik keraguan di setiap langkah cucunya. Ia berjongkok dan mengeratkan mantel dingin Ken. “Boy, tidak apa-apa. Mereka semua baik kok.” Ia tersenyum. &n
Max mengagumi desain eksterior maupun interior perusahaan sepupunya ini, Byanca. Bergaya vintage dan cozy perusahaan ini lebih cocok dijadikan tempat bersantai seperti kafe. Mengingat perusahaan yang didirikan Byanca adalah perusahaan di bidang kecantikan yang pastinya lebih menarik di kalangan remaja, jadi ia mencerminkan hal tersebut pada desain perusahaannya. Seharusnya Max tak perlu meragukan kemampuan berbisnis Byanca. Ia selalu total dalam melakukan apapun. Sejak mereka kecil, Byanca selalu lebih unggul darinya di bidang apapun. Byanca juga kerap menjadi rebutan atau idola ketika kumpul keluarga. Max tak pernah merasa cemburu, justru ia bangga memiliki sepupu seperti itu. Mereka kecil tidak terlalu akur dikarenakan sifat Byanca yang lebih suka menyendiri. Biasanya Max lah yang menghampirinya hanya sekedar basa-basi menanyakan kegiatan sekolah. Max paham mengapa Byanca bersikap demikian yang tak lain dise
“Aku mendengar bahwa yang menjadi pimpinan tersebut adalah sepupunya.”Bian menatap tajam Dion, rekan bisnisnya. Ia sungguh tak peduli tentang hal itu tetapi Dion seakan memberitahunya begitu banyak. Akankah ada maksud tersembunyi di balik kalimat tersebut? “Baguslah! Bukankah itu bagus jika perusahaannya dikelola oleh orang yang berkompeten?” Bian merasa jika perusahaan tersebut tetap dikelola oleh keluarga Byanca, masih ada kesempatan untuk Byanca untuk kembali. Ia tak menginginkan perusahaannya padam begitu saja. “Ya. Keluarga Byanca memang tidak perlu diragukan lagi bagaimana hebatnya mereka dalam berbisnis.” Wajah penuh kekaguman terukir di wajah Dion. Seperti pedang yang menancap begitu dalam, Bian merasakan ucapan D