Aku merasa terkejut ketika tiba-tiba saja Mas Ramdan---pengurus tempat indekosku mengetuk pintu kamar. “Ini buat Alisha, ya! Terima kasih sudah memilih tempat kami untuk tempat kosnya!” Aku menatap tas punggung berwarna hitam itu. Modelnya tampak sederhana, tapi aku tahu ini adalah tas dengan merk ternama.“Betulan, Pak? Dapat cashback tas?” Aku menatapnya tak percaya.“Iya, kebetulan ini stock terakhir,” tukasnya. “Alhamdulilah, makasih!” Aku menerima tas itu sepertinya cocok untuk tempat laptop. “Sama-sama, Neng!” Pak Ramdan mengangguk dan berpamitan. “Oh iya, Neng. Itu AC-nya sudah nyala, ya!” Pak Ramdan menghentikan langkah dan berbalik menatap ke arahku. “Loh, kan saya minta yang AC-nya rusak saja, Pak. Kalau sudah dibenerin, naik dong harganya?” Aku sedikit mencelos. Padalah sudah punya banyak plan dengan uang yang diberikan Ayah Dirga. Mungkin aku akan berjualan juga agar bisa nambah-nambah pemasukkan. “Enggak, kok, Neng! Harganya masih sama. Permisi, ya!” Pak Ramdan tam
Suara itu. Aku lekas mendongak untuk memastikan. Rasanya sudah lama sekali tak mendengarnya. Apakah pemilik suara itu adalah orang yang sama dengan yang aku pikirkan? “Sebentar, coba saya hubungi ke telepon rumah!” Bi Marsah lekas mengambil gagang telepon yang memang ada di meja depan. Kudengar dia berbicara dengan Pak Ramdan. Tak lama, dia menutup teleponnya. “Silakan, Pak! Ditunggu saja, ya! Sebentar lagi Pak Ramdan keluar.” Sepasang mata aku tajamkan, tapi wajahnya tak terlihat jelas. Dia mengenakan masker. Hanya saja … gesture tubuh itu aku kenal. Perlahan setrikaan yang tengah kugunakan itu kusimpan. Laki-laki itu sepertinya tak menyadari keberadaanku yang terhalang oleh pakaian-pakaian yang tergantung. Aku mendekat dan menyibak baju-baju yang masih menunggu kering betul. Sepasang mataku menyipit memperhatikan gerak-geriknya. Dia tampak menunggu dengan gelisah. Sesekali tangannya mengusap ujung hidung, menyugar rambut, dan sesekali melirik jam tangan. Bahkan ujung sepatunya y
Usai berbicara dengan Pak Ramdan, aku kembali ke dalam kamar. Rupanya dia hanya hendak memberiku wejangan. Panjang kali lebar. Huft.Aku tahu, semua yang dia sampaikan adalah benar. Namun, dia hanya memandang semua itu dari konsep logika. Dia tak merabanya dari sudut hati yang terluka. Apalagi, dia adalah seorang laki-laki. Bukankah kata orang-orang, laki-laki cenderung memakai akal dan mengesampingkan perasaan? Jadi dia hanya memandang dan menilai dari kaca mata pemikiran, pantas dan tidak, dosa dan tidak. Dia sama sekali tak akan paham pada apa yang aku rasakan.Memaafkan dia yang sudah membuang dan menyia-nyiakan itu sulit. Apalagi menghapus lukanya? Mulai hari itu, hubunganku dengan Pak Ramdan merenggang. Aku pun tak mau sering terlibat apapun dengannya, selain urusan laundry dan tempat indekosku. Sebetulnya pemilik indekos ini Bu Hasanah, hanya saja beliau terlalu sibuk dengan urusan keluar. Hampir setiap hari aku melihatnya keluar. Jadi yang mengurusi semuanya adalah Pak Ramda
“Fokus, Alisha! Kamu di sini untuk belajar, bukan? Lupakan dulu semua hal yang mengganggu termasuk Mizan.” “Baiklah … aku sudah terbiasa ditinggalkan,” batinku bicara sambil tersenyum miris pada hidup yang aku jalani. Aku menjalani hari-hariku kembali dengan fokus pada tujuan yaitu nilai bagus agar bisa lulus cumlaude. Pada tahun ini, Adrian sudah masuk juga satu tingkat di bawahku. Dia indekos bareng teman kuliahnya, untuk menghemat uang katanya. Ya, aku dan Adrian punya cara yang berbeda. Kalau aku, tak terlalu suka berbagi tentang tempat. Hanya memang jika terdesak seperti di asrama kemarin, apa boleh buat. Hanya saja, jika ada pilihan, aku lebih memiliih menekan keinginanku yang lainnya dan tetap memilih tinggal sendirian. Lebih bebas, lebih privat. Satu tahun akhirnya bisa kulalui sebagai mahasiswa dan karyawan laundry. Beberapa teman yang tahu aku nyambi sebagai pekerja laundry, kerap sengaja melaundry ke tempatku. Katanya itung-itung bantu teman. Senang, bahkan Pak Ramdan
Tak banyak obrolan yang terjadi. Aku juga cukup segan untuk bertanya alasan di balik menghilangnya Mizan selama ini. Namun kedatangannya hari ini yang mengejutkan membuat aku pun sadar, dia masih menganggapku teman. Sepeda motor menepi ketika kami sudah tiba di depan rumah Ibu. Namun kedatanganku dengan Mizan disambut tatapan tiga pemuda. Di sana ada Adrian, Garda dan Genta.Mizan menurunkanku lalu menyalami adikku dan dua temannya itu. Sorot mata Adrian seolah tengah bicara, “Ooo … pantesan gak mau pulang bareng!” Namun, aku pura-pura saja gak paham dan menyapa mereka sebentar lalu ke dalam. Ibu dan Ayah Dirga pun tak kalah kagetnya. Aku melihat itu dari raut wajah Ibu. Namun, tak bertahan lama. Dia pun kembali ramah seperti biasa. Begitupun ayah Dirga. “Oh, Mas Mizan ini satu kampus sama Icha?” tanya Ibu sambil membantuku membawa barang-barang ke kamar. “Enggak, Bu. Dulu satu kelas waktu SMA saja. Hanya saja sekarang kuliahnya misah.” Ibu ke dalam kamarku dan menyimpan barang b
Keesokan harinya, Gilang benar-benar menjemput. Aku cukup terbantu karena memang cukup banyak yang memesan. Ketika aku datang, barang-barang yang mereka pesan langsung diambil. “Alhamdulilah ….”Aku tersenyum melihat lembaran rupiah sudah di tangan. Hari ini ada sekitar tiga puluh bungkus yang terjual dengan harga lima ribuan. Seratus lima puluh ribu. Nominal yang aku dapatkan ini jauh lebih banyak dari pada berlelah-lelah menyetrika di laundry. Meskipun memang, uangnya masih harus kusimpan sebagian dan kuputar lagi buat modal. Namun, inilah bedanya bekerja di orang dengan berjualan. Jika bekerja, pendapatan memang aman, tapi terbatas. Jika jualan kalau laku bisa dapat dua kali lipatnya, hanya saja kalau sepi, ya risiko tanggung sendiri. Hanya bagaimana saja pintar-pintar menyimpan ketika laku seperti saat ini. Hari-hari kujalani dengan status baru, mahasiswi penjual keripik. Aku tak membawa banyak hanya sesuai pesanan saja. Setidaknya, aku tak direpotkan dengan harus membawa keripi
Pov Heru Kepala masih terasa amat berat. Mataku yang terbuka perlahan mengerjap. Kumenyipit dan menggeleng untuk menghalau kunang-kunang yang beterbangan. Pandanganku yang mengabur, perlahan menjadi jelas dan semakin jelas. Plafon putih dan lampu adalah hal yang pertama kulihat, lalu beralih pada jam dinding dan tangan yang terasa kemang dan nyeri. Seluruh badan pun terasa ngilu. “Aduh!” Tanganku rupanya sudah terpasang jarum infus. Aku mencoba mengingat-ingat apa yang telah terjadi. Hingga perlahan terurai bayangan ketika siang tadi aku mengikuti Alisha pulang. Hal yang akhir-akhir ini rutin kulakukan ketika belum mendapat tarikan penumpang. Ingin sekali aku memberinya tumpangan. Mengantar jemputnya sekolah. Hal yang sejak dia kecil tak pernah aku lakukan. Namun, aku tak berani. Dia pasti menolakku lagi. Akhirnya dari pada nanti dia menghindar, lebih baik aku mengikuti diam-diam. Aku bisa pastikan dia baik-baik saja. Aku tak menyangka, Dirga rupanya membeda-bedakan kasih sayangny
Aku berjalan keluar dari gerbang kampus sambil memikirkan hal itu. Hal yang tak ingin kupikirkan tapi terpikir dengan sendirinya. Hanya saja lamunanku buyar ketika terdengar debuman yang cukup kencang disertai jeritan lalu satu mobil terseret hingga beberapa meter jauhnya dan menabrak trotoar. “Astaghfirulloh!” Aku lekas berjalan hendak mendekati orang-orang yang mulai berkerubung. Ternyata tabrakan itu melibatkan dua orang penyebrang jalan. Tampak darah bercecer di jalanan dan seketika kakikku merasa lemas. Aku berpegangan pada tiang lampu jalan dan berhenti meski belum melihat jelas kondisi korban.”Sha! Ayo naik!”Suara itu aku kenal. Benar saja, dia adalah Gilang. Aku tersenyum dan menatapnya heran, “Loh sudah pulang?” “Iya, yuk!” Dia mengangguk. “Ada yang tabrakan, Lang!” “Iya, sudah banyak yang nolong! Lo pucat kayak gitu pun. Ayo gue antar pulang! Jangan sampai korban bertambah gara-gara lo pingsan, Sha!” “Oke.” Aku pun urung mendekati kerumunan. Lagipula kakikku sudah le