“Hai, aku Angel.” ucapnya tenang.
"Boleh minta nomor telpon atau pin BBM?" tanya Steven sambil tersenyum sangat manis.
Lisa memandang Steven dengan tajam.
'Kemarin katanya Angel yang meminta nomor HP nya, ternyata dia yang kegenitan duluan!' gerutu Lisa dalam hati.
"Ini, tolong diisi datanya ya, supaya kami mudah menghubungi kalian kalau ada apa-apa." Steven menyerahkan selembar kertas kepada Angel.
"Uh, gue pikir dia naksir Angel, makanya minta nomor HP, ternyata buat data." bisik Donna tepat di telinga Lisa. Rebekha dan Ersa tersenyum sambil mengangguk tanda setuju dengan perkiraan Donna. Ternyata mereka berempat memiliki pemikiran yang sama.
Lisa tersadar ini hanya mimpi tapi dia masih terbawa emosi karena masalah yang terjadi antara dia dan Steven di kehidupan nyata hingga membuatnya jadi kesal tanpa sebab.
"Udah ah, ayo balik." ajak Lisa yang merasa gerah melihat Steven dan Angel yang sedang berbincang hangat.
"Permisi dulu yuk ke Steven." ajak Rebekha sambil menarik tangan sahabat-sahabatnya.
"Gue nunggu disini aja, males jalan kesana." jawab Lisa sambil melepaskan tangannya.
"Ya udah." sahut Rebekha lalu berjalan ke arah Steven bersama Donna dan Ersa.
"Ka Steven udah nggak ada apa-apa lagi kan? Kami mau permisi, soalnya masih ada kelas." Donna menepuk pundak Steven, tanpa menghiraukan Angel yang masih berbicara.
"Oh iya, udah ga ada apa-apa lagi kok. Kalian udah isi datanya kan?"
"Sudah kak." jawab Rebekha lembut.
"Loh satu lagi mana?" tanya Steven sambil mencari sosok Lisa yang tadi menempel dengan mereka bertiga.
Rebekha mengarahkan jari telunjuknya ke tempat Lisa berdiri. Steven memandang Lisa yang tampak kesal menunggu teman-temannya.
"Ngapain dia disana sendirian?" tanya Steven sambil tertawa kecil.
"Males jalan katanya." jawab Ersa jujur.
"Oh, sorry aku kesana sebentar ya." ucap Steven kepada Angel, lalu memberikan tanda kepada Rebekha, Donna dan Ersa untuk mengikutinya.
Lisa melihat Steven dan para sahabatnya sedang berjalan menuju ke arahnya.
"Loh, ngapain dia kesini?" tanya Lisa panik.
"Kamu udah isi data?' tanya Steven sambil tersenyum, begitu tiba di hadapan Lisa. Lisa mengangguk pelan sambil memandang Steven dengan curiga.
"Ok, kamu punya masalah dengan saya?" tanya Steven lagi, kali ini dengan wajah serius. Lisa menggelengkan kepalanya.
"Tapi kok saya merasa kamu marah sama saya ya?" sambung Steven masih dengan wajah serius. Rebekha, Donna dan Ersa berdiri diam di belakang Lisa dengan wajah tegang.
Sejak tadi mereka hanya melihat sisi Steven yang ramah dan mudah tersenyum, mereka tidak menyangka kalau Steven juga bisa sangat serius dan sedikit menakutkan.
Lisa yang sangat mengenal Steven tahu bahwa dia sedang mengerjai Lisa. Steven sedang mencoba tampak serius tapi kaki kanannya yang bergoyang menandakan dia sedang bersandiwara.
"Enggak, gue nggak marah. Gue cuma nggak suka ama lo!" jawab Lisa tegas lalu tersenyum licik. Rebekha meraih lengan Lisa, berusaha menenangkannya, tapi ditepis oleh Lisa.
Steven menghentikan goyangan kakinya. Lalu memandang Lisa dengan wajah marah. Lisa bergeming, dia melihat badai di mata Steven.
"Elu boleh mengundurkan diri kalau nggak suka. Gue masih bisa nyari mahasiswi yang lain." tegas Steven mengubah panggilannya kepada Lisa yang tadinya kamu menjadi elu, lalu meninggalkan Lisa.
Kali ini Steven marah, benar-benar marah. Lisa mengenal mata itu, mata yang sama Steven perlihatkan ketika Lisa meminta cerai.
Dada Lisa terasa sesak, rasanya dia ingin menangis, tapi harga diri melarangnya untuk melakukan itu di hadapan teman-temannya. Tapi Lisa tidak dapat menahan emosinya, airmata keluar tanpa dapat dia bendung. Lisa lari meninggalkan teman-temannya karena tidak ingin mereka melihatnya menangis.
***
Steven benar-benar tidak habis pikir, apa masalah perempuan itu dengannya. Mereka baru saja kenal hari ini, tapi kenapa dia bersikap seolah-olah Steven pernah melukainya.
"Ada masalah?" Angel melihat perubahan raut wajah Steven setelah pergi dengan ketiga juniornya tadi.
"Oh masalah kecil, kamu punya teman satu lagi nggak? Soalnya salah satu dari mahasiswi yang tadi mengundurkan diri." jawab Steven mencoba menutupi rasa kesalnya.
"Oh ada banget, tadinya dia mau ikut tapi kata Rudy udah pas orangnya. Ini aku daftarin nama sama pin BB nya ya." ucap Angel sambil menulis. Dia senang karena bisa membantu Steven, berharap Steven akan mengingat dia dan kebaikannya, siapa tahu pada akhirnya Steven akan menyukainya.
"Thank you banget ya." ujar Steven sambil menyunggingkan senyum dengan terpaksa.
"Aku duluan ya, ada kelas." sambung Steven lalu pergi meninggalkan Angel.
Steven masih tidak dapat melepaskan pikirannya dari Lisa. Dia marah sekaligus penasaran dengan gadis itu. Ada sesuatu dalam gadis itu yang membuat Steven tertarik sekaligus benci.
"Adji!" teriak Steven melihat salah satu teman seangkatannya. Dia ingat Adji memiliki seorang adik di Fakultas Hukum.
"Apaan bro?" tanya Adji setelah Steven tiba di hadapannya.
"Bro, lu kenal nggak sama temen-temen adek lo di Hukum?"
"Kenapa? Ada yang lo taksir?" selidik Adji dengan wajah datar. Dia sudah hapal dengan lagak teman-temannya yang mengincar para mahasiswi junior.
"Bukan, ada satu cewek yang kayaknya bermasalah sama gue. Tapi gue ga ngerti masalahnya apa." jawab Steven mencoba meyakinkan Adji.
"Siapa namanya?"
"Lisa, Lisa Putri Adhitama." Steven membaca daftar nama yang diisi para mahasiswi tadi.
"Lisa? bermasalah sama elo? nggak mungkin deh kayaknya." Adji menggelengkan kepalanya.
"Itu anak paling pintar, seangkatan. Dia sama temen-temennya empat sekawan itu paling terkenal di Fakultas Hukum, soalnya cantik-cantik dan modis-modis semua." sambung Adji sambil tersenyum penuh makna.
"Kalau bukan karena adek gw, udah gw deketin tuh mereka, dapat yang mana aja juga oke. Haha."
"Nah, Lisa itu menurut gw yang paling cantik dari mereka berempat, paling pintar, paling supel, tapi paling ga mungkin mau sama gue. Hahaha." Adji tertawa lepas sambil memukul pundak Steven.
"Kalau elu mungkin dia mau, soalnya kalian sama-sama pintar dan sama-sama good looking. Deketin aja lah" Adji terus nyerocos.
"Gue bukan mau ngedeketin dia!" amuk Steven yang dari tadi hanya diam mendengarkan Adji. Lalu pergi meninggalkan Adji, Steven merasa tidak ada gunanya bicara dengannya.
***
Lisa pulang ke rumah dengan mata sembab, dia tidak sanggup melanjutkan kelas hari ini dengan penampilan dan hati yang kacau. Sesampainya di rumah, Lisa langsung masuk ke kamar dan menguncinya. Dia tidak ingin ibunya melihat mata bengkaknya.
Sesampainya di kamar Lisa tertidur karena lelah.
"Lisa, kamu nggak makan?" Tiba-tiba suara ibunya membangunkan Lisa. Dia kaget karena terbangun dalam kamar yang gelap.
Dia segera meraih HPnya dan menggunakan cahaya HP untuk menyalakan lampu. Setelah lampu menyala dia melihat jam sudah menunjukkan pukul 7 malam.
'Aku tidur selama 6 jam?' Lisa terkejut menyadari betapa lamanya dia tidur tapi masih merasa mengantuk.
"Lisa nggak makan Ma, Lisa mau tidur, capek." jawab Lisa setelah ibunya mengetuk pintu kamarnya untuk yang kedua kalinya.
Lisa yang sangat lelah hanya mengganti bajunya lalu berencana untuk kembali tidur ketika tiba-tiba HP nya berbunyi.
"Steven" guman Lisa melihat nomor tanpa nama yang tertera di HP nya.
"Halo" jawab Lisa tenang. Dia yakin Steven mendapatkan nomor teleponnya dari daftar yang tadi dia berikan dan berencana mengajak Lisa bergabung lagi.
"Lisa? Kamu Lisa?" tanya suara yang sangat Lisa kenal. Lisa tertegun. Ini bukan suara Steven yang tadi siang dia temui.
Ini suara Steven suaminya. Steven yang berusia 38 tahun.
-2022- “Keluarga Lisa.” panggil perawat ICU. Steven yang sedang duduk di ruang tunggu ICU bersama beberapa penunggu pasien ICU lainnya, segera keluar memakai sepatu dan berlari ke arah ICU. “Maaf Pak keadaan Ibu Lisa sedang menurun, kami harus memasukkan beberapa obat, boleh minta tandatangan bapak disini?” tanya perawat sambil menyerahkan selembar kertas dan pena. Steven segera menandatangi kertas yang diberikan oleh perawat. “Sus, apa boleh saya masuk?” mohon Steven setelah selesai memberikan tanda tangannya. “Nanti bapak saya panggil kalau sudah boleh masuk.” jawab perawat lalu segera meninggalkan Steven. Steven yang berharap perawat segera memanggilnya untuk bertemu Lisa, bolak-balik di depan pintu ICU. Subuh tadi Steven hanya diberikan waktu sebentar melihat Lisa. Dia diminta keluar, meskipun dia memohon agar bisa tinggal lebih lama. Tapi dokter jaga ICU menolaknya dan meminta Steven mempercayakan Lisa kepada para dokter dan perawat. ‘Mereka tidak mengerti!’ teriak Steven d
"Berarti... Ini bukan mimpi!" Lisa mulai menemukan benang merah dari kondisinya saat ini. "Apa mungkin jiwaku kembali ke tubuhku yang berusia sembilan belas tahun?" tanya Lisa dengan mata membelalak. Lisa tidak percaya dia mengalami hal ini. Lalu bagaimana caranya Steven bisa menghubunginya? Lisa menutup wajah dengan kedua tangannya. Tiba-tiba kepalanya terasa sakit dan dadanya terasa panas. Dia kewalahan dengan informasi yang baru saja dia dapatkan. Lisa bahkan tidak sanggup menangis atau berkata-kata. Tiba-tiba Lisa menyadari bahwa kemungkinan terburuk bahwa tubuh aslinya bisa mati kapan saja. 'Apa yang akan terjadi dengan ku kalau tubuhku mati?' Lisa bertanya dalam hatinya. Lisa ketakutan membayangkan wajah Steven, anak-anak mereka, keluarganya, sahabat-sahabatnya. Lisa takut berpisah dengan mereka. Lisa takut mati. Lisa tidak ingin mati. "Aku harus kembali ke dalam tubuhku, bagaimanapun caranya." Lisa bertekad dalam hati. Keluarganya boleh berpikir bahwa dia mencoba bunuh
Steven mengepalkan tangannya, dia sangat ingin memukul wajah laki-laki yang sedang tertawa bahagia itu. Tapi kemudian dia melihat Lisa juga tertawa bahagia. Steven melepas kepalan tangannya, tubuhnya terasa lunglai. Entah mengapa dia merasa begitu patah hati pada perempuan yang baru dia temui kemarin. Steven meninggalkan kedua manusia yang tampak mesra itu. *** "Lisa!" teriak Ersa sambil melambaikan tangannya setelah melihat Lisa dan Andrew di taman. "Sini!" balas Lisa berteriak kepada para sahabatnya. Wajah Andrew berubah dan tampak tidak nyaman. "Aku duluan ya mau ke kelas, ini pin BB ku." Andrew menyerahkan selembar kertas kecil, lalu segera meninggalkan Lisa tepat sebelum ketiga sahabatnya tiba. "Siapa tadi?" selidik Ersa penasaran. "Senior kita, namanya Andrew." jawab Lisa sambil membaca kertas yang diberikan Andrew. Tiba-tiba Ersa merampas kertas yang sedang dibaca Lisa. "Ini pin BB ku 55883F56. Aku tunggu ya kabarnya kapan kita bisa ketemu lagi. Andrew." Ersa membaca ker
"Apa?" pekik Lisa kaget. "Apa yang kalian bicarakan? Bagaimana dia bisa tahu istrimu koma? Apa dia datang sendirian?" cecar Lisa dengan kesal. "Kenapa kamu kedengaran marah?" tanya Steven bingung. Lisa tiba-tiba menyadari kesalahannya karena terbawa emosi. "Enggak, cuma penasaran, ceritanya seperti di film." jawab Lisa setenang mungkin. "Dia membicarakan banyak hal, tentang masa lalu, kehidupan, masa depan dan hal lain. Ternyata hidup kami sama-sama rumit. Dia sedang dalam proses perceraian dengan suaminya." jelas Steven. "Bukankah itu berbahaya? Istrimu koma, dia mau bercerai. Bagaimana kalau tumbuh rasa yang tidak seharusnya di antara kalian?" tukas Lisa dengan nafas tertahan, dia tidak ingin kehilangan kendali lagi. "Iya benar, karena itu tadi aku minta dia jangan datang lagi ke rumah sakit. Aku ingin konsentrasi merawat istriku." jelas Steven. Lisa diam. "Jangan khawatir, aku tahu bagaimana harus menjaga diriku dan keluargaku." tambahnya mencoba meyakinkan Lisa. "Aku hany
Steven mencoba menenangkan pikirannya. Dia tidak habis pikir kenapa dia bisa semarah ini melihat Lisa bersama laki-laki lain, padahal Lisa bukan miliknya. Steven memutuskan untuk pergi ke kantin dan mengistirahatkan kepalanya. Betapa kagetnya dia ketika melihat Lisa sedang duduk berdua dengan Andrew. Steven terus berjalan melewati mereka. Dia berusaha mengacuhkan Lisa. Tapi Steven yang sadar Lisa sedang menatapnya tidak bisa menahan diri. Akhirnya dia membalas tatapan Lisa sebentar lalu segera membuang muka. Steven meninggalkan kantin dengan kesal setelah membeli sebotol minuman dingin. Lisa juga kesal melihat tingkah Steven. Baginya Steven sangat berlebihan. 'Daripada mikirin orang sensitif kayak gitu, mending aku konsentrasi sama yang di depanku aja.' guman Lisa dalam hati. *** Malam telah tiba. Seperti malam-malam sebelumnya, Lisa menunggu telepon dari Steven suaminya. Dia sangat ingin menanyakan keadaan anak-anaknya. Lisa begitu bersemangat setelah melihat nomor telepon S
"Boleh, nanti malam jam setengah tujuh ya." sahut Lisa dengan nada kesal. Andrew mengangguk senang. "Mau makan di restoran Our Steak di pusat kota?" tanya Andrew bersemangat. Lisa hanya mengangguk, meskipun dia tidak mengenali nama restoran yang disebutkan Andrew. "Ya udah, kalau gitu aku pulang duluan ya." sambung Andrew, lalu meninggalkan Lisa dengan hati berbunga-bunga. Tadinya melihat reaksi yang Lisa berikan selama berjalan-jalan, Andrew pikir Lisa sama sekali tidak tertarik kepadanya.Tapi siapa sangka Lisa ternyata menerima ajakannya untuk makan malam berdua di malam minggu. Sementara Lisa yang kesal segera meninggalkan tempatnya berdiri dan berjalan menuju kantin dimana para sahabatnya sudah menunggu. "Akhirnya Lisa muncul." teriak Ersa sambil memeluk Lisa. "Karena kita bertiga dapet amplop jadi malam ini kita mau traktir kesayangan kita makan malam." seru Ersa bersemangat. Lisa menggelengkan kepalanya. "Yah, nanti malam gue udah terlanjur janjian lagi sama Andrew." jawab
'Steven.' guman Lisa dalam hati. Lisa tiba-tiba kehilangan konsentrasinya. Padahal tadi dia sudah menyusun kata-kata yang paling bijak dan tidak menyakitkan untuk menolak Andrew. Tapi kini kepalanya dipenuhi rasa penasaran dengan siapa Steven datang ke restoran ini. Lisa menghembuskan nafas lega, ketika melihat Steven datang dengan Gerard abangnya dan Aulia pacar Gerard. "Lisa, gimana?" Andrew yang sedari tadi menunggu jawaban Lisa sambil menundukkan kepalanya, mengangkat kepalanya dan mencolek tangan Lisa. Lisa tersentak, dia tersadar bahwa Andrew sedang menantikan jawabannya. "Maaf Andrew, gue nggak bisa nerima tawaran lu." jawab Lisa singkat. Semua kata-kata yang sudah dia siapkan tiba-tiba menguap entah kemana. "Kenapa? Apa ada yang salah dari aku? Atau kamu suka sama orang lain?" cecar Andrew dengan wajah sedih. "Bukan, enggak ada yang salah kok sama lo. Tapi gue emang belum boleh pacaran sama bonyok* gue. Selain itu gue juga masih mau konsentrasi kuliah." jawab Lisa sekena
"Berhenti sekarang!" teriak pria yang duduk diatas motor itu. Lisa menghentikan langkahnya. Saat ini tidak ada gunanya melawan, lebih baik menuruti perintah orang itu, lalu mencoba bernegosiasi. Lisa membalikkan tubuhnya dan melihat pria itu membuka helmnya. "Ngapain kamu lari?" tanya pria itu sambil meletakkan helm di atas pahanya. "Steven?" pekik Lisa senang sekaligus kesal. "Papamu nggak jadi jemput?" tanya Steven sambil memajukan motornya lalu berhenti di samping Lisa. "Enggak tahu, sudah di telepon berkali-kali sama sekali nggak diangkat." ucap Lisa terengah-engah. "Ya udah, ini pakai helm, biar aku antar pulang." perintah Steven sambil memberikan helm. Kali ini Lisa melakukan semua perintah Steven dengan patuh. Dia tidak punya pilihan lain selain mengikuti kata-kata Steven. Lisa naik ke atas motor Steven. Begitu duduk, tangan Lisa secara otomatis memegang pinggang Steven seperti biasanya. Steven yang kaget dengan tindakan Lisa langsung melirik ke arah pinggangnya. Lisa ter