Ba'da Maghrib aku membawa Bang Amar ke rumah Ustazah Aina, Bang Amar tak protes ia hanya mengikuti kemauanku yang membawanya ke rumah Ustazah Aina.“Abang malu Dik, bagaimana jika Ustazah Aina dan Ustad Rafi mencela Abang?” ucap Bang Amar.Aku tersenyum, mencoba mencairkan hatinya, meyakinkan bahwa ia harus melakukan ini agar otak dan hatinya kembali bersih.Aku paham jika ia takut rahasianya akan terbongkar dan Ustazah Aina juga Ustad Rafi akan mencelanya karena kami satu komunitas dakwah, terlebih mereka dan Bang Amar sudah dekat karena adanya pengajian-pengajian yang selalu diadakan oleh majelis mereka.“Insyaallah allah akan membantu Abang menutup aib Abang.”Bang Amar menundukan wajahnya, aku mendengar ia mengucap berkali-kali istighfar dan basmalah. Aku tahu ia pasti gugup dengan apa yang akan dikatakan Abah Ahmad nanti.Aku memegang erat lengan Bang Amar, membawanya masuk. Mengucap salam yang langsung disambut oleh seorang pemuda dengan sorban putih, dalah anak Ustazah Aina yan
Aku menggenggam jari jemari Bang Amar, memintanya untuk langsung pergi Bang Amar menurut. Dia tak turun mengantarku hingga ke dalam gerbang. Aku keluar seorang diri sementara Bang Amar langsung menjalankan mobilnya.“Asalamualaikum Ustazah?”ucap viko,“Aku menjawab salamnya dan berlalu begitu saja tanpa melihat sedikitpun ke arah Farhan, aku sempat meliriknya sekilas ia melihat mobil Bang Amar dan berlalu pergi setelah melihat Bang Amar tak turun dari mobil.Aku tidak tahu ia ternyata tak menyerah setelah Bang Amar mengabaikan telepon juga pesannya.Viko mengejarku,sedikit berteriak memanggil,“Ustazah tunggu,?”Aku menghentikan langkah dan berbalik ke arah Viko.“Ada apa Viko?” tanyaku heran.“Teteh kenal sama Farhan?”Kenapa Viko beralih memanggilku teteh, jika seperti itu berarti ada hal pribadi yang dia ingin katakan.Aku tersenyum.“Gak kenal sih cuma tahu, ada Vik?”“Dia sepupu aku, ibunya kakak dari mama. aku tahu semuanya?”Aku mendelik, apa Farhan gila? Membuka semuanya di d
Setelah berkeliling mencari Bang Amar, tetapi aku belum menemukannya aku memutuskan kembali ke resepsionis untuk menebus obat Bang Amar lebih dulu. Setelah selesai menyelesaikan semua admistrassi aku putuskan untuk ke parkiran karena tadi sempat kulihat mobil Bang Amar masih terparkir,Sampai di samping mobil Bang Amar aku melihat ia tengah duduk sambil menangkupkan tangannya di wajah, apa yang tengah suamiku lakukan?“Bang?”Bang Amar melihat ke arahku, wajahnya tegang seperti melihat hantu.“Ngapain Abang disini?”Bang Amar menghampiriku dan memelukku. Nafasnya terengah-engah seperti habis maraton. Sebenarnya apa yang tengah terjadi denganya?“Ada apa Bang?”Aku semakin penasaran melihatnya diam membisu.“Ada Farhan,”ucapnya parau.“Abang takut.”Astagfirullah, sebenarnya apa yang lelaki itu inginkan? Tidak bisakah dia melupakan begitu saja suamiku?“Sudah ayo kita pulang dulu, Abang masih bisa menyetir?”Bang Amar mengangguk.….Kami sampai di rumah, kubuatkan teh hangat untuk Ban
Tiga bulan berlalu aku masih terus memantau gerak gerik Bang Amar, selama itu pula aku tak melihat ada yang aneh dari dirinya. Dia jauh lebih baik tak lagi mengigau saat malam. Juga Farhan ia sudah hilang seperti ditelan bumi. Meskipun begitu aku tetap saja memantau semua aktifitas Bang Amar, Nara yang merupakan mata-mataku selalu memberikan informasi tentang Bang Amar selama di kampus.Selain itu Amara juga selalu membantuku memantau semua kegiatan Bang Amar, bukan bermaksud apa-apa, aku hanya tidak ingin suamiku kembali ke jalan yang salah.Weekend pagi, kami berencana datang ke rumah umi, karena sudah satu minggu aku dan Bang Amar tak berkunjung. Umi sudah gencar menelpon jika kami tiga hari saja tak datang mengunjunginya.Aku mengemas beberapa kue khas sunda yang sudah kubuat, termasuk seblak kesukaan umi. Sejak ku kenalkan makanan itu pada umi ia begitu menyukai rasanya yang khas.Bang Amar membantuku mengemas semuanya. Karena aku putuskan tak lagi menyuruh Mbok Darmi untuk beker
“Loh kamu kenapa Dik?”tanya Bang Amar yang langsung menyusulku ke kamar mandi, ia memijat tengkukku.Terasa lemas sekali setelah berkali kali muntah, tapi hanya air sedikit yang keluar.Aku berjalan pelan di bantu oleh Bang Amar, tenaga terasa habis padahal tadi aku tidak kenapa-kenapa.“Minum coklat hangatnya dulu biar lenih enakan, Dik.”Bang Amar kembali menyodorkan secangkir coklat panas tepat di depanku. Lagi, perutku terasa mual aku segera berlari ke kamar mandi. Bang Amar semakin bingung dan ikut ke kamar mandi.“Sepertinya karena coklat itu Bang,” tebakku.“Ah, masa gara-gara coklat panas kamu mau muntah Dik, kayak Abang racun aja, biasanya juga minum ini,”protes Bang Amar.Aku mengedikan bahu, memilih segera berbaring karena tubuhku terasa sangat lemas.Bang Amar ikut berbaring di sampingku sambil terus memijat kepalaku karena memang sedikit pusing, hingga aku tak sadar telah terbuai dalam mimpi.Mimpi indah, aku dan Bang Amar menangkap dua burung yang begitu cantik, satu b
“Ya Allah Mbak, kenapa Mbak terus menangis? Ada apa? Ayo cerita sama Mara jangan buat bingung?”Amara terus memborong pertanyaan, tetapi aku tak bisa menjawabnya.Aku mencoba kuat, benar Bang Amar sama Farhan. Benarkah sekarang aku harus pergi? Aku kembali menunduk dengan air mata masih deras mengalir. Kuusap perlahan perutku, dimana ada janin yang akan mendapat imbasnya jika aku mengambil keputusan tanpa memikirkan apa yang akan terjadi nanti.“Ya udah kalau Mbak Bulan belum mau cerita, Mara antar pulang, ya? Mbak istirahat saja dulu sudah malam. Besok telepon Mara kalau butuh teman.”aku mengangguk. Selama perjalanan air mata seolah tak berhenti menetes, ia selalu menunjukan eksistensinya seolah ingin dunia tahu bahwa Bulan tengah berduka, bahwa Bulan kini hatinya tengah berantakan. Ponsel berulang kali berdering, tetapi tak aku hiraukan pastilah dari Bang Amar. Apalagi yang ia inginkan? Dia sudah meluluhlantakan harapanku, menabur duri bukan sekedar duri kecil, apa selama ini dia
“Aku hanya bingung kenapa Abang mati-matian bersama lelaki itu, lelaki yang membawa Abang menuju kesesatan sementara ada aku disini yang siap meniti surga bersamamu. Izinkan aku pergi Bang, izinkan sejenak aku berpikir normal. Jika benar Abang tak melakukan apapun dengan Farhan, Allah pasti tunjukan jalan untuk Abang membuka semuanya, tetapi saat ini aku percaya pada mataku, percaya dengan apa yang aku lihat.”Setelah mengatakan itu aku pergi menyeret dua koper meninggalkan Bang Amar yang masih menatapku tak terima dengan keputusan yang telah kubuat.Bang Amar, dia menarikku dari tepian jurang, sejenak membawa ke jalur aman sebelum ia membawaku ke tepian jalan dan kemudian mendorongku dalam sebuah rasa sakit yang teramat sangat, lalu bagaimana aku bisa menerima ini semua? Haruskah aku berdamai dengan sisi lainya? Tidak, aku tak akan pernah bisa, aku lebih memilih pergi.Banyak hikmah yang dipetik dari setiap perjalanan hidupku, rasa sakit karena di kucilkan, rasa sakit karena dihina,
Terbentang jeda panjang saat kuputuskan pergi meninggalkan rumah Bang Amar, membawa bayi yang ada dalam perutku. Meski kami belum resmi bercerai, aku tetap tidak ingin kembali dalam pelukan Bang Amar.Dua minggu sudah aku berdiam diri mengurung dalam rumah besar ini, mematikan telepon dan tak ingin diganggu oleh siapapun. Tidak tahu bagaimana kabar Bang Amar, apa yang ia lakukan dan sedang bersama siapa sekarang dia.Aku terhanyut dalam kesepian seorang diri, berteman tangis pilu menahan rindu, entah sampai kapan aku akan seperti ini. Aku kira move on semudah mengucapkannya, nyatanya aku salah, ini tak semudah mengucapkan dua kata tersebut, terlalu besar peperangan yang terjadi dalam otak dan perasaanku.Pagi ini aku putuskan untuk berjalan-jalan sekedar menghirup udara segar, sudah dua minggu aku mengurung diri, udara yang terasa sesak tidak memberikan sedikitpun kelegaan dalam hatiku.Aku berjalan pelan menyusuri kompleks elit yang sekarang terasa lenggang karena mungkin penghuninya