Share

KEDATANGAN YUSUF

Bergandengan tangan menuruni bukit, aku dan teh Salma.

Sebelum magrib kami telah sampai di depan gubuk kecilku. namun, langkah kami terhenti saat melihat di depan rumah terparkir mobil sedan berwarna merah.

Kami saling pandang, siapa yang datang?

"Cari siapa tuan?" tanyaku heran.

"Permisi Nak, bukankah ini rumah Lilis Wati?"

Aku mengernyitkan dahi, tamu ibu? Siapa dia mencari ibu?

Aku menatapnya tajam, lelaki yang belum terlalu tua, mungkin sekitar 40 tahunan lebih, tapi gayanya masih necis mungkin karena ia orang kaya. Rambut yang tertata rapi meski sudah sedikit beruban, dasi biru tua, kemeja putih perpaduan dengan celana slim fit mahal, sepatu kantor yang begitu mengkilap.

"Anda siapa, dan untuk apa mencari ibuku?"

Lelaki itu membuka kaca matanya, menatapku tajam, hidung mancung, mata amber seperti milikku.

"Apa kamu anaknya?" ucapnya penuh penekanan.

Aku hanya mengangguk, teh Salma memegang erat jemariku hingga terasa sakit.

"Ayo, Bulan!"

Teh Salma menarik cepat tanganku. ada apa?

"Teh ada apa?"

Teh Salma tak menghiraukan pertanyaanku, dan terus membawaku melewati lelaki itu begitu saja. Masuk dan menutup rumah menguncinya rapat-rapat.

"Ada apa teh? Siapa dia? Kenapa nanyain ibu?"

Memborong pertanyaan, tetapi tak ada satupun yang dijawab oleh Teh Salma.

"Suara itu, lelaki itu. Apakah dia orangnya?"

Teh Salma berjalan mondar mandir kesana kemari, tak menghiraukan aku yang ada di depanya.

Menggigit ujung kukunya, jika melakukan itu aku sangat tahu Teh Salma sedang bingung dan ketakutan.

"Ada apa Teh?"

Kutarik tubuhnya untuk berhenti berjalan mondar mandir.

Matanya merah menyiratkan kemarahan. Teh Salma melepas kasar tanganku yang memegang bahunya, menarik pelatuk pintu dan membuka kasar pintu rumah.

Menghampiri lelaki tadi yang masih setia berdiri sambil terus brain ponsel. Tiba-tiba Teh Salma memukul wajah lelaki itu berkali-kali. Aku terkejut melihat kelakuan Teh Salma reflek menarik tubuhnya menjauh.

"Teteh, sadar atuh Teh, ada apa?"

Teh Salma tak menghiraukan ucapanku, pukulanya semakin membabi buta, tetapi laki-laki itu tak melawan, ia hanya diam bersimpuh di depan Teh Salma.

"Kamu bajingan, katakan kamu bedebah itu, kan! Kamu yang telah menodai embu, kan!"

Air mata mengalir di wajah merah padam Teh Salma, tatapan penuh kebencian membuatnya kalap. Hingga ia mengambil sepotong bambu dan memukuli pria itu, tetapi ia masih tak bergeming dan hanya menerima pukulan Teh Salma hingga ia ambruk dengan wajah babak belur.

Aku hanya bisa diam terpaku, masih tak percaya dengan apa yang terjadi di depanku. Baru saja tadi kukatakan akan mencari orang yang menghancurkan ibu, dia sudah datang di depanku. Kebencian tiba-tiba saja datang di dalam hatiku. selama ini ia hidup enak setelah apa yang ia lakukan kepada ibu, dan dia datang saat ibu sudah tiada, untuk apa? Untuk apa?

Mamang datang tergopoh bersama bibi. menghentikan Teh Salma yang terus memukul pria itu meski sudah tak sadarkan diri. Kami menjadi tontonan beberapa warga, warga di desaku memang tak banyak hanya ada beberapa kepala keluarga. Tak sampai seratus orang, desa terpencil dengan banyak kenangan duka.

"Astagfirullah, Salma, istigfar Nak." bibi memegang Teh Salma yang masih terus memberontak.

Sementara mamang memindahkan lelaki tadi ke dipan bambu di teras rumah. Di teras rumahku memang ada dipan kayu tak begitu besar, biasanya digunakan ibu untuk mengikat sayur yang akan dijual keliling desa.

"Bapak, dia orangnya, orang yang udah hancurin embu, Salma teh masih ingat orangnya."

"Salma, teu boleh ngomong sembarangan, nanti jadi fitnah," ucap bibi.

"Salma teh udah yakin, Salma ingat sama suaranya, semuanya masih Salma ingat dia bakal bawa Bulan!"

"Astagfirullah, Salma tahan dulu emosimu."

Bibi masih terus membujuk Teh Salma, sementara mamang membersihkan darah yang keluar dari wajah lelaki itu.

Aku masih diam berdiri tak tahu harus melakukan apa. Ingin marah dan mengutuk dirinya, jika benar dialah orangnya.

Lelaki itu bangun, masih sempoyongan, berlutut di depanku dan mamang.

"Maaf," ucapnya lirih.

Teh Salma sudah bersiap kembali membawa bambu hendak memukulnya, tapi memang berhasil menghadang.

"Maaf katamu? Apa semua ini bisa diselesaikan dengan maaf? Mungkin kami tak bisa bayar polisi buat hukum kamu, tapi aku mah gak papa di penjara asal kamu ikut mati sama embu."

Teh Salma berkata dengan nafas memburu, menyiratkan banyak kemarah di setiap kata yang keluar dari bibirnya.

"Saya menyesal, saya punya alasan kenapa melakukan itu, saya juga tak ingin menjadi orang jahat," ucapnya membela.

Tidak disangka mamang menghadiahkan bogem mentah tetap di pipinya, menyeret lelaki itu menuju makam ibu, dan menghempaskan tubuhnya di atas pusara ibu.

"Minta maaflah kepadanya, hiduplah dalam dosa."

"Lilis," ucapnya lirih, ia menangis sambil memeluk nisan ibu.

"Lilis maafin aku, Lilis aku datang buat tanggung jawab."

Aku tak tahu harus berkata apa, karena dia aku hadir, karena dia aku dihina, karena dia aku di caci, karena dia aku lahir tanpa nasab dan selalu dikatakan anak haram.

Karena dia dan karena dia.

Ingin sekali aku mengumpat, mengutuk, dan berkata kasar kepadanya, tetapi mulut ini terasa terkunci, hatiku masih belum bisa menerima semuanya. Banyak pertanyaan yang ingin kutanyakan.

"Kenapa? Kenapa kamu lakukan itu sama ibu," ucapku lirih, akhirnya mulut ini dapat berfungsi setelah kucoba sekuat tenaga menggerakkan melawan tubuh yang bergetar.

"Maaf, maafkan saya."

Hanya itu, tak adakah jawab selain itu? Tak adakah jawaban yang lebih condong untuk mengungkap semuanya?

Aku meninggalkannya yang masih terisak di atas pusara ibu. Hatiku benar-benar terluka, aku tak berhak berharap lahir dalam keadaan seperti ini, tanpa nasab, di atas derita. Aku manusia biasa sekuat apapun aku teguhkan hati untuk sabar dan tabah.

Aku ingin menjadi anak yang lahir dalam keadaan keluarga normal. Tidak, aku tetap bersyukur memiliki ibu yang begitu kuat, begitu tanggung jawab membesarkanku diatas ekonomi di bawah kemapanan, di tambah pukulan keras hinaan sosial. Ibuku benar-benar pahlawan diatas semua pahlawan, pahlawan hidupku, orang yang paling berjasa untuk hidupku. Dia mampu membesarkanku meski semua orang memandangku hina, aku haram, aku lahir di atas zinah.

Aku menangis tersedu di balik pintu, meringkuk memeluk lutut, menyandarkan kepala di atas lutut dan membiarkan air mata deras jatuh di pipi.

Sentuhan di bahuku, aku mendongak melihat siapa yang tengah mengganggu acara duka laraku.

Azen, kenapa ia datang kembali.

"Bulan?"

Aku menatapnya, air mata kian deras mengalir. Jika dia sudah halal untukku pasti aku sudah berhambur memeluknya, aku butuh bahu untukku bersandar, aku butuh dada untuk menenangkanku.

Cinta itu, cinta pertama yang kurasakan masih bersarang sempurna di hatiku meski kami tak saling mengungkapkan rasa. Kami menyimpan perasaan dengan rapi, berteman dengan cinta yang ada dalam dada. Pacaran? Tidak, hubungan kami dulu tak seperti itu, hanya kedekatan muda mudi yang harus dipisahkan oleh air mata di bawah langit Cadas Gantung.

"Bulan,"

Panggilan lirih dari balik pintu. lelaki itu sudah berdiri di belakang Azen.

"Om Yusuf," ucap azen.

Yusuf, dialah yusuf? Nama yang sempat ibu tuliskan meski tak terlihat jelas?

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status