Home / Rumah Tangga / KEMBALILAH SUAMIKU / KEDATANGAN YUSUF

Share

KEDATANGAN YUSUF

Author: ER_IN
last update Huling Na-update: 2022-07-20 18:29:21

Bergandengan tangan menuruni bukit, aku dan teh Salma.

Sebelum magrib kami telah sampai di depan gubuk kecilku. namun, langkah kami terhenti saat melihat di depan rumah terparkir mobil sedan berwarna merah.

Kami saling pandang, siapa yang datang?

"Cari siapa tuan?" tanyaku heran.

"Permisi Nak, bukankah ini rumah Lilis Wati?"

Aku mengernyitkan dahi, tamu ibu? Siapa dia mencari ibu?

Aku menatapnya tajam, lelaki yang belum terlalu tua, mungkin sekitar 40 tahunan lebih, tapi gayanya masih necis mungkin karena ia orang kaya. Rambut yang tertata rapi meski sudah sedikit beruban, dasi biru tua, kemeja putih perpaduan dengan celana slim fit mahal, sepatu kantor yang begitu mengkilap.

"Anda siapa, dan untuk apa mencari ibuku?"

Lelaki itu membuka kaca matanya, menatapku tajam, hidung mancung, mata amber seperti milikku.

"Apa kamu anaknya?" ucapnya penuh penekanan.

Aku hanya mengangguk, teh Salma memegang erat jemariku hingga terasa sakit.

"Ayo, Bulan!"

Teh Salma menarik cepat tanganku. ada apa?

"Teh ada apa?"

Teh Salma tak menghiraukan pertanyaanku, dan terus membawaku melewati lelaki itu begitu saja. Masuk dan menutup rumah menguncinya rapat-rapat.

"Ada apa teh? Siapa dia? Kenapa nanyain ibu?"

Memborong pertanyaan, tetapi tak ada satupun yang dijawab oleh Teh Salma.

"Suara itu, lelaki itu. Apakah dia orangnya?"

Teh Salma berjalan mondar mandir kesana kemari, tak menghiraukan aku yang ada di depanya.

Menggigit ujung kukunya, jika melakukan itu aku sangat tahu Teh Salma sedang bingung dan ketakutan.

"Ada apa Teh?"

Kutarik tubuhnya untuk berhenti berjalan mondar mandir.

Matanya merah menyiratkan kemarahan. Teh Salma melepas kasar tanganku yang memegang bahunya, menarik pelatuk pintu dan membuka kasar pintu rumah.

Menghampiri lelaki tadi yang masih setia berdiri sambil terus brain ponsel. Tiba-tiba Teh Salma memukul wajah lelaki itu berkali-kali. Aku terkejut melihat kelakuan Teh Salma reflek menarik tubuhnya menjauh.

"Teteh, sadar atuh Teh, ada apa?"

Teh Salma tak menghiraukan ucapanku, pukulanya semakin membabi buta, tetapi laki-laki itu tak melawan, ia hanya diam bersimpuh di depan Teh Salma.

"Kamu bajingan, katakan kamu bedebah itu, kan! Kamu yang telah menodai embu, kan!"

Air mata mengalir di wajah merah padam Teh Salma, tatapan penuh kebencian membuatnya kalap. Hingga ia mengambil sepotong bambu dan memukuli pria itu, tetapi ia masih tak bergeming dan hanya menerima pukulan Teh Salma hingga ia ambruk dengan wajah babak belur.

Aku hanya bisa diam terpaku, masih tak percaya dengan apa yang terjadi di depanku. Baru saja tadi kukatakan akan mencari orang yang menghancurkan ibu, dia sudah datang di depanku. Kebencian tiba-tiba saja datang di dalam hatiku. selama ini ia hidup enak setelah apa yang ia lakukan kepada ibu, dan dia datang saat ibu sudah tiada, untuk apa? Untuk apa?

Mamang datang tergopoh bersama bibi. menghentikan Teh Salma yang terus memukul pria itu meski sudah tak sadarkan diri. Kami menjadi tontonan beberapa warga, warga di desaku memang tak banyak hanya ada beberapa kepala keluarga. Tak sampai seratus orang, desa terpencil dengan banyak kenangan duka.

"Astagfirullah, Salma, istigfar Nak." bibi memegang Teh Salma yang masih terus memberontak.

Sementara mamang memindahkan lelaki tadi ke dipan bambu di teras rumah. Di teras rumahku memang ada dipan kayu tak begitu besar, biasanya digunakan ibu untuk mengikat sayur yang akan dijual keliling desa.

"Bapak, dia orangnya, orang yang udah hancurin embu, Salma teh masih ingat orangnya."

"Salma, teu boleh ngomong sembarangan, nanti jadi fitnah," ucap bibi.

"Salma teh udah yakin, Salma ingat sama suaranya, semuanya masih Salma ingat dia bakal bawa Bulan!"

"Astagfirullah, Salma tahan dulu emosimu."

Bibi masih terus membujuk Teh Salma, sementara mamang membersihkan darah yang keluar dari wajah lelaki itu.

Aku masih diam berdiri tak tahu harus melakukan apa. Ingin marah dan mengutuk dirinya, jika benar dialah orangnya.

Lelaki itu bangun, masih sempoyongan, berlutut di depanku dan mamang.

"Maaf," ucapnya lirih.

Teh Salma sudah bersiap kembali membawa bambu hendak memukulnya, tapi memang berhasil menghadang.

"Maaf katamu? Apa semua ini bisa diselesaikan dengan maaf? Mungkin kami tak bisa bayar polisi buat hukum kamu, tapi aku mah gak papa di penjara asal kamu ikut mati sama embu."

Teh Salma berkata dengan nafas memburu, menyiratkan banyak kemarah di setiap kata yang keluar dari bibirnya.

"Saya menyesal, saya punya alasan kenapa melakukan itu, saya juga tak ingin menjadi orang jahat," ucapnya membela.

Tidak disangka mamang menghadiahkan bogem mentah tetap di pipinya, menyeret lelaki itu menuju makam ibu, dan menghempaskan tubuhnya di atas pusara ibu.

"Minta maaflah kepadanya, hiduplah dalam dosa."

"Lilis," ucapnya lirih, ia menangis sambil memeluk nisan ibu.

"Lilis maafin aku, Lilis aku datang buat tanggung jawab."

Aku tak tahu harus berkata apa, karena dia aku hadir, karena dia aku dihina, karena dia aku di caci, karena dia aku lahir tanpa nasab dan selalu dikatakan anak haram.

Karena dia dan karena dia.

Ingin sekali aku mengumpat, mengutuk, dan berkata kasar kepadanya, tetapi mulut ini terasa terkunci, hatiku masih belum bisa menerima semuanya. Banyak pertanyaan yang ingin kutanyakan.

"Kenapa? Kenapa kamu lakukan itu sama ibu," ucapku lirih, akhirnya mulut ini dapat berfungsi setelah kucoba sekuat tenaga menggerakkan melawan tubuh yang bergetar.

"Maaf, maafkan saya."

Hanya itu, tak adakah jawab selain itu? Tak adakah jawaban yang lebih condong untuk mengungkap semuanya?

Aku meninggalkannya yang masih terisak di atas pusara ibu. Hatiku benar-benar terluka, aku tak berhak berharap lahir dalam keadaan seperti ini, tanpa nasab, di atas derita. Aku manusia biasa sekuat apapun aku teguhkan hati untuk sabar dan tabah.

Aku ingin menjadi anak yang lahir dalam keadaan keluarga normal. Tidak, aku tetap bersyukur memiliki ibu yang begitu kuat, begitu tanggung jawab membesarkanku diatas ekonomi di bawah kemapanan, di tambah pukulan keras hinaan sosial. Ibuku benar-benar pahlawan diatas semua pahlawan, pahlawan hidupku, orang yang paling berjasa untuk hidupku. Dia mampu membesarkanku meski semua orang memandangku hina, aku haram, aku lahir di atas zinah.

Aku menangis tersedu di balik pintu, meringkuk memeluk lutut, menyandarkan kepala di atas lutut dan membiarkan air mata deras jatuh di pipi.

Sentuhan di bahuku, aku mendongak melihat siapa yang tengah mengganggu acara duka laraku.

Azen, kenapa ia datang kembali.

"Bulan?"

Aku menatapnya, air mata kian deras mengalir. Jika dia sudah halal untukku pasti aku sudah berhambur memeluknya, aku butuh bahu untukku bersandar, aku butuh dada untuk menenangkanku.

Cinta itu, cinta pertama yang kurasakan masih bersarang sempurna di hatiku meski kami tak saling mengungkapkan rasa. Kami menyimpan perasaan dengan rapi, berteman dengan cinta yang ada dalam dada. Pacaran? Tidak, hubungan kami dulu tak seperti itu, hanya kedekatan muda mudi yang harus dipisahkan oleh air mata di bawah langit Cadas Gantung.

"Bulan,"

Panggilan lirih dari balik pintu. lelaki itu sudah berdiri di belakang Azen.

"Om Yusuf," ucap azen.

Yusuf, dialah yusuf? Nama yang sempat ibu tuliskan meski tak terlihat jelas?

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • KEMBALILAH SUAMIKU    Pasrah (TAMAT)

    Setelah puas menuntaskan aktivitas tidak masuk akal yang kulakukan di samping gundukan tanah, aku dan Bayu kembali ke rumah umi. Tiga jam terasa cepat sekali, lelah dan letih tak kuhiraukan. Biasanya aku akan berangkat setelah Magrib menginap semalam di rumah Bandung kemudian seharian berada di makam dan kembali setelah Azhar.“Umi.” Zakir dan Zafar berlari, berebut ingin memelukku. Kusambut keduanya dalam pelukan dan menciumi kedua pipinya.Perasaan bersalah kepada mereka semakin besar karena aku terlalu sibuk dengan sakitku dan tak memikirkan perasaan anakku.“Bagaimana hafalannya?”“Zakir sudah hafal al baqoroh,”“Zafar juga.”Aku mengacak gemas pucuk kepala mereka.“Alhamdulillah, pintar anak Umi.”“Zafar sama Abang bakalan rajin ngaji, tapi umi janji jangan nangis lagi, ya?”Aku tersenyum dan mengangguk pelan. Zakir dan Zafar tak lagi menanyakan Roy setelah abi menjelaskan panjang lebar kepada mereka da

  • KEMBALILAH SUAMIKU    Menenangkan Hati

    Kalau saja hati ini, tubuh ini buatan Jepang atau China mungkin sudah tak dapat digunakan dan sudah berada di tumpukan sampah. Kalau saja pikiran ini sebuah chip dengan memori terbatas mungkin sudah tak terpakai lagi. Namun, semuanya ciptaan yang maha agung, ciptaan yang maha sempurna sehingga sampai detik ini aku masih menggunakannya dengan baik. Meski sudah remuk berkali-kali, patah tak terhitung.Setelah satu minggu berada di rumah sakit menjalani perawatan, saat itu kondisi tubuhku sudah mulai membaik, tetapi tidak dengan keadaan otakk yang mulai terganggu, psikologis mulai tak beres dan aku harus melakukan terapi sekali seminggu. Aku senang berdiam diri di bawah jendela menatap awan berjam-jam, kadang menangis seorang diri, tertawa dan berbicara dengan fot Roy atau Bang Amar yang sengaja kutaruh di bawah jendela tempat ternyamanku saat ini, entah itu pagi, siang atau malam.Kadang aku tak mengenali kedua putraku, kadang aku mengenali mereka. Kadang aku me

  • KEMBALILAH SUAMIKU    Kemalangan Kembali

    “Roy!” Aku hendak berlari menghampiri Roy yang tergeletak tak berdaya di bawah kaki Azen. Namun, tanganku dicekal kuat oleh Azen.“Jangan dekati dia atau aku akan menembaknya.” Azen mengeluarkan pistol dan memperlihatkan di depan wajahku.Bayang-bayang malam pilu dimana Bang Amar kehilangan nyawa kembali berputar di otakku. Aku bersimpuh di bawah kaki Azen “Apa maumu?” tanyaku dengan uraian air pala pilu.“Menikahlah denganku.” Seringai setan terukir di bibir Azen.“Jika aku menikah denganmu maka lepaskan Roy dan anak-anakku.”Azen berlutut di depanku membelai wajahku. “Tentu saja.”“Tapi bukankah kamu masih ingat ilmu agama? Aku baru saja menikahi Roy, dan jika Roy menjatuhkan talak kepadaku kau perlu waktu empat bulan untuk mengucap ijab.”Azen kembali berdiri dan tersenyum.“Tentu saja aku paham, aku akan menunggu masa idahmu dan kau tinggal di tempat yang telah kutentukan.”“Tidak, aku tak

  • KEMBALILAH SUAMIKU    Rencana Azen 2

    “Mang lebih cepat,” pintaku tak sabar. “Ramai kendaraan Mbak Bulan, entah kenapa malam ini ramai sekali,” jawab mamang.Aku semakin tak tenang, berkali-kali kuhubungi nomor Azen, tetapi ia tetap tak menjawab panggilan teleponku.“Aku akan naik ojek saja, Mamang pulang saja.”“Loh, Mbak Bulan mau naik ojek pakai baju seperti itu, ribet Mbak.”Aku tak menghiraukan ucapan Mang sopir dan segera turun melambai kepada siapapun yang menggunakan motor. Tidak aku pikirkan entah itu orang baik atau jahat, yang ada dalam pikiranku sekarang adalah anak-anakku dan juga Roy, ketakutan yang luar biasa tak dapat kusembunyikan. Aku takut Azen akan bertindak seperti dulu. Bagaimana jika ia sampai menyakiti Roy atau kedua putraku?“Cepat sedikit Mas,” ucapku kepada pemuda yang mengendarai motor.“Mana alamatnya Mbak?” tanya pemuda tersebut, aku memperlihatkan alamat pada ponselku. Pemuda itu menancap gas dengan kecepatan tinggi.“Itu

  • KEMBALILAH SUAMIKU    Rencana Azen

    Bagaimana aku bisa berjalan di atas altar dengan hati tenang? Sementara aku tahu musuh mungkin akan datang begitu saja. Menjelang hari pernikahanku, sejak Roy datang melamar bersamaan dengan Azen ketenangan hatiku kembali terusik. Namun, aku mencoba menyampingkan semuanya demi orang-orang yang mencintaiku, demi anakku yang begitu dekat dengan Roy.“Mbak, sudah siap?” Amara membuka pintu kamarku perlahan dengan senyum di bibirnya.“Duduk sebentar,” pintaku.Amara mengikuti keinginanku dan duduk tepat di sebelahku.“Meski Mbak sudah menikah kalian tetap keluarga Mbak, kan?” Kugenggam jari-jemari Amara, aku takut kehilangan, aku takut ditinggalkan.“Mbak ini ngomong apa? Kan kita sudah sepakat gak bahas ini lagi. Kita tetap keluarga sampai kapanpun, dan aku tetap adikmu yang manja dan selalu merepotkan,” ucapnya sambil memelukku.Kuusap titikan air mata yang sempat lolos.“Terimakasih, Mara.”“Aduh, kenapa nangis? Nanti make up l

  • KEMBALILAH SUAMIKU    Adakah Cinta Tanpa Maksiat?

    “Ada apa Bulan?” tanya umi yang melihatku begitu tegang.Aku kembali membaca pesan dari Azen.[Jangan pernah menikahi Roy!] Pesan dengan sebuah emo iblis mampu membuat jantungku berpacu layaknya pacuan kuda.Di saat yang bersamaan masuk pesan dari Roy.[Jangan pikirkan apapun, pikirkan saja kebahagiaan kita dan Zakir juga Zafar.]Bisakah aku hanya memikirkan itu? Bisakah aku mengabaikan pesan dari Azen? Bagaimana jika ia berbuat nekat lagi? Ya Rabb, kuserahkan semuanya kepadamu.Memasukan nasi dengan sedikit memaksa, aku harus terlihat baik-baik saja agar umi dan abi tak berpikir aku tengah menyembunyikan sesuatu.Setelah sarapan umi mengajakku untuk langsung berangkat menuju butik Mommy Nana, sebenarnya aku ingin pernikahan yang sederhana saja. Namun, umi dan abi ingin menggelar pesta mengingat dulu aku dan Bang Amar tak melakukannya. Umi bilang ingin sekali saja melihatku memakai baju selayar putih walaupun tak bersama dengan Bang Am

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status