Share

AKU CALON SUAMINYA

Enam bulan sudah aku seorang diri menghadapi dunia yang penuh dengan fiksi, kenyataan yang tak sesuai harapan, impian yang tak lagi memiliki tuan, semuanya membuatku seolah berjalan tanpa arah tujuan. Hanya mengikuti arus yang telah Tuhan beriakn.

Aku datang memakai baju toga wisuda, dilengkapi dengan slaber dan medali. Aku datang membawa ijazah wisudaku duduk di samping nisan ibu.

"Lihatlah ibu, Bulan teh udah wisuda. Bulan teh udah lulus, ibu pasti bangga."

Kembali titikan air mata jatuh tepat di tanah tempat tubuh ibu bersemayam, semakin sering hingga tanpa jeda.

Aku masih setia duduk, bercerita seorang diri layaknya orang yang sedang kehilangan akal, menunggu senja datang dengan ocehan sambil terkadang disiringi senyum.

Aku begitu merindukan ibu, rindu yang tak akan pernah bisa terobati rindu yang tak akan pernah bisa bilang, rindu hanya pertemuan lah yang mengobatinya.

Cahaya orange senja mulai memeluk malam, aku beranjak berpamitan kepada nisan ibu, mengatakan aku akan datang kembali esok.

Berjalan seorang diri, sesekali menendang batu kerikil. Menghela nafas berat, harusnya hari ini aku berfoto ria bersama ibu, melukis senyum di sebuah gambar diri.

Namun, itu tak terjadi. Hanya lelaki itu, ayah, begitulah aku memanggilnya saat ini, dia datang menemaniiku wisuda meski kutolak dengan begitu kerasnya. Ia berlutut di depanku, memohon ampunan, mengiba agar tak di acuhkan.

Aku manusia biasa, aku punya hati, aku insan yang lahir darinya. Mungkinkah secepat ini aku harus menerimanya?

Tidak, aku tak melakukan itu, hatiku masih sakit setiap kali mengingat ibu dan melihat wajahnya, wajah yang menggores luka untuk ibu.

Aku menolak semua fasilitas yang disediakan untukku, rumah atas namaku, mobil atas namaku, bahkan biaya kuliah yang diam-diam ia bayarkan di sisa perjuanganku. Aku menolaknya, mengembalikan dengan baik-baik. Aku tak ingin itu semua, andai bisa ditukar dengan ibu aku lebih memilih ibu dan tetap hidup seperti ini.

Aku tak bernasab atas dirinya, aku tak berhak atas tanggung jawab dan hartanya. Dia hanya menitip darah di tubuhku, menitip setetes mani dengan paksa di rahim ibu, aku lahir bukan atas keinginan, bukan atas hubungan halalnya dengan ibu.

Meski dia berulang kali memohon maaf, meski dia berulang kali menyesal dan mengutuk dirinya, meski sampai sekarang ia tak menikah hanya karena rasa bersalah, aku tak perduli. Bagiku dia tetap orang yang sama, orang yang menghancurkan hidup ibu dan meninggalkannya dalam nestapa dan hinaan.

"Bulan,"

panggilan yang memaksa leher menoleh karena reflek.

Azen, dia kembali datang. kami kembali bertemu setelah enam bulan ia gencar mengirimiku pesan, sekedar bertanya basa basi.

"Aa'... ngapain Aa' teh di sini?"

"Nungguin Bulan."

Aku tersenyum, entahlah rasa ini masih ada atau tidak, aku tidak tahu. Selama enam bulan Ustad Ammar lah yang menemaniku.

"Aa' apa kabar?"

"Beginilah, masih jomblo nungguin Bulan."

Aku tertawa kecil, rasanya gombalan itu tak menggetarkan hatiku lagi, setelah enam bulan lalu aku mengetahui keluarganya lah yang membuat ibu frustasi dan mengakhiri hidupnya.

Enam bulan lalu, bibi buka suara mengatakan sehari sebelum ibu meninggal juragan Barda sempat memaksanya melakukan hal asusila, ibu menolak dan memberontak. Tidak disangka istrinya datang, ia mencaci dan menghina ibu di depan semua warga.

Bibi tak tahu bagaimana pastinya, ia datang terlambat. Ibu sudah bersimpuh di bawah kaki nyonya Barda, derai air mata tanpa suara. Mau bagaimana ia menjelaskan ia tak bisa, ia lupa caranya bicara. Sekali lagi hatinya tergores luka. Meski ia telah menyayat wajah dan meninggalkan goresan luka, tetapi tetap saja orang hendak berniat jahat kepadanya.

Dari ibu aku belajar, secantik-cantiknya wanita memang seharusnya kita menutup diri, menyembunyikan dari lelaki yang entah memiliki niat apa.

"Kamu masih marah sama Aa', Bulan? Apa Bulan juga benci sama Aa'?"

Pertanyaan yang biasanya hanya terbaca dari layar ponselku dan tak pernah kubalas, kini keluar langsung dari mulut Azen.

"Apa Bulan berhak?"

Kami masih jalan beriringan.

"Aa' masih menyimpan bunga mawar yang dulu pernah kita tanam, sekarang sudah besar. Aa' tanam di depan rumah, tumbuh subur. Pernah terbesit harapan cinta Aa' dapat berkembang seperti bunga itu."

Aku melihat sekilas, senyuman yang selalu membuatku terpana. Namun, bagaimana aku akan berdamai dengan keluarganya jika dendam masih ada dalam hatiku.

Aku tak akan bisa, aku pun menyimpan dendam yang mendalam meski imanku masih mengunci dendam itu agar tak berlarut hingga aku kalap dan melakukan hal buruk.

Azen, berhenti di belakangku sementara aku masih terus berjalan beberapa langkah. Aku berbalik melihatnya yang masih memandang dengan tatapan sendu.

Ah, mungkin dia melihat Ustad Amar karena memang dialah yang mengantarku bersama Nara. Di mana Nara? Mungkin Nara sedang berjalan-jalan bersama Teh Salma, tadi dia di sini. lalu kenapa ustad Amar tak ikut? Batinku.

"Aa'... kenapa berhenti. sini kenalan sama ustad Amar, dia—"

Belum selesai aku berucap Ustad Amar sudah memotong, berdiri di sampingku dan mengulurkan tangan kepada Azen.

"Amar, calon suami Bulan."

Aku membelalak mendengar ucapannya, apa dia tak salah berucap, kami memang dekat, aku, dia dan Nara. Kami dekat sebagai teman bukan mahasiswi dan dosen. Entah. mungkin karena iba kepadaku atau apa, tapi semenjak mengantarku di bawah guyuran hujan malam itu Ustad Amar semakin sering mengajakku mengobrol di sela-sela waktu kuliah, dia juga membantuku menyelesaikan skripsi akhir, membantuku riset bahan skripsi, dia teman keduaku.

Azen menatapku, tatapan yang semakin sendu bisa kulihat dari raut wajah yang menyiratkan kekecewaan.

"oh, ya... selamat Bulan."

Azen menyambut uluran tangan ustad Amar kemudian berpamitan berlalu meninggalkan kami.

Aku terus memanggilnya berusaha mengerjakannya, tetapi tanganku dicekal oleh ustad Amar, apa sebenarnya yang diinginkan.

Aku menatapnya bingung. apakah dia salah minum obat?

"Ustad, jangan asal bicara," ucapku lirih.

menarik paksa tanganku saat kulihat Teh Salma dan Nara berjalan beriringan menghampiri kami.

"Apa yang asal bicara Bulan?"

tanya Nara semangat, gadis itu memang selalu semangat jika ada Ustad Amar.

"Aku dan Bulan akan—"

"Kami akan pulang sekarang Teh," sambungku cepat.

Aku tak habis pikir dengan Ustad Amar, kami tak pernah membicarakan apapun meski bibirku ingin tersenyum mendengar ucapannya tadi.

Kami berpamitan kepada mamang, bibi juga Teh Salma. Bibi tak lagi kasar kepadaku, sikapnya membaik, tak lagi pelit. Alhamdulillah... memang selalu ada hikmah disetiap kejadian.

Aku dan Ustad Amar masih saling diam, hanya Nara yang terus mengoceh diantara kami. Sesekali aku menanggapi ceritanya dengan senyuman dan anggukan sementara Ustad Amar masih terus membisu. Tak jarang pandangan kami beradu melalui kaca spion dalam sedetik kemudian saling mengalihkan pandangan.

Jika dia tak lancang mengatakan hal tadi mungkin suasana di dalam mobil tidak akan secanggung ini.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status