Home / Rumah Tangga / KEMBALILAH SUAMIKU / AKU CALON SUAMINYA

Share

AKU CALON SUAMINYA

Author: ER_IN
last update Last Updated: 2022-07-21 11:03:57

Enam bulan sudah aku seorang diri menghadapi dunia yang penuh dengan fiksi, kenyataan yang tak sesuai harapan, impian yang tak lagi memiliki tuan, semuanya membuatku seolah berjalan tanpa arah tujuan. Hanya mengikuti arus yang telah Tuhan beriakn.

Aku datang memakai baju toga wisuda, dilengkapi dengan slaber dan medali. Aku datang membawa ijazah wisudaku duduk di samping nisan ibu.

"Lihatlah ibu, Bulan teh udah wisuda. Bulan teh udah lulus, ibu pasti bangga."

Kembali titikan air mata jatuh tepat di tanah tempat tubuh ibu bersemayam, semakin sering hingga tanpa jeda.

Aku masih setia duduk, bercerita seorang diri layaknya orang yang sedang kehilangan akal, menunggu senja datang dengan ocehan sambil terkadang disiringi senyum.

Aku begitu merindukan ibu, rindu yang tak akan pernah bisa terobati rindu yang tak akan pernah bisa bilang, rindu hanya pertemuan lah yang mengobatinya.

Cahaya orange senja mulai memeluk malam, aku beranjak berpamitan kepada nisan ibu, mengatakan aku akan datang kembali esok.

Berjalan seorang diri, sesekali menendang batu kerikil. Menghela nafas berat, harusnya hari ini aku berfoto ria bersama ibu, melukis senyum di sebuah gambar diri.

Namun, itu tak terjadi. Hanya lelaki itu, ayah, begitulah aku memanggilnya saat ini, dia datang menemaniiku wisuda meski kutolak dengan begitu kerasnya. Ia berlutut di depanku, memohon ampunan, mengiba agar tak di acuhkan.

Aku manusia biasa, aku punya hati, aku insan yang lahir darinya. Mungkinkah secepat ini aku harus menerimanya?

Tidak, aku tak melakukan itu, hatiku masih sakit setiap kali mengingat ibu dan melihat wajahnya, wajah yang menggores luka untuk ibu.

Aku menolak semua fasilitas yang disediakan untukku, rumah atas namaku, mobil atas namaku, bahkan biaya kuliah yang diam-diam ia bayarkan di sisa perjuanganku. Aku menolaknya, mengembalikan dengan baik-baik. Aku tak ingin itu semua, andai bisa ditukar dengan ibu aku lebih memilih ibu dan tetap hidup seperti ini.

Aku tak bernasab atas dirinya, aku tak berhak atas tanggung jawab dan hartanya. Dia hanya menitip darah di tubuhku, menitip setetes mani dengan paksa di rahim ibu, aku lahir bukan atas keinginan, bukan atas hubungan halalnya dengan ibu.

Meski dia berulang kali memohon maaf, meski dia berulang kali menyesal dan mengutuk dirinya, meski sampai sekarang ia tak menikah hanya karena rasa bersalah, aku tak perduli. Bagiku dia tetap orang yang sama, orang yang menghancurkan hidup ibu dan meninggalkannya dalam nestapa dan hinaan.

"Bulan,"

panggilan yang memaksa leher menoleh karena reflek.

Azen, dia kembali datang. kami kembali bertemu setelah enam bulan ia gencar mengirimiku pesan, sekedar bertanya basa basi.

"Aa'... ngapain Aa' teh di sini?"

"Nungguin Bulan."

Aku tersenyum, entahlah rasa ini masih ada atau tidak, aku tidak tahu. Selama enam bulan Ustad Ammar lah yang menemaniku.

"Aa' apa kabar?"

"Beginilah, masih jomblo nungguin Bulan."

Aku tertawa kecil, rasanya gombalan itu tak menggetarkan hatiku lagi, setelah enam bulan lalu aku mengetahui keluarganya lah yang membuat ibu frustasi dan mengakhiri hidupnya.

Enam bulan lalu, bibi buka suara mengatakan sehari sebelum ibu meninggal juragan Barda sempat memaksanya melakukan hal asusila, ibu menolak dan memberontak. Tidak disangka istrinya datang, ia mencaci dan menghina ibu di depan semua warga.

Bibi tak tahu bagaimana pastinya, ia datang terlambat. Ibu sudah bersimpuh di bawah kaki nyonya Barda, derai air mata tanpa suara. Mau bagaimana ia menjelaskan ia tak bisa, ia lupa caranya bicara. Sekali lagi hatinya tergores luka. Meski ia telah menyayat wajah dan meninggalkan goresan luka, tetapi tetap saja orang hendak berniat jahat kepadanya.

Dari ibu aku belajar, secantik-cantiknya wanita memang seharusnya kita menutup diri, menyembunyikan dari lelaki yang entah memiliki niat apa.

"Kamu masih marah sama Aa', Bulan? Apa Bulan juga benci sama Aa'?"

Pertanyaan yang biasanya hanya terbaca dari layar ponselku dan tak pernah kubalas, kini keluar langsung dari mulut Azen.

"Apa Bulan berhak?"

Kami masih jalan beriringan.

"Aa' masih menyimpan bunga mawar yang dulu pernah kita tanam, sekarang sudah besar. Aa' tanam di depan rumah, tumbuh subur. Pernah terbesit harapan cinta Aa' dapat berkembang seperti bunga itu."

Aku melihat sekilas, senyuman yang selalu membuatku terpana. Namun, bagaimana aku akan berdamai dengan keluarganya jika dendam masih ada dalam hatiku.

Aku tak akan bisa, aku pun menyimpan dendam yang mendalam meski imanku masih mengunci dendam itu agar tak berlarut hingga aku kalap dan melakukan hal buruk.

Azen, berhenti di belakangku sementara aku masih terus berjalan beberapa langkah. Aku berbalik melihatnya yang masih memandang dengan tatapan sendu.

Ah, mungkin dia melihat Ustad Amar karena memang dialah yang mengantarku bersama Nara. Di mana Nara? Mungkin Nara sedang berjalan-jalan bersama Teh Salma, tadi dia di sini. lalu kenapa ustad Amar tak ikut? Batinku.

"Aa'... kenapa berhenti. sini kenalan sama ustad Amar, dia—"

Belum selesai aku berucap Ustad Amar sudah memotong, berdiri di sampingku dan mengulurkan tangan kepada Azen.

"Amar, calon suami Bulan."

Aku membelalak mendengar ucapannya, apa dia tak salah berucap, kami memang dekat, aku, dia dan Nara. Kami dekat sebagai teman bukan mahasiswi dan dosen. Entah. mungkin karena iba kepadaku atau apa, tapi semenjak mengantarku di bawah guyuran hujan malam itu Ustad Amar semakin sering mengajakku mengobrol di sela-sela waktu kuliah, dia juga membantuku menyelesaikan skripsi akhir, membantuku riset bahan skripsi, dia teman keduaku.

Azen menatapku, tatapan yang semakin sendu bisa kulihat dari raut wajah yang menyiratkan kekecewaan.

"oh, ya... selamat Bulan."

Azen menyambut uluran tangan ustad Amar kemudian berpamitan berlalu meninggalkan kami.

Aku terus memanggilnya berusaha mengerjakannya, tetapi tanganku dicekal oleh ustad Amar, apa sebenarnya yang diinginkan.

Aku menatapnya bingung. apakah dia salah minum obat?

"Ustad, jangan asal bicara," ucapku lirih.

menarik paksa tanganku saat kulihat Teh Salma dan Nara berjalan beriringan menghampiri kami.

"Apa yang asal bicara Bulan?"

tanya Nara semangat, gadis itu memang selalu semangat jika ada Ustad Amar.

"Aku dan Bulan akan—"

"Kami akan pulang sekarang Teh," sambungku cepat.

Aku tak habis pikir dengan Ustad Amar, kami tak pernah membicarakan apapun meski bibirku ingin tersenyum mendengar ucapannya tadi.

Kami berpamitan kepada mamang, bibi juga Teh Salma. Bibi tak lagi kasar kepadaku, sikapnya membaik, tak lagi pelit. Alhamdulillah... memang selalu ada hikmah disetiap kejadian.

Aku dan Ustad Amar masih saling diam, hanya Nara yang terus mengoceh diantara kami. Sesekali aku menanggapi ceritanya dengan senyuman dan anggukan sementara Ustad Amar masih terus membisu. Tak jarang pandangan kami beradu melalui kaca spion dalam sedetik kemudian saling mengalihkan pandangan.

Jika dia tak lancang mengatakan hal tadi mungkin suasana di dalam mobil tidak akan secanggung ini.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • KEMBALILAH SUAMIKU    Pasrah (TAMAT)

    Setelah puas menuntaskan aktivitas tidak masuk akal yang kulakukan di samping gundukan tanah, aku dan Bayu kembali ke rumah umi. Tiga jam terasa cepat sekali, lelah dan letih tak kuhiraukan. Biasanya aku akan berangkat setelah Magrib menginap semalam di rumah Bandung kemudian seharian berada di makam dan kembali setelah Azhar.“Umi.” Zakir dan Zafar berlari, berebut ingin memelukku. Kusambut keduanya dalam pelukan dan menciumi kedua pipinya.Perasaan bersalah kepada mereka semakin besar karena aku terlalu sibuk dengan sakitku dan tak memikirkan perasaan anakku.“Bagaimana hafalannya?”“Zakir sudah hafal al baqoroh,”“Zafar juga.”Aku mengacak gemas pucuk kepala mereka.“Alhamdulillah, pintar anak Umi.”“Zafar sama Abang bakalan rajin ngaji, tapi umi janji jangan nangis lagi, ya?”Aku tersenyum dan mengangguk pelan. Zakir dan Zafar tak lagi menanyakan Roy setelah abi menjelaskan panjang lebar kepada mereka da

  • KEMBALILAH SUAMIKU    Menenangkan Hati

    Kalau saja hati ini, tubuh ini buatan Jepang atau China mungkin sudah tak dapat digunakan dan sudah berada di tumpukan sampah. Kalau saja pikiran ini sebuah chip dengan memori terbatas mungkin sudah tak terpakai lagi. Namun, semuanya ciptaan yang maha agung, ciptaan yang maha sempurna sehingga sampai detik ini aku masih menggunakannya dengan baik. Meski sudah remuk berkali-kali, patah tak terhitung.Setelah satu minggu berada di rumah sakit menjalani perawatan, saat itu kondisi tubuhku sudah mulai membaik, tetapi tidak dengan keadaan otakk yang mulai terganggu, psikologis mulai tak beres dan aku harus melakukan terapi sekali seminggu. Aku senang berdiam diri di bawah jendela menatap awan berjam-jam, kadang menangis seorang diri, tertawa dan berbicara dengan fot Roy atau Bang Amar yang sengaja kutaruh di bawah jendela tempat ternyamanku saat ini, entah itu pagi, siang atau malam.Kadang aku tak mengenali kedua putraku, kadang aku mengenali mereka. Kadang aku me

  • KEMBALILAH SUAMIKU    Kemalangan Kembali

    “Roy!” Aku hendak berlari menghampiri Roy yang tergeletak tak berdaya di bawah kaki Azen. Namun, tanganku dicekal kuat oleh Azen.“Jangan dekati dia atau aku akan menembaknya.” Azen mengeluarkan pistol dan memperlihatkan di depan wajahku.Bayang-bayang malam pilu dimana Bang Amar kehilangan nyawa kembali berputar di otakku. Aku bersimpuh di bawah kaki Azen “Apa maumu?” tanyaku dengan uraian air pala pilu.“Menikahlah denganku.” Seringai setan terukir di bibir Azen.“Jika aku menikah denganmu maka lepaskan Roy dan anak-anakku.”Azen berlutut di depanku membelai wajahku. “Tentu saja.”“Tapi bukankah kamu masih ingat ilmu agama? Aku baru saja menikahi Roy, dan jika Roy menjatuhkan talak kepadaku kau perlu waktu empat bulan untuk mengucap ijab.”Azen kembali berdiri dan tersenyum.“Tentu saja aku paham, aku akan menunggu masa idahmu dan kau tinggal di tempat yang telah kutentukan.”“Tidak, aku tak

  • KEMBALILAH SUAMIKU    Rencana Azen 2

    “Mang lebih cepat,” pintaku tak sabar. “Ramai kendaraan Mbak Bulan, entah kenapa malam ini ramai sekali,” jawab mamang.Aku semakin tak tenang, berkali-kali kuhubungi nomor Azen, tetapi ia tetap tak menjawab panggilan teleponku.“Aku akan naik ojek saja, Mamang pulang saja.”“Loh, Mbak Bulan mau naik ojek pakai baju seperti itu, ribet Mbak.”Aku tak menghiraukan ucapan Mang sopir dan segera turun melambai kepada siapapun yang menggunakan motor. Tidak aku pikirkan entah itu orang baik atau jahat, yang ada dalam pikiranku sekarang adalah anak-anakku dan juga Roy, ketakutan yang luar biasa tak dapat kusembunyikan. Aku takut Azen akan bertindak seperti dulu. Bagaimana jika ia sampai menyakiti Roy atau kedua putraku?“Cepat sedikit Mas,” ucapku kepada pemuda yang mengendarai motor.“Mana alamatnya Mbak?” tanya pemuda tersebut, aku memperlihatkan alamat pada ponselku. Pemuda itu menancap gas dengan kecepatan tinggi.“Itu

  • KEMBALILAH SUAMIKU    Rencana Azen

    Bagaimana aku bisa berjalan di atas altar dengan hati tenang? Sementara aku tahu musuh mungkin akan datang begitu saja. Menjelang hari pernikahanku, sejak Roy datang melamar bersamaan dengan Azen ketenangan hatiku kembali terusik. Namun, aku mencoba menyampingkan semuanya demi orang-orang yang mencintaiku, demi anakku yang begitu dekat dengan Roy.“Mbak, sudah siap?” Amara membuka pintu kamarku perlahan dengan senyum di bibirnya.“Duduk sebentar,” pintaku.Amara mengikuti keinginanku dan duduk tepat di sebelahku.“Meski Mbak sudah menikah kalian tetap keluarga Mbak, kan?” Kugenggam jari-jemari Amara, aku takut kehilangan, aku takut ditinggalkan.“Mbak ini ngomong apa? Kan kita sudah sepakat gak bahas ini lagi. Kita tetap keluarga sampai kapanpun, dan aku tetap adikmu yang manja dan selalu merepotkan,” ucapnya sambil memelukku.Kuusap titikan air mata yang sempat lolos.“Terimakasih, Mara.”“Aduh, kenapa nangis? Nanti make up l

  • KEMBALILAH SUAMIKU    Adakah Cinta Tanpa Maksiat?

    “Ada apa Bulan?” tanya umi yang melihatku begitu tegang.Aku kembali membaca pesan dari Azen.[Jangan pernah menikahi Roy!] Pesan dengan sebuah emo iblis mampu membuat jantungku berpacu layaknya pacuan kuda.Di saat yang bersamaan masuk pesan dari Roy.[Jangan pikirkan apapun, pikirkan saja kebahagiaan kita dan Zakir juga Zafar.]Bisakah aku hanya memikirkan itu? Bisakah aku mengabaikan pesan dari Azen? Bagaimana jika ia berbuat nekat lagi? Ya Rabb, kuserahkan semuanya kepadamu.Memasukan nasi dengan sedikit memaksa, aku harus terlihat baik-baik saja agar umi dan abi tak berpikir aku tengah menyembunyikan sesuatu.Setelah sarapan umi mengajakku untuk langsung berangkat menuju butik Mommy Nana, sebenarnya aku ingin pernikahan yang sederhana saja. Namun, umi dan abi ingin menggelar pesta mengingat dulu aku dan Bang Amar tak melakukannya. Umi bilang ingin sekali saja melihatku memakai baju selayar putih walaupun tak bersama dengan Bang Am

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status