Share

Bab 6. Kisah Gadis Malang

Ayana meringkuk, pikirannya kembali mengulas kejadian malangnya.

Jika kamu ingin terus melangkah, kamu harus bisa keluar dari jeratan pikiranmu sendiri. Ketakutanmu jangan kamu jadikan cengkraman pijakan untuk menopang langkahmu. Percayalah, tidak ada cerita kelam yang abadi.

Saat itu. Orang tuanya meninggal akibat kecelakaan. Belum kering gundukan tanah kubur kedua orang tuanya. Ayana didatangi rentenir.

"Sertifikat tanah dan bangunan ada padaku. Surat perjanjian juga sah. Kalau kamu mau menuntutku, silahkan bawa pengacara!" teriak sang Rentenir.

Ayana menelan ludah. Dia termasuk gadis kurang pintar. Dia hanya bisa takut. "Aku tidak tahu soal itu."

"Harga rumah ini tidak bisa menutup utang Ayahmu. Jadi, kamu masih punya tanggungan, 50 juta."

Ayana membelalakkan mata. "Kenapa banyak sekali?"

"Aku kasih waktu 1 bulan, atau kamu aku masukkan penjara!" ancam Rentenir.

Ayana merupakan anak semata wayang. Di dekatnya hanya ada Paman serta Bibinya yang tinggal agak jauh.

Entah untuk apa orang tuanya menggunakannya, sekarang Ayana harus rela melepas rumah peninggalan orang tua. Juga harus berpikir agar bisa lepas dari kejaran Rentenir itu, dengan melunasi utang.

Pamannya datang menawarkan bantuan. Ayana diajak tinggal di rumahnya.

"Kamu kerja di tempat teman Paman saja. Gajinya lumayan besar. Kamu bisa cepat melunasi utang." Pamannya lembut dan melebarkan senyum.

"Ayana ikut saja. Aku hanya punya Paman dan Bibi sekarang. Terima kasih masih mau membantuku." Ayana membalas senyum. Dia tidak tahu ukiran senyum culas di hati Pamannya.

Ternyata Ayana telah dibodohi. Dia dibawa ke Kota lain, dan ditinggal begitu saja. Dia ditinggal di tempat seorang mucikari, lebih tepatnya dia dijual.

Tidak bisa lari, di sana banyak penjaga. Ayana hanya bisa mengikuti alur.

Beberapa kali dia dibawa ke tempat hiburan malam, tapi dia membuat kekacauan. Menjerit, berteriak, juga menyerang para pria yang hendak ingin menjajagi tubuhnya. Sehingga, Ayana tidak lagi di bawa ke sana.

Di booking di hotel beberapa kali. Ayana juga berkali-kali mencoba ingin mengakhiri hidupnya. Menyayat urat nadi, sampai mengancam ingin meloncat dari balkon hotel.

Akibat ulahnya, Ayana berhasil mempertahankan keperawanan. Namun, juga karna hal itu, Ayana dikirim ke Villa tempat pengusaha yang memesan perawan.

Di sana Ayana diawasi ketat, hingga tak bisa kabur dan bertindak bodoh.

*****

Di basecamp lawan pinggir pantai. Mereka mulai beraksi melakukan pengintaian. Mereka pasang tajam pendengaran.

Leo fokus pada kamera yang mereka pasang serta memblokir kamera pengawas di rumah itu. Brox fokus pada situasi dengan bantuan drone, yang juga tersambung ke Leo.

Mengendap. Jovan ada di depan, Vincent dan Robin di belakangnya.

"Sekarang!" seru Leo.

Jovan berlari cepat, memanjat dinding tinggi. Tangannya menggapai ujung tembok, Jovan mengayun tubuh. Set. Dia mendarat di dalam, Jovan langsung mencari tempat bersembunyi.

"Vinc, arah kanan akan ada celah. Sekarang!" seru Leo.

Vincent berlari, dia masuk di sisi lain.

"Hati-hati, ada yang sedang menuju taman belakang. Kemungkinan dia target utama. Tidak jelas dari pantauan drone," ujar Brox.

"Robin, kamu ganti posisi. Sekitar 25 meter ke arah kiri, ada pohon besar. Jangan masuk, kamu siap jaga situasi luar," jelas Leo.

"Huff. Aku jadi pemain cadangan sekarang." Robin menggerutu kesal.

Jovan mengendap menghindari para penjaga yang melintas. Semakin masuk ke area dalam.

"Aku akan masuk ke dalam. Leo, matikan kamera mereka!" bisik Jovan.

Kamera pengawas di sekitar Jovan telah dimatikan Leo.

Di taman belakang. Jovan mengendap, dia melihat pria yang mungkin sang menantu, ketua Gangster itu.

Jovan menajamkan telinga dua arah, satu pada earphone, satu pada pria itu. Juga mengarahkan kamera pada titik pria itu.

Terlihat pria sedang duduk di gazebo dengan menikmati rok*k juga minumam ber*lkohol di meja. Jovan menarik satu sudut bibirnya.

Datang satu pria menghampirinya, ada percakapan. Jovan sedikit lebih dekat.

"Orang tua itu masih menolak makan. Dia bilang lebih baik mati, jika harus mengalihkan semua hartanya," ucap sang ajudan.

"Biarkan saja dia mati. Aku sudah memegang banyak document penting." Pria itu tersenyum sinis.

"Pindahkan dia ke kamar kemarin!" lanjutnya.

Ajudan berlalu pergi. Jovan mundur, dia melaporkan pada yang lain.

"Aku dapat poin. Brox, kamu ikuti arah ajudan yang baru keluar dari taman belakang. Dia akan ke tempat orang tua itu," bisik Jovan.

"Jo, kamu cari titik document itu! Aku akan menerobos pertahanan kamera mereka," ucap Leo

"Hem." Jovan masuk lebih dalam.

Brox monitoring. "Ketemu. Vinc, ini dekat posisimu. Jalan ke kiri, kamu akan mendapati lorong. Kamar nomor 3," jelas Brox.

"Haish, kapan aku beraksi?" kesal Robin. Dia masih mematung pada posisinya.

"Leo, cek kamera sekitar," pinta Vincent."

"Ok!" sahut Leo.

Vincent mulai mengendap ke arah kamar itu. Beberapa kali kembali mundur, karna penjagaan yang ketat.

"Terlalu ketat. Aku minta waktu sebentar lagi," bisik Vincent.

Menunggu sang penjaga lengah. Vincent nekat. Menerobos mengendap di belakang dua pria yang sedang berjaga.

Dua pria berhenti, mereka merasa ada yang mengikuti. Dua pria itu, saling berkedip, dan langsung menoleh.

Vincent paham gerakan mereka. Dia melihat atap tanpa plafon, lalu dia naik, mengayun dan meloncat, hingga berpegang pada batang kayu penyangga. "Huh." Vincent membuang nafas.

"Vinc, are you okay?" tanya Leo.

Tuk. Vincent memberi tanda ok, dengan kode satu ketukan.

"Masih bisa maju?" tanya Jovan.

"Hem," bisik Vincent.

"Kalau Vinc mundur, aku akan masuk," sahut santai Robin.

"Diam, kamu! Mau masuk kemana? Ke toilet saja nyasar!" sahut Leo terkekeh.

"Heeerrrgghhh!" Robin menggeram.

Vincent merambat pada kayu di atas. Dia bisa menghindari penjaga. Sampai di kamar yang dimaksud. Vincent, melihat jendela kamar itu terbuka. Dia turun dan segera mengambil gambar dalam kamar itu.

Bersembunyi, dia melepas kacamata, dan mengarahkan ke dalam. Tidak lama, terdengar hentakan sepatu mendekat. Vincent kembali mengayun ke atas. Set. Dia merambat pergi.

Jovan juga sudah merambat menelisik di sekitar tempat itu.

Vincent mulai kuwalahan. Dia tidak punya tempat mendarat. Vincent telah sampai pada ujung, tidak ada lagi tempat merambat. Sedang di bawah entah kenapa tiba-tiba saja penjaga berkerumun banyak.

"Ada penyelinap, tadi ada yang sempat melihat!" seru salah satu mereka.

"Bantuan!" bisik Vincent.

Di sisi Jovan. Dia sudah menemukan ruang kerja yang diduga tempat menyimpan document, dia masuk ke dalam sana. Mencari lebih spesifik di mana kira-kira mereka menyimpannya.

Jovan sudah mengantongi dugaan. Dia harus keluar. Kini terdengar banyak penjaga di luar, dan sangat gaduh.

Hampir bersamaan. Jovan dan Vincent mengetuk 3 kali pada earphone. Tanda peringatan bantuan.

"Bantuan siap. Robin, kamu siap buat keributan!" ujar Leo.

"Akhirnya aku berguna." Robin terkekeh.

Robin mengeluarkan banyak mercon asap warna putih. Robin melemparnya di dalam basecamp itu. BUUNG. Seketika di dalam riuh.

Tidak hanya itu. Robin juga melempar di sekitar penjaga di luar.

"Keluar saja lewat jalan tadi, Robin akan mengalihkan perhatian," jelas Brox.

Bukan api besar, tapi asap putih tebal yang membumbung membuat mereka panik.

"Kebakaran!!!!" teriak Robin, lalu berlari ke mobil.

Seketika para penjaga berlari ke titik asap itu. Mereka berkerumun melihat situasi.

Di saat mereka lengah. Jovan dan Vincent melesat keluar dari sana.

Tidak berselang lama. 5 Pria kini lengkap berada di dalam mobil.

"Bagaimana, ada yang terluka?" Jovan menatap semuanya.

"Aku hanya sedikit kram, terlalu lama bergelantungan, menahan di atas plafon." Vincent terkekeh.

"Ha ha ha. Generasi monkey." Robin tertawa.

"Jalan, kita bahas di rumah!" titah Jovan.

Mobil melaju. Brox ada di kursi kemudi. Mereka mengisi obrolan dalam laju mobil.

"Mereka lumayan banyak, tapi sepertinya kekuatan mereka tidak begitu kuat," ujar Jovan.

"Aku penasaran dengan wajah mereka, saat aku prank kebakaran. Mereka pasti sangat marah. Ha ha ha." Robin tertawa.

"Apa mereka akan lebih waspada? Sepertinya ada yang merasakan kehadiran kita tadi. Mereka bergerombol di bawahku, sampai aku tidak bisa turun." Vincent mendesah.

"Kita serang pakai rencana, biar tidak banyak membuang waktu dan tenaga," sahut Brox.

"Sepertinya kita harus minta 2 kali lipat." Leo mengangkat jempolnya.

"Kita bahas nanti, kita lihat bagaimana keadaan orang tua itu!" ujar Jovan.

Jarak dengan rumah lumayan jauh. Matahari mulai menampakkan sinarnya, tapi mereka masih harus menempuh jarak 2 jam.

"Jo, wanitamu, apa dia akan baik-baik saja sendiri?" celetuk Brox.

"Wanitaku? Dia hanya aku pungut, koreksi kata-katamu!" Jovan tak suka.

"Aku sarankan, kamu pasang kamera pengawas. Kamu bisa selalu awasi dia, ingat! Dia berbahaya saat berteriak." Leo terkekeh.

Jovan tidak menanggapi, dia bersandar dan menutup mata.

Lama melaju, akhirnya mereka sampai di rumah. Matahari sudah cukup menyengat.

"Aaahhh." Robin merentangkan tangan. "Seharusnya kita punya beberapa rumah singgah. Kita tidak perlu menempuh perjalanan jauh seperti ini."

"Ide bagus, bagaimana yang lain?" sahut Leo.

"Kita bisa cari apartemen." Brox melebarkan senyum.

Jovan dan Vincent belum menyahut. Mereka lalu masuk bersamaan.

Pintu dibuka. Mereka melihat wanita itu tertidur di meja kayu panjang, bertopang lengannya. Rambutnya menjuntai ke sembarang arah, hingga wajahnya tidak terlihat.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status