"Oh, ya, kalau Papa mau pulang enggak apa-apa, minta tolong Bik Inah aja buat bawain koper Mama ke sini," ucap Mama Maya sambil melirik ke arah suaminya. Pak Beni yang sejak tadi bergeming, kini menoleh pada sang istri. "Ya sudah, Papa balik dulu. Kalau perlu apa-apa tinggal telpon Papa. Nanti Papa suruh Mang Kardi yang anter," ucap sang suami sambil beranjak. "Papa pulang dulu, Na. Titip Mamamu, kalau ada apa-apa kabari Papa," ucap laki-laki itu. Pak Beni hanya pamit pada Naomi, sedangkan pada Raihan hanya melirik sekilas. "Iya, Pa. Hati-hati di jalan." Naomi menjawab bersamaan dengan anggukan kepala. "Tolong, ya, Bik. Nanti koper saya simpan di kamar tamu." Kali ini titah perempuan paruh baya itu untuk Bik Inah. "Siap, Bu," jawab Bik Inah santun kemudian berjalan di belakang Pak Beni. Tubuh laki-laki kurus tinggi itu menghilang di balik tembok diiringi Bik Inah, berapa menit setelahnya Bik Inah datang sambil menggeret koper milik Mama Maya lalu membawanya masuk ke kamar tamu
Laki-laki itu berusaha menormalkan detak jantungnya. Berharap sang Mama tidak menaruh curiga. Hoaaaamm. Naomi tiba-tiba menguap. Tubuh lelahnya setelah melakukan perjalanan tadi siang membuat ia memiliki alasan untuk mengakhiri topik pembicaraan yang membuat dirinya merasa tak nyaman kali ini. "Ma, Bang Raihan pasti akan berusaha berlaku sebaik mungkin dan tak akan menyakiti hati Naomi," ucap Naomi, sekilas ia melirik wajah Raihan dengan bibir tersenyum meski hasilnya seperti dipaksakan. "Sekarang Mama istirahat, ya. Naomi juga sudah ngantuk, pengen tidur dulu. Besok kita lanjut lagi, ya, Ma." Naomi berusaha membujuk, hingga akhirnya Mama Maya menurut dan beranjak ke kamar tamu yang sudah dipersiapkan untuknya. Setelah pintu kamar tamu terlihat tertutup rapat, Naomi menghembuskan nafas lega. Raihan terlihat melakukan hal serupa. Keduanya merasa lega setelah Mama Maya akhirnya bersedia masuk kamar. "Pikirkan caranya bagaimana agar Mama bisa menerima perpisahan kita tanpa sakit jan
"Brisik kamu, Bil. Santai aja coba." Naomi menepuk pelan paha sahabatnya itu. "Iya, maaf. Keceplosan, Na," ucap Nabila sambil nyengir kuda. "Jadi gimana ceritanya, Na?" Nabila kembali ke topik sebelumnya, kali ini dengan suara jauh lebih pelan. "Mama semalem sempet ngasih banyak nasehat, Bil, yang intinya supaya pernikahanku dan Raihan tetap langgeng gitu." Naomi mengingat ingat kembali isi pembicaraan mereka semalam. "Tapi, kok, Ibu Maya bisa tau?" Nabila sedikit heran. Rasanya tak mungkin tiba-tiba perempuan paruh baya itu tahu tentang hubungan Naomi dan Raihan jika tak ada yang memberitahu. "Papa sudah tahu semuanya, Bil." "Tentang perselingkuhan Raihan?" tanya Nabila dengan mata membulat. Naomi mengangguk dengan wajah lesu. "Terus, terus, gimana tanggapan Pak Beni?" tanya Nabila sedikit berbisik khawatir karyawan lain yang tengah berada di tempat yang sama mendengar pembicaraan mereka. "Papa menyerahkan sepenuhnya padaku karena ini yang kedua kalinya Raihan berulah dalam 1
Naomi tersentak. Diremasnya ujung kemeja yang tengah ia kenakan, sekedar menetralisir degub jantung yang semakin berkejaran. "Apa yang Mama tau?" Naomi berusaha bersikap sebisa mungkin. Perempuan paruh baya itu beberapa kali menarik nafas dalam lalu mengeluarkannya. Wajahnya berubah Sendu seiring rasa perih yang perlahan menjalar di relung hatinya. "Mama sudah tahu apa yang dilakukan Raihan di belakangmu. Mama juga sudah tahu apa yang kau rencanakan pada Raihan." Kalimat mamanya membuat Naomi kembali tertunduk. Ada bahagia di relung sana saat melihat Mama mertuanya itu tidak menunjukkan tanda-tanda penyakit jantungnya kambuh. Beberapa saat setelahnya Naomi memberanikan diri mendengarkan kepalanya, menatap lekat wajah perempuan baik itu dengan rasa iba. "Apa menurut Mama wajar, jika cinta Naomi telah hambar untuk Bang Raihan?" lirih Naomi bertanya. Detik ini ia merasakan hatinya kembali perih. Mama Maya mengalihkan pandangannya pada vas bunga kering di sudut ruangan."Jujur, Na
"Iya, Ma," jawab Naomi singkat dengan kepala tertunduk. "Apa kau akan pergi secepatnya?" tanya Mama Maya lagi. Naomi mengangguk pelan membuat hati Mama Maya berdesir hebat. "Bolehkah Mama minta sedikit lagi waktumu, Na?" Ia meminta persetujuan. Naomi mengangkat wajah, menatap lembut wajah sendu Mama mertuanya itu. Ada luka di sana, di hati seseorang yang sudah berpuluh tahun menyandang gelar ibu itu. "Katakan saja apa yang Mama inginkan dariku! Jika aku merasa sanggup, maka tak ada alasan bagiku untuk menolak." Naomi berusaha bijak. Senyum itu terbit dari bibir Mama Maya, senyum yang terlihat penuh luka, luka karena merasa gagal mendidik anak bungsunya itu. "Kau tahu apa alasan Mama melepaskanmu dan tidak memintamu untuk tetap tinggal?" Mama Maya melirik sekilas wajah Naomi, setelahnya kembali beralih menatap layar TV berukuran besar di hadapannya. Naomi hanya menggeleng pelan. Ia tak ingin menebak. Naomi lebih memilih membiarkan Mama Maya meluahkan isi hatinya. "Karena seharu
Naomi Tak Gentar. Perempuan itu kini bangkit dan duduk bersandar di kepala ranjang. Dalam hati bahkan ingin rasanya ia bertepuk tangan melihat emosi Raihan meluap hanya karena melihat foto Faiq dengan seragam khas dokternya di status WA Naomi. Naomi sukses membuat Raihan cemburu pada laki-laki itu, meski pada kenyataannya dirinya menganggap Faiq tak lebih dari abang sendiri. "Apa kau sengaja ingin mengumumkan jika kau perempuan murahan?" Raihan berucap dengan gigi bergemeletuk. Sedangkan Naomi kini hanya bergeming. Kata 'murahan' yang baru saja Raihan tujukan untuknya sama sekali tak membuat emosi Naomi terpancing. Perempuan itu fokus menjadi penonton atas kemarahan Raihan terhadapnya. "Apa kamu sudah gil*? Atau telingamu sudah tak mampu lagi mendengar kata-kataku?" Raihan terus mencaci. Amarahnya yang sejak tadi membuncah kini tumpah. Naomi mengangkat wajah, menatap Raihan dengan tatapan sebiasa mungkin. Jauh di lubuk sana perempuan itu tengah berbahagia atas kecewa yang kini Ra
"Tolong buka pintunya Raihan!" ucap Mama Maya diiringi ketukan di pintu untuk kali selanjutnya.Suara Mama Maya semakin membuat Raihan serba salah. "Na! Gimana ini? Bisa-bisa Mama tahu kalau keluarga kita sedang tidak baik-baik saja," ucap Raihan dengan wajah pias. Ia menghawatirkan ketakutannya selama ini malam ini akan menjadi nyata. Seburuk apapun dirinya tetap saja Iya tak ingin terjadi sesuatu yang buruk terhadap sayang Mama. Naomi mengusap wajah kasar. Laki-laki di hadapannya itu semakin membuatnya muak. "Biarkan saja Mama tahu. Aku takkan peduli apa pun yang akan terjadi pada keluargamu, Jadi silakan atasi sendiri apa yang telah kau perbuat," jawab Naomi acuh membuat Raihan semakin kelimpungan. Berkali-kali Raihan terlihat mengunyar rambut di kepala dengan kasar. Ia benar-benar tak bisa lagi berpikir jernih ketika suara sang Mama kembali terdengar. "Buka pintunya Raihan! Atau Mama akan meminta Papamu datang ke sini!" ancam Mama Maya dengan suara semakin meninggi. Perempuan
"Cari bukti yang lebih kuat lagi jika aku benar-benar berselingkuh dengan laki-laki itu. Atau kau bisa langsung tanyakan pada Ayah siapa laki-laki itu."Raihan menatap nyalang pada perempuan yang masih dah berstatua istrinya itu. Hatinya benar-benar sakit mendapati cara licik Naomi menghancurkan kepercayaan keluarganya terhadap dirinya. "Jangan munafik kau Naomi, bisa saja kau sudah bersekongkol dengan Ayahmu untuk membohongiku." Raihan semakin tak terkontrol. Mendengar kalimat terakhir Raihan, emosi Naomi kembali tersulut. Sedang Mama Maya seolah membiarkan keduanya melampiaskan rasa masing-masing dengan tatapan penuh luka. Naomi mengangkat wajah, tatapan matanya nyalang menusuk. Kalimat yang keluar dari bibir laki-laki itu semakin membuatnya hilang kesabaran. "Jaga ucapanmu! Jika hanya aku yang kau caci maki, mungkin aku bisa memakluminya, tapi jika Ayah yang kau pandang serendah itu, Maka jangan harap aku bisa tinggal diam." Naomi mengeratkan gigi-giginya, emosi kembali menguas