"Mas, aku ke rumah Ibu. Ibu sakit." tanpa salam Tari langsung mengutarakan maksudnya.
"Oh, ya sudah. Hati-hati, ya."
"Iya."
Sambungan langsung terputus. Aku mengernyit heran. Tumben dia ga minta u4ng. Biasanya pasti minta jatah jajan anak-anak atau untuk belanja selama tinggal di rumah Ibunya.
"Kenapa?" Rani menatapku lekat.
"Gapapa, istriku pamit mau ke rumah Ibunya. Biasa mertua lagi sakit."
"Oh ..." sahutnya sembari mengangguk-anggukkan kepala.
"Eh, istriku kamu yang buka toko kue itu bukan sih, Ar?"
"Toko kue? toko kue apaan? istriku jangankan bikin kue, menyapu rumah aja dia ga sempat." aku terkekeh.
"Hah? serius? tapi, toko kue Lestari Jingga itu punyamu kan?" aku makin melebarkan tawa.
Bagaimana mungkin mau punya toko kue. Walau nama toko itu hampir mirip dengan nama Tari, tapi mustahil. Mana mungkin.
"Tari itu kalau dirumah kerjaannya main hp. Setiap pulang kerja hal yang bikin kita selalu cekcok itu ga jauh-jauh karena urusan rumah yang ga keurus. Hah, aku udah capek, Ran. Anak-anak kotor, dekil. Kadang malah aku yang membantu pekerjaan istriku itu." Tari menyimak, wajahnya terlihat penuh empati.
"Makanya, Mama suka kasian. Katanya lebih baik cari istri yang bisa mengurus rumah. Kasian akunya."
Rani menyesap jus didepannya perlahan.
"Kenapa kalian ga mencari pembantu aja sih? anak kamu tiga kan?"
"Tari nya ga mau. Katanya, hanya mengurangi pahala dia sebagai seorang istri." Rani menggeleng-gelengkan kepala. Terpaksa aku memberikan alasan seperti itu, kalau aku bilang yang sebenarnya, pasti Rani pun akan ilfeel padaku.
"Bagus sih alasannya. Tapi, ga logis. Secara dia aja keteteran. Dicarikan pembantu malah nolak. Aneh istri kamu itu!"
"Iya begitu lah. Aku terpaksa sabar, tapi sampai kapan? kamu lihatkan, aku sendiri udah seharian di kantor. Kalau harus bekerja lagi dirumah, capeknya dobel."
Rani meraih tanganku. Matanya juga menatap dalam mataku. Tak kusangka gadis ini begitu percaya dengan cerita yang kukarang dadakan itu. Namanya juga lagi nyari simpati kan?
"Kamu sabar, ya. Aku janji akan menjadi istri yang sempurna untuk kamu nanti."
Yees!!
***
Hari demi hari kedekatan ku dengan Rani makin intens. Setiap hari Rani mengajak ketemuan selepas jam kantor. Dihari libur dia selalu datang ke rumah Mama. Membawa kue yang katanya dibeli dari toko Lestari Jingga itu. Penasaran sih. Tapi masih belum ada waktu untuk kesana. Tari sendiri sibuk mengurus Ibunya. Tak masalah justru itu menguntungkanku.
Sudah hampir dua Minggu tari dan anak-anak menginap dirumah Ibunya. Sangat jarang perempuan itu menghubungiku. Jika, tidak aku yang menelepon maka dia tak akan ingat padaku. Keterlaluan.
"Dek, Ibu belum sembuh?" sore ini entah kenapa ada perasaan rindu pada Tari dan anak-anak.
"Belum." seperti biasa jawabnya singkat.
"Kan ada Mas Fatan? Kamu kan masih punya tanggung jawab mengurus suami?" bantahku.
"Iya, aku tahu. Tapi, saat ini ibu benar-benar tak bisa ditinggal." jawabnya biasa. Aku menghela nafas panjang.
"Anak-anak sehat?" tanyaku mengalihkan pembicaraan.
"Sehat."
"Aku pulang kerja ke rumah Ibu, ya?" aku sengaja memancing tanggapan Tari.
"Jangan ... Ga usah. Kamu langsung pulang ke rumah aja. Ibu kalau habis Maghrib udah harus istirahat. Aku takut Ibu terganggu."
"Kamu ga kangen sama aku, Dek?"
"Mas, udah ya. Abrar bangun." sambungan terputus. Si4l. Tari kenapa berubah begitu sekarang. Apa dia benar-benar sudah bisa hidup tanpa suami? buktinya kemarin aku gajian, dia bahkan ga meminta uang padaku. Bagus sih, tapi aneh aja.
Malam ini baru ada rasa sepi. Tak ada Tari dan anak-anak sepi juga ternyata. Dari pada bengong. Aku menghubungi Rani. Hampir sejam aku ngobrol. padahal, tadi sore kami juga sudah bertemu. Tapi tetap candu. Malam ini aku berharap bisa tidur dan memimpikan punya istri sesempurna Rani. Semoga.
Keesokan harinya.
"Mama seneng liat hubungan kalian makin dekat. Sebentar lagi mama bakal punya mantu baru." seru Mama begitu melihatku datang. Aku membuka helm dan menaruh di atas motor.
"Mama, Arsen baru datang udah ngomongin Rani aja." sungutku pura-pura jengkel padahal seneng.
"Mama ga sabar." Mama berjalan di depanku langsung menuju meja makan. Mama tau aku belum sarapan.
"Tari mana mengijinkan, Ma. Arsen takut nanti malah mengecewakan Rani. Tapi, sejujurnya Arsen masih cinta sama dia." aku menyendok makanan ke dalam piring.
"Halah, ga usah mikirin Tari. Dia kan anak orang susah. Mana mungkin mau berpisah. Paling dia yang akan mengemis-ngemis biar kamu ga menceraikan dia."
"Iya juga sih, Ma. Bulan depan ada pemilihan manager baru. Arsen pasti menang. Dan kalau benar menang, Arsen akan segera melamar Rani."
"Terus kalau kalah?" aku menatap Mama.
"Kalau kalah tetap nikah lagi juga. Mau gimana lagi, Arsen sudah nyaman sama Rani."
Mama tertawa kencang. "Dasar kamu ih!"
Sesampainya di kantor. Remon menepuk pundakku kencang.
"Seneng banget romannya Bro?" aku tertawa kecil.
"Biasa aja, Bro."
"Eh, istri lu hebat juga, ya?"
"Hebat apaan?" aku mengernyitkan kening.
Remon memang teman yang paling dekat denganku juga Tari. Dia sering kerumah apalagi saat kelahiran anak-anakku, dia selalu yang pertama datang membawakan kado.
"Tulisannya viral. Buku-bukunya pasti laris manis."
"Tulisan? Buku? apaan sih lu! Tari ga nulis. Dia sibuk ngurus anak!" aku tertawa kencang. Mana mungkin Tari sehebat itu. Mana punya waktu dia
"Lah, masih merendah. Istri gw ngefans tuh sama. istri lu. Kapan lu open house? gw mau ajak Istri gw ketemu istri lu!"
"Jangan becanda, Mon!" sentakku. Tapi, Remon hanya menggelengkan kepala lalu tertawa terbahak-bahak
"Masa lu ga percaya sama gw. Pernah ga gw bohong?"
Aku terdiam. Kemarin Rani yang bilang Tari punya toko kue. sekarang malah Remon. Apakah keduanya sengaja nge-prank aku
?
Lagian, mustahil, mustahil Wei, Tari sehebat itu. Dia kalah jauh sama Rani. Istri yang hanya bisa mengeluh.
Hari ketiga sejak kejadian di warung seafood. Aleeya belum benar-benar keluar dari kamar kosnya. Tirai jendela masih tertutup, skripsi terbengkalai, dan nasi bungkus yang dikirim Alisa hanya disentuh sedikit. Tubuhnya sehat, tapi jiwanya terasa patah dalam keheningan yang asing.Aleeya bukan perempuan lemah. Ia biasa hidup mandiri, tangguh menghadapi kerasnya perkuliahan dan jarak dari keluarga. Tapi luka karena pengkhianatan? Itu urusan lain. Luka ini bukan soal Gian dan Alisa saja. Tapi tentang kepercayaan yang ia tanam dengan penuh harap—ternyata memiliki akar yang rapuh.Seseorang mengetuk pintu. Sekali. Dua kali. Tiga kali.“Leeya, ini aku, Windi. Buka dong, please…”Suara sahabat kosnya yang selama ini jadi teman curhat. Dengan malas, Aleeya bangkit dan membuka pintu. Windi langsung masuk dengan sebungkus roti sobek dan satu kotak susu UHT.“Kalau kamu terus kayak gini, Mas Gian bisa mati penasaran.”Aleeya tidak menjawab. Ia hanya duduk di pinggir kasur.“Dia nyariin kamu ke ma
Langit Bandung sore itu mendung. Hujan belum turun, tapi angin sudah bicara. Dari balik jendela kosannya yang kecil namun rapi, Aleeya duduk di depan laptop, mencoba fokus menyusun skripsi revisi bab 4. Namun, pikirannya terbang ke tempat lain.Ke Gian.Lelaki yang beberapa bulan ini hadir bukan hanya sebagai kekasih, tapi sebagai teman, tempat sandaran, bahkan belahan hati yang entah sejak kapan, mulai membentuk definisi baru tentang rumah.Denting notifikasi HP memecah lamunan. Satu pesan dari Gian.> “Aku nyampe depan kos. Bawa kamu makan enak. Keluar yuk!”Aleeya tersenyum. Ada hangat yang mekar di dadanya. Ia mengenakan kerudung, menyesuaikan sedikit bedaknya, lalu turun. Gian menunggunya dengan jas hujan tergantung di motor, wajahnya cerah meski langit kelabu.“Laper?” tanya Gian sambil menyodorkan helm.Aleeya mengangguk. “Banget. Tapi jangan mie ayam ya. Bosan.”Mereka berdua tertawa. Tidak ada janji berlebihan, tidak ada rencana muluk-muluk. Tapi kebersamaan mereka terasa rin
Sudah tiga minggu sejak Alisa mengetahui bahwa dirinya hamil. Dan sejak itu, rumah kecil mereka berubah. Tidak dalam bentuk, tapi dalam suasana. Ada nuansa baru lebih hati-hati, lebih penuh perhatian, tapi juga… lebih mudah meledak.“Sayang, kamu yakin masih mau makan mi instan?” tanya Hanan dari balik dapur, dengan wajah panik.Alisa duduk di sofa sambil memeluk bantal. Wajahnya sedikit pucat. “Aku ngidam, Mas. Cuma satu mangkok…”“Tapi dokternya bilang kamu harus jaga makanan.”Alisa mengerucutkan bibir. “Tapi kamu juga bilang mau nurutin semua yang aku pengen…”Hanan menghela napas. Ia memang bilang itu. Tapi dia juga membaca artikel-artikel tentang kehamilan yang membuatnya lebih panik dari seharusnya.Akhirnya, dia menuruti saja. Memasak mi instan… dengan sayur dan telur rebus, tanpa bumbu penuhnya, lalu menyajikannya seperti sedang mengikuti lomba masak sehat.Alisa tersenyum lemah. “Kamu lebay, tapi aku suka.”Mereka makan bersama, meski Alisa tak habis. Sejak hamil, perutnya c
Sudah hampir delapan bulan sejak Alisa dan Hanan menikah. Rumah kecil di pinggiran kota yang mereka tempati terasa hangat. Dindingnya masih polos, furniturnya sederhana, dan halaman belakang masih berupa tanah merah yang belum sempat ditanami apa pun.Tapi di dalamnya… ada dua hati yang sedang belajar saling memahami.Pagi itu, Alisa berdiri di dapur dengan daster lusuh dan rambut yang diikat asal. Tangan kanannya memegang spatula, sementara tangan kirinya sesekali mengelus perutnya yang masih rata. Program hamil yang mereka jalani memang belum menunjukkan hasil, tapi setiap pagi, Alisa selalu berharap.Hanan datang dari belakang, memeluknya dengan kedua tangan.“Wangi banget…” gumam Hanan seraya mencium pundak istrinya.Alisa tersenyum kecil. “Telur dadar doang, Mas. Bukan parfum mahal.”“Ya tapi yang masak istriku. Jadi wangi.”Hanan memang bukan tipe romantis berlebihan, tapi sejak menikah, Alisa mulai menemukan sisi Hanan yang lembut—sisi yang dulu tertutup oleh kenakalannya semas
Sejak menerima pesan ancaman dari Reyna, Aleeya jadi lebih sering menyendiri. Ia menghindari membuka media sosial, bahkan mulai menjaga jarak dengan Gian. Bukan karena rasa cintanya memudar, tapi karena ketakutan—ketakutan akan kehilangan lagi, seperti dulu saat harus merelakan Raka pergi karena masa lalunya.“Aleeya,” suara Gian di ujung telepon terdengar lembut. “Aku bisa datang? Kita ngobrol baik-baik. Aku nggak suka digantung kayak gini…”Aleeya terdiam di balik tirai kamarnya, menatap hujan yang mengguyur kaca jendela. Lalu menjawab, “Datanglah.”Tak sampai satu jam kemudian, Gian sudah di ruang tamu rumah besar peninggalan Tari. Aleeya duduk di seberangnya dengan wajah lelah.“Reyna itu masa lalu aku, Leeya. Dia pernah jadi tunangan, iya. Tapi aku nggak pernah cinta dia. Hubungan kami penuh tuntutan keluarga.”Aleeya menatap Gian dengan mata berkaca. “Tapi kamu juga nggak pernah cerita tentang dia…”“Aku takut kamu kabur. Sama kayak kamu kabur dari Raka waktu itu.”Deg.“Aku buk
Sudah dua bulan sejak pernikahan Alisa dan Hanan. Rumah kecil di pinggir kota yang mereka tinggali penuh dengan canda tawa dan ketulusan. Hanan yang dulu terlihat canggung, kini makin percaya diri menjadi suami yang tangguh dan sabar. Alisa pun tak lagi mudah marah seperti dulu. Ada kelembutan baru dalam sikapnya, mungkin karena cinta yang kini benar-benar dirasakan tanpa paksaan, tanpa luka masa lalu.Namun di balik kebahagiaan itu, ada sesuatu yang belum mereka bicarakan: keinginan Alisa untuk punya anak secepatnya.“Aku pengen langsung isi, Han,” ucap Alisa suatu malam sambil menyisir rambutnya di depan cermin.Hanan yang sedang membaca buku di kasur menoleh. “Nggak buru-buru juga, Sayang. Kita baru mulai. Nikmati dulu masa berdua, ya?”“Tapi… aku ngerasa Bunda bakal seneng kalau lihat kita punya bayi. Aku pengen kasih kabar itu ke keluarga. Buat mereka bangga.”Hanan mendekat dan memeluk dari belakang. “Kita usahain, ya. Tapi pelan-pelan. Kamu nggak sendiri sekarang. Ada aku.”Ali