Seminggu telah berlalu. Hubunganku dengan Mas William kembali membaik, tapi tidak dengan Alex. Anak itu masih menolak sikap hangat dan lembutku. Rencananya sore ini sepulang Mas William dari kantor, kami akan pergi ke rumah sakit untuk memeriksakan kandungan ke dokter spesialis obgyn.Selama hampir dua minggu ke belakang ini, perutku sering terasa keram walau tidak parah. Akan tetapi, itu cukup membuat Mas William khawatir. Jadi, dia tetap menyarankanku agar memeriksakannya untuk mendapatkan jawaban pasti tentang ini.Sambil menunggu kepulangan Mas William, aku memilih menonton televisi. Sementara, Alva sedang bermain ayunan di halaman belakang ditemani Bi Surti. Alex sendiri sepulang sekolah tadi langsung dijemput sopir pribadi kakeknya untuk main ke rumah mereka."Lusi!"Aku yang tengah fokus menonton acara berita pun, seketika tersentak kaget mendengar teriakan Indira yang kencang. De
"Ada apa ini?"Aku terkesiap mendengar suara bariton itu hingga spontan menatap ke arah pintu."Mas ...." Aku menelan ludah melihat Mas William terburu-buru mendekati kami.Bagaimana kalau dia salah paham?Kulirik Indira. Dia menyunggingkan senyum sinis, lalu berbalik menghadap Mas William masih dengan memegangi pipinya."Mas ...." Indira mendekat dan berkata dengan suara lirihnya. "Masa aku ditampar Lusi, Mas. Sakit," adunya dengan nada manja. "Padahal, aku 'kan hanya tanya kenapa dia melarang aku ke sini untuk temui Alex.""Bohong, Mas!" tukasku cepat. "Tadi dia duluan yang sudah kurang ajar padaku."Mas William melirik sekilas padaku seraya menghela napas berat, lalu kembali menatap Indira yang berdiri di hadapannya."Bukan Lusi yang melarang. Tapi memang aku sendiri yang mau kamu berhenti ke sini terlalu sering. Silakan janjian bertemu dengan Alex di luar saja.""Tapi kenapa, Mas? Aku mamanya dan aku berhak kapan pun temui dia. Lagian, apa masalahnya aku datang ke sini? Aku enggak
Mas William tersenyum. Kedua tangannya yang melingkar di pinggang berpindah menangkup pipi ini."Kamu lebih percaya pada Indira atau mas?" tanyanya lembut."Aku ...." Kugigit sudut bibir sembari berpikir. "Aku percaya pada Mas Will, tapi aku juga takut yang dikatakan Indira itu benar," jawabku jujur."Kamu harus percaya pada mas. Mas hanya mencintaimu," ujarnya seraya mengusap lembut pipiku dengan ibu jari, lalu mendaratkan kecupan singkat di bibir ini. "Indira sudah enggak punya tempat sedikit pun di hatiku. Tolong ... percaya pada Mas dan anggap saja angin lalu kalau Indira bilang sesuatu tentang Mas. Hm?"Aku mengangguk pelan."Mas enggak mau kamu terlalu banyak memikirkan hal yang enggak penting begitu, Sayang. Kasihan calon bayi kita kalau mamanya stres terus. Kamu harus tenang. Ingat apa pesan dokter, kan?""Iya, Mas. Aku ... akan coba bers
Aku terkesiap kaget mendengar suara tegas Mas William dari belakang dan spontan berbalik menghadapnya. Tatapan tajamnya membuatku sadar akan kesalahan yang baru saja dilakukan."Mas ... aku ...."Mas William mengabaikanku dan berlalu begitu saja menghampiri putranya."Alex ...."Alex menepis tangan papanya sambil menangis, lalu menyambar tas sekolah dari atas meja belajar."Aku benci kalian semua! Aku benci Papa! Aku enggak mau tinggal di sini lagi!" teriaknya emosi, lalu berlari keluar kamar dengan sengaja mendorongku kencang hingga mundur dan punggung menabrak daun pintu."Alex!" Mas William langsung berlari mengejar tanpa menoleh padaku yang masih kaget dengan semua ini.Aku memang salah. Alex masih kecil. Tak sepantasnya aku semarah itu dan mengatakan hal buruk tentang mamanya. Tanpa menunggu lama, aku pun segera ikut berlari menyusul mereka. Mas William berhasil mengejar dan mencegah Alex yang sudah sampai di gerbang."Jangan begini, Alex! Kamu harus tenang!""Enggak mau! Papa ja
Nyeri itu terasa di dalam sini. Ini pertama kalinya Mas William membentak dan berbicara dengan nada tinggi seperti ini."Tapi kata-kata Alex sudah keterlaluan, Mas. Aku sudah mencoba bersabar dan menerimanya selama ini. Tapi tadi—""Bersabar sedikit lagi apa enggak bisa, hm?" potongnya cepat dengan suara pelan, tapi tegas. "Bukannya kamu sendiri yang bilang akan berusaha keras merebut hatinya? Kamu juga bilang akan terima Alex seperti anak kandungmu sendiri, bukan? Apa dengan bentak-bentak dia seperti tadi, Alex akan luluh? Enggak akan, Lusi!"Aku diam. Menggigit bibir bawah yang bergetar dengan pandangan mata yang mulai buram karena terhalang air mata."Alex enggak bisa kamu dekati dengan cara kasar, Lusi. Enggak bisa!""Tapi Alex selalu menghinaku, Mas. Mas enggak tahu 'kan, kalau Alex selalu berkata kotor padaku? Itu karena aku sengaja enggak pernah ce
Aku yang sempat menangis sambil meringkuk memeluk lutut pun akhirnya bangun. Beranjak turun dari ranjang seraya menghapus jejak-jejak air mata dari wajah. Keram di perut pun sudah menghilang.Aku turun menuju dapur untuk mengambil air putih hangat. Tak terlihat ada Mas William di sini, tapi melihat pintu kamar Alex yang terbuka sedikit, aku yakin dia ada di sana.Kuputuskan untuk tidak kembali ke atas dan memilih tidur bersama Alva saja. Memeluknya erat sambil kembali menangis dalam diam.Kenapa rumah tanggaku selalu berjalan dengan tidak mudah seperti ini? Kupikir, kehidupanku dengan Mas William tak akan seberat saat hidup bersama Bang Leon. Ternyata, itu semua hanya harapan saja karena yang terjadi di masa depan selalu di luar dugaan.Sekitar pukul setengah tiga malam, aku terbangun kembali. Pergi ke kamar utama untuk mengambil mukena juga sajadah, dan ternyata sudah ada Mas William tidur di sini. Dengan langkah hati-hati, kuambil peralatan salat dari sofa, lalu bergegas keluar lagi
Aku tengah membuatkan susu untuk Alva di dapur, ketika kulihat Alex menghampiri Mas William yang sedang menonton televisi."Pah, ini dari guru." Alex menyerahkan selembar kertas yang dilipat-lipat."Apa ini?""Besok ada rapat orangtua. Salah satu dari Papa atau Mama harus datang."Mas William diam seraya membaca surat itu untuk beberapa saat. "Kamu minta Mama saja yang datang, ya. Besok Papa sama Kakek harus kontrol ke kantor cabang yang ada di Bandung. Enggak apa-apa, kan?""Jadi, Papa enggak bisa datang?" Alex terlihat sedih."Iya, Lex. Perusahaan lagi kena masalah. Jadi, papa enggak bisa datang kali ini. Minta Mama saja, ya.""Ya udah." Alex menyahut pasrah."Kamu sudah kasih tahu Mama belum?""Belum.""Ya sudah. Kamu telepon Mama sekarang, ya. Bilang Papa engg
"Mas," panggilku lirih.Mas William yang menyandarkan kepala di tepi ranjang sembari memegang satu tanganku pun akhirnya bangun. Menatap khawatir dengan genggamannya yang terasa semakin erat."Kamu sudah sadar, Sayang." Satu tangan lainnya mengusap kepala ini dengan lembut."Aku kenapa?" tanyaku seraya memindai ke sekeliling ruang perawatan."Kamu pingsan, Sayang. Kamu sudah buat mas panik dan takut tadi." Mas William menciumi tanganku yang digenggamnya."Dari tadi pagi kepalaku memang pusing, Mas.""Kenapa enggak bilang? Kalau ada apa-apa sama kamu dan calon bayi kita, gimana?" Mas William menatap khawatir dengan bola matanya yang bergerak-gerak gelisah memindai wajahku."Kita 'kan belum baikkan, Mas. Aku takut Mas abaikan lagi jadi lebih memilih diam saja," lirihku dengan mata kembali berkaca-kaca."Sayang ...." Raut wajah khawatirnya berubah sendu dengan gurat penyesalan terlihat jelas dari sorot matanya. "Maafin mas." Mas William bangkit dan membungkuk untuk mengecup kening ini. M