Part 7 (Meminta Tolong Zany!)
"Zany kunci rumah sudah kamu ganti?" Aku bertanya pada Zany melalui sambungan telepon."Sudah Bu, tadi ada sedikit masalah. Mertua Ibu datang kemari."Begitulah cerita dari Zany, bisa kusimpulkan. Keluarga Mas Iden sekarang sedang ketar-ketir."Apa yang Ibu mertua saya lakukan?""Mengamuk Bu, dia hampir memecahkan jendela rumah. Beruntung para tetangga dan Pak RT datang."Aku menghela napas, menutup tirai jendela."Bodyguard yang kamu sewa belum datang?""Sudah Bu, sekarang mereka sedang berjaga.""Baguslah, kamu cepat antar mobil saya ke rumah Papa yah.""Siap Bu,""Ya sudah kalau begitu, kamu hati-hati di jalan, Zan,""Siap Bu."Setelah mendengar jawaban Zany aku memutuskan panggilan. Berjalan ke arah ranjang, dan merebahkan tubuhku di sana.Aku membuka aplikasi galeri, mencari foto Sheri yang sedang berpagutan dengan pria lain.Foto ini bisa kujadikan senjata. Bisa kugunakan sebagai alat untuk mencari bukti-bukti lain.Aku diam, bukan berarti aku kalah. Aku sedang menunggu hari yang bagus melempar bom pada kalian. Terutama padamu, Mas Iden.Wanita yang kamu cintai ini tidak seperti ekspetasimu, Mas. Kamu terlalu tinggi bermimpi, setelah kedok wanita itu terbongkar. Apa masih bisa kamu tersenyum sumringah. Semoga saja tidak ada drama. Aku ingin kembali padamu, Mauren. Aku menyesal. Omong kosong.Aku turun dari ranjang, mengeluarkan berkas-berkas penting yang ada di dalam koper.Janji pra nikah sudah berhasil kuduplikatkan. Yang aslinya ada di tanganku, untuk sementara ini aku menggunakan salinannya untuk mengelabui mertua dan Iparku. Di mana yang palsu kuletakkan di lemari rumah. Aku yakin, Ibu dan Kak Meli pasti berpikir aku tak membawa berkas itu. Makanya mereka berusaha memasuki rumah.Aku melirik ponselku yang berdering. Kak Meli?Ada apa dia menghubungiku?Aku mengabaikan panggilan dari Iparku tersebut. Memasukan berkas-berkas penting ke dalam lemari, lalu menguncinya."Mauren, apa Papa boleh masuk?" Aku menoleh, mendapati Papa sudah berdiri di ujung pintu kamarku."Masuk lah Pa,""Kamu sedang apa?""Menghibur diri," jawabku.Papa tertawa, pria yang selalu menyayangiku itu duduk di tepian."Kamu sudah urus perceraian kamu dengan Iden?""Sudah Pa, itu suratnya." Aku menunjuk ke arah amplop cokelat yang ada di nakas, Papa melihatnya. Senyum yang semula mengembang kini luntur."Aku baik-baik saja. Aku percaya, saat kita melepas sesuatu, Tuhan akan menggantinya dengan yang lebih baik." Aku menghampiri Papa, mendaratkan pantat ini disebelahnya."Papa mengajariku menjadi kuat, untuk itu Papa tidak boleh lemah. Ayolah Pa, jangan menangis. Papa ini seperti Mama saja, dikit-dikit menangis."Aku meledek Papa, mengusap ujung matanya yang digenangi butiran bening."Apa yang bisa Papa lakukan untukmu, Mauren?""Support aku, jangan biarkan aku sendirian.""Tentu Nak, apa perlu Papa hajar Iden?"Aku menggelengkan kepala, ribuan pukulan tidak akan menyembuhkan luka ini. Aku ingin kehancuran Mas Iden, aku ingin melihatnya dan seluruh keluarganya itu menderita."Aku sudah menamparnya, Pa. Jejak tamparanku di pipinya belum hilang,""Maafkan Papa,""Ini bukan salah Papa, jadi Papa tidak perlu meminta maaf.""Papa akan perketat keamanan rumah. Papa akan selalu jaga kamu, lindungi kamu. Tetap kuat yah Nak, kelak pasti akan ada pria yang takut kehilangan dirimu."Aku membalas pelukan Papa, merasakan belain dipunggung."Terima kasih, Pa.""Kamu bisa istirahat sekarang, ini sudah malam.""Iya Pa,""Papa keluar yah."Aku menganggukkan kepala, Papa bangkit, ia melangkah meninggalkan kamarku.****Aku mendengar suara deru mobil lekas keluar kamar. Sedikit berlari aku menuruni anak tangga. Lalu berjalan menuju pintu rumah."Zany."Pria itu keluar dari mobilku. Ia menyeka peluh di keningnya."Maaf lama, Bu. Tapi ada Pak Iden yang menghadang saya di jalan."Aku tertegun, mataku langsung menelisik Zany."Tapi kamu gak pa-pa kan?""Saya baik-baik saja Bu. Pak Iden sempat tanya sama saya, Ibu di mana sekarang?""Kamu jawab apa?""Saya tidak menjawab pertanyaan Pak Iden, Bu."Aku menerima kunci mobil yang Zany ulurkan. Nampak ia merogoh saku celananya."Ini kunci rumah Ibu yang baru, dan ini yang lama," ujarnya sambil memberiku dua buah kunci."Makasih banyak Zan,""Sama-sama Bu,""Saya boleh minta tolong lagi?" tanyaku sambil menaikan sebelah alis."Minta tolong apa, Bu?""Kamu tolong carikan informasi tentang pria ini." Aku menyalakan ponsel, menunjukkan foto pria yang bersama Sheri pada Zany.Pria itu membulatkan mata, ia menatapku dan foto ini bergantian."Gimana Zan? Kamu mau gak?""Tunggu Bu, sepertinya saya kenal perempuan ini?""Kamu kenal Zan?""Kenal Bu, dia Sheri kan?"Kuanggukan kepala. Tak lama kemudian Zany menjelaskan tentang wanita ini. Aku tertawa dalam hati, bisa-bisanya Mas Iden kembali pada mantannya yang ternyata murahan itu."Kamu tolong carikan lebih banyak foto-foto mereka. Pose apa saja, pokoknya bisa bikin Mas Iden jantungan. Dan kamu carikan juga nomor Sheri.""Baik Bu, nanti nomornya saya kirim ke Ibu.""Kamu bisa pulang sekarang."Aku tersenyum miring, Zany berpamitan padaku. Pria itu lekas masuk ke dalam mobilnya."Hati-hati Zany, tugasmu jangan lupa."Setelah mobil itu menghilang dari pandanganku. Diri ini memutar badan menghadap pintu, lalu melangkah masuk ke dalam rumah.Permainan akan segera dimulai Mas, aku akan membongkarnya setelah kita resmi bercerai.Ending (Akhir Yang Bahagia) Waktu terus berlalu, hari berganti Minggu, Minggu berganti bulan, dan seterusnya. Setelah menunggu hampir lebih dari tiga bulan. Perempuan itu akhirnya memantapkan diri menjatuhkan pilihan pada Andriansyah. Dan hari ini mereka akan melangsungkan pernikahan di salah satu hotel bintang lima. Mauren tidak bisa mendeskripsikan perasaannya. Ia senang sekaligus gugup. Hatinya berbunga-bunga, momen sakral yang dulu pernah ia rasakan kini terulang kembali, dan tentunya bersama dengan pria yang takut kehilangan dirinya. Selama menunggu masa Iddah selesai, Mauren dan Andriansyah semakin dekat. Mereka kian lengket. Siapa sangka, yang awalnya hanya menganggap layaknya adik-kakak. Kini mereka telah melangkah ke jenjang pernikahan. Status mereka berubah. Andriansyah berjanji pada dirinya sendiri akan menjaga dan menyayangi Mauren dengan segenap hati dan jiwanya. Bismillahirrahmanirrahim. "Saya nikahkan dan saya kawinnya engkau Andriansyah Nugroho dengan anak saya, M
Part 38 (Restu Dan Kabar Kematian) "Andriansyah, apa benar kamu melamar putriku?" tanya Bram, pria itu melipat kedua tangannya sambil bersandar pada kursi. Ia memanggil Andriansyah ke ruangannya karena desakan dari sang istri. Pasalnya, sepulang dari apartemen Andriansyah, Mauren terus tersenyum. Putrinya itu terlihat sedang berbunga-bunga dan dimabuk asmara. Membuat hati Bram menghangat melihat Mauren perlahan bangkit dari keterpurukan. Meski putrinya harus tertatih dalam membuka hati dan berdamai dengan luka lamanya. Its okey, semua orang punya jalan hidupnya masing-masing. "Benar, Pak." Bram memicingkan mata, ia menatap Andriansyah dengan tatapan tajam. Pria itu sudah siap mengajukan banyak pertanyaan pada calon menantunya. Mauren bilang ia nyaman, sementara Andriansyah sendiri sudah beberapa kali meminta putrinya untuk dijadikan pendamping hidup. Namun, Bram tetaplah Bram. Dia berkaca dari apa yang pernah terjadi beberapa bulan yang lalu. "Kamu yakin dengan keputusanmu? Mengi
Part 37 (Di atas Kebahagiaan Masih Ada Derita) Mauren menelepon Venya, ia menceritakan masalahnya mulai dari A sampai Z. Termaksud kegelisahanya mendapati Andriansyah baru beberapa menit yang lalu melamarnya. "Jadi begitu Ma, aku bingung harus jawab apa?" Mauren menarik kursi, ia menunggu air mendidih. "Kamu nyaman tidak sama dia?" tanya Venya. Sesaat Mauren terdiam, perempuan itu menopang dagunya dengan tangan kanan. "Jujur sama Mama, kamu nyaman sama Andriansyah atau tidak?" Venya mengulang pertanyaan, Mauren mengangguk kecil. "Nyaman Ma." "Menurut kamu Andriansyah itu orangnya seperti apa?" Mauren merasa Venya seperti sedang mengintrogasinya sekarang. Memberi pertanyaan yang menurutnya tak masuk akal. Apa coba maksud Mama bertanya seperti itu padaku? gerutu Mauren dalam hati. "Mauren," "Menurut pandanganku yah Ma, Andriansyah itu orangnya baik. Dia bertanggung jawab, terus pekerja keras. Dan aku lihat, dia setia kok orangnya," ungkap Mauren. Venya menahan senyum, ia men
Part 36 (Isi Hati?) Sore itu Mauren mengunjungi apartemen Andriansyah. Ia mengantar kue kering titipan Venya. Dan langsung syok mendapati Andriansyah sakit. Punggung tangan Mauren bergerak menyentuh kening Andriansyah. Seketika hawa panas bercampur dingin menyapa permukaan kulitnya. Dia demam? "Kakak demam, kita ke rumah sakit ya," usul Mauren. Andriansyah yang menggigil dibalik selimut menggelengkan kepala. Pria itu tak punya tenaga untuk sekadar bangun, tubuhnya benar-benar lemas. Belum lagi wajahnya yang pucat. Dan hawa panas menyerang tubuhnya secara tiba-tiba. "Kakak sudah minum obat?" tanya Mauren. Andriansyah menoleh, sekali lagi ia menggeleng lemah. Menggigit bibirnya sambil meringis. "Kenapa belum minum obat? Kakak sudah makan belum?" Berbagai pertanyaan Mauren lontarkan. Tidak ada jawaban membuat perempuan cantik itu kalut. Rasa khawatir datang membabi-buta, sebelumnya ia tidak pernah merasakan perasaan seperti ini. Apa mungkin Andriansyah sakit karena kehujanan, dan
Part 35 (Karma Untuk Sheri?) Kini Andriansyah dan Meli telah dinyatakan resmi bercerai. Baru beberapa menit yang lalu hakim persidangan mengetuk palu, membuat ikatan diantara mereka terputus. Meli menangis, ia tidak sanggup lagi membendung kesedihannya. Ingin sekali Meli menahan Andriansyah. Tapi apa daya, lihatlah dirinya, ia bahkan harus duduk di kursi roda, tidak bisa bicara. Jangankan melontarkan sepatah dua patah, untuk bergerak saja Meli kesusahan. Kenapa Andriansyah pergi meninggalkannya? Kenapa ia tega mengakhiri hubungan mereka di saat kondisinya seperti ini? Kenapa. Kenapa dan kenapa? Andriansyah menoleh ke kiri, bertepatan dengan Meli yang masih memandangnya. Tatapan mereka bertaut, Meli ingin marah. Tapi kondisinya membuatnya kesulitan. Semesta seolah sedang menghukumnya, takdir macam apa yang sekarang ia jalani. Hakim persidangan bangkit setelah mengatakan sidang hari ini selesai. Menyisakan keheningan di antara mereka berdua. "Maaf Mel, semoga kamu bisa menerima
Part 34 (Jantungku Berdebar Saat Aku menatapmu?) Malam itu Bu Sani mencoba menghubungi Andriansyah. Ia mendapatkan nomor Andriansyah dari Iden. Ia tidak tega melihat putrinya, sepanjang hari Meli menangisi pernikahannya yang ada di ujung tanduk. Sayang, kalimat maaf yang keluar dari mulut Bu Sani tidak mampu membuat menantunya luluh. Sidang perceraian mereka tetap akan dilangsungkan besok di pengadilan agama. Mau tak mau, Meli harus menerima kenyataan ini bahwa pernikahan mereka cukup sampai di sini. "Andriansyah Ibu mohon, jangan tinggalkan Meli. Kasihan dia, dia butuh kamu, Nak." Sambil berlinang air mata Bu Sani mengatakannya. Andriansyah berdiam diri, ia tidak menanggapi penuturan Bu Sani. Mertuanya itu tidak pernah mencoba memahami dirinya. Apa pun kesalahan Meli, di mata Bu sani tetaplah benar. Lagi pula untuk apa ia mempertahankan hubungannya dengan Meli, jika bukan Meli yang bertakhta di hatinya. "Tolong Andriansyah, Meli membutuhkanmu. Dia mencintaimu, maafkan putriku. S