Pesan paling atas, didominasi oleh dua grup. Satu grup alumni fakultas teknik---kejuruannya, pada urutan kedua itu grup kantor. Dengan perasaan was-was, aku segera mengklik grup tersebut. Menggulir layar hingga ke bawah. Satu per satu pesan kubaca. Beberapa percakapan terlihat berderet di sana. Hati berdebar karena ternyata beberapa nomor dengan nama perempuan kerap men tag-nya. Hanya saja, kulihat Mas Iqbal tak merespon. Dia hanya sesekali menimpali hal-hal penting saja, seperti donasi, kegiatan sosial dan lain-lain.Begitu juga beberapa ajakan reuni dan kumpul-kumpul kecil dari beberapa orang, mungkin teman dekatnya waktu kuliah. Beberapa kali kulihat alasannya adalah sibuk, lainnya ada acara keluarga, ada juga yang membuat alasan jika dia belum dapat izin istri. Padahal sama sekali dia tak pernah membicarakan terkait pertemuan itu denganku. Aku bernapas lega, ketakutanku jika ada cinta lama bersemi kembali ternyata salah. Tak ada satu pun indikasi yang mengarah ke sana. Kuperik
“Duduklah … Mas akan cerita.” Dia menarikku untuk duduk sehingga posisi kami kini bersisian. Hening beberapa lama. Aku masih menunggu sambil memeluk tubuhku sendiri yang terasa dingin diterpa angin. Waktu sudah malam, entah jam berapa sekarang. Namun, kehidupan di sekitar pun sudah mulai sepi.“Maaf kalau mas buat kamu bingung.” Kudengar dia mulai cerita. Wajahnya memandang ke depan, seolah dia bicara pada angin. Suaranya datar dan lirih, seperti tak memiliki semangat lagi. “Sudah kubilang, aku tak butuh permintaan maaf kamu, Mas. Aku butuh penjelasan.” Aku kembali menegaskan hal yang sudah kukatakan beberapa waktu tadi. Ah, gak mungkin juga dia sudah lupa.“Maaf.” Lagi-lagi dia malah meminta maaf, untuk ke sekian kalinya. Aku menatap wajah dengan cambang tipisnya dari samping. Lalu, hening lagi beberapa saat. Ya tuhaaan! Susah sekali dia untuk bercerita. Sebetulnya ada apa? “Ceritalah … aku masih menunggu.” Dia menoleh padaku, lantas bangkit dan mengajakku beranjak. “Di sini
“Baik, Mbak.” “Ikutin Innova hitam itu, ya! Yang terhalang tiga mobil dari sini!” “Baik, Mbak.” Aku duduk dengan tak tenang, entah kenapa perasaan begitu hancur ketika mengetahui Mas Iqbal masih menjalin hubungan dengan perempuan masa lalunya itu. Bukankah dia bilang kalau perempuan itu hanya menjadi masa lalu dan aku adalah masa depannya? Semudah itu janji manis itu terlupa begitu saja. Taxi yang kutumpangi, terus mengekori mobilnya. Rupanya mobil itu menuju sebuah restoran. Jadi, mereka akan makan siang? Kok rasanya makin sakit, ya? Tiba-tiba saja air mataku menetes ketika melihat mobil yang sudah berbelok di parkiran itu berhenti dan mereka berdua keluar. Ya, meskipun kalau dari ekspresi Mas Iqbal tampak dingin dan cuek dengan wanita itu, tetapi, tetap saja sakit melihat mereka jalan bersama di belakangku. “Mbak, kita ikut masuk atau enggak?” Sopir taxi itu bertanya. “Masuk saja, Pak!” tukasku dengan air mata yang sudah mengalir. Taxi kuminta parkir tak jauh dari gate exit
Pov Iqbal “Kalau lo mau tahu, ikut gue sekarang! Suami lo terlalu pengecut untuk mengatakan semuanya!” tukas Kenzo dengan senyum merendahkan. Aku terkejut ketika Diva melepas pegangan tangannya dan menatapku dengan sendu. “Mas, aku izin pergi bersama Kenzo. Bukankah kamu juga sudah hendak melepaskanku tanpa menejelaskan apapun. Aku butuh penjelasan, Mas. Aku butuh itu.” Diva bicara dan segera mengejar Kenzo yang sudah berbalik badan dan berjalan meninggalkan kami. Tiba-tiba semuanya menjadi gelap. Rasa nyeri di kepala yang semakin menjadi membuatku hilang keseimbangan. Dalam samar kudengar teriakan yang memanggil namaku.*** Aku mengerjap, mataku menyipit menyesuaikan dengan pendar cahaya dari lampu ruangan yang cukup terang. Yang pertama kali kulihat, langit-langit bercat putih, tembok dengan warna serupa dan tirai warna grey yang menutup jendela. Kepala masih terasa berdenyut, badan pun rasanya menggiggil. Ada juga selang infus yang terpasang pada tangan ini.Aku mencoba meng
“Kapan, Ma? Dengan siapa dia nikah? Kapan pernikahannya akan dilaksanakan?” Mas Iqbal menatap intens wajah Bu Faridah. Sementara itu, aku hanya duduk mematung, diam di sampingnya. “Nikah sama cewek lah, Bang! Pertanyaan lo aneh! Gue baru akan nikah setelah lo sembuh, Bang. Makanya lo cepetan sembuh!” Suara Kenzo terdengar dari arah belakang. Mas Iqbal menoleh padanya. Aku juga, hanya saja ternyata pandangannya tengah menatap lurus ke depan. Tak sedikitpun melirik ke arah kami. “Kenapa harus nunggu Abang sembuh, Kenz?” Mas Iqbal menatapnya. “Yang mau nikah ‘kan gue, Bang. Terserah gue lah mau kapan.” Wajahnya jutek seperti biasa. Emang dia gak pernah berubah. “Ya lebih baik gitu, kamu jangan nikah dulu, kalau Abang gak ada umur, tolong jaga mantan istri Abang ini, Kenz ….” Suaranya lirih. Sontak aku melotot ke arahnya. “Mas kok gitu, sihm ngomongnya?” Dengan perasaan bercampur baur tak karuan aku mengeratkan genggaman tangan. Ada rasa nyeri ketika membayangkan sepasang mata yang
Aku mematung di dekat pintu, urung mendorong pintu ruangan di mana Bang Iqbal berada. “Aku gimana Mas Iqbal saja, Ma. Hmmm … gimana, Mas?” Kudengar suara seseorang yang sampai hari ini sosoknya masih memenuhi lubuk hati. Gila memang, masa iya aku tergila-gila seperti ini dengan kakak ipar sendiri, huh. “Oke, Sayang … lebih baik di rumah Mama dulu saja. Mas khawatir kamu akan kerepotan kalau di rumah harus jaga Mas sendirian. Maaf, ya.” Kudorong saja daun pintu itu ketika tak ada lagi pembicaraan tentangku dan tentang perjodohan yang menyebalkan itu. “Ma, mereka ‘kan sudah punya rumah sendiri. Ngapain malah diajak di rumah kita. Kalau mau ikut ke rumah Om Wira, tinggal kita jemput saja pas hari H.” Aku melempar komplen pada Mama. Bisa gila aku kalau tinggal seatap dengan mereka. Lagian pertemuan dengan anak keluarga Om Wira masih seminggu lagi. Meraka tak paham betapa aku tertekan. Hanya aku yang tahu jika letupan api cemburu ini membara setiap kali melihat mereka bersama. Andai
Pov Diva Aku berjalan di samping Mas Iqbal. Sejak tadi, bahkan genggaman jemari ini tak terlepas. Lebih tepatnya, Mas Iqbal yang tak mau melepas genggaman jemarinya. Bu Rinai mempersilakan kami duduk. Tak berapa lama, seorang ART datang dan membawakan air minim di atas nampan. Seorang lelaki yang berpostur tubuh tinggi tegap muncul dari lantai atas. Di sampingnya berdiri seorang perempuan yang mungkin usianya seumuran denganku berjalan sambil menggelayut manja di lengan lelaki itu. Dia menunduk dan tampak sekali malu-malu. Pak Rafael bangkit lalu menyalami sang empunya rumah. Dia tampak sekali membungkuk hormat pada lelaki yang bahkan di usianya yang sudah matang terlihat masih begitu gagah. “Sehat Pak Wira?” “Baik. Makasih sudah mau menyempatkan diri berkunjung ke sini!” “Ini Adzkya Shakeela---putri saya! Maaf dia memang pemalu, nurun dari Mamanya,” tukasnya disertai kekehan. Lelaki yang disebut oleh Papa Mertua dengan nama Pak Wira itu memperkenalkan putrinya. Adzkya Shakee
Pov Diva “Astaghfirulloh … itu ‘kan?” Lantas aku mengambil gawai dan mengarahkan pada dua orang yang tampak berjalan dengan mesra itu. Sengaja kurekam diam-diam. “Va!” Suara Mas Iqbal membuatku menoleh. Segera kuturunkan gawai yang tadi kuarahkan dari arah samping tubuhku pada mereka. Namun tak hendak aku membahasnya dengan Mas Iqbal. “Apa, Mas?” “Hmmm, tuh!” Mas Iqbal melirik dengan sudut matanya. Aku tersenyum ketika menyadari antrian di depanku sudah habis dan menyisakkan aku yang mematung berjarak beberapa langkah dari kasir. Lekas kuikuti langkah Mas Iqbal yang mendorong troli. Kami berdiri bersisian dan kasir segera menghitung totalan belanja kami. “Yang ini kantungnya dibedakan, ya, Mbak!” Aku mengeluarkan barang-barang yang akan kubawa ke tempat Ibu.“Baik, Mbak.” Kasir itu menjawab dengan ramah. Senyum pada bibirnya yang dipoles merah tampak tersungging begitu saja. Lekas Mas Iqbal mengeluarkan kartu debit ketika kasir itu menyebutkan total belanjaan. Sementara itu,