Mereka berdua langsung ke luar rumah. Tampak sebuah mobil berwarna putih, keluaran Jepang. Dari dalam mobil, terlihat bayangan Delon yang masih menerima telepon.
Lelaki tampan itu, menurunkan kaca jendela. Serta memberi aba-aba pada Raisa untuk segera masuk.
“Ayo, Bu Marto.”
“Ya udah, kamu duduk di depan aja.”
“Baik, Bu.”
Mereka pun menunggu Delon selesai bicara di ponselnya. Etelah menunggu beberapa detik. Dia menoleh pada Raisa dan Bu Marto.
“Maaf, tadi ada telpon urtusan pekerjaan.”
“Enggak apa-apa, Mas Delon.”
“Sekarang kita lewat mana?”
“Putar balik aja, Mas,” sahut Bu Marto.
“Oh, baik Bu. Makasih.”
Mobil mereka segera menuju ke desa sebelah. Jarak yang tak terlalu jauh. Membuat hanya dalam hitungan menit, mobil sudah berhenti di depan sebuah rumah yang sangat besar.
Terlihat halaman
Mereka bertiga saling berpandangan saat mendengar cerita wanita tua itu.“Kok bisa begitu Bu?” Hampir serempak mereka bertiga bertanya."Dan kenapa enggak ikhlas?" tanya Raisa.Wanita tua itu menoleh kiri kanan. Seakan takut oleh seseorang atau sesuatu.Wajah tuanya mengernyit. Seperti mengetahui sesuatu hal yang menjadi rahasia pada Bu Sapto.“Bu Sapto, semasa hidupnya melakukan pesugihan,” ujar Wanita tua itu berbisik.Jawaban wanita itu semakin membuat Raisa, Delon dan Bu Marto tercengang."Pe-pesugihan ..." ulang Bu Marto terhenyak.“Pesugihan apa?” tanya Raisa penasaran.“Pesugihan yang membutuhkan tumbal. Dan yang sering menjadi korban--"Dia menghentikan kalimatnya. Lalu bola matanya melirik ke segala arah. Sedangkan Raisa, Delon dan Bu Marto terus menatap tajam ke arahnya."Siapa Bu korbannya?""Orang-orang yang lewat di depan rumah in
Wanita itu memandang satu persatu ke arah mereka. Seolah tak percaya. Dengan apa yang mereka katakan."Jadi tujuan kalian kemari untuk mencari tau?""Iya, Bu. Saya selalu dihantui sosok Bu Sapto. Hampir setiap hari, Bu. Terus Mas Delon ini juga.""Ka-kalian berdua?""Iya," jawab Raisa dan Delon bersamaan.“Eeeehhh ….”Wanita tua itu terus menatap ke arah mereka. Dengan pandangan yang berbeda."Sebenarnya apa yang telah terjadi?"Raisa terlihat ragu untuk bercerita. Dia melihat pada Bu Marto dan Delon, yang mengangguk padanya.“Sa-saya pemandi jenazahnya, Bu.”“Jenazah bu Sapto?”“Iya, Bu. Saat saya mandikan, kuku Bu Sapto terlepas. Ternyata tersangkut di renda kerudung saya.”"Sampai tersangkut?"Raisa mengangguk pelan."Hemmm, aneh," gumam Bu Sapto."Aneh gimana Bu?" Raisa heran melihat reaksi wanita itu.
Rumah Bu Sapto benar-benar luas. Terkesan megah dan kokoh. Dipadu dengan gaya klasik khas Jawa. Yang berbentuk joglo, menambah kesan misteri rumah ini semakin kuat.“Aku enggak bisa bayangin kalau malam hari. Pasti semakin seram," bisik wanita itu.Bu Marto semakin kebingungan. Dia merasa ditinggal oleh Raisa dan Delon. Mereka seperti menghilang di dalam rumah ini.“Perasaan aku jadi enggak enak. Apa mataku yang sudah tua atau—“Bu Marto menghentikan kalimatnya. Pikiran dia benar-benar kacau saat ini. Sekelebat bayangan hitam kembali terlihat olehnya. Seperti sedang melintas masuk rumah."Haaahhh! Apa itu tadi?"Dia berjalan sedikit menjauh. Dari jendela dan pintu rumah yang terbuat dari kayu jati penuh ukiran. belum sampai pikirannya jernih.Tiba-tiba ....Dia melihat seraut wjah wanita mengintip dari kaca jendela bagian dalam. Tatap matanya terus mengarah pada Bu Marto. Membuat dia terhenya
"Dia ...?" ulang Bu Marto. Tatap matanya tak lepas mengarah pada Bu Saiful yang mulai terlihat gelisah."Iya. Makhluk pencari tumbal itu," bisik Bu Saiful. Suaranya hampir tak terdengar."Haaahhh!"Kalimat wanita itu semakin membuat Bu Marto mati kutu. Hingga mengerjap beberapa kali. Sembari melihat ke arah pengendara itu yang darahnya tercecer.Bu Marto sampai menitikkan air mata. Lalu mengusapnya cepat-cepat. Dia langsung teringat akan Delon dan Raisa.'Apa yang terjadi dengan mereka? Kenapa mereka enggak keluar sama seklai dari rumah itu?'“Kamis legi ini ya?” teriak salah seorang warga.“Iya, Pak.”“Walaaahhh. Pasti ada yang begini. Tahun ini sudah berapa?” teriak salah seorang warga lagi. Yang terdengar jelas di telinga Bu Marto.“Baru dua sama yang sekarang.”'Mereka menghitungnya?'“Berarti akan ada kecelakan lagi,” s
Di dalam rumah Bu Sapto. Hanya terdengar suara langkah Raisa dan Delon yang mengikuti Bu Aminah. Mereka seperti tak mendengar suara apa pun dari arah luar. Seolah sedang berada di suatu ruang yang tertutup yang kedap suara.Sesekali Raisa menoleh ke arah belakang. Tepatnya ke arah pintu luar. Dia merasa ada yang aneh. Suasana terlihat berbeda dari sebelumnya."Kenapa gelap seperti malam hari? Padahal 'kan ini masih siang?" bisik Raisa, mulai merasakan keanehan.Sontak dia menarik lengan Delon. Untuk mendekat."Apaan, Sa?""Coba deh Mas lihat ke arah pintu luar!""Memangnya kenapa?""Iiih, lihat sekarang!"Delon mengikuti ucapan Raisa. Dia menoleh ke arah pintu luar. Lalu kembali melihat pada Raisa dengan kedua mata yang menyipit."Ada apa emangnya?""Mas Delon enggak lihat apa-apa?"Dia menggeleng cepat. Jawaban Delon membuat Raisa semakin gamang dan merasa aneh."Sa! Memangnya ada apa?" tegur Delon
Kali ini, Raisa mulai merasakan begitu banyak pasang mata yang tengah memperhatikan mereka. Seperti bayangan samar. Tapi Raisa tahu itu bahwa mereka benar-benar ada. Di dalam kamar ini.Tak hanya itu saja. Dia pun mendnegar suara-suara berisik dan gaduh. Namun tak terlihat seorang pun. Yang ada hanyalah mereka bertiga. Sampai sebuah teguran dari Bu Aminah mengejutkan dirinya.“Kalian di sini jangan sampai termenung. Atau melamun dengan pikiran kosong!” Bisik Bu Aminah.Raisa tersentak. Suara wanita itu terdengar parau. Seperti bukan Bu Aminah lagi.“I-iya, Bu.”Dengan cepat Raisa menguasai dirinya. Sembari menggelengkan kepala. Berusaha menghilangkan suara-suara aneh yang mulai didengar gadis itu. Serta memalingkan wajahnya dari pandangan tajam Bu Aminah yang terlihat berbeda.Berulang kali Raisa meneguk air ludahnya sendiri. Membasahi tenggorokan yang semakin kering. Seolah tercekat.“Ini lemarinya
"Bu Aminah! Buuu ...!" Terdengar suara mereka berdua yang memanggil hampir bersamaan. “Apa dia melanjutkan bersih-bersih halaman tadi?” ujar Delon. “Aku juga enggak tau, Mas. Tapi ini semua menurutku rada aneh dan janggal. Sebaiknya kita keluar sekarang Mas!” “Sebentar, Sa!” “Apalagi, Mas?” Dia kembali menunjuk sebuah toples yang lebih besar dari yang lain. Tampak Delon semakin penasaran. Sedangkan Raisa sudah tak bisa fokus dengan apa yang dia lihat. Perasaannya semakin cemas. “Perhatikan terus, Sa. Sesuatu yang di dalam toples itu, seperti meneteskan darah.” Suara Delon terdengar berbisik. “Mas! Mas Delon!” Gadis itu tak mendengarkan lagi apa yang dikatakan oleh Delon. Dia terus menarik lengan lelaki tampan itu dengan kencang. “Sebentar Raisa!” “Ta-tapi, i-itu yang duduk di kursi goyang. Seperti—“ Raisa tak sanggup meneruskan kalimatnya. “Seperti apa?” “Se-sepert
"Haaaahhh!" Bu Marto tercengang. Dia hanya bisa menutup mulutnya dan berlari menuju Bu Saiful. "A-ada apa, Bu?" "To-tolong pinjam telepon rumahnya, Bu. Boleh?" "Boleh, Bu. Tapi mana mereka yang ibu cari?" Dia hanya menggeleng. Tak tahu harus berkata apa pada wanita ini. "Entahlah Bu! Saya merasa aneh dengan wanita tua itu. Seperti bukan dia yang tadi saya temui. Wajahnya sama tapi--" "Tapi?" Bu Marto tak sanggup berkata-kata lagi. Mereka berdua buru-buru pulang. Sesampai di rumah. Bu Saiful mengajak dia untuk menelepon nomer ponsel Raisa. "Maaf ya, Bu. Pulsa saya habis. jadi enggak bis abuat telepon." "Enggak apa-apa" Berulang kali dia menekan nomer ponsel Raisa, selalu jawaban operator yang menjawab. Tampak Bu marto semakin kebingungan. Terdengar suara guntur yang gemuruh. Sepertinya hujan akan turun. Ditambah angin kencang berhembus. "Tenang aja Bu. Semoga mereka enggak apa-apa.