"Si-siapa dia? Malam-malam begini menelepon?"
Mereka berdua saling beradu pandang. Dering telepon itu masih terus menerus berbunyi.
"Biar aku angkat, Pak."
Dian mempercepat langkahnya. Sampai Dian mengangkat gagang telepon. Wanita itu mendengarkan sesaat. hening tanpa ada suara.
Saat Dian ingin meletakkan gagang telepon. Dia mendengar suara yang gemerisik. Kembali dia mendengarkan gagang telepon.
"Ha-hallo ...!"
"Mana Raisa?"
"Raisa?"
"Mana Raisa?"
"I-ini siapa?"
Kembali hening tanpa ada suara. Cukup lama Dian menunggu, tapi tetap tak ada suara dari seberang telepon.
"Hallo! Ini sama siapa?" ulang Dian.
Sampai Harso berjalan mendekat. Raut wajahnya tampak gusar.
"Siapa Mbak Dian?"
"Enggak tau, Pak. Enggak di jawab."
"Mana telponnya?"
Dian memberikan teleponnya pada Harso. Dia mendekatkan gagang telepon di telinga. Mencoba mendengarkan semua latar dari seberang
Kriiing kriiing kriiiing!"Bu-bukannya tadi gagangnya Mbak Dian taruh di meja? Iya 'kan?""I-iya, Raisa. Enggak mungkin salah aku tadi. Tapi, kenapa teleponnya masih juga bunyi?"Raisa menggeleng. Keduanya hanya bisa saling berpandangan. Dengan raut wajah yang sangat tegang. Dan berharap dering telepon itu segera berhenti.Raisa dan Dian semakin membenamkan diri mereka ke dalam selimut. Berharap pagi segera menjelang. Sampai akhirnya suara sering telepon itu berhenti dengan sendirinya."Apa, hal ini sering terjadi?""Kadang sih, Mbak."Raisa masih bersembunyi di balik selimut."Menurut Mbak karena apa?"Wanita itu menghela napas panjang. Tak hanya sekali tapi berkali-kali. Dia pun tak langsung menjawab pertanyaan Raisa. Karena Dian tahu, ada satu hal yang pastinya berhubungan dengan dirinya."Bukannya kamu besok mau pergi?""Iya, Mbak.""Aku rasa ini ada kaitan dengan kepergian kamu, Raisa.""
Setelah kepergian Raisa. Ada rasa haru yang melesak dalam hati Harso. Saat Raisa sudah pergi. Ada ketakutan menyeruak. Berulang kali membuatnya menghela napas panjang.Sampai teguran Momoy mengejutkannya. Dia terus menggoyang telapak tangan Harso. Sembari mendongak ke arahnya."Bapak, kenapa kok melamun?"Lelaki itu menunduk dan mengusap rambut Momoy."Bapak cuman melihat mobilnya Pak Delon, Moy.""Udah enggak ada Pak mobilnya. Udah jauh!" seru bocah cilik itu."Kamu mandi sana. Nanti kesiangan masuk sekolahnya.""Iya, Pak!""Minta Mbak Dian siapkan baju kamu, Moy!"Bocah itu sudah berlari ke dalam rumah. Menghampiri Dian yang sudah masak di dapur."Moy, Bapak nanti malam pulangnya ya?""Kan ada Mbak Sa," sahutnya dengan merapikan pakaian."Sepertinya Mbak Raisa menginap. Kan ada Mbak Dian nanti."Bocah itu langsung cemberut."Enggak apa-apa, Moy. Nanti ditemani sama Mbak ya?"Te
Lelaki itu menyuruh mereka menunggu di luar. Dengan melepas kaca mata hitam. Dia masuk ke dalam rumah yang pintunya tak dikunci. Lalu keluar lagi, membawa sebuah tikar pandan berwarna coklat."Duduklah kalian di sini!"Raisa dan Delon pun duduk di atas tikar yang disiapkan. Begitu juga dengan lelaki tua. Raisa memandang sekitar tempat itu. Pandangan matanya berpendar memperhatikan sekitar rumah lelaki tua itu.Dia mendongak. Melihat pohon gayam yang besar dan rindang. Semilir angin seakan membuat dedaunannya gemerisik. Seolah ada seseorang yang sedang bermain ranting pohon."Siapa nama kamu?""Raisa, Pak.""Raisa," ulang sang lelaki tua.Matanya terpejam. Entah mengapa dia menepuk bahu Raisa tiba-tiba. Lalu meniup pelan kedua bahu gadis itu. Membuat Raisa dan Delon saling beprandangan dengan heran."Aku hilangkan bayangan hitam itu dulu! Biar tak mengikuti kalian.""Bayangan hitam?" ulang Delon kembali menatap Raisa.
"Memangnya kalian ini dari mana? Soalnya di atas situ enggak ada rumah warga lho!"Deg!"Maksud Bapak?" tanya Raisa terhenyak."Ya di sini udah enggak ada rumah lagi. Malah di atas hanya pohon-pohon."Delon dan Raisa saling menoleh. Dengan pandangan yang heran."Memangnya kalian ini dari mana?"Keduanya langsung menunjuk arah atas. Tanpa ada sepatah kata yang terucap."Atas?" ulang lelaki itu."Iya, Pak. Memangnya ada apa?"Sang lelaki masih melihat ke arah pohon gayam."Ka-kalian menemui siapa?""Kami ketemu bapak-bapak tua waktu di rumah makan seberang jalan. Terus kami ikuti sampai ke sini Pak," sahut Delon."Bukan mengikuti Mas Delon. Tapi yang ada, diajak sama Bapak tua itu ke rumahnya.""Ke rumahnya?" sahut sang lelaki asing."Iya, Pak," sahut mereka bersamaan.Raut wajah sang lelaki asing itu, menunjukkan gelagat yang aneh. Dia langsung buru-buru merapikan rumput yang diba
Mereka berdua bisa melihat sekelebat bayangan di balik korden jendela."Assalamualaikum!" Raisa mengulang lagi salamnya.Namun seseorang yang melihat ke arah mereka dari balik jendela hanya terdiam. Dan membiarkan Raisa dan Delon berdiri terpaku dengan menatap ke arahnya."Kenapa dia tak keluar, Sa?""Aku juga enggak tau, Mas.""Baiknya kita langsung naik ke terasnya gimana?" Delon menoleh pada Raisa.Raisa manggut-manggut. Masuk akal apa yang dikatakan Delon. Mereka segera melepas sepatu yang dipakai.Tok tok tok!Seseorang yang bersembunyi di balik korden berlari ke dalam. Mmebuat Raisa dan Delon semakin heran. Mereka berdua terlihat kebingungan."Lah, kok malah lari?" Delon kembali menoleh pada Raisa. Yang mendekatkan wajahnya pada jendela. Hingga menempel hidung, bibir, dan kedua mata."Rumahnya sepi, Mas. Tapi kayaknya orang tadi mengintip dari dalam."Delon pun tertarik mengikuti Raisa. Dia ikut mengi
Delon mengangguk pelan. Lalu Raisa memperlambat langkahnya berjalan. Terus maju beberapa langkah. Hanya berjarak dua depa. Raisa berdiri menghadap wanita itu."Bu Hariyani?" Suara Raisa berbisik.Klek!Terdengar bunyi handle pintu yang ditarik. Tak lama, pintu terbuka lebar. Membuat Delon dan Raisa saling berpandangan. Jantung mereka berdetak kencang. Manakala Bu Hariyani berjalan keluar dengan langkah yang diseret.Tatap matanya nanar mengarah pada Raisa dan Delon. Langkahnya terhenti tepat di ambang pintu. Sekian detik lamanya mereka bertiga saling terdiam.Hingga semilir angin di siang ini berhembus. Menyuguhkan aroma amis dan anyir pada Raisa dan Delon. Seperti aroma darah yang mengering lalu tersiram air.Mereka berdua telihat menutup hidung. Sembari terus menatap pada Bu Hariyani. Lalu wanita itu melambai pelan pada mereka berdua. Membuat Raisa tercengang. Menoleh pada Delon yang masih terperanjat dengan Bu Hariyani.Kedua
Tangannya mengusap-usap kedua telinga. Berharap suara-suara itu tak dia dengar lagi."Percuma!"Suara tegas dan lantang Bu Hariyani, membuat Raisa terhenyak."A-apa yang percuma, Bu?"Namun wanita itu terdiam tanpa mengindahkan pertanyaan Raisa."Kau pasti akan selalu mendengar suara-suara itu!" tegas Bu Hariyani."Kenapa Ibu kok bisa tahu?""Karena aku juga mendengarnya!"Raisa pun terhenyak. Dia menoleh pada Delon yang juga tengah memerhatikan dirinya. Bagi mereka berdua sikap Bu Hariyani ini mulai terlihat aneh.Kini wanita paruh baya itu, mulai menghentak-hentakkan kedua kakinya bergnatian ke lantai. Raisa yang melihat pun keheranan. Dalam pikirannya saat ini, pastilah Bu Hariyani sedang kesemutan.Tiba-tiba, tanpa mereka sangka. Gerkan kaki itu bertambah cepat. Diikuti kedua tangannya, yang mengibas did epan wajahnya Bu Hariyani sendiri."I-ibu, ini kenapa?" Raisa memberanikan diri untuk bertanya.
Karena ketakutan, membuat mereka tak melihat kehadiran seseorang. Sampai akhirnya Delon dan Raisa menabrak ....Bruuukkkk!"Aaaahhhh!" Raisa menjerit.Raisa dan Delon baru menyadari telah menabrak seseorang. Saat mendengar suara yang kesakitan. Mereka bertiga sudah bergulingan di lantai.Terdengar erangan yang lirih. Membuat Delon dan Raisa menyadari. Kalau telah menabrak lelaki paruh baya yang tengah duduk di lantai di hadapan mereka."Ba-bapak enggak apa-apa?" tanya Raisa masih terperanjat.Lelaki itu mendongak dan mengamati mereka dengan mata yang membulat lebar."Si-siapa kalian? Kok bisa masuk rumah orang tanpa permisi.""Maaf dulu, Pak. Tadi kami diterima sama Ibu Hariyani," sahut Delon, mencoba menenangkan lelaki itu."Kalian jangan kurang ajar! Istri-ku itu enggak bisa jalan sendiri. Dia itu cuman bisa berbaring di atas kasur," sentak lelaki itu.Sontak kalimat itu membuat mereka berdua terperanjat.