Aku mengikuti apa kata ibuku. Akhirnya aku, ibu dan juga mobil bak terbuka sampailah tepat di depan halaman rumah orang tua Amira yang sedang dalam tahap pembangunan. Sampai di sana, kami tidak langsung mengeksekusi bahan bangunan untuk dipindahkan ke atas mobil bak terbuka yang telah kami sewa. Aku, ibu dan juga pengawas yang memborong pembangunan rumah Amira beradu mulut hingga akhirnya berujung pihak tukang bangunan yang kalah dengan kami karena aku adalah suami Amira yang sekaligus menjadi kepala keluarga.Hingga tanpa sepengetahuan dan diluar dugaan kami."Hei! Apa yang kalian lakukan!" teriak ku dan aku masih berada di atas motor yang aku kendarai. Aku baru saja sampai di depan rumah. Dari jalan depan rumah aku melihat ibu mertua sedang mengomando beberapa orang untuk mengangkut material bangunan bahkan sebagian sudah tertata di atas mobil bak terbuka. Mungkin mas Hadi dan ibunya yang sudah sengaja menyewa mobil tersebut. Tidak tahu malu sekali.Aku segera mematikan mesin motor
Hingga suatu ketika tiba-tiba aku mendapati surat panggilan dari pengadilan agama. Tidak ada angin tidak ada hujan tiba-tiba hati dan hariku berubah mendung. Apakah Mira benar-benar sudah nekat melakukan semuanya ini. Mira nekat mengajukan gugatan cerainya pada pengadilan agama? Apa mungkin Mira menganggap serius ucapan talak ku itu? Aku tidak ada niat untuk melakukan itu padanya semua di luar kendali ku karena emosi yang menguasai."Kamu kenapa Hadi? Emangnya itu surat apa yang kamu baca?" Ibu baru saja keluar dari kamarnya langsung menghampiri aku yang terduduk di ruang tamu dengan kertas yang baru aku terima dari pengadilan agama yang masih ada digenggaman ku. Ibu memposisikan diri tepat disebelah ku."Ini surat panggilan dari pengadilan agama." Ibu menautkan kedua alisnya menatap ke arahku."Maksud kamu surat panggilan dari pengadilan agama yang bagaimana?" Ibu masih belum paham dengan kondisi saat ini."Surat panggilan dari pengadilan agama untuk sudah pertama Hadi dan Mira. Mir
"Hadi, kamu kok pulang cepat? Apa kamu nggak enak badan?" Seperti biasanya. Aku akan terlebih dulu pulang ke rumah ibuku sendiri dan setelah itu baru pulang ke rumah istri keduaku, Yuni. Semenjak kami dinikahkan paksa oleh warga. Malam itu juga dan sampai detik ini aku tinggal di sana. Antara nyaman dan juga tidak nyaman karena aku tinggal satu atap bersama dengan orang yang tidak atau belum bisa aku cintai.Aku menyandarkan punggungku pada sandaran sofa yang ada di ruang tamu. Aku ingat, sofa yang empuk dan nyaman ini adalah salah peninggalan dari Mira yang sengaja ia hadiahkan pada ibuku. Aku tahu sebenarnya Mira ada istri sekaligus menantu yang perhatian akan keadaan dari ibu mertuanya. Karena demi mencukupi kebutuhan hidup dan biaya untuk menyekolahkan anak-anaknya hingga membuat orang tuaku tidak fokus pada keadaan rumah mereka termasuk perabotan yang ada di rumah ini. Kursi tua peninggalan dari orang tua ibuku yang selama belum kedatangan Mira yang menghiasai ruang tamu ini. Kur
Waktu yang di nanti akhirnya datang juga. Dua Minggu setelah persidangan pertama ku. Akhirnya sidang kedua akan aku jalani. Aku segera bersiap agar tidak telat sampai di pengadilan. Jika sebelumnya aku datang hanya seorang diri, maka kali ini aku datang dengan membawa serta kawan. Ada Desi yang tidak lain tetangga dekat rumah yang sekaligus teman sepermainan ku yang baru kembali dari kota dan ingin menetap di kampung halaman. Desi menawarkan jasa pengacara padaku yang awalnya aku tolak karena tidak ada bujet untuk membayar jasa dari seorang pengacara yang tentu saja tidak murah."Des, Aku benar nggak enak sama saudara, Kamu," bisik ku pada Desi ketika kami sudah berada di perjalanan menuju kantor pengadilan agama."Sudah biasa saja hitung-hitung mas Fahmi sedekah membantu seorang janda," seloroh Desi yang akhirnya aku hadiahi cubitan di lengannya.Malu? Tentu saja. Bagaimana tidak, aku sengaja berbicara dengan ku buat se-lirih mungkin agar tidak terdengar oleh pria yang sedang konsent
Akhirnya sudah kedua pun berjalan sesuai dengan agenda. Tetapi pada sidang kali ini masih belum bisa diambil keputusan dan kesimpulan. Aku berharap sidang bisa berjalan dengan lancar namun kenyataan tidak sesuai dengan harapan karena keluarga dari mas Hadi sengaja ingin membuat masalah dengan permintaan mereka atas harta gono-gini. Aku ingin tertawa juga ingin muntah karena ulah mereka. Kenapa mereka tidak habis pikir. Bukannya selama ini justru aku yang menghidupi mereka, bukan aku yang menjadi beban hidup untuk mereka. Lantas harta gono-gini mana yang mereka ungkit untuk dibagi. Atas anjuran dari mas Fahmi. Aku disarankan agar tidak gegabah dalam bersikap di depan dewan hakim. Aku harus berpikir tenang dan mengalah untuk mencari sela. "Barbar banget keluarga mantan kamu itu, Mir. Kamu kok bisa tahan. Kalau aku tahu dari awal sudah seperti itu. Sudah dari awal aku tinggal cari gantinya. Nggak cakep-cakep amat masih cakep an juga orang yang ada di depan kita ini," celetuk Desi saat k
Pria mana yang tidak panas dan sakit hatinya ketika melihat perempuan yang dicintai dekat dengan pria lain.Sekuat mungkin aku menahan diri dari emosi. Kalau tidak bisa aku buat babak belur pria yang berani-beraninya mendekati perempuan yang masih menjadi istri orang itu.Kalau saja bukan karena kebodohan ku yang sudah keceplosan mengucapkan kata talak pada Mira. Mungkin jalan hidupku tidak akan mengantarkan aku sampai di tempat ini. Tempat yang tidak pernah terlintas di mimpiku untuk aku singgahi."Mas, kamu kenapa sedari pulang dari persidangan kamu murung terus. Kamu nggak seperti biasanya yang semangat. " Yuni menghampiri aku dengan rambutnya yang masih basah dan digelung dengan handuk. Iya, kami baru saja selesai melakukannya."Aku cuma kepikiran apa gugatan ku ini dikabulkan apa tidak." Aku mengeles dengan mencari alasan yang tepat agar tidak menyinggung perasaan Yuni.Yuni mengambil posisi tepat di sampingku. Seperti biasanya ia akan minta untuk di manja-manja."Mas, aku besok
"Nak, Yuni apa kabar?" sapa seorang perempuan yang usianya sama seperti usia ibuku. Aku baru saja pindah tempat kerja di tempat yang baru usai berpisah dengan mantan suamiku. Aku yang saat itu sedang mengantarkan ibuku pergi menjenguk tetangga kami yang sakit."Iya, ibu kenal saya?" Bukannya sombong tapi memang banyak orang yang mengenalku. Siapa sih yang tidak kenal aku anak dari orang terpandang dan berpendidikan di kampungku."Ini ibu Tuti, temannya ibu kamu. Ibu ini adalah ibunya Hadi." Perempuan cerewet yang sok kenal dan sok dekat itu mulai memperkenalkan dirinya."Hadi? Hadi siapa ya, Bu?" tanyaku karena masih bingung."Hadi teman kamu waktu di SD dan SMP. Hadi perdana." "Oh, iya Yuni ingat kalau Hadi perdana." Aku baru ingat, siapa yang tidak kenal dengan sosok Hadi perdana salah satu siswa dengan muka yang mendukung satu angkatan sekolah dulu. Aku tidak tahu bagaimana kabarnya pria itu. Pria yang dulu pernah aku menaruh hati padanya."Hadi ada di rumah kalau mau main hari Mi
Hari ini adalah hari sudah ke tiga sekaligus pembacaan keputusan oleh hakim atas pengajuan gugatan yang dilayangkan oleh Mira."Mir, buruan!" seru Desi yang sengaja m nunggu dan berniat untuk menemani Mira menghadiri persidangan terakhirnya."Iya, Des bentar lagi," sahut Mira dari dalam kamarnya. Mira masih sibuk merapikan hijab yang ia kenakan. Khusus hari tersebut Mira sengaja mengenakan celana jeans warna denim yang dipadukan dengan atasan tunik berwarna lavender dan hijab pasmina yang berwarna senada dengan baju yang ia kenakan."Calon janda cantik banget hari ini," puji Desi yang terperangah melihat penampilan dari sahabatnya itu."Apaan sih kamu, itu, Des. Biasa juga kali." Wajah Mira bersemu merah mendengar pujian yang dilontarkan oleh Desi."Beneran, Mir. Kamu beda dari biasanya. Pasti calon suami kamu pangling lihat kamu. Calon ibu mertua juga sudah tidak sabar ketemu sama menantu," kelakar Desi."Ngawur kamu, Des. Yang ada calon mantan suami sama calon mantan ibu mertua," te