Share

174 - Harmoni Retak

Auteur: Luna Maji
last update Dernière mise à jour: 2025-12-08 18:57:39

Ruang Meditasi Kaisar sunyi. Batu-batunya dingin, kristal-kristal spiritual biru berpendar lembut. Di tengahnya, Shangkara dan Cailin duduk berhadapan di lantai, telapak tangan saling menempel.

Guru Fen berdiri sedikit jauh, mengawasi.

“Tarik perlahan,” ujar Guru Fen. “Biarkan energi bergerak … bukan saling menolak.”

Shangkara menarik napas. Cailin mengikuti. Shangkara mendorong Qi Vermilion, Cailin mendorong Qi Bulan. Sesaat, cahaya merah dan perak saling menyentuh—

Lalu energi panas dan dingin bertabrakan.

Tangan Shangkara membeku sampai ke pergelangan. Tangan Cailin tersengat panas sampai ia menariknya cepat-cepat. Keduanya terdorong mundur dengan napas tersengal.

Shangkara mendecak pelan. “Energi kita saling menolak.”

Cailin menatap telapak tangannya yang luka. “Itu bukan hanya soal energi. Kita terlalu tegang.”

Guru Fen menyela. “Itu karena kalian saling takut. Ketakutan itu membuat Qi kalian saling menolak.”

“Lalu kami harus apa?” tanya Cailin frustrasi sembari menyembuhkan luk
Continuez à lire ce livre gratuitement
Scanner le code pour télécharger l'application
Chapitre verrouillé

Latest chapter

  • Kaisar, Jangan Meminta Lebih    181 - Arah

    Pagi itu, Istana Vermilion tidak diselimuti duka, melainkan ketidaksabaran.Daiyu sudah mati, tapi Dewan Tetua belum puas.Mereka mencium sesuatu—bukan kebenaran, melainkan kesempatan.Guru Fen membuka pintu kamar pribadi kaisar.“Yang Mulia, Dewan memanggil sidang darurat. Mereka gelisah soal pemakaman Daiyu. Mereka menuntut pemeriksaan formal.”Shangkara membuka mata, pelan. “Tentu saja,” gumamnya. Ia berdiri. Kakinya sempat goyah, tapi ia menegakkan punggungnya sebelum siapa pun sempat melihat.Guru Fen menatapnya cermat. “Kau akan kesana?”“Aku Kaisar,” jawab Shangkara. “Kalau aku tidak muncul, mereka akan mencium kelemahan.”Ia melangkah pergi.Matahari sudah tinggi ketika pintu Ruang Dewan terbuka.Para Tetua yang sejak tadi ribut menuntut penjelasan langsung terdiam.Shangkara melangkah masuk. Ia mengenakan jubah kebesaran Vermilion lengkap dengan mahkotanya. Wajahnya meman

  • Kaisar, Jangan Meminta Lebih    Bab Bonus — Catatan Penulis (Tentang Sunyi yang Disengaja)

    Di titik ini, mungkin ada yang berpikir:“Kok ceritanya jadi sepi?”Atau lebih jujur lagi: “Ini nggak serame dulu.”Kabar baiknya: kalian tidak salah.Kabar buruknya: Luna juga tahu.Bab-bab terakhir ini memang agak berat dan datar.Tidak ada kemenangan besar. Tidak ada ledakan panjang yang memuaskan.Yang ada justru orang-orang yang pergi diam-diam, kalah tanpa tepuk tangan, dan memilih keputusan yang rasanya salah di mata siapa pun—kecuali diri mereka sendiri.Sebagai penulis, ini bagian yang paling tidak ramah pembaca.Dan mungkin, paling tidak ramah untuk Luna sendiri.Karena jauh lebih mudah menulis adegan hebat daripada menulis konsekuensinya.Lebih mudah membuat karakter menang, daripada membiarkan mereka tertinggal, tertipu, atau terluka tanpa bisa membalas.Kalau semua ini terasa tidak “rame”, itu karena cerita sedang berhenti memanjakan.Luna paham jika ada yang berhenti di sini.Luna juga paham jika ada yang bertanya-tanya apakah cerita ini kehilangan arah.Yang bisa Luna j

  • Kaisar, Jangan Meminta Lebih    180 - Angin & Pasir

    Bilah angin pertama Lian melesat.Ravia mengangkat tangan sedikit. Pasir dari botol di pinggangnya keluar seperti cambuk yang menepis bilah angin. Cambuk pasir itu mengenai bilah angin Lian dan serangan itu buyar seketika.Lian tidak menahan diri. Ia memutar tubuhnya, menyalurkan Qi yang dimilikinya ke ujung-ujung jari.Angin berdesing tajam, membelah udara lembap di Hutan Barat.Puluhan bilah angin melesat serentak ke arah Ravia, cukup tajam untuk memotong batang pohon di hadapannya.Ravia tidak bergeser sejengkal pun. Ia hanya tersenyum tipis, mengeluarkan pasirnya lagi dari botol yang menggantung di pinggangnya.Pasir itu bergerak cepat. Dalam sekejap mata, pasir itu memadat di

  • Kaisar, Jangan Meminta Lebih    179 - Surat

    Cailin mendorong pintu kamar Lian di Istana Timur.Hening.“Lian?” panggil Cailin, suaranya memantul kosong.Tidak ada jawaban.Kamar itu sunyi. Jendela tertutup rapat. Namun, ada sesuatu yang salah. Kamar ini terlalu rapi. Seprei di ranjang masih rapi sempurna, seolah tidak pernah ditiduri semalaman.Firasat Cailin langsung menajam.Matanya menyapu ruangan. Lemari pakaian sedikit terbuka.Firasat buruk merayap di punggung Cailin. Ia melangkah cepat ke meja tulis. Di sana, di bawah bak tinta batu yang sedikit bergeser, tampak ujung kertas putih menyembul.Dengan tangan gem

  • Kaisar, Jangan Meminta Lebih    178 - Jejak Kabut

    Cahaya pagi merembes masuk melalui celah ventilasi Paviliun perawatan, menyinari debu-debu yang melayang tenang di udara. Tidak ada lagi ketegangan ritual semalam, hanya keheningan yang tersisa.Shangkara membuka matanya perlahan.Hal pertama yang ia rasakan adalah dingin. Bukan dinginnya suhu ruangan, melainkan dingin yang berasal dari dalam dirinya sendiri.Ia mencoba bergerak, namun tubuhnya kaku. Di sampingnya, Cailin tertidur dalam posisi duduk sambil memeluk lengan kiri Shangkara, kepalanya bersandar di bahu sang Kaisar. Wajah gadis itu tampak lelah, namun damai.Shangkara menggerakkan jari-jarinya yang terasa kaku.“Cailin …,” panggilnya, suaranya parau dan lemah.Cailin langsung tersentak bangun. Matanya terbuka lebar, dan ia langsung menegakkan tubuh, menatap Shangkara dengan panik.“Shangkara? Kau sadar?” Cailin meraba dahi dan pipi Shangkara. “Kau dingin sekali.”Shangkara mencoba tersenyum, meski bib

  • Kaisar, Jangan Meminta Lebih    177 - Putus

    Malam turun menyelimuti Istana Vermilion. Kristal-kristal spiritual sudah menyala, namun di Balai Pengobatan, suasananya redup dan tenang.Lian duduk di kursi samping ranjang Ren.Ren memperhatikannya. Ada ketenangan aneh pada diri Lian malam ini. Gadis yang tadi pagi bangun dengan napas memburu karena mimpi buruk yang tak mau diakuinya, kini terlihat damai seolah semua beban di pundaknya telah diangkat.“Kau terlihat … lebih baik,” komentar Ren pelan.Lian menatap Ren, matanya lembut namun ada kabut tipis di dasarnya yang tidak bisa dibaca Ren. “Aku sudah memikirkan semuanya, Ren. Aku tahu apa yang harus kulakukan sekarang.”Ren menghela napas lega. Ia mengira Lian akhirnya menerima situasi dan berhenti menyalahkan dir

Plus de chapitres
Découvrez et lisez de bons romans gratuitement
Accédez gratuitement à un grand nombre de bons romans sur GoodNovel. Téléchargez les livres que vous aimez et lisez où et quand vous voulez.
Lisez des livres gratuitement sur l'APP
Scanner le code pour lire sur l'application
DMCA.com Protection Status