Namun rupanya, kebahagiaan pasangan itu tidak bisa berlangsung lama. Keluarga kecil yang semula sangat bahagia tersebut harus berakhir dengan sangat singkat. Jiu Wang menerima sebuah surat rahasia dari Klan Wen yang memaksa Jiu Wang harus membantai seluruh keluarga istrinya dan mencari sebuah benda pusaka yang diinginkan oleh Klan Wen sejak lama.
Walaupun barang pusaka kuno itu tak berhasil ia dapatkan, tetapi Jiu Wang harus tetap memenuhi sumpahnya untuk menghancurkan Keluarga Jing. Hal itu dikarenakan, keluarganya juga di bawah ancaman Klan Wen. Sebagai seorang tuan muda pertama penerus keluarga besarnya, Jiu Wang harus bertanggung jawab dan memikul beban seberat Gunung Naga. Selain Jing Yue dan putranya yang baru berusia empat puluh hari, tak ada seorang pun yang dibiarkan hidup oleh Jiu Wang di malam pembantaian ini. Raja Arak menatap nanar pada kobaran api dan mayat-mayat yang bergelimangan akibat ulahnya sendiri. Tombak Naga Emas telah meminum darah dari orang-orang yang menjadi korban pembantaian. "Suamiku, kamu benarkah kamu yang telah membunuh ayahku? Kamu ... kamu yang melakukan semua ini?" Jing Yue masih menatap darah di telapak tangannya dengan uraian air mata yang mengalir deras laksana rinai hujan di musim keenam. Hatinya bagaikan disayat-sayat oleh tajamnya sembilu kulit bambu. "Ah Yue, maafkan aku!" Pria bergelar 'Pembunuh Tak Berperasaan' dan juga Raja Arak itu hanya bisa melontarkan sekalimat kata yang terlalu murah untuk diucapkan, setelah dia menghilangkan ratusan nyawa di kediaman Keluarga Jing. Lalu, bagaimana bisa hanya dengan sebuah kata maaf, seorang Jing Yue bisa melepaskan kekecewaan, dendam dan perasaannya yang telah hancur lebur? Malam itu juga, hati wanita itu seketika mati rasa dan membeku terhadap suaminya sendiri. Keadaan jasad sang ayah dan puluhan penghuni kediaman terlampau mengerikan. Jing Yue pun dengan suara lirih menahan perasaan perih, bertanya seolah kepada dirinya sendiri. "Maaf? Hanya sepatah kata maaf?" "Mengapa tidak sekalian saja kau menghabisi kami berdua?"Jing Yue beralih menatap bayi lelaki yang mulai meredakan tangisnya. Bayi berkulit putih kemerahan itu terlihat lelah dan sedikit tenang setelah mengisap ujung ibu jarinya sendiri. Wajah tampannya yang mungil dan lucu membuat perasaan sang ibu semakin tersayat-sayat kepiluan. "Lalu, sekarang kamu bunuhlah kami berdua agar kami bisa berkumpul bersama dengan keluargaku!" Jing Yue menatap penuh rasa sakit hati dan kebencian ke arah Jiu Wang. Kilat matanya bak tajam pedang yang mencabik-cabik perasaan Jiu Wang. "Tidak, Ah Yue! Kamu adalah istriku, dan dia darah dagingku! Sampai kapan pun aku tidak akan pernah menyakiti kalian berduaaa! Tidak akan ... tidak akaaaan!" Jiu Wang berteriak dalam tangis penyesalannya. "Kalian berdua adalah pengecualian!" "Aku menyesal! Aku sungguh sangat menyesal, Ah Yue!" Jing Yue merasa sangat muak dengan ucapan suaminya. Ia pun lalu bertanya, "Menyesal? Kamu bilang menyesal?" Jiu Wang hanya bisa menganggukan kepalanya yang terasa sangat berat dan kaku. Air mata masih terus berlinangan, akan tetapi rasa dan kata menyesal pun tidak akan pernah untuk menghapus dosa dan kesalahannya terhadap Jing Yue. Penyesalan yang terlalu terlambat dan sangat tidak berguna tentu saja. "Mengapa tidak bisa? Mengapa kamu keberatan melakukannya? Bukankah kamu dengan sangat mudah membantai orang-orang di kediaman ini?" Jing Yue bertanya dengan nada tajam. "Tidak, Ah Yue! Aku tidak akan pernah menyakitimu dan anak kita!" Jiu Wang berteriak dengan suara parau. "Bahkan seandainya mereka yang telah membuatku melakukan hal ini, memintaku untuk membunuhmu dan bayi kita. Maka, lebih baik aku yang membunuh diriku sendiri!" "Omong kosong! Kamu bahkan telah membunuh ayahku yang sudah menjadi ayah keduamu! Dia bahkan tak pernah bertanya tentang asal usulmu, karena kamu adalah yang berhasil memenangkan sayembara itu. Sekaligus memenangkan hatiku. Tapi ternyata, kamu telah menyalahgunakan ketulusan kami semua!" Jing Yue berucap di sela isak tangis, sembari memeluk bayinya yang kembali menangis. "Katakan padaku, apa kesalahan kami padamu?" "Ah Yue, kamu dan mereka tidak bersalah. Akulah yang bersalah karena telah ...." Jiu Wang menggapai Jing Yue, tapi wanita itu langsung membentaknya. "Jangan mendekat!" Jing Yue tidak ingin Jiu Wang mendekatinya. Ia merasa jijik dan benci pada pria pembunuh Jing Zhao ayah kandungnya. Hati Jiu Wang merasa sangat tersayat-sayat oleh ucapan sang istri, terlebih lagi dengan suara tangisan putra tercintanya. Lelaki itu merangkak ingin meraih kedua orang yang sangat dia sayangi. Namun, Jing Yue bangkit dan bergerak menjauh dari jangkauan tangan suaminya. "Jangan dekati kami!" Jing Yue kembali membentak suaminya dengan air mata yang terus bercucuran. "Jangan sentuh kami berdua!" "Ah Yue! Ah Yue, maafkan aku! Ini sungguh bukan keinginanku! Bukan rencanaku, tapi merekalah yang memaksaku!" Pria itu hanya bisa terus meratapi yang sudah terjadi. "Ini sungguh bukan kemauanku!" Sementara itu, mereka tidak menyadari akan kehadiran orang-orang berpakaian seragam biru tua yang merasa sangat terkejut melihat kekacauan di tempat tersebut. Seorang pria muda tampan beraura dingin dengan sorot mata tajam menikam, baru saja tiba bersama dengan para pengikutnya. Mereka mendapati keadaan kediaman Keluarga Jing yang sudah menjadi lautan api. "Ah Yue! Paman Zhao!" Wajah pria muda itu terlihat cemas, hingga dia dengan setengah berlarian mencari orang-orang yang sangat penting baginya. "Di mana mereka?" "Benar-benar malam yang sangat mengerikan!" bisik Hua Yan dalam hati seraya menatap kobaran api. "Gunung Naga telah menjadi lautan api!" "Puncak Naga membara!" seru Hua Yan dalam kesedihannya, mengingat tempat ini juga sangat berarti baginya. "Tuan Muda!" Salah seorang dari mereka mengejar pria muda yang sekarang berlari ke arah bangunan tempat tinggal Jing Yue. "Kalian semua, segera periksa tempat yang lainnya. Kumpulkan siapa saja yang mungkin masih hidup!" Pria muda itu memberi perintah. "Siap!" Para pria pengikut pria muda berjubah biru itu pun segera berhamburan ke segala arah. "Ah Yueeee!" Pemuda tampan berjubah biru berteriak saat dirinya tiba di pelataran kediaman Jing Yue. Wisma kecil nan indah, berdiri dengan anggun di tengah-tengah taman bunga peony yang cantik dan tumbuhan lili laba-laba merah. Keduanya adalah bunga kesayangan mendiang ibu dari Jing Yue, sedangkan di sisi yang lain ditumbuhi oleh beberapa batang pohon loquat yang sedang berbuah meskipun masih belum matang. Di dinding wisma dan pagar pembatas juga terdapat banyak sekali pohon anggrek yang tumbuh menempel erat pada tembok bangunan tersebut. Tumbuhan-tumbuhan cantik itu menjuntaikan sulur-sulur batang penuh bunga yang tengah bermekaran dengan cantiknya. Sesuatu yang aneh adalah, hanya wisma itu saja yang masih utuh tanpa ada kerusakan sedikit pun atau kobaran api seperti di tempat yang lain. Hal itu membuat perasaan pemuda berambut hitam lurus menjadi sedikit lega. Ia sungguh berharap, jika orang yang dicarinya dalam keadaan selamat. "Ah Yue!" Tuan muda itu menjadi sangat panik karena keadaan wisma tersebut sangat sepi. "Ah Yueeeeee!" "Ah Yue, buka pintunyaaaaa!"Jing Ling menoleh cepat, menatap Hua Lin dengan alis terangkat. "Paman Kecil, itu kan dulu. Sekarang aku sudah tidak seperti itu. Mengapa Paman selalu mengungkitnya? Aku adalah orang yang paling bijaksana dan berhati lembut seperti kapas sutra." "Itu kalau kamu berada di depan ayah dan ibumu, tapi tidak kalau sedang sendirian atau bersama kami. Bukankah begitu, Ah Fei?" sergah Hua Lin, tak mau kalah. Hua Fei, yang sedari tadi duduk diam di pojok kereta, akhirnya tersenyum kecil. Dengan nada lembut tapi penuh kewibawaan, ia berkata, "Kalian berdua sama saja." Hua Yan menghela napas panjang, pandangannya memang tenang meski ada sirat kekhawatiran pada cahaya mata tajam pria tersebut. Hua Yan akhirnya berkata, "Sudahlah. Aku hanya berharap, semoga kalian benar-benar saling menjaga. Dunia luar adalah tempat yang penuh misteri dan bahaya yang tidak pernah bisa kita tebak. Jika sesuatu terjadi ... ingatlah, hubungan keluarga adalah kekuatan kalian." "Baik, Ayah." Jing Ling berseru.
"Hei, Ah Ling. Kami juga harus berpamitan." Hua Lin berucap seraya melangkah, menabrak sisi lengan Jing Ling yang sedang menghalangi jalan."Kalian ini!" Jing Ling berkacak pinggang, lalu mengibaskan tangannya. "Ya sudah. Pergi, pergi, pergi!" Jing Yue menoleh perlahan, napasnya tertahan ketika dua pemuda berdiri di hadapannya.Mata mereka diwarnai kesenduan, menyiratkan perasaan sedih yang tak bisa disembunyikan. Meski berusaha keras menahan tangis, matanya yang sembab tidak mampu menyembunyikan kesedihan mendalam. Dua garis air mata yang mengering tampak membekas di pipinya. Ia tersenyum lemah saat Hua Fei dan Hua Lin mendekat, keduanya bersiap untuk berpamitan. Mereka bukan sekadar anak didik bagi Jing Yue, kedua pemuda itu sudah seperti bagian dari jiwa dan hatinya.Kini, mereka akan meninggalkan rumah ini menuju Sekte Pilar Suci, sebuah tempat penuh misteri dan mungkin ada banyak bahaya menghadang di dalam perjalanan mereka menuju ke sana.Hua Fei memilih maju lebih dulu. Deng
Hua Yan masih berdiri tegak di depan paviliun utama Sekte Lembah Berawan. Sorot matanya tajam, menatap barisan kereta barang yang tak kurang dari sepuluh gerbong kereta. Ia berpikir, sebenarnya ini hendak pelatihan ataukah hendak pergi bertamasya? Para tetua ini sungguh berlebihan!Di hadapannya, barisan pria berseragam lengkap berdiri dengan disiplin. Setiap dari mereka membawa senjata berkilauan dan bendera kebesaran sekte, sementara empat kereta kuda mewah, dihiasi ukiran naga dan burung hong, telah siap mengiringi perjalanannya.“Haruskah seperti ini?” gumam Hua Yan, setengah mengeluh sambil menepuk dahinya.Tetua Hua Ming, yang berdiri tak jauh darinya, melangkah maju. “Pemimpin besar, ini semua telah diatur dengan cermat. Kewibawaan sekte harus dijaga, terlebih saat Anda berangkat ke misi penting seperti ini.”Namun, Hua Yan mengibaskan tangannya. "Sekali lagi, aku dan anak-anak itu bukan akan berangkat ke medan perang, Tetua Hua Ming. Para tuan muda kita butuh belajar kesederh
Jing Ling memejamkan matanya saat merasa ada kilat energi dingin memasuki dahinya. Energi itu semula terasa dingin, tetapi kemudian menjadi hangat. "Ini disebut sebagai Mata Dewa. Dengan penglihatan ini, kamu bisa melihat berbagai macam hal yang sebelumnya tak bisa kamu lihat." Leluhur Jing Shuang berkata setelah menarik kembali jarinya dari dahi Jing Ling. "Kamu tinggal memfokuskan penglihatan dan pikiranmu ketika melihat sesuatu yang kamu anggap tidak biasa. Dan kamu akan segera mengetahui rahasia-rahasia yang tidak bisa dilihat oleh orang biasa." "Mata Dewa?" Jing Ling membuka matanya, dan merasa penglihatannya menjadi semakin cemerlang. "Penglihatan Mata Dewa merupakan ilmu tingkat tinggi yang dipelajari dari Kitab Mata Dewa milik Keluarga Yu yang kutemukan dua ratus tahun lalu di peti mayat ahli waris yang tak diakui yang bernama Qing Yuan." Ada kesedihan dalam nada ucapan Leluhur Jing Shuang saat menyebutkan nama misterius ini. Jing Ling berpikir, 'Dua ratus tahun lalu ...
"Jangan takut. Aku adalah Jing Shuang, orang yang menciptakan cincin ini." Jing Ling sedikit panik, merasa bahwa pendengarannya saat ini sedang tidak normal. Pandangan matanya terus tertuju ke arah bayangan berwujud manusia yang terjebak di gumpalan sinar merah yang tampak samar. "Sudah sangat lama aku terjebak di tempat ini, menunggu seseorang dari penerusku datang dan menemukanku." Suara anggun dan lembut itu kembali terdengar dengan jelas. Jing Ling terkejut. Ternyata, sinar berwujud manusia itu bisa berbicara? Dan dia mengaku bernama Jing Shuang? Tunggu! Bukankah itu adalah nama yang disebutkan oleh Jing Yue, ibunya? "Jing Shuang?" Jing Ling luar biasa terkejut. "Jadi, Anda adalah Jing Shuang, pencipta dan pemilik Cincin Segala Ruang ini?" "Benar. Itu aku." Leluhur Jing Shuang berbalik dengan anggun, jubahnya berkibar, dan sinar merah yang menyelimutinya seketika menghilang. Sekarang, wujud asli pria muda yang sangat menawan bak seorang kaisar langit terlihat jelas. W
"Bagaimana mungkin itu adalah benda yang rusak? Kamu cobalah sekali lagi, Ah Lin!" Hua Lin mencoba memberi semangat kepada keponakannya. "Semangat!""Baiklah. Aku akan mencobanya sekali lagi." Jing Ling mengangguk, kemudian kembali memfokuskan pikiran agar dapat terhubung dengan cincin segala ruang miliknya.Namun, masih tidak ada yang terjadi meskipun ia telah mencobanya hingga berulang kali.Jing Ling menarik napas sesaat dengan perasaan kecewa. "Tetap tidak bisa.""Aneh ... mengapa tetap tidak bisa?" Hua Fei juga tak mengerti.Jing Ling tak bisa lagi menyembunyikan kekecewaan sekaligus rasa penasarannya.Ia menghadap kembali kepada sang ibu. "Ibu, aku tak bisa menggunakan cincin ini. Meskipun aku berusaha keras menyatukan pikiranku, tetapi aku tak bisa merasakan apa pun. Aku jadi berpikir kalau benda ini tidak berjodoh denganku, atau mungkin saja benda ini memang sudah rusak.""Itu tidak rusak. Tapi memang cincin milikmu itu sedikit berbeda dengan benda ruang milik Ah Fei dan Ah Li