Share

Mata

Penulis: en nasrie
last update Terakhir Diperbarui: 2025-11-28 21:56:42

Pagi di Kos Melati Indah terasa berbeda dari pagi di tempat mana pun yang pernah Rara tinggali. Udara di lorong tampak lebih dingin, seperti dinding-dindingnya menyimpan embun yang tidak pernah menguap.

Rara berdiri di depan pintunya, memandangi bekas jari gelap di lantai yang semalam membuatnya tidak bisa tidur. Cahaya matahari yang masuk dari jendela lorong tidak mampu menghapus kesan bahwa bekas itu bukan milik manusia biasa.

Ia jongkok, mendekatkan wajah untuk memastikan. Permukaannya tidak basah. Tidak menempel di kulit. Seolah bekas itu sudah ada sangat lama, namun baru muncul ketika disentuh sesuatu.

Rara mundur selangkah, memeluk dirinya sendiri. Udah, Ra. Jangan makin dipikir. Bisa gila nanti. Ia mengambil tas kecil, mengunci pintu, lalu berjalan turun ke lantai bawah.

Di teras, Bu Narti sedang menjemur kasur tipis. Perempuan itu menoleh sekilas ke arah Rara. Rara sudah membuka mulut, tapi Bu Narti lebih dulu angkat tangan.

“Jangan dibahas lagi,” ujarnya datar.

Rara menggertakkan gigi. “Bu, saya cuma mau tahu… apa itu sering terjadi? Ketukan jam dua?“

“Saya sudah bilang,” jawab Bu Narti, menatapnya tajam, “Jangan direspons. Dan jangan buka pintu. Kau masih aman selama mematuhi aturan.”

Rara berkedip pelan. “Aturan? Baru satu aturan yang saya tahu.”

Bu Narti tidak menjawab. Ia hanya kembali menjemur kasur seolah percakapan selesai. Rara merasakan amarah kecil merayap di dadanya, bercampur rasa takut yang belum hilang.

“Baik, Bu,” katanya sambil menyandang tasnya, “kalau ada apa-apa jangan salahkan saya tidak paham aturan.”

Tanpa menunggu balasan, Rara melangkah keluar gerbang kos.

---

Gang sempit di depan kos terasa lebih terang dibanding malam tadi, tapi tetap memiliki suasana muram yang sulit dijelaskan. Ada rumah-rumah tua dengan jendela tertutup tirai tebal, seakan penghuninya malas berurusan dengan dunia luar. Rara berjalan cepat, menembus ujung gang yang lebih ramai, sampai akhirnya melihat halte kecil tempat ia biasa menunggu angkot.

Selama perjalanan ke kantor, kejadian semalam terus terulang di kepalanya. Ketukan. Napas di balik pintu. Suara itu menyebut namanya—pelan, panjang, seperti seseorang yang sudah lama mengenalnya.

Saat memasuki kantor, aroma kopi basi dan kertas lembap menyambutnya. Teman sekantornya, Lia, melambai dari meja depan.

“Pagi, Ra. Kok mukanya kayak abis begadang?” tanyanya sambil menyodorkan berkas.

Rara menghela napas. “Kosan baru, Li. Tempatnya agak… creepy.”

“Creepy gimana?” Lia mencondongkan tubuh, matanya berbinar penasaran.

“Jangan ngeledek ya.” Rara menutup map di tangannya. “Malam pertama, ada yang ketok pintu jam dua. Terus ada suara manggil nama aku.”

Lia terdiam cukup lama. “Serius? Mungkin tetangga iseng?”

“Kalau ketok, oke lah… tapi kalau manggil nama?” Rara menatap Lia dengan alis terangkat.

Lia bergidik. “Ya ampun. Baru sehari udah kayak di film.”

“Aku juga nggak ngerti. Bu Narti cuma bilang jangan buka pintu lewat jam dua.”

Lia langsung menutup mulut sambil mengangkat tangan. “Stop. Kalo pemiliknya udah kasih aturan serem gitu, itu udah red flag.”

“Makasih masukannya,” gumam Rara sarkastis.

Hari itu berjalan lambat. Laporan menumpuk, telepon berdenging tanpa jeda, dan kepala Rara masih dipenuhi bayangan suara semalam. Saat jam pulang tiba, ia ingin langsung kembali ke kos, bukan karena rindu kamar, tapi karena ingin memastikan bekas jari itu tidak berubah menjadi sesuatu yang lebih buruk.

Namun ketika ia tiba di depan kos, Rara mendapati seseorang berdiri di teras: perempuan dari kamar 2B. Yang tadi pagi hanya menjawab sepatah kata.

“Eh… halo,” sapa Rara, ragu.

Perempuan itu menatapnya lama. Tatapannya kosong, tapi ada rasa waspada seperti binatang kecil yang siap lari.

“Ada apa?” tanya Rara pelan.

Perempuan itu membuka bibirnya sedikit. “Kamu dengar ketukan itu?”

“Iya. Tadi malam,” jawab Rara jujur.

Ia menatap lebih dekat. Perempuan itu tampak pucat; bayangan di bawah matanya tebal seperti kurang tidur bertahun-tahun.

“Jangan...” perempuan itu menghentikan kalimatnya sendiri, seolah takut didengar sesuatu. Ia menunduk dan berbisik, “Jangan dengerin suaranya. Apa pun yang dia bilang, jangan balas.”

Rara mengerutkan kening. “Dia siapa?”

Perempuan itu memejamkan mata, menelan ludah, lalu berjalan masuk ke kamarnya tanpa menambah penjelasan.

Rara duduk di tepi teras, mencoba memahami kata-kata barusan. Suara itu… apakah sudah mengganggu penghuni lain? Berarti bukan hanya dirinya. Ada orang yang sudah lebih dulu diteror.

Ia berdiri, naik ke lantai dua. Lorong gelap meski hari masih sore, dan lampunya kembali berkedip. Sesuatu membuat tengkuk Rara meremang, seperti ada mata yang mengintip dari salah satu pintu.

Di depan kamar, Rara berhenti. Bekas jari itu masih ada, meski terlihat sedikit memudar. Ia menahan napas. Ada rasa takut aneh yang muncul dari perubahan kecil itu, seolah bekasnya bukan memudar karena dibersihkan, tapi karena pemiliknya menarik kembali “sentuhan” itu.

Rara masuk ke kamar. Suasana di dalam tidak berubah: lembap, apek, tapi aman secara fisik. Ia melempar tas, duduk di kasur, dan memandang pintu tertutup lama-lama.

Kenapa dia tahu namaku?

Pertanyaan itu membuat dadanya semakin berat.

Jam bergerak menuju malam. Rara makan mie instan sambil menonton video di ponsel untuk mengusir kecemasan.

Pukul 21.00. Pukul 22.00. Pukul 23.30.

Hujan turun lagi, rintiknya memukul genteng. Suaranya menenangkan… sampai perlahan berubah menjadi gema samar, seperti seseorang berjalan pelan di atas atap.

Rara mengangkat kepala.

Langkah-langkah itu… terlalu pelan untuk manusia. Terlalu teratur. Terdengar mengitari atap kamar 2A, mondar-mandir seperti makhluk yang sedang mencari celah.

“Nggak… nggak mungkin ada orang di atas,” bisiknya pada diri sendiri.

Ia mematikan lampu, memaksakan diri berbaring. Selimut ditarik sampai dada. Ponsel di genggaman tangan kanan.

Pukul 01.10. Pukul 01.35. Pukul 01.53.

Tiba-tiba, langkah di atap berhenti. Sunyi. Terlalu sunyi.

Rara menahan napas, tubuh menegang. Tidak ada suara hujan. Tidak ada suara lorong. Seolah dunia membeku.

Lalu.. Tok.

Rara memejamkan mata erat-erat.

Tok. Tok.

Ketukan itu datang lebih cepat dari semalam. Rara menggigit lidah agar tidak mengeluarkan suara.

Tok. Tok. Tok.

Kali ini lebih keras. Seperti seseorang—atau sesuatu—yang mulai kehilangan kesabaran.

Lalu, sesuatu yang tidak ia duga terjadi. Pintu bergetar. Perlahan, tapi jelas. Seperti ada telapak tangan yang meraba bagian luar pintu, merayap dari atas ke bawah. Suara gesek kayu membuat tubuh Rara menggigil hebat.

Kemudian suara itu muncul lagi. Lebih dekat. Lebih jelas. Tidak lagi hanya napas.

“Raa… Raa… kau… dengar… aku?”

Rara menutup mulut dengan kedua tangan agar tidak menjerit. Suara itu terdengar seperti seseorang yang mencoba bicara dengan tenggorokan rusak—parau, terputus, dan dalam.

Ketukan berhenti. Namun sosok itu tidak pergi. Ada bunyi lain. Lebih rendah. Lebih menakutkan.

Sret… sret…

Sesuatu menggesek lantai… tepat di bawah pintu, di tempat bekas jari itu muncul semalam.

Rara memandangi celah pintu. Cahaya remang dari lorong membuatnya bisa melihat sedikit bagian bawah pintu.

Dan di sanalah ia melihatnya. Sesuatu bergerak. Perlahan. Seperti sepasang jari... menyusup ke bawah celah pintu. Hitam, kurus, dan terlalu panjang untuk manusia.

Rara menjerit tanpa suara. Tubuhnya membeku.

Jari-jari itu bergerak sedikit lagi, mencoba meraih sisi dalam pintu...

CRAK!

Sesuatu seperti dihentikan paksa dari luar. Jari-jari itu tersentak… lalu hilang seketika, seolah ditarik paksa. Ketukan berhenti. Lorong kembali sunyi.

Rara terisak kecil tanpa sadar. Ia tidak tahu apa yang menghentikan makhluk itu.

Tapi ia sadar satu hal:

Semalam pintu hanya diketuk. Malam ini… pintu itu hampir dibuka dari luar.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Kamar 2A   Mulai

    Pagi itu, udara di halaman rumah Lia masih menyimpan sisa embun. Rara melangkah keluar sambil merapikan rambutnya, dan untuk pertama kalinya dalam beberapa hari terakhir, ia benar-benar tersenyum bahkan sebelum matahari naik penuh. Rasanya ringan, seperti sesuatu yang membebani pundaknya selama ini tiba-tiba mengendur. Lia muncul dari pintu sambil menggembungkan pipinya karena terburu-buru memasukkan roti ke mulut. Di belakangnya, Dimas sudah rapi dengan seragam SMA dan tas biru yang tampak terlalu kecil untuk tubuhnya. Begitu melihat Rara, mata Dimas langsung berbinar dan melambai-lambaikan tangannya heboh, “Mbak Raraaa! Hati-hati di jalan!” Tapi setelah itu ia langsung berlari melewati gerbang rumah, tidak berani mengangkat kepala. Kelakuannya membuat beberapa ibu-ibu tetangga menoleh. Rara tertawa kecil, membalas lambaian itu dengan hangat. “Kamu juga! Jangan lari-lari nanti jatuh!” serunya. Demi mendengar hal itu, kedua pipi Dimas terasa panas, dan malah mempercepat larin

  • Kamar 2A   Hangat

    Rara terbangun perlahan, seperti seseorang yang baru saja naik ke permukaan setelah terlalu lama tenggelam. Matanya membuka pelan, terlalu pelan, karena pagi itu tidak ada rasa cemas yang memaksanya sadar. Untuk pertama kalinya setelah beberapa hari penuh tekanan, ia bangun bukan karena mimpi buruk, bukan karena suara langkah di lorong kos, bukan karena ketukan pintu yang samar-samar merayap sampai ke mimpinya. Ia bangun karena… kenyamanan.Senyum kecil muncul di sudut bibirnya sebelum ia sepenuhnya ingat di mana ia berada. Langit-langit rumah Lia berwarna putih gading, dengan lampu gantung mungil berbentuk bunga. Meja rias di pojok kanan penuh pernak-pernik lucu, boneka-boneka kecil duduk rapi, dan tirai biru laut di jendela bergoyang lembut tersapu angin pagi. Aroma roti panggang dan mentega tipis menyelinap dari dapur. Aroma rumah yang sesungguhnya.Ia menghembuskan napas panjang. “Akhirnya tidur beneran,” gumamnya lirih. Seluruh tubuhnya terasa ringan, tidak tegang seperti benan

  • Kamar 2A   Kaca

    Lampu neon di langit-langit kantor menyalakan bunyinya sendiri -desis panjang, lalu getaran halus- seperti napas seseorang yang tidak terlihat. Rara duduk tegak di meja kerjanya, mencoba menyelesaikan revisi laporan yang seharusnya sudah selesai sebelum magrib. Jarinya bergerak cepat di atas keyboard, tapi pikirannya tak bisa sepenuhnya fokus. Kantor sudah lama sunyi. Terlalu sunyi. Berbanding terbalik 180 derajat dengan isi kepalanya.Ia melirik jam dinding. 20:53. Bagus. Kalau lebih dari ini mungkin aku resmi berubah jadi fosil kantor.Ia menyandarkan punggungnya dan memijat kening. Sisa kejutan pagi tadi masih menempel seperti bayangan yang enggan pergi. Ia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk kuat dan berani, setidaknya itulah yang selalu diajarkan mendiang Ayah.Agar perempuan tidak dihina, diremehkan, terlebih lagi dilecehkan. Itulah prinsip Ayah yang ia pegang mati-matian selama ini. Namun, sekarang hatinya tidak yakin lagi. 23 tahun hidup, baru kali ini ia menjumpai ke

  • Kamar 2A   Hilang

    Rara tiba di kantor dengan napas masih memburu. Begitu mencapai meja kerjanya, ia langsung duduk, menarik napas panjang, kemudian menekan dadanya sendiri seperti sedang memaksa pikirannya untuk diam. Tenang, Ra. Itu cuma pagi yang aneh. Sayangnya, kalimat itu terdengar seperti kebohongan yang ia coba telan mentah-mentah.Rara tiba di kantor beberapa menit sebelum jam masuk. Ruangan masih setengah gelap; hanya lampu depan dan cahaya dari jendela yang menembus tirai kusam. Kantor itu selalu terlihat seperti tempat yang sedang menunggu kelelahan baru. Meja berantakan, komputer tua yang suka hang, dan tumpukan berkas yang tak pernah turun jumlahnya.Ia menaruh tas di meja, menarik kursi, dan baru saja ingin menyalakan komputer ketika suara klik terdengar dari belakang. Lemari arsip besar di sudut ruangan terbuka sendiri. Sangat pelan. Seolah ada jari-jari yang mendorongnya dari dalam.Rara menoleh cepat. Tidak ada siapa pun. Sinar matahari yang masuk dari jendela memantul pada gagang l

  • Kamar 2A   Lelaki

    Rara membuka pintu kamarnya sambil memasukkan ponsel ke tas. Ia berniat turun untuk berangkat kerja, tapi langkahnya langsung membeku. Seorang lelaki berdiri di depan pintu, begitu dekat sampai Rara hampir menabrak dadanya. Lelaki itu terkejut sama besar; ia mundur sepersekian langkah sambil menahan napas, seolah tak menyangka pintu akan terbuka pada detik itu juga. Sosok itu tingginya hampir menyentuh kusen pintu. Tubuhnya tegap, pakaian sederhana: kaus gelap dan jaket tipis, caranya berdiri memberi kesan seseorang yang tahu cara menjaga jarak aman. Rambut hitamnya sedikit berantakan, mata gelapnya tajam, serius, tapi tidak menyeramkan. Ada keteduhan yang aneh di sorotnya, tenang, tapi terasa seperti ia selalu membaca gerak-gerik orang lain. “Eh, maaf,” ucapnya cepat, suaranya rendah dan hangat. “Aku Ardan.” Rara memegang gagang pintu lebih erat. “Ada perlu apa?” Ardan tersenyum kecil, tidak memaksa, tidak mencoba mendekat. “Aku saudara jauh Bu Narti. Tinggal di bawah,

  • Kamar 2A   Mata

    Pagi di Kos Melati Indah terasa berbeda dari pagi di tempat mana pun yang pernah Rara tinggali. Udara di lorong tampak lebih dingin, seperti dinding-dindingnya menyimpan embun yang tidak pernah menguap. Rara berdiri di depan pintunya, memandangi bekas jari gelap di lantai yang semalam membuatnya tidak bisa tidur. Cahaya matahari yang masuk dari jendela lorong tidak mampu menghapus kesan bahwa bekas itu bukan milik manusia biasa. Ia jongkok, mendekatkan wajah untuk memastikan. Permukaannya tidak basah. Tidak menempel di kulit. Seolah bekas itu sudah ada sangat lama, namun baru muncul ketika disentuh sesuatu. Rara mundur selangkah, memeluk dirinya sendiri. Udah, Ra. Jangan makin dipikir. Bisa gila nanti. Ia mengambil tas kecil, mengunci pintu, lalu berjalan turun ke lantai bawah. Di teras, Bu Narti sedang menjemur kasur tipis. Perempuan itu menoleh sekilas ke arah Rara. Rara sudah membuka mulut, tapi Bu Narti lebih dulu angkat tangan. “Jangan dibahas lagi,” ujarnya datar. Ra

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status