MasukRara membuka pintu kamarnya sambil memasukkan ponsel ke tas. Ia berniat turun untuk berangkat kerja, tapi langkahnya langsung membeku. Seorang lelaki berdiri di depan pintu, begitu dekat sampai Rara hampir menabrak dadanya.
Lelaki itu terkejut sama besar; ia mundur sepersekian langkah sambil menahan napas, seolah tak menyangka pintu akan terbuka pada detik itu juga. Sosok itu tingginya hampir menyentuh kusen pintu. Tubuhnya tegap, pakaian sederhana: kaus gelap dan jaket tipis, caranya berdiri memberi kesan seseorang yang tahu cara menjaga jarak aman. Rambut hitamnya sedikit berantakan, mata gelapnya tajam, serius, tapi tidak menyeramkan. Ada keteduhan yang aneh di sorotnya, tenang, tapi terasa seperti ia selalu membaca gerak-gerik orang lain. “Eh, maaf,” ucapnya cepat, suaranya rendah dan hangat. “Aku Ardan.” Rara memegang gagang pintu lebih erat. “Ada perlu apa?” Ardan tersenyum kecil, tidak memaksa, tidak mencoba mendekat. “Aku saudara jauh Bu Narti. Tinggal di bawah, kamar 1A. Baru datang dua hari yang lalu bantu-bantu urus kos ini. Bu Narti bilang ada penghuni baru di 2A, jadi aku mau nyapa sekalian memastikan semuanya aman.” Rara mengembuskan napas perlahan, sedikit lega. “Oh… saya Rara.” “Senang kenalan,” ujarnya sambil mengangguk sopan. “Maaf kalau kagetin. Lorong lantai dua memang sempit. Orang keluar kamar tiba-tiba bisa bikin jantung loncat.” Rara nyaris tersenyum tipis. Ardan melirik sekeliling lorong sejenak, lalu kembali menatap Rara. “Kalau ada apa-apa, gangguan listrik, suara pipa, atau yang… aneh-aneh... kabarin aja. Rumah tua begini suka punya kelakuan sendiri.” Nada suaranya santai, tapi tatapannya menyisakan bayangan sesuatu yang tidak ia ucapkan. “Terima kasih, Mas Ardan,” balas Rara. Ardan melangkah turun tangga, lalu menambahkan tanpa menoleh, “Jangan ragu ketuk kamar bawah, ya.” Lorong kembali sunyi begitu langkahnya menghilang. Belum sempat Rara menutup pintu, suara gesekan halus terdengar dari sebelah. Ia menoleh. Sebuah celah kecil muncul di pintu kamar 2B. Rara terkejut. Mata yang terlihat di balik rambut itu menatapnya tanpa kedip. Nyaris melotot, tanpa ekspresi, terasa menembus. Begitu Rara bereaksi hendak menyapa, pintu itu menutup klik… seolah seseorang baru sadar telah ketahuan. Rara mengernyit. Entah kenapa, bulu kuduknya meremang. Ia mengunci kamarnya cepat. Mungkin tadi cahaya lorong membuat matanya salah lihat. Rara turun ke lantai satu. Ardan berdiri di depan pintu pagar kos, sambil memeriksa jam di pergelangan tangannya. Bukan jam mahal, tapi tampak terawat. Ketika melihat Rara, ia mengangguk singkat. “Sekalian bareng? Aku juga ke arah jalan raya. Mau naik angkot,” ujarnya. “Boleh,” jawab Rara. “Aku ke halte.” Mereka berjalan keluar gang sempit Kos Melati Indah. Matahari belum naik penuh; udara pagi masih lembap, dan aroma tanah basah tersisa setelah hujan malam tadi. Gang itu terasa lebih hidup di pagi hari, tapi tetap saja bayang-bayang pepohonan rimbun menutupi beberapa bagian seolah menahan cahaya. Ardan memasukkan tangan ke saku jaket. “Kamu kerja di mana?” “Administrasi di perusahaan distribusi alat rumah tangga. Lembur, gaji kecil, tapi ya… sementara ini cuma itu.” Ardan mengangguk. “Kerjaanku nggak begitu jauh beda. Aku bagian teknisi gudang di bengkel alat elektronik. Lumayan, tapi jam kerjanya suka chaos.” Jawaban yang terdengar wajar. Rara sempat meliriknya. Orangnya terlihat rapi, ada aura tenang yang jarang dimiliki pekerja bengkel. Seperti seseorang yang terbiasa mengamati daripada berbicara. Mereka keluar dari gang dan masuk ke jalan raya kecil. Motor-motor melintas, pedagang bubur mulai buka lapak, dan suara klakson angkot bersahutan. Jarak ke halte kira-kira seratus meter. Ardan berjalan di sisi luar trotoar, memberi ruang untuk Rara. Sikap sopan tanpa berusaha terlihat sopan. Alami saja. Baru setengah jalan, Ardan berkata pelan, “Kalau malam nanti kamu dengar suara langkah di lorong… jangan keluar ya.” Rara menoleh cepat. “Kenapa lagi?” Ardan tersenyum tipis. “Rumah tua. Banyak suara. Tapi beberapa suara… bukan karena bangunan.” Rara diam. Bukan karena percaya, tapi karena cara Ardan mengatakannya seperti orang yang bercanda. Santai. Terlalu santai. Sampai di halte, Ardan berhenti. “Kerja dulu. Hati-hati.” Rara mengangguk. “Iya. Mas Ardan juga.” Ardan berbalik hendak pergi. Tapi sebelum benar-benar meninggalkan halte, ia sempat menatap lama lorong gang kos di kejauhan. Seperti ada sesuatu di sana yang hanya bisa dilihat olehnya. Kemudian ia melangkah pergi tanpa menoleh lagi. Rara tidak langsung duduk di halte seperti biasanya. Kata-kata Ardan barusan tentang kos terasa mengambang di kepala, dan tatapan terakhirnya ke arah gang kos… Ada sesuatu di sana. Rara menoleh, mengerutkan dahi. “Mas Ardan lihat apa sih…” gumamnya pelan. Entah karena bodoh atau penasaran, tanpa sadar kedua kaki Rara telah melangkah untuk melihat gang lebih dekat. Dan saat mata Rara fokus melihatnya… jantungnya seperti berhenti berdetak. Bu Narti berdiri di depan pagar kos. Bukan sekadar berdiri. Ia menatap lurus ke arah Rara, tajam, tanpa kedip, seakan sudah menunggu sejak tadi. Tubuh Rara menegang. Bu Narti tidak tersenyum. Tidak melambaikan tangan. Tidak melakukan hal manusiawi apa pun. Ia hanya diam, dengan sorot mata yang terlalu kosong untuk dilihat pagi-pagi. Pakaian dasternya berkibar pelan, padahal tidak ada angin. Rambutnya sedikit berantakan, dan wajahnya… tidak seperti Bu Narti biasanya. Ada sesuatu yang dingin dan asing pada ekspresinya. “Bu… Narti?” suara Rara nyaris tidak keluar. Bu Narti tentu saja tidak mendengar suaranya. Ia hanya mengangkat tangannya perlahan… pelan… lebih pelan dari gerakan manusia normal. Seakan memanggil Rara. Atau memperingatkannya. Rara merinding dari pangkal tengkuk hingga tulang punggung. Mulut Bu Narti terbuka perlahan. Ada sesuatu hitam kurus yang keluar. Sedikit demi sedikit, semakin panjang. Itu jari-jari yang Rara lihat semalam! Rara hanya bisa mematung. Jari-jari itu memanjang dan merayap, menutupi wajah Bu Narti yang menyisakan bola mata putihnya. Kemudian merobek-robek... “Rara! Rara!” Rara menjerit ketakutan. Bahunya dicengkeram kuat. “Kamu kenapa? Ini aku, Ardan!” Rara menoleh. Nafasnya tersengal. Ardan memegang bahunya, wajahnya tampak khawatir. “Oh, maaf, Mas Ardan, aku...” Rara menoleh ke arah gang lagi. Di sana hanya ada lengang. Tidak ada Bu Narti dan jari-jari itu. Ardan melihat ke arah yang dilihat Rara, sekilas saja, namun ekspresinya berubah ketat. Ia berdiri sedikit di depan, seperti hendak menutupi pandangan Rara dari… entah apa yang sebenarnya ia lihat. “Pulang nanti langsung naik ke kamar,” kata Ardan, suaranya rendah tapi tegas. “Jangan berkeliaran di gang. Apalagi kalau Bu Narti sendirian.” Rara menelan ludah, tenggorokannya kering. “A-ada apa sih sebenarnya…?” Ardan menatapnya sejenak. Ada jawaban di matanya, jawaban yang jelas tidak ingin ia berikan. “Tolong,” ujarnya. “Ikuti saja dulu.” Rara melirik lagi ke arah gang, Ardan menarik napas panjang. “Sudah. Pergi kerja.” Rara berjalan mundur beberapa langkah sebelum memutar badan, tapi satu kalimat menggantung di kepalanya tanpa izin: Kalau Bu Narti tadi berdiri di depan pagar… sejak kapan dia berdiri di sana? Dan kenapa Ardan terlihat jauh lebih waspada darinya?Pagi itu, udara di halaman rumah Lia masih menyimpan sisa embun. Rara melangkah keluar sambil merapikan rambutnya, dan untuk pertama kalinya dalam beberapa hari terakhir, ia benar-benar tersenyum bahkan sebelum matahari naik penuh. Rasanya ringan, seperti sesuatu yang membebani pundaknya selama ini tiba-tiba mengendur. Lia muncul dari pintu sambil menggembungkan pipinya karena terburu-buru memasukkan roti ke mulut. Di belakangnya, Dimas sudah rapi dengan seragam SMA dan tas biru yang tampak terlalu kecil untuk tubuhnya. Begitu melihat Rara, mata Dimas langsung berbinar dan melambai-lambaikan tangannya heboh, “Mbak Raraaa! Hati-hati di jalan!” Tapi setelah itu ia langsung berlari melewati gerbang rumah, tidak berani mengangkat kepala. Kelakuannya membuat beberapa ibu-ibu tetangga menoleh. Rara tertawa kecil, membalas lambaian itu dengan hangat. “Kamu juga! Jangan lari-lari nanti jatuh!” serunya. Demi mendengar hal itu, kedua pipi Dimas terasa panas, dan malah mempercepat larin
Rara terbangun perlahan, seperti seseorang yang baru saja naik ke permukaan setelah terlalu lama tenggelam. Matanya membuka pelan, terlalu pelan, karena pagi itu tidak ada rasa cemas yang memaksanya sadar. Untuk pertama kalinya setelah beberapa hari penuh tekanan, ia bangun bukan karena mimpi buruk, bukan karena suara langkah di lorong kos, bukan karena ketukan pintu yang samar-samar merayap sampai ke mimpinya. Ia bangun karena… kenyamanan.Senyum kecil muncul di sudut bibirnya sebelum ia sepenuhnya ingat di mana ia berada. Langit-langit rumah Lia berwarna putih gading, dengan lampu gantung mungil berbentuk bunga. Meja rias di pojok kanan penuh pernak-pernik lucu, boneka-boneka kecil duduk rapi, dan tirai biru laut di jendela bergoyang lembut tersapu angin pagi. Aroma roti panggang dan mentega tipis menyelinap dari dapur. Aroma rumah yang sesungguhnya.Ia menghembuskan napas panjang. “Akhirnya tidur beneran,” gumamnya lirih. Seluruh tubuhnya terasa ringan, tidak tegang seperti benan
Lampu neon di langit-langit kantor menyalakan bunyinya sendiri -desis panjang, lalu getaran halus- seperti napas seseorang yang tidak terlihat. Rara duduk tegak di meja kerjanya, mencoba menyelesaikan revisi laporan yang seharusnya sudah selesai sebelum magrib. Jarinya bergerak cepat di atas keyboard, tapi pikirannya tak bisa sepenuhnya fokus. Kantor sudah lama sunyi. Terlalu sunyi. Berbanding terbalik 180 derajat dengan isi kepalanya.Ia melirik jam dinding. 20:53. Bagus. Kalau lebih dari ini mungkin aku resmi berubah jadi fosil kantor.Ia menyandarkan punggungnya dan memijat kening. Sisa kejutan pagi tadi masih menempel seperti bayangan yang enggan pergi. Ia sudah berjanji pada dirinya sendiri untuk kuat dan berani, setidaknya itulah yang selalu diajarkan mendiang Ayah.Agar perempuan tidak dihina, diremehkan, terlebih lagi dilecehkan. Itulah prinsip Ayah yang ia pegang mati-matian selama ini. Namun, sekarang hatinya tidak yakin lagi. 23 tahun hidup, baru kali ini ia menjumpai ke
Rara tiba di kantor dengan napas masih memburu. Begitu mencapai meja kerjanya, ia langsung duduk, menarik napas panjang, kemudian menekan dadanya sendiri seperti sedang memaksa pikirannya untuk diam. Tenang, Ra. Itu cuma pagi yang aneh. Sayangnya, kalimat itu terdengar seperti kebohongan yang ia coba telan mentah-mentah.Rara tiba di kantor beberapa menit sebelum jam masuk. Ruangan masih setengah gelap; hanya lampu depan dan cahaya dari jendela yang menembus tirai kusam. Kantor itu selalu terlihat seperti tempat yang sedang menunggu kelelahan baru. Meja berantakan, komputer tua yang suka hang, dan tumpukan berkas yang tak pernah turun jumlahnya.Ia menaruh tas di meja, menarik kursi, dan baru saja ingin menyalakan komputer ketika suara klik terdengar dari belakang. Lemari arsip besar di sudut ruangan terbuka sendiri. Sangat pelan. Seolah ada jari-jari yang mendorongnya dari dalam.Rara menoleh cepat. Tidak ada siapa pun. Sinar matahari yang masuk dari jendela memantul pada gagang l
Rara membuka pintu kamarnya sambil memasukkan ponsel ke tas. Ia berniat turun untuk berangkat kerja, tapi langkahnya langsung membeku. Seorang lelaki berdiri di depan pintu, begitu dekat sampai Rara hampir menabrak dadanya. Lelaki itu terkejut sama besar; ia mundur sepersekian langkah sambil menahan napas, seolah tak menyangka pintu akan terbuka pada detik itu juga. Sosok itu tingginya hampir menyentuh kusen pintu. Tubuhnya tegap, pakaian sederhana: kaus gelap dan jaket tipis, caranya berdiri memberi kesan seseorang yang tahu cara menjaga jarak aman. Rambut hitamnya sedikit berantakan, mata gelapnya tajam, serius, tapi tidak menyeramkan. Ada keteduhan yang aneh di sorotnya, tenang, tapi terasa seperti ia selalu membaca gerak-gerik orang lain. “Eh, maaf,” ucapnya cepat, suaranya rendah dan hangat. “Aku Ardan.” Rara memegang gagang pintu lebih erat. “Ada perlu apa?” Ardan tersenyum kecil, tidak memaksa, tidak mencoba mendekat. “Aku saudara jauh Bu Narti. Tinggal di bawah,
Pagi di Kos Melati Indah terasa berbeda dari pagi di tempat mana pun yang pernah Rara tinggali. Udara di lorong tampak lebih dingin, seperti dinding-dindingnya menyimpan embun yang tidak pernah menguap. Rara berdiri di depan pintunya, memandangi bekas jari gelap di lantai yang semalam membuatnya tidak bisa tidur. Cahaya matahari yang masuk dari jendela lorong tidak mampu menghapus kesan bahwa bekas itu bukan milik manusia biasa. Ia jongkok, mendekatkan wajah untuk memastikan. Permukaannya tidak basah. Tidak menempel di kulit. Seolah bekas itu sudah ada sangat lama, namun baru muncul ketika disentuh sesuatu. Rara mundur selangkah, memeluk dirinya sendiri. Udah, Ra. Jangan makin dipikir. Bisa gila nanti. Ia mengambil tas kecil, mengunci pintu, lalu berjalan turun ke lantai bawah. Di teras, Bu Narti sedang menjemur kasur tipis. Perempuan itu menoleh sekilas ke arah Rara. Rara sudah membuka mulut, tapi Bu Narti lebih dulu angkat tangan. “Jangan dibahas lagi,” ujarnya datar. Ra







