Malam harinya, setelah berbuka puasa Ratih dan Malik pergi ke daerah Kedamaian. Meminjam mobil Ihsan. Mata mereka terkejut melihat rumah mewah yang menjadi tempat tinggal Rizal, seakan tidak percaya Malik turun dari mobil dan bertanya kepada orang lewat. "Apa benar ini rumah Rizal, orang dari Jakarta?" tanya Malik."Benar, rumah ini milik Pak Rizal." Jawab pria tua yang hendak ke masjid. Shalat terawih."Bapak tahu tidak apa pekerjaan Rizal?" tanya Malik lagi, ia penasaran."Saya dengar beliau sekretaris pribadi Presiden direktur WterSun group." Mendengar itu Malik mematung, tidak percaya dengan jawaban pria paruh baya itu.Tiba-tiba Ratih menyela, "bukannya Rizal cuma OB?" Ratih sama, ia tidak percaya perkataan si bapak tua. Tidak mungkin ayahnya Cheril orang hebat.Pria tua itu tertawa. "Mana ada OB beli rumah seharga 2,2 milyar. Mobilnya aja bagus-bagus. Pembantunya juga banyak."Pria tua itu meninggalkan Malik dan Ratih yang masih terkejut. Tidak menyangka bahwa mantannya Hana
Rizal menyiapkan lebaran kali ini sebaik mungkin karena ada Cheril dan Hana. Dia menjadi sangat bersemangat menghamburkan uang untuk membuat semuanya spesial. Jajanan lebaran berjejer di meja ruang tamu, ada air minum kemasan dan marjan berwarna merah. Permen lolipop menjadi pelengkap. Cheril selalu mengambil setiap melewatinya. Anak itu sangat suka hingga bolak balik ke meja depan. Kantungnya penuh permen, ia bagi-bagikan ke orang-orang rumah. Sikap polos Cheril selalu membuat orang-orang gemas. Hana pernah mengatakan kepada Rizal mengenai keinginan Cheril di hari lebaran. Harapan bocah kecil itu sebelum mereka berkumpul. Rizal mewujudkan. Pada hari pertama, setelah shalat idul Fitri. Mereka makan makanan enak dan permen lollipop seperti keinginan Cheril. Hana tersenyum cerah, begitupun Cheril.Jika ini yang disebut keluarga, maka Rizal sedang memilikinya. Dia sangat menikmati momen bersama Hana, Cheril dan si bayi. Dia ingin menjadikan mereka keluarganya. "Elil ceneng." Cheril m
"Hana baru cerai, apa mungkin dia mau secepat itu nerima orang baru?" tanya Rizal sembari mengaruk lehernya. Ia berusaha menahan malu. "Pepet aja dulu, luluhin hatinya." Saran Ayah. Memberikan pengalamannya sendiri.Rizal tidak bisa menahan senyum, perkataan ayah membuatnya semangat untuk terus mendekati Hana. Mungkin, memang banyak waktu yang meraka buang percuma. Membuat hubungan canggung dan tidak jelas. Tinggal bersama tapi bukan suami, pacar ataupun gebetan. Setidaknya, Rizal ingin memperjelas hubungan mereka untuk kedepannya. Mungkin bisa dimulai dari gebetan seperti dulu lagi. Setalah Hana selesai masa iddah.Setelah shalat dhuhur, mereka ke panti asuhan. Menemui ibu panti untuk bersilaturahmi. Memperkenalkan Hana sekaligus memberitahu masa kecil Rizal kepada Hana yang hidup di panti asuhan. Hari ke dua, tiga dan empat lebaran beberapa tamu berdatangan. Hanya teman-teman kampus Rizal yang masih tinggal di sekitar Bandar Lampung. Sementara teman yang lain tidak bisa datang.A
"Ayah bobo." Cheril menepuk kasur, meminta Rizal tidur di sampingnya."Iya, Ayah bacain dongeng ya," kata Rizal. Berbaring di samping Cheril. Tangannya mengambil buku dongeng di atas nakas. Mulai membacakan untuk Cheril.Meskipun Hana sangat ngantuk, namun posisi ini membuatnya ragu. Cukup lama sampai dia ikut berbaring. Mendengarkan dongeng dari Rizal tentang kancil hingga membuat matanya perlahan terpejam. "Ancil pintel ya, Yah.""Iya, kalau Cheril belajar nanti juga bisa pinter." "Elil ngin pintel."Perlahan Hana tertidur sepenuhnya, tidak peduli lagi dengan obrolan Rizal dan Cheril tentang kancil. Dia mengikuti Ramaniya yang terlelap. Wanita itu bahkan lupa bahwa Rizal berada di kamar yang sama. Cheril tertidur setelah dongeng kedua selesai, Rizal mengusap rambut putri kecilnya. Mencium keningnya dengan lembut lalu beralih mencium si bayi, ingin sekali mencium ibu mereka juga. Namun diurungkan, mencuri ciuman tentu bukan hal yang pantas.Wanita yang seharian sibuk mengurus bayi
Pintu apartemen dibuka, suasananya hening. Penghuninya hanya Rizal. Tidak ada lagi Cheril yang berlari untuk menyambutnya. Perabotan rumah bersih tanpa debu. Lantainya juga bersih, tidak ada noda karena Bi Sarah membersihkan sebelum dia datang. Padahal itu hal yang biasa, setiap hari selama bertahun-tahun juga seperti ini, namun kini Rizal merasa kosong. Apa yang salah?Ah, kedatangan Cheril membuat semuanya berubah. Rencana masa depan telah berbalik arah. Tadinya akan menikahi Marsha dan berpikir wanita itu akan mengisi apartemen ini. Sekarang tidak lagi. Rizal lebih suka jika mainan Cheril berserakan di sini, dapur diisi belanjaan Hana, juga sambutan tangisan Ramaniya dari kamar. Betapa indahnya hal itu."Aku ingin segera mewujudkan mimpi itu," gumamnya.Setelah melepaskan sepatu dan menaruh kopernya di ruang tamu. Dia menoleh ke belakang, pintu apartemen yang dilalui tadi tertutup. Ingin sekali pergi lagi ke Lampung untuk menemui Cheril serta Hana. Itu hal yang tidak mungkin dila
Rizal menguap, dia kurang tidur akhir-akhir ini. Sibuk bekerja sampai lembur. Presdir WterSun Group sebelumnya sedang sakit keras, ayah Yuno, dia harus menyiapkan rumah yang nyaman di Bogor. Ponselnya berdering lagi tepat ketika dia akan masuk kamar, kali ini dari Yuno. "Hallo," jawabnya. "Tenaga medis untuk Papa di Bogor sudah kamu siapkan, 'kan?" tanya Yuno tanpa basa-basi. "Sudah, dari RS Yadika. Besok akan aku cek ke Bogor sekali lagi." "Papaku ingin segera pindah ke Bogor, kalau bisa besok siang Papa sudah bisa berangkat.""Iya, tenang saja. Akan aku urus." "Baiklah, aku tutup." Panggilan ditutup, Rizal kembali menguap. Besok pagi harus bangun subuh supaya bisa sampai Bogor tepat waktu. Sebenarnya urusan seperti ini dia bisa menugaskan orang. Namun, hatinya tidak tenang jika tidak melihat lokasi. Kesehatan Presdir WterSun Group sebelumnya sangat penting, pekerjaannya dipertaruhkan. Renold adalah orang tua kandung Yuno, tidak boleh ada kesalahan sedikit pun. Saham perusaha
Rizal melirik pasangan suami istri itu, mereka yang biasanya tidak akur, sejak Renold sakit menjadi sangat romantis. Mungkin takut menyesal."Aku akan menemanimu apapun yang terjadi." Elja memeluk Renold dari belakang. Telepon dari Yuno masuk. "Hallo, gimana keadaan Papa ku di sana?" "Semua baik, terkendali." "Kalau gitu cepat kembali ke kantor." "Baik, aku akan segera kembali ke Jakarta."Dia bergegas kembali setelah memastikan Tuan Renold tidak kekurangan sesuatu. Pamitan dan meninggalkan pasangan itu menghabiskan hari-hari terakhirnya.Di kantor pekerjaan sudah menumpuk, sebenarnya dia memiliki ruangan sendiri di depan ruangan Yuno tanpa sekat. Tepat di samping dua sekretaris perempuan. Namun Yuno selalu bersikeras membuatkan meja di ruangan yang sama. Alhasil dia harus satu ruangan dan menambah pekerjaan."Bang, coba cek ulang jadwal meeting dengan Direktur Namikase di Jepang. Aku lihat waktunya mepet sama pertemuan di Hongkong. Jaraknya cuma sehari, aku takut tabrakan." Mata
Aku pikir, kebahagiaan itu sudah datang. Penantian panjang tentang kehidupan yang lebih baik. Tidak perlu bingung besok makan apa, bisa memakai pakaian bagus, dan hidup tenang. Apalagi hubungan dengan Kak Afrizal juga sudah baik. Setiap hari kami berbalas pesan. Aku merasa seperti orang yang... dicintai. Masa lalu biarkan berlalu, aku tidak ingin mengungkit atau mengingatnya lagi. Mas Malik sudah mendapatkan hukuman yang pantas. Dari awal menikah aku memang tidak mencintainya sekeras apapun mencoba. "Rumah ini bagus, awal bulan depan kita pindah ke sini." Bibi berkata seakan ini rumah yang mereka beli. Aku tidak tahu dari mana paman dan bibi mendapatkan alamat rumah ini, kabar tentang ayah Cheril yang kaya juga terdengar oleh mereka. Paman memegang guci di pojokan, mungkin memperkirakan harganya. Lalu matanya beralih ke lampu kristal yang tergantung di atas. Paman suka menjual barang-barang untuk judi. Mereka sering bertengkar karena kebiasaan paman yang menghabiskan uang serta b