Share

Lupa masa lalu

Setelah makan siang, Bramantyo dan beberapa staf yang ia tunjuk masuk ke ruang rapat khusus di salah satu lantai di hotel terkenal itu. Bukan rapat yang terlalu penting, hanya rapat biasa sekaligus perkenalan dirinya sebagai manajer baru hotel. 

Bisik-bisik mulai terdengar sebelum Tyo masuk ke dalam ruangan. Mereka membicarakan tentang penampilan Tyo yang terlalu rapi dan klimis. Bukan tak suka, hanya saja itu terlalu aneh dilihat. 

"Pak Tyo itu selalu pakai barang mewah. Sepertinya memang senang dengan barang mahal," ujar salah satu staf yang hadir. Beberapa yang mendengar mengangguk setuju. 

"Untuk menaikkan prestisi dia," bisik di sebelahnya. 

"Manajer yang sebelumnya tidak seperti dia." 

"Makanya hotel ini hampir bangkrut." 

"Apa hubungannya?"

"Ada. Nilai jual."

Seseorang yang duduk tak jauh dari staf yang berbisik tadi menyunggingkan senyumnya. Ia menoleh lalu menggelengkan kepalanya perlahan. Ia penasaran akan tampang manajer hotel yang baru yang mereka bicarakan tadi. 

Tak lama kemudian dari luar ruangan masuklah seseorang yang sudah dinantikan sedari tadi. Seorang yang dibicarakan dan dipuji oleh para staf hotel. Seorang pria tinggi nan tampan dengan penampilan rapi dan klimis yang membuat mata para wanita terpesona. Termasuk seseorang yang tadi mengulas senyumnya. 

"Selamat siang semuanya. Perkenalkan nama saya Bramantyo alias Tyo. Manajer utama hotel Rosell yang baru," sapa Tyo dengan suara tegasnya. 

Para peserta rapat berdiri dan bertepuk tangan menyambut Tyo yang masih berdiri di depan sana. Ia pun duduk dan para peserta juga duduk. Mata Tyo menangkap satu sosok yang beberapa hari lalu menyita hatinya. Jatuh cinta pada pandangan pertama membuatnya seperti orang kurang ingatan. 

Rapat pun dimulai. Staf suruhan Tyo yang membukanya dengan memperkenalkan para petinggi masih-masing departemen. Tyo memperhatikan dengan seksama dan menghapalnya di dalam kepala. Ada yang pernah ia temui dan ada juga yang baru saja bertemu di pertemuan ini. 

Sosok yang membuatnya jatuh cinta akhirnya ikut memperkenalkan dirinya. Ia berdiri dengan mata berpendar ke seluruh ruangan lalu fokus menatap Tyo. Ia pun mulai bersuara. "Halo, selamat siang. Untuk manajer baru perkenalkan nama saya Diana, pemilik the British organizer. Salah satu vendor yang bekerjasama dengan hotel Rosell sejak dua tahun yang lalu."

"Salam kenal Bu Diana. Kebetulan di pusat saya memegang departemen marketing dan F&B. Saya tahu banyak seluk beluk vendor, semoga kita bisa bekerjasama," sapa Tyo ramah dan tegas. 

Diana pun duduk kembali. Aura dominan Tyo jelas terasa di dalam ruangan. Sedikit tegang tapi terlihat santai saat Tyo sedikit mengeluarkan kelakarnya. 

Diana kagum akan sikap dan pembawaan Tyo yang percaya diri. Pantas saja ia terlihat disegani oleh para stafnya. "Ada yang ingin ditanyakan? Silakan, dari perwakilan masing-masing departemen."

Tyo membuka sesi pertanyaan. Salah satu staf bagian perencanaan event mengacungkan tangannya. Tyo mengangguk. "Pak, untuk event yang akan datang apakah sama dengan tahun baru. Maksud saya, apakah ada perubahan?"

Tyo merespon dengan senyuman. "Kita bicarakan nanti dan siapkan saja apa event yang biasa kalian buat setiap tahunnya. Biar saya bantu evaluasi."

"Baik, pak."

"Oh ya, satu informasi untuk kalian semua. Karena jabatan saya setara dengan direktur, mulai sekarang semua yang berhubungan dengan hotel harus sepengetahuan saya. Pak direktur memberi saya mandat untuk mengatur semuanya." 

Terdengarlah bisik-bisik para staf yang tampak tak terima. Diana yang duduk diantara staf yang berbisik itu hanya mendengarkan tanpa ada maksud untuk menyelanya. Satu hal yang ia dengar dari bisik-bisik itu adalah ketidaksukaan mereka akan jabatan rangkap sang manajer. 

Bramantyo memperhatikan mereka yang berbisik-bisik dari kejauhan. Tangannya menulis sesuatu sembari mendengarkan apa yang dibicarakan oleh asistennya. Bibir Bramantyo mengulas senyum manis saat pandangannya tertuju pada sosok cantik yang mengalihkan dunianya sejak kemarin. 

Rapat pun selesai. Bramantyo berdiri dan pergi begitu saja setelah berpamitan sejenak pada para peserta rapat. Senyum yang tadi ia ulas, seketika menghilang. Suasana hatinya mulai berubah seiring pembicaraan staf mengenai dirinya. 

Di ruangannya, Bramantyo hanya berdiam diri menatap ruangannya. Sesekali ia mengusak wajahnya hingga kusut. Rambutnya yang semula rapi terlihat berantakan. 

"Seburuk itukah aku?" gumamnya menghadap dinding. "Lebih baik aku kembali ke kamar."

Bramantyo pun berdiri berniat keluar dari ruangan menuju kamarnya di lantai atas. Namun, belum sempat ia membukanya suara ketukan terdengar. 

"Ya, masuk," teriak Tyo. 

"Pak, ada yang ingin bertemu." Winda muncul dari balik pintu. Bramantyo mengerutkan dahinya. 

"Siapa?" 

"Bu Diana."

"Suruh masuk, buatkan teh hangat." Winda mengangguk dan mempersilakan Diana untuk masuk ke ruangannya. Tyo yang masih duduk di singgasananya menyapa ramah dan menjabat tangannya. "Apa kabar? Silakan duduk."

"Tidak usah basa-basi, Tyo." 

Bramantyo mengerutkan dahinya lagi. "Maksudnya?"

"Kamu Tyo yang dulu kerja di perusahaan pembasmi hama, kan? Sendtoheaven benar?"

Bramantyo membelalakkan matanya. Tidak banyak yang tahu jika dirinya adalah mantan pegawai di perusahan pembasmi hama. Diana, yang baru saja bertemu mengapa sudah mengetahuinya?

"Ha ha. Bisa saja." Tyo tertawa hambar. Lalu tawanya menghilang berganti dengan wajah yang khawatir dan tegang. "Tahu dari mana?"

"Pak Sofyan yang punya perusahaan kan ayah aku. Kamu lupa kalau pernah goda anak SMA di gedung—"

"Ha ha ha. I-itu kamu?" sela Tyo. 

"Bukan. Itu adik aku tapi ada aku disana." 

Keduanya pun tertawa. Wajah Tyo kemerahan menahan malu. Satu aibnya terbongkar oleh anak pemilik perusahaan tempatnya dahulu bekerja dan anehnya ia tak ingat sama sekali wajahnya. 

Tawa canggung Tyo membuat Diana menggelengkan kepalanya. Seiring dengan masuknya Winda yang membawakan teh hangat untuk Diana. Setelah Winda keluar, Tyo kembali tertawa tapi tak lama kembali diam. Ia tak mampu mengekspresikan lagi bagaimana wajah malunya bertemu dengan Diana dengan aib masa lalunya. 

"Maaf. Saat itu—"

"Aku tahu. Kamu juga tak berniat buruk kok. Boleh kita berteman?" Diana berdiri dan menjulurkan tangannya mengajak Tyo berkenalan lagi. "Aku Diana Rahmania. Salam kenal."

"Aku Tyo, Bramantyo. Salam kenal juga."

Perbincangan mereka pun berlanjut. Diana terlihat sangat antusias saat Tyo bercerita mengenai masa lalunya yang pernah bekerja di perusahaan milik ayahnya. Berkali-kali ia tersenyum dengan tawa pelan yang ia tahan. Bramantyo adalah sosok pria lucu yang tersimpan di balik wajah datarnya. 

"Ya seperti itulah akhirnya kenapa aku bisa terjerumus masuk ke dalam lingkup jasa perhotelan. Aneh bukan?" 

"Kamu orang yang ulet. Bangga sama kamu," puji Diana. Wajah Tyo kembali memerah seperti tomat matang. Hidungnya kembang kempis karena malu. Diana semakin ingin menggodanya saja. "Kapan kita bisa ngobrol berdua? Secara pribadi tentunya."

"Kamu tidak masalah jalan berdua sama aku?" 

"Kenapa? Memangnya ada masalah?" 

Tyo terdiam. Ingin sekali dirinya jalan berdua dengan Diana yang sudah ia juluki pujaan hati. Namun sayangnya, ia berubah pikiran setelah Diana yang menawarkannya lebih dulu. 

"Aku takut kamu—" Tyo terdiam lagi menjeda kalimatnya. "Ah sudahlah," lanjut Tyo. 

"Kenapa? Kamu—"

Suara ketukan pintu menginterupsi perbincangan mereka. Tyo menghela napas lega. Setidaknya ia tak akan ditodong jawaban lagi oleh Diana. Tyo berjalan membuka pintu ruangan. 

"Pak Tyo, hari ini ditunggu di section bar pukul tujuh malam. Maaf, saya menyampaikannya terburu-buru karena mau izin pulang." 

"Izin kemana?" 

"Anak saya sakit, pak." 

"Winda, jangan pergi dulu. Tunggu sebentar." 

Tyo meminta Winda untuk menunggunya di depan pintu. Ia berjalan ke meja kerjanya dan mengambil dompet kecil lalu kembali menemui Winda. Lima lembar uang merah ia lipat dan ia taruh di tangan Winda lalu menyuruhnya mengepalkan tangan. Winda membukanya perlahan. Matanya berkaca-kaca melihat tumpukan uang yang baru saja diberikan oleh Tyo padanya. 

"Pak, ini..."

"Buat tambahan. Semoga lekas sembuh anaknya."

Dari kejauhan Diana memandang kagum pada sikap Tyo. Walau terlihat aneh, dia tak pernah memandang remeh pada orang di sekitarnya. 

"Kamu banyak berubah, Tyo," ucap Diana dalam hati. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status