Share

Siapa kamu?

Malam yang dingin. Seharusnya Tyo sudah bergelung selimut tebal di kamarnya sekarang. Hanya karena undangan minum rekan sejawat, ia terpaksa datang dengan wajah yang masam seperti habis bangun tidur. Satu persatu langkahnya ia seret menuju bar kecil di lantai sepuluh hotel bintang lima ini. Hingga sampailah ia di depan pintu bertuliskan VIP room. 

Tyo menghela napas panjang. Kesal karena malam ini ia pasti akan ditagih cerita basa-basi seputar pengelolaan hotel. Padahal, ia baru seminggu menginjakkan kaki di hotel ini tapi tuntutan mereka jauh lebih berat dari perkiraan Tyo. 

Satu orang melambai dari kejauhan. Seorang pria dengan jas warna hitam dan kemeja biru gelap. Tyo tersenyum canggung. Ia berjalan menghampiri orang itu lalu menepuk bahunya sekedar menyapa ringan. 

"Tyo, datang juga kamu. Malam ini habiskan saja apa yang kamu mau." Abizar, pria yang tadi menegur Tyo. Pria tampan yang sudah mapan di usia tiga puluh dengan segudang privilage dari orangtuanya. 

Pria itu menatap Tyo sebentar lalu meneguk minuman di gelas kecil yang ada di depannya. 

"Aku tidak minum. Ada perlu apa mengajakku kesini?" Tyo tak perlu basa-basi. Ia sudah cukup muak menjadi tameng Abizar. Kedatangannya kemari mungkin saja hanya untuk meminta bantuannya. 

"Ayolah Tyo. Aku bosan di rumah. Kamu tahu, aku akan dijodohkan oleh orangtuaku," racau Abizar. Tyo tak peduli. Matanya menatap sekeliling ruangan. Bar yang ia masuki cukup teduh tanpa kebisingan musik dan suara dentuman musik EDM. 

Tyo kembali menepuk bahu Abizar. Pria itu butuh motivasi. "Lakukan saja sesuai keinginan orangtuamu."

Abizar menggelengkan kepalanya. Jari telunjuk ia mainkan di depan mata Tyo. Abizar pasti sedang mabuk, pikir Tyo. 

"No. Aku tidak menyukainya dan dia juga tak menyukaiku. Kasihan kekasihku jika aku harus menikahi wanita itu," racau Abizar lagi. 

"Lalu, apa masalahmu bercerita padaku?" 

"Berikan saran."

Tyo menghela napas panjang. Ia menariknya perlahan lalu mengembusnya. "Ikuti kata hatimu."

"Kata hati?"

Tyo mengangguk. "Ikuti kata hatimu yang terdalam. Karena ia tak pernah bohong." Tyo mengecek arlojinya. Sudah pukul delapan lewat dan ini sudah masuk waktu tidurnya. 

"Baiklah, aku ikuti kata hatiku. Aku akan menolaknya."

"Terserah."

Tyo memilih pergi dari tempat yang sebenarnya tak ia sukai itu. Abizar sudah tak bisa diajak bicara lagi. Pria itu mabuk hanya dengan segelas Vodka. Langkah Tyo terhenti sesaat melihat seseorang yang ia kenal melangkah ke arahnya. Tyo terpaku sejenak lalu tersenyum canggung. Sosok itu, Diana. Wanita yang dikaguminya tapi tak berani ia dekati. 

"Hai, pak Tyo juga ada disini?" Diana mendekat dan menyapanya. Tyo seketika menjadi kaku di tempat. Ia membalas sapaan dengan senyuman yang lagi-lagi canggung. 

"Hai, Bu Diana. Saya lagi cek section bar baru saja. Kalau Bu Diana?" 

"Ingin bertemu seseorang tapi sepertinya lebih baik saya pulang."

Diana berbalik. Ia dan Tyo berjalan berdampingan menuju lift. Namun belum sampai di depan lift, Diana kembali bertanya pada Tyo. "Pak Tyo, ada tempat di hotel ini yang bisa dipakai untuk teriak?"

"Kamu mau teriak?" Diana mengangguk. "Ada. Di penthouse, kebetulan saya ada akses kesana."

"Boleh?" 

"Boleh, asal dengan saya."

Entah apa yang ada di dalam kepala Tyo dan Diana. Keduanya baru saja kenal lebih dalam siang tadi. Kini keduanya berada di tempat yang sama dengan masalah yang berbeda. Lain Tyo lain pula Diana. Keduanya larut dalam keheningan di atas atap berpayungkan awan malam yang indah.

"Kita bicara sebagai seorang teman, bisa?" Tyo menoleh. Satu alisnya terangkat. "Aku butuh teman seperti kamu."

"Boleh saja."

"Aku ingin mengajakmu berjalan-jalan besok. Bagaimana, kamu bisa kan?" 

Pertanyaan Diana membuat Tyo tak mampu berkata-kata. Apa alasan yang tepat untuk menolaknya? Sejujurnya, Tyo ada rasa ingin kenal lebih dekat dengan Diana seperti tekatnya saat itu tapi tiba-tiba semuanya menghilang begitu saja, yang tersisa hanyalah rasa takut.

"B-bisa saja. Memangnya kamu mau ajak aku kemana?" 

"Kita cari tempat bagus di kota Bandung." Tyo mengangguk pelan. Tangannya mengepal menahan sesuatu. Melirik perlahan pada Diana yang terlihat antusias membuatnya tak tega untuk menolak. 

"Aku tidak punya kendaraan di Bandung. Mobilku sudah dijual. Kita pakai kendaraan operasional hotel?" 

Diana tertawa pelan lalu menggeleng. "Aku bawa mobil, nanti aku jemput."

"Wah, aku jadi malu."

Keduanya pun terdiam. Jari Tyo mengetuk pelan besi pegangan yang tingginya hampir sedadanya. Pandangannya lurus ke depan menatap langit di atas atap hotel. Napasnya teratur mengalun di setiap detiknya, halus terdengar. Diana hanya menoleh sejenak. Siluet Tyo yang hanya tertimpa sinar samar rembulan terasa lebih syahdu terlihat. Bagaikan lukisan di atas kanvas. 

Satu jam mereka habiskan dengan hanya berdiam diri sambil berceloteh ringan tak terasa sudah hampir larut malam. Tyo mengecek arlojinya lagi. Sudah melebihi jam tidurnya tapi tubuhnya masih diam berdiri di atap hotel. Rasa dingin menyergap keduanya. 

Dilihatnya Diana berkali-kali mengusapkan tangannya pada lengan. Ditiup-tiupnya juga kedua tangan yang terkepal. Tyo refleks membuka jaketnya dan menaruhnya di pundak sempit Diana. 

"Dingin. Kita masuk ke dalam." 

Tyo menggenggam tangan Diana mengajaknya masuk ke dalam. Ini baru pertama kalinya ia menggenggam lagi tangan wanita. Setelah hampir sepuluh tahun ia berkelana mencari pasangan. 

"Tunggu dulu." Diana melepaskan genggaman tangan Tyo lalu kembali berdiri di dekat besi pegangan. Ia menarik napas panjang lalu menghempasnya perlahan. Matanya terpejam lalu berteriak, " Aaaaaaaaaa...."

Diana belum membuka matanya. Ia masih menikmati hembusan angin malam yang menerpa wajahnya dan membisikkan sejuta kalimat penyemangat. Tyo masih berdiri di tempatnya menatap sendu pada wanita cantik yang dulu pernah ia sukai. 

"Sudah selesai?" Diana berbalik lalu mengangguk. "Ayo kita turun."

"Terima kasih."

"Untuk?"

"Semuanya." Diana kembali menggosok tangannya, Tyo menyambar tangan itu lalu menggenggamnya. Diana pun membalas genggaman itu dan mengeratkannya. Hatinya menghangat. 

"Diana, kamu mau aku antar ke—"

"Aku menginap di hotel ini." Tyo mengerutkan dahinya. "Aku buka kamar setiap weekend. Kebetulan, aku lagi banyak pekerjaan jadinya tidak bisa pulang ke rumah."

"Pak Sofyan ada di Bandung?" Diana mengangguk. "Lalu adik kamu?" 

Diana tertawa. Tak sadar tangannya menepuk bahu Tyo hingga terdorong ke belakang. Tyo refleks menarik tangan Diana, karena tak kuat akhirnya mereka berdua jatuh ke atas lantai bersamaan. Tubuh Diana menindih dada Tyo, dua mata itu pun bertemu. Diana menatap mata Tyo tanpa berkedip begitu pula sebaliknya. 

Tyo menarik tangan Diana agar semakin mendekat padanya. Satu kakinya mendorong kaki Diana yang tertekuk dan mengapitnya dengan kedua kakinya. Satu tangannya kemudian berpindah di pinggang dan tangan lainnya menjalar dari dahi hingga menuju bibir Diana menyusuri indahnya ciptaan tuhan yang tengah ia kagumi. 

Entah ada bisikan dari mana, tiba-tiba saja keduanya saling menempelkan bibir mereka. Tak ada gerakan, keduanya saling menahan napas dan sesuatu yang mungkin saja timbul. 

"Maaf." Tyo perlahan mengajak Diana beringsut dari dinginnya lantai. "Aku antar kamu ke kamar."

"Tyo, kamu lupa sesuatu di masa lalu?" 

"Masa lalu?" 

"Sudahlah. Mungkin aku saja yang terlalu berharap. Selamat malam."

Diana berjalan cepat menuju lift tamu yang jaraknya tak jauh dari tempat mereka berdiri. Tyo masih diam membisu di tempatnya. Ia meraba bibirnya dan mengusapnya. Rasanya, tak bisa hilang. Tyo memejamkan matanya meresapi pertemuan tadi dan pertanyaan aneh yang meluncur dari bibir Diana. 

"Siapa kamu?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status