"Kalau kamu butuh uang, kamu bisa bilang padaku," ucap Nathan dengan nada datar."Terima kasih niat baikmu, Tuan Nathan," ucap Alyana.Kepala Alyana terasa pusing, etikanya sudah dilupakan. Nathan tampak begitu sulit digapai biasanya, tetapi sekarang, dia tampak mudah digapai.Alyana mengulurkan tangannya, lalu meneput bahu Nathan sambil berkata, "Terima kasih, Tuan Nathan."Di bawah sorot lampu, mata bundarnya yang bening telah diselimuti bayang-bayang mabuk. Seperti danau tenang yang mulai beriak, mengalirkan pesona yang samar tetapi menggoda.Ada sesaat, Nathan merasa seperti bisa mendengar suara riak air yang menyentuh ujung hatinya. Begitu lembut dan mengguncangkan hati.Tatapan matanya muram, dia meraih pergelangan tangan Alyana dan berkata,"Kamu sudah mabuk.""Cuma sedikit," sahut Alyana.Alyana menarik kembali tangannya dan tiba-tiba mengangkat topik lain. "Hari itu, waktu aku datang ke pesta ulang tahun Bu Nanik, aku ketemu Alina dan Harison," ucap Alyana."Kamu tahu nggak, go
"Tuan Nathan, kenapa bengong? Ayo, makan dulu," ucap Alyana.Alyana memanggil Nathan untuk mendekat. Melihat pria setinggi hampir 190 cm itu duduk agak canggung di pinggir meja kopi, dia jadi ikut merasa kikuk. Alyana pun tersenyum canggung dan bertanya, "Gimana kalau kita pindah ke meja makan saja?""Nggak usah," jawab Nathan.Nathan bersandar santai ke sofa. Matanya sekilas melihat makanan di atas meja, alisnya mengerut tipis.Alyana langsung menangkap ekspresi itu. Tadi waktu memesan makanan, dia terlalu senang sampai lupa bahwa orang seperti Nathan mungkin tidak terbiasa makan makanan berminyak.Dia pun buru-buru menawarkan, "Gimana kalau aku masak saja yang baru buat kamu?""Nggak perlu," ujar Nathan.Tatapan Nathan serius, bahkan sedikit seperti seseorang yang siap menghadapi takdir. Kalau Alyana bisa makan ini, dia juga harus bisa."Kalau begitu, coba dulu. Kalau nggak suka, baru aku masak," ucap Alyana.Sebenarnya, Alyana sendiri juga malas berdiri. Tadi cuma basa-basi saja.Al
"Cih!" seru Wira.Wira memutar bola matanya tajam. "Privasi apaan? Lagian aku bukan ngintip, ini namanya lihat dengan terang-terangan."Dia melirik sinis ke arah Evin sambil bertanya heran, "Sekarang sikap kamu berubah total, memangnya kamu mau menjodohkan Alyana dan Nathan? Padahal setahu aku, tiga tahun lalu kamu diusir oleh Nathan ke Kota Anjelo. Bukankah kamu yang mengusik hubungan mereka saat itu?""Dulu kamu menolak habis-habisan. Sekarang kenapa malah berubah?" lanjut WiraSembari bertanya, Wira menyodorkan segelas wiski ke tangan Evin. Dia siap mendengar penjelasan versi panjang."Jangan tanya. Jawabannya cuma satu, yaitu menyesal," jawab Evin.Evin melambaikan tangan seolah ingin menepis semuanya, lalu menatap gelas di tangannya cukup lama. Ingatannya kembali ke masa lalu, saat Nathan menghajarnya tanpa ampun seperti singa mengamuk. Saat itu, Evin memang sempat marah, dia merasa sahabatnya mengorbankan pertemanan demi seorang wanita. Namun kini, setelah dipikir-pikir, kalau s
"Firly, kamu tumbuh besar bersama Nathan. Kamu pasti tahu apa yang sebenarnya dia cari.""Perasaan itu hal paling rapuh di dunia. Hari ini bisa digenggam, besok bisa menghilang begitu saja. Tapi kepentingan itu nyata, bisa dipegang.""Pernikahan antar keluarga besar selalu dilandasi oleh kepentingan. Mungkin terkesan nggak murni, tapi justru karena itu fondasinya kuat. Hanya dengan saling bergantung dan saling mengikat, hubungan itu bisa bertahan lama.""Kalian sudah bukan anak-anak lagi. Sudah waktunya memikirkan keluarga masing-masing. Kalau kesempatan kali ini dilewatkan, belum tentu ada yang kedua."…Hari itu, Tuan Besar Agam bicara panjang lebar di telepon. Suaranya berat dan penuh tekanan.Namun, di tengah kalimat-kalimat itu, entah mengapa di lubuk hati Firly seperti terdengar bisikan, 'Coba saja. Nggak masalah kalau gagal.'Akhirnya dia memutuskan untuk pulang, memberikan akhir yang pantas untuk perasaan yang dia simpan selama bertahun-tahun."Kak Firly?" panggil Naomi pelan.
"Baguslah kalau kamu suka," ucap Firly.Firly memperhatikan dandanan Naomi dan pakaiannya cukup formal. dia pun bertanya dengan nada penasaran, "Kamu habis ikut wawancara kerja, ya?""Kok kamu tahu?" seru Naomi sedikit terkejut."Tadi sempat dengar dari Tante Helen, katanya kamu lulus tahun lalu dan mulai cari pekerjaan tahun ini," jawab Firly.Firly tersenyum lembut, lalu bertanya seperti seorang kakak yang perhatian, "Gimana wawancaranya? Lancar?""Ya. Aku sudah diterima dan akan mulai kerja akhir bulan nanti," jawab Naomi."Oh?" seru Firly dengan mata berbinar. Dia lanjut bertanya, "Perusahaan mana yang cukup beruntung bisa dapat karyawan secerdas kamu?""..."Naomi diam.Dia tidak berniat mengungkap bahwa dirinya diterima di studio "Atmara". Jika sampai Tuan Besar Agam tahu, bisa-bisa dia langsung dikurung di rumah dan dilarang keluar lagi.Firly mengira Naomi hanya ingin menyimpan rahasia layaknya anak muda. Dia pun tidak banyak bertanya. "Ya sudah, kamu kerja di mana pun, aku yak
"Kata orang, cara terbaik untuk menghapus pesona seseorang di hati adalah dengan memilikinya. Jadi aku datang untuk melamar," ucap Naomi.Naomi menatap Alyana tanpa berkedip. Tatapannya penuh keteguhan.Sejak tahu bahwa Begonia adalah Alyana, Naomi mengurung diri di kamar, memandangi satu per satu karya koleksinya, lalu mulai meragukan dirinya.Dia sangat menyukai Begonia, tetapi dia benci Alyana.Kenyataannya, dua rasa itu bersarang pada orang yang sama.Berhari-hari Naomi gelisah hingga secara kebetulan dia melihat lowongan dari studio 'Atmara'. Setelah berpikir matang, dia memutuskan mengirimkan lamaran.Sebelum datang, Naomi sempat berpikir mungkin tidak lama kemudian dia akan menyadari bahwa Begonia pun tidak sehebat yang dia bayangkan. Pada saat itu nanti, dia akan bisa melepas semuanya dengan tenang.Namun sekarang, keyakinan itu mulai goyah saat berhadapan langsung dengan Alyana.Sikap Naomi begitu sembrono, tetapi Alyana justru masih sabar menanggapinya. Hal ini jauh dari soso