Gancet : Kapokmu Kapan, Mas? (3)
***Sebelum lanjut, aku mau jelasin sedikit tentang gancet karena masih ada yang belum paham. Gancet adalah kondisi di mana alat vital saling menempel pada saat melakukan hubungan intim. Biasanya terjadi pada pasangan tidak halal. Kebanyakan kasus gancet terjadi ketika pelaku zina melakukan hubungan di tempat-tempat yang diyakini angker. Di cerita ini, terjadinya gancet karena dibuat oleh istri sah.
Dalam dunia medis, gancet sendiri ada penjelasan ilmiahnya (silakan googling untuk lebih jelasnya).
Mohon maaf saya tidak bisa berbagi cara membuat gancet, apalagi di ruang publik. Takut disalahgunakan.***
Bang Robi kembali berteriak memanggilku. Aku harus cepat-cepat kembali ke sana. Kunci cadangan kamarku dan kamar Miska yang kubuat kemarin kusembunyikan terlebih dahulu. Aku kembali membawa kunci cadangan kamar Miska yang disimpan Bang Robi saja biar mereka tidak curiga.
Segera aku buka pintu kamar tempat pasangan selingkuh itu terkurung. Tak lupa kunetralkan debar jantung dan memantapkan hati sebelumnya. Aku tak boleh gentar. Aku harus kuat!
"Astaghfirullah ...." Aku berteriak ketika melihat pemandangan di ranjang Miska.
"Bang, apa yang Abang lakuin sama Miska? Pindah, Bang!"
Aku berpura-pura tak tahu yang terjadi. Aku menarik sebelah kaki Bang Robi yang tubuhnya menindih Miska.
"Aaa ... sakit, Dek! Lepas! Lepas!" jerit Bang Robi.
Begitu juga dengan Miska. Dia menjerit kesakitan.
"Mbak, jangan ditarik, Mbak! Sakiiiit."
"Kalian ngapain? Astaghfirullah ...." Aku berpura-pura terus berusaha menarik paksa kaki Bang Robi.
"Bang, lepasin tubuh Abang dari Miska! Abang apakan adekku? Kenapa Abang tega?" Kupukul-pukul kaki Bang Robi.
"Ampun, Dek, ampun! Abang jangan dipukulin terus. Ampun, Dek!"
"Iya, Mbak, Bang Robi jangan dipukulin. Sakit aku, Mbak!" timpal Miska.
"Kalian ngapain? Astaghfirullah ...."
"Jangan tanya itu dulu, Dek! Tolongin kami dulu biar bisa misah!" perintah Bang Robi.
"Astaghfirullah ... kalian tega banget khianatin aku kayak gini! Salahku apa, Bang? Mis?"
Awalnya memang aku berpura-pura, tetapi akhirnya kuluapkan amarah yang tertahan. Aku menangis histeris di hadapan mereka. Aku tak sanggup berpura-pura tegar. Hatiku sakit melihat langsung apa yang selalu mereka lakukan di belakangku.
"Dek ... sudah, Dek, jangan nangis!"
"Apa Abang bilang? Jangan nangis? Istri mana yang gak akan nangis lihat kelakuan bejat suaminya, Bang? Coba kasih tau aku! ISTRI MANA?"
Bang Robi diam. Miska juga.
"Maaf, Dek! Abang minta maaf! Adek boleh nangis dan marah sama Abang. Yang penting Abang bisa lepas dulu sama Miska."
"Iya, Mbak," timpal Miska.
Aku berhenti menangis dan mengusap air mata. Kembali aku berjalan ke arah mereka yang tergeletak saling tindih di atas ranjang.
"Apa yang bisa aku lakuin buat lepasin kalian?"
"Abang juga gak tau, Dek. Kamu bantu mikir, dong!"
Enak sekali omongannya. Mereka yang berbuat, aku yang disuruh peras otak untuk membantu melepaskan mereka. Memang, orang sin ting macam ini sudah lepas urat malunya.
Aku jadi terpikir untuk semakin membuat mereka malu.
"Aku juga gak tau harus gimana, Bang. Apa aku panggil orang buat bantuin aja?"
"Eh ... jangan, Dek! Kamu mau panggil siapa emang?"
"Pak RT dan warga, lah, Bang. Siapa lagi yang bisa dipanggil pagi-pagi buta kayak gini?"
"Jangan, Dek, masih Subuh. Nanti heboh."
Heboh? Memang itu tujuanku. Biar sekalian malu kalian. Biar kapok!
"Terus aku harus gimana, Bang? Sejak kapan Abang sama Miska kayak gini?" Lagi-lagi, aku pura-pura tidak tahu.
"Dari tadi pokoknya, Dek. Abang udah panggil-panggil kamu dari tadi."
"Iya, kah, Bang? Aku gak dengar apa-apa soalnya. Tidurku pulas banget."
"Bener, kok, Mbak, tadi kita udah manggil-manggil Mbak kenceng banget." Miska yang jawab.
"Loh, kok, aku gak dengar apa-apa, ya? Kira-kira, udah berapa jam, Mis?"
"Kayaknya lebih dari dua jam, Mbak."
"Astaghfirullah ...."
"Kenapa, Mbak?"
Halah ... pakai acara tanya kenapa.
"Aku pernah baca, kalau lebih dari tiga jam posisi kalian gak bisa dilepas, salah satunya bisa mati."
"Hah? Aku gak mau mati, Mbak. Tolongin aku, Mbak," rengek Miska.
Bang Robi juga melakukan hal yang sama. Keduanya memohon sambil menangis.
"Terus aku harus gimana nolonginnya? Minimal kalian harus dibawa ke rumah sakit. Aku gak bisa bawa kalian sendirian ke sana."
Aku lantas keluar kamar itu dan kembali ke kamarku. Kuambil ponselku dan ponsel Bang Robi. Lantas kembali ke kamar Miska membawa kedua benda itu.
Kuabadikan gambar mereka berdua dengan kamera ponselku. Gambar kuambil dari beberapa posisi.
"Kamu mau ngapain, Dek? Kenapa kamu foto-foto kami?"
"Buat bukti, Bang. Aku mau minta tolong sama keluarga Abang. Aku mau kirim ke WAG keluarga Abang."
Dalam WAG keluarga suamiku, ada istilah NO PICT=HOAX.
"Dek, jangan, Dek!"
"Yah ... udah kekirim, Bang
Kapokmu Kapan, Mas? (53b)Aku masuk dan tiba-tiba pintu itu terkunci dari luar."Masuk saja. Tidak perlu takut, Dek!" perintah Bang Robi.Tangannya menunjuk sebuah sofa agar aku duduk di sana. Kuletakkan tasku di samping."Gak usah tegang gitu, Dek," kata Bang Robi saat melihatku membetulkan posisi duduk berulang kali.Aku tak menjawab kata-katanya."Aku ke sini mau to the point aja, Bang!" kataku kemudian."Kamu butuh apa memangnya?""Aku gak butuh apa-apa, Bang. Aku malah mau menyerahkan ini." Kulempar map berisi duplikat surat-surat berharga peninggalan orang tuaku ke atas meja yang menjadi pembatas aku dan Bang Robi."Silakan ambil semua itu. Itu yang Abang inginkan, kan?" tanyaku.Bukannya menjawab, Bang Robi malah tertawa."Bukan itu, Sayang! Abang gak butuh itu semua. Yang Abang butuh itu kamu!""Aku? Maksud Abang apa? Bukannya Abang niat bunuh aku?"Bang Robi kembali tertawa."Nah, itu kamu tau.""Kenapa Abang segitu jahatnya sama aku? Salah aku apa, Bang?""Salah kamu karena
Kapokmu Kapan, Mas? (53)Aku bersiap berangkat setelah Bang Robi mengirimkan pesan berisi tempat di mana kami akan bertemu. Kusiapkan apa-apa saja yang kuperlukan untuk menemui Bang Robi. Aku harus menyelesaikan semuanya.Baru saja aku memutar gagang pintu kamar, dari luar sudah didorong orang. Ternyata Pak Arsyad yang mendorong. Aku yang tadinya sudah di ambang pintu, harus mundur beberapa langkah karena Pak Arsyad yang ikut masuk ke kamarku. Tangannya lantas menutup pintu kamarku dan menguncinya dengan cepat. Lalu, kunci itu disembunyikannya di dalam saku celana yang dikenakannya."Mas ... balikin kuncinya! Saya mau pergi," pintaku.Bukannya memberikan apa yang kupinta, Pak Arsyad malah menempelkan belakangnya ke pintu. Dengan santai Pak Arsyad bersedekap dan berucap, "Kalau bisa, coba ambil sendiri!""Mas ... tolong! Saya mau pergi. Sudah ada janji.""Janji dengan Robi?"Aku mengangguk."Tidak akan saya biarkan kamu keluar dari sini, kalau begitu.""Mas ... tolong ngertiin saya kal
Kapokmu Kapan, Mas? (52b)Malam itu, aku tak dapat tidur dengan pulas. Marahnya Pak Arsyad mendominasi pikiranku. Aku tak suka dengan itu. Sungguh menyakitkan.Pagi harinya, saat sarapan, aku sengaja meminta izin kepada kedua orang tua Pak Arsyad, serta Bude Ningsih."Siang nanti Titi izin keluar, ya, Ma, Pa, Bude."Ketiganya serempak menanyakan tujuanku."Mau menyelesaikan sesuatu yang harus diselesaikan," jawabku.Pak Arsyad diam saja tak merespon apa pun. Dia juga tak melirikku barang sedikit. Ada rasa sakit kurasakan karena itu.Meskipun Pak Arsyad marah, aku sudah bertekad bulat untuk menemui Bang Robi. Aku ingin menyelesaikan semuanya. Semua upaya yang aku dan Pak Arsyad lakukan selama ini tak berdampak banyak. Jadi, ini jalan terakhir untuk mengakhiri semuanya. Setidaknya, setelah Bang Robi mendapatkan semua yang diinginkannya, aku berharap tidak ada lagi korban. Aku semakin takut menjadi sumber dosa banyak orang.Ternyata, setelah sarapan, Pak Arsyad tidak berangkat ke kantor
Kapukmu Kapan Mas? (52a)Selepas shalat, aku menyusul Pak Arsyad yang telah lebih dulu menunggu di mobil."Kita pulang sekarang?" tanya Pak Arsyad setelah aku duduk di kursi samping kemudi."Memang masih ada rencana mau ke mana lagi, Mas?" Aku balik bertanya."Tidak juga. Tapi siapa tau kamu butuh pergi ke suatu tempat untuk film diri."Benar juga kata Pak Arsyad. Aku butuh tempat untuk syuting diri. Juga untuk menjernihkan pikiran."Boleh, sih, Mas. Tapi saya gak tau mau ke mana.""Gimana kalau ke pantai?""Boleh."Pak Arsyad lantas melajukan mobilnya menuju pantai. Kami lalu duduk di tepi pantai beralas tikar yang disewakan. Pak Arsyad juga memesan dua buah kelapa muda untuk kami nikmati.Cukup lama kami dalam diam menikmati semilir angin pantai yang menyejukkan. Aku sibuk dengan pikiranku tentang langkah selanjutnya yang akan kuambil. Entah dengan Pak Arsyad, apa yang dipikirkannya, aku tak bisa menebak.Seandainya waktu dapat kuputar. Aku pasti akan berusaha sebaik mungkin agar se
Kapokmu Kapan, Mas? (51c)Aku benar-benar dibuat terkejut dengan pengakuan itu. Dadaku bergemuruh. Tak pernah kusangka semua itu."Itu pun karena saya diancam. Bapak mengancam akan membunuh anak bungsu saya yang sedang berada di rumah sakit.""Mbok punya anak selain Mas Wisnu?" tanyaku heran. Pasalnya, selama ini yang kutahu Mbok Mina hanya punya satu anak."Anak saya ada dua, Bu. Wisnu anak pertama saya. Adiknya bernama Siti. Dia sedang dalam masa perawatan di rumah sakit jiwa. Pak Robi tau itu. Saya juga kurang mengerti beliau tau dari mana. Padahal saya tidak pernah bercerita. Pak Robi menggunakan Siti untuk menekan saya memberitahukan tentang kepergian Ibu. Saya terpaksa memberitahu alamat rumah di kampung."Astaghfirullah ...."Awalnya, saya pikir Bapak mau menjemput Ibu secara baik-baik. Jadi saya beri saja. Tapi ... saya malah disuruh hubungi Wisnu. Saya disuruh bohong tentang sakit dan nyuruh Wisnu nyusul ke kota. Di situ, perasaan saya sudah gak enak. Tapi saya gak bisa berbu
Kapokmu Kapan, Mas? (51b)Karena bosan tak mendapat jawaban, Mas Wisnu akhirnya kembali ke motornya dan pergi dari tempat itu. Aku dan Pak Arsyad membuntutinya. Cukup jauh perjalanan yang harus kami tempuh sampai akhirnya kami tiba di sebuah rumah. Tempat motor Mas Wisnu berhenti.Di depan rumah itu terlihat Mbok Mina keluar menyambut putranya. Tampak ibu dan anak itu saling berbincang entah apa. Mereka lalu masuk ke rumah bersama dan mengunci pintu setelahnya.Aku dan Pak Arsyad masih setia di dalam mobil. Kami menunggu kesempatan untuk dapat masuk ke rumah itu dan meminta penjelasan. Pak Arsyad yakin betul bahwa ada sesuatu keterkaitan antara mereka dan apa yang sedang terjadi kepadaku.Satu jam sudah kami menunggu di dalam mobil. Akan tetapi, Pak Arsyad belum juga mau kami turun menghampiri rumah itu. Perutku sudah perih, tetapi tak sampai hati kuutarakan."Ayo, kita turun!" Pak Arsyad memberi perintah setelah melihat Mas Wisnu keluar dari rumah itu. Sepertinya Mas Wisnu hendak sa