Share

pagi pagi

Pagi-pagi sekali suara mesin mobil Mas Yadi menderu dan berhenti di depan rumah, aku yang masih mengenakan mukena setelah salat Subuh dan membaca Alquran, mengintipnya dari  jendela dan melihatnya terburu-buru masuk ke dalam rumah.

Baru saja hendak keluar ke ruang tamu tiba-tiba suamiku membuka pintu kamar dan kami hampir bertabrakan di ambangnya.

Dia menyingkirkan bahuku dan melewatiku tanpa kata sedikit pun, dan akupun enggan banyak bicara selain menunggu apa yang ingin dia ungkapkan.

Dia membuka laci meja mengambil beberapa kertas miliknya, lalu membuka pintu lemari dan terlihat mencari sesuatu,aku berdiri saja sambil menyimak apa yang hendak dia lakukan.

"Seragamku mana? Kenapa tidak disiapkan?" Dia memasang nada suara seolah-olah tidak terjadi sesuatu.

"Mana aku tahu kalau Mas akan pulang ke rumah dan meminta disiapkan seragam, bukankah sekarang segalanya sudah berbeda?"

"Apa maksudmu?" Dia mendongak dengan tatapan berkilat.

"Ya mungkin saja ... Istri baru Mas akan mengambil alih tugas-tugasku," jawabku menyindir.

"Tentu saja, kalo kau sudah mati!"

ujarnya dingin sambil tetap berdiri menunggu dan mengeluarkan ponselnya.

Aku kembali menghela nafas pelan sambil mengucapkan istighfar, berusaha  tidak ingin pagi-pagi seperti ini emosiku disulut oleh sikap Mas Yadi.

Alangkah lemasnya lidah itu mengatakan seolah olah ingin aku segera mati, agar si jalang peliharaannya bisa jadi Nyonya.

"Tidak semudah itu, Mas," batinku sambil menyiapkan pakaian dan meletakkannya ke ranjang.

Rupanya saat aku membalikkan badan tadi dia sudah melepas pakaian dan mengambil handuk lalu beranjak ke kamar mandi, ketika aku mencari keberadaannya suara shower di dalam menyala dan aku paham bahwa dia di sana.

"Sekali tidak pulang, sekalinya pulang, apa yang dia inginkan," gumamku. 

Andai tadi dia memperlakukanku dengan kasar aku pasti akan melawan dan mengajaknya bertengkar tapi karena dia tidak terlalu banyak bicara aku masih bisa menahan diri.

Lima menit berikutnya dia keluar dari kamar mandi dan langsung menghampiri tempat tidur dan mengenakan pakaian dalamnya.

"Suruh si Bibi menyiapkan kopi dan sarapan  untukku," perintahnya tanpa menatapku.

Aku tidak perlu heran terkadang dia memang sekasar itu, terbawa oleh kebiasaannya di dalam tugasnya, sehingga nada bicaranya jarang terdengar lembut.

Aku heran mengapa si jalang itu tertarik kepada suamiku, apakah Mas Yadi memperlakukannya dengan romantis  sehingga dia seketika meleleh?  Entahlah.

"Kenapa kau diam saja, ayo bantu aku mengenakan pakaian dan atribut," suruhnya.

Aku yang menggeleng-geleng pelan menanggapi sikapnya, langsung menghampiri dan membantunya mengenakan pakaiannya.

Tentu, dengan hati kesal dan tidak selembut dulu.

"Hari ini aku akan menghadap Polisi Militer yang ditugaskan untuk menyidik laporanmu tentangku, hari berikutnya aku harus bertemu atasan untuk membahas hal ini dan mungkin aku akan langsung dihukum, kau pasti puas mendengar hal itu," ungkapnya.

"Bukankah setiap perbuatan harus dipertanggungjawabkan, Mas?" ujarku sambil memakaikan tanda pangkat di bahu kirinya.

Dia terdiam.

"Kau pasti puas ketika aku memasuki pengadilan militer dan di sanksi oleh oditurat, kau akan merayakan semua itu, benarkan, sayangnya kau gegabah!?"

"Tidak ada wanita yang ingin menyusahkan suaminya kecuali jika sang suami menginginkan itu?" Tanpa menatapnya,  kali ini bahu sebelah kanannya yang aku pakaikan tanda pangkat.

"Kenapa kau tidak bisa sabar, Sakinah? Padahal pernikahanku tidak akan mengganggu posisi dan hartamu, juga posisi anak-anak," ujarnya tanpa beban, membuatku seketika tertawa, menertawai kekonyolan kalimatnya.

"Kau sedang berusaha membujukku, Mas?" tanyaku sinis.

"Tidak, sebaliknya aku sedang memberimu nasehat," balasnya sambil membalikkan badan dan menyisir rambutnya. "Ambilkan sepatuku!"

"Sebaiknya nasehati diri sendiri, atau mungkin kamu perlu dirukyah, mungkin pengaruh jahat telah membuatmu kehilangan akal, Mas."

"Tentu aku waras, Sakinah," ujarnya sambil meraih topi.

"Kalau kamu waras ya, Mas, kamu tidak mementingkan jabatan dan karir yang sudah kau bangun dari nol, akan porak-poranda seketika karena tindakan gebabah itu, belum lagi perasaan istri dan anak-anak yang kecewa, sayangnya akal sehatmu sudah lenyap, Mas."

"Andai kau berhati luas, tidak ada yang akan terjadi, hidupmu baik-baik saja, karirku juga akan baik-baik saja, kita akan hidup dalam keharmonisan."

Mudah sekali dia membayangkan sebuah keharmonisan, bagaimana akan harmonis jika hatiku diporak-porandakan terlebih dahulu, dia bahagia sedangkan aku menangis memungut kepingan hati yang terluka, yang benar saja, dia mengatakan kami akan baik-baik saja.

"Jangan bermimpi Mas, kau sudah menghancurkan perasaanku, aku juga bukan wanita lemah yang akan diam ditindas begitu saja, aku akan mencari keadilan untuk diriku."

"Itulah ... Itulah yang akhirnya membuatku lelah denganmu, Sakinah. Andai Kau tidak memberontak tentu lebam itu tidak akan menempel di wajahmu," ujarnya sambil berlalu dan menertawakanku.

"Tertawa saja Mas, tertawalah sebelum kau menerima musibah yang besar di kantormu," ujarku, namun dia mengabaikannya.

Dari pintu kamar aku melihat dia berpapasan dengan kedua anaknya yang hendak berangkat sekolah, mereka menyapa, lalu Mas Yadi memeluk dan mencium kening mereka, kemudian mereka sarapan, sembari Mas Yadi memberi nasehat dan petuah seolah-olah dia adalah Ayah yang paling baik di dunia.

Munafik, menjijikkan!

Ya, Andai tidak memikirkan perasaan anak-anak, ingin sekali aku melempar kepalanya dengan asbak kaca seberat satu kilogram sehingga ia kembali waras.

Anak-anak pergi sekolah diantar oleh ajudannya sedangkan dia berniat untuk membawa mobil ke kantornya.

"Sakinah, berikan aku kunci mobil," perintahnya.

"Mengapa aku harus memberikannya?"

"Apakah aku harus menjelaskannnya, aku akan ke kantor!" ujarnya berteriak.

"Apakah ada jaminan bahwa mobil ini akan kembali ke rumah?"

"Tentu, tapi jika terjadi sesuatu yang mengesalkan di kantor sana, aku pastikan kau akan ku lempar ke jalanan," ancamnya.

"Sesukamu saja, Mas!"

Aku tidak perlu bersikap terlalu tegang karena dia tidak akan semudah itu memperlakukan aku dengan semena-mena, anak-anak tidak akan terima jika Mamanya diperlakukan dengan tidak adil, lagipula, surat-menyurat harta atas namaku.

Namun, aku teringat lagi, ini hari ketiga pernikahan sirinya, entah di mana mereka menyewa tempat, dan uang dari mana. Aku harus memastikan bahwa mas Yadi tidak menjual asetku atau berhutang atas nama kami.

Aku khawatirkan dia akan mengambil uang Bank tanpa sepengetahuanku, bisa saja wanita itu akan memanipulasi pikiran suamiku dan memerasnya demi ambisi menguasai harta.

*

"Mbak  Novita, saya ingin Mbak pergi ke kodim untuk melihat apa yang terjadi di sana," pintaku.

"Saya khawatir tidak bisa mendapatkan informasi apa-apa, Bu," ucapnya ragu.

"Apakah saya harus meragukan kemampuanmu mencari informasi? Saya yakin kamu sangat cerdik," ujarku.

"Saya hanya ...." Ya, dia memang tidak berwenang ke sana, dia pasti takut.

"Saya minta tolong,  buat alasan, sekalian bawa foto terbaru saya yang lebam dan kirimkan kepada penyidik, itu akan memukul telak argumen Mas Yadi."

Tentu, sudah berselingkuh, nikah tanpa izin, KDRT pula! Aku akan memastikan jika dia tidak dipecat, setidaknya dia akan menebus sebuah hukuman yang berat, bila perlu aku akan berusaha agar pangkatnya diturunkan sampai derajat yang paling rendah.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Widia Wati
masa aparat berpoligami
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status