"Halo, Di. Bisa kerumah sakit sekarang? Kondisi Mahesa menurun," jawab Mamah dengan suara panik.Aku dan Ibu saling berpandangan, rasa cemas langsung menyelusup dihatiku."Mas Mahesa kenapa, Mah?" tanyaku cepat."Nafasnya sesak, dia terus memanggil namamu," jawab Mamah dengan suara tersendat-sendat."Kamu datang ya, Nak. Mamah tunggu," Mamah langsung menutup sambungan."Mahesa kenapa, Di?" tanya Ibu."Tidak tahu, Bu. Mamah bilang nafasnya sesak," jawabku panik.Aku langsung beranjak dari kursi, Ibu menahan tanganku."Mau kerumah sakit?" "Iya Bu. Kasihan Mas Mahesa," jawabku cemas.Ibu menghela nafas, lalu melepas pegangan tangannya. "Sejujurnya Ibu tidak mau kamu repot-repot menguruh Mahesa. Laki-laki itu sudah keterlaluan menyakitimu," desah Ibu dengan wajah prihatin."Tapi ... mau bagaimana lagi, kamu masih istrinya," sambung Ibu, pasrah."Diana tidak apa-apa kok, Bu. Mungkin saat ini Mas Mahesa sedang menerima apa yang dia tuai," jawabku diiringi nafas panjang.Sejujurnya aku cuku
Pov Diana.Dokter menerobos masuk, berlari kecil kearahku."Sangga kepala pasien, Sus," titah Dokter saat melihat kondisi Mas Mahesa. Mata suamiku terbuka bola matanya terus berada disatu sisi, lidahnya terjulur keluar suara gemeletak giginya terdengar kuat.Aku bergidik ngeri, lidah Mas Mahesa mengucurkan darah. Sepertinya Mas Mahesa menggigit lidahnya sendiri."Pasang bantuan pernafasan, Sus," titah Dokter pada asistennya. Mas Mahesa mengerang, terdengar suara mengorok dari mulutnya.Mamah menangis histeris melihat Mas Mahesa, hatiku pun menjerit pilu melihat Mas Mahesa yang seperti sedang menghadapi sarakatulmaut.Ya Tuhan ... jika Mas Mahesa bisa bertahan, mungkin aku bisa memaafkan dan membersamai dirinya lagi.Dokter melepas kancing baju Mas Mahesa, juga memiringkan tubuhnya. Dua menit dalam keadaan tegang akhirnya tubuh Mas Mahesa berangsur tenang."Tolong selalu awasi pasien. Jangan ditinggal sendirian," ucap Dokter setelah memastikan keadaan Mas Mahesa baik-baik saja."Kenapa
"Apapun bisa aku lakukan," sambungnya sambil menghembuskan nafas diwajah dan mencium pipiku dengan tatapan mesum dan senyum menyerigai. Aku beringsut sedikit menjauh, bau nafasnya membuat perutku bergejolak. "Saya ingin bebas, tolong saya," ucapku dengan suara terbata. "Nanti malam, datang kelorong disebelah kiri. Jam satu dini hari," sahutnya masih dengan senyum menjijikan. "Makanlah, kau butuh tenaga extra untuk nanti malam," sambung laki-laki itu sebelum keluar dari pintu. Aku bergidik ngeri, menepis kasar wajah dan pipi bertubi-tubi. Rasanya menjijjkan sekali, tapi aku butuh bantuannya. Dengan tangan bergetar, aku mengambil plastik makanan itu. Mataku berbinar saat melihat banyaknya makanan favoritku didalam plastik. Fikiran melayang, tak terasa meraba perut yang dulu pernah berisi seorang bayi. Bagaimana kabar bayi itu, saat melahirkannya aku bahkan sama sekali tidak memberinya asi. Sesungguhnya, aku ingin merawatnya beberapa hari. Tapi Ibu, tentu saja tidak menyetujuinya.
Makan siang kami lewati dengan suka cita, meja makan kembali hangat, derai tawa yang dulu sempat hilang kini telah kembali lagi."Ingat ... kamu harus banyak istirahat, jangan banyak fikiran. Nanti kalau sudah benar-benar sembuh, kamu boleh memimpin lagi perusahaan," ucap Mamah sebelum pamit pulang."Iya, Mah. Makasih ya," sahut Mas Mahesa. Mamah tersenyum simpul."Kamu juga, Di. Jangan terlalu lelah, perhatikan kesehatanmu sendiri. Kalau perlu pakai jasa baby sister untuk menjaga Mahesa," ucap Mamah diselingi kekehan kecil."Iya, Mah." sahutku. "Mamah nginap saja disini, pasti capek bulak-balik. Besok baru pulang," tawarku."Tidak apa, Di. Dirumah lebih nyaman istirahatnya," sahut Mamah. Aku hanya tersenyum sambil menganggukkan kepala."Makasih ya, Di. Mamah bersyukur punya menantu sebaik kamu," Mamah tersenyum hangat."Sama, Mah. Aku juga bersyukur punya mertua sebaik Mamah," balasku sambil memeluknya."Kenapa, Mah? Kok nangis?" tanyaku saat merasa tubuhnya bergetar."Tidak apa, Mam
Pov Anitta."Gimana, Bu. Sudah terjual mobilnya?" tanyaku penuh harap. Hari ini adalah hari kesepuluh saat aku memintanya menjual mobil."Sudah ..." sahut Ibu diiringi nafas panjang. Aku menautkan alis dari gelagat dan raut Ibu, aku melihat ada kejanggalan disini."Mobil Ibu jual murah, yang penting bisa terjual cepat." sambungnya."Laku berapa?" Tanyaku langsung."200 juta, Nitt," jawab Ibu dengan wajah lesu."Loh gimana ceritanya, mobil Pajero sport itu pasaran masih 400 jutaan Bu. Apa lagi masih mulus tanpa gores sedikit pun. Ibu jual sama siapa?" cecarku kesal. Yang benar saja, masa iya mobil kesayanganku laku setengah harga."Ya ... mau bagaimana lagi. Jual mobil itu susah Nitt, tidak seperti jual emas bawa ketoko langsung jadi uang," suara Ibu naik satu oktaf. Aku mendengkus kesal, ini pasti ada apa-apa. Masa iya mobilku semurah itu."Sekarang uangnya mana?" Tanyaku."Ada, aman di Atm." jawabnya."Ya sudah, mana Atmnya?" Aku menyodorkan tangan."Kamu buat apa dipenjara pegang Atm
Pov Diana.Suara bel rumah mengusik ketenanganku dengan Mas Mahesa. Aku segera beranjak dari sofa berjalan untu membuka pintu utama."Mah ..." Aku tersenyum tipis saat melihat kedatangan Mamah Hana."Kurang ajar sekali perempuan liar itu, bukti sudah didepan mata. Masih saja berkelit-kelit," gerutunya sambil berjalan melewatiku. Aku yang mengerti maksud ucapannya, hanya bisa mengekori dari belakang."Nasib Mamah buruk sekali bisa bertemu dengan orang seperti itu, Di." Keluhnya sambil menjatuhkan tubuh diatas sofa."Gimana, Mah. Sidangnya?" tanya Mas Mahesa sambil melipat koran yang tadi dia baca, lalu menaruhnya dibawah meja."Nyebelin!" sembur Mamah. "Ngeles aja kaya belut. Kesel banget Mamah," gerutunya."Ngeles gimana, Mah?" tanyaku penasaran."Dia masih ga mau ngaku. Padahal ada saksi mata, Dokter yang kemarin itu, dia sudah meluangkan waktu untuk datang dipersidangan pagi tadi." jawab Mamah panjang lebar.Mas Mahesa menyimak dengan antusias, sesekali dia mimijat pelipisnya."Ming
ByurrrLimpahan air menerjang wajah, aku tergelagap dengan nafas terengah-engah."Hm ... saya bilang apa? Dia terlalu manja, dikit-dikit pingsan!" cibir seorang petugas wanita sambil berkacang pinggang.Dengan kasar, aku menyeka sisa air yang menempel diwajah. Hatiku pilu diperlakukan serendah ini."Bersihin sisa airnya! Jangan manja. Atau saya pindahkan ketahanan yang penghuninya sapleng semua." ketusnya dengan senyum miring menyerigai.Tubuhku benar-benar lemas, mata berkunang saat mencoba bangkit dari atas lantai."Cepeeet. Lelet banget!" Petugas bermana Mira itu menarik kasar, lalu mendorong keras hingga tubuhku hingga mendarat kencang disudut tembok."Lelet!!" cebiknya sembul meninggalkan ruang tahananku."Dia emang terkenal brutal. Ga punya perasaan. Kalau dia lagi kontrol, jangan sesekali memasang wajah sakit. Dia ga suka," jelas Ira tanpa aku minta.Aku hanya diam, mata memanas menahan bulir air mata."Sana ganti baju, nanti masuk angin." Titahnya, sok perhatian.Aku menganggu
"Mas ..."Langkah Mas Mahesa terhenti mendengar panggilanku.Mamah menatap jengah, Diana menampilkan wajah datar berpura tak melihat kehadiranku.Sombong sekali, perempuan tua itu. Merasa menang dariku? Tak tahu malu.Mas Mahesa mengangguk kecil pada dua perempuan busuk itu, Mamah menatap khawatir, tapi akhirnya pergi juga bersama Diana."Ada apa?" tanyanya datar, tanpa melihat wajahku. Tangannya sibuk merapihkan dasi yang menjerat dilehernya."Aku ..." mata ini memanas, melihat perubahannya. Mas Mahesa melirik sekilas, menghela nafas panjang."Katakanlah, aku tidak punya banyak waktu. Mamah dan istriku sudah menunggu diluar," ucapnya sambil menatap lurus kearah pintu, dimana berdiri Mamah Hana juga Diana."Aku juga istrimu," sahutku dengan suara parau. Mas Mahesa terkekeh, lalu menatapku tajam."Istriku?" tanyanya dengan tatapan mengejek. "Oh ya ... kau benar. Aku belum mengucap talak untukmu," sambungnya dengan senyum tipis."Mas ..." selaku dengan wajah memelas."Aku minta maaf, su