Share

Bab 4 Sinyal Baik

Semua mata tertuju pada Kasih yang sedang membacakan puisinya diiringi petikan gitar. Tentu saja Kala tak akan melewatkan perform Kasih kali ini. Ia selalu berada di tempat yang sama dan masih memakai seragam sekolahnya. Kasih pun mengakhiri performnya dengan lagu kuingin kau tau dari the overtunes. Sebelum menuruni panggung Kasih tersenyum manis pada Abadi yang seolah mengatakan bahwa performnya kali ini khusus untuk Abadi. Ya entah bagaimana Abadi bisa terduduk di cafe semesta. Setelah menuruni panggung Kasih pun mencoba mencari Abadi, namun ia tak lagi melihatnya. Yang ia temui justru kala yang tengah tersenyum manis padanya.

"Hai, Kasih."

"Eh elu, lihat cowok yang tadi duduk di sini nggak?"

"Nggak tau, gue kan tadi cuma merhatiin elu. Emang siapa tu cowok?"

"Bukan siapa siapa. Btw ngapain lu di sini?"

"Lah kan gue fans pertama lu yang selalu setia melihat perform lu secara suka rela."

"Iya deh iya percaya gue."

"Btw lu pulang naik apa?"

"Angkot kayaknya."

"Lah motor lu kemana kas?"

"Tadi pas gue mau berangkat bannya bocor. Yaudah gue bareng nyokap gue aja."

"Mau nebeng gue nggak."

"Ogah ah ngerepotin."

"Yaelah santai aja kali."

Saat Kasih ingin menanggapi perkataan kala, maya pun datang menghampiri Kasih.

"Kasih."

"Eh mama, mama ngapain di sini?"

"Mama jemput kamu lah."

"Tadi katanya mama mau lembur."

"Nggak jadi mama kepikiran sama kamu. Nanti aja dikerjain di rumah."

"Yaudah nanti Kasih bantuin."

"Ini, Abadi ya?"

"Ih mama bukan."

"Kala tante." Kata kala memperkenalkan diri sambil menjabat tangan Maya.

"Eh maaf ya tante salah orang."

"Iya tante nggak apa apa."

"Wah ternyata anak mama banyak juga ya yang minat."

"Diskon kali Ma, pulang yuk. Kala gue balik dulu ya."

Kasih pun segera mengajak mamanya pulang sebelum mamanya membongkar banyak hal tentang dirinya.

"Tante duluan ya Kala."

"Iya tante hati hati ya. See you Kas." Kata Kala yang dibalas senyum manis maya dan anggukan dari Kasih.

Malam pun tiba dan Kasih menepati janjinya untuk membantu pekerjaan mamanya. Tiga jam sudah berlalu semenjak ia membantu mamanya.

"Kasih, kamu nggak ada tugas ya?"

"Nggak ada Ma. Tahu tuh Kasih juga heran bisa gitu nggak ada tugas sama sekali."

"Ya mungkin masih hari tenang karena kamu kan baru masuk sekolah. Masih pemanasan kali."

"Udah kayak olahraga aja Ma. Ada pemanasan segala."

"Oh iya yang tadi itu temen kamu siapa namanya? Mama lupa."

"Oh si Kala ma."

"Oh Kala, kayaknya dia suka deh sama kamu."

"Ih nggak mungkin lah Ma. Lagian Kala itu adek kelas Kasih, ya kali Kasih suka sama berondong."

"Apa salahnya sama adek kelas Kasih? Lagian kamu cuma selisih setahun masak dibilang berondong. Kalo kamunya kuliah terus pacar kamu anak SMP baru tuh doyan berondong."

"Hahaha mama tu bisa aja ya."

"Kelihatan banget lho Kas kalo dia suka sama kamu, percaya deh sama mama."

"Ih mama dukung aku sama Abadi atau sama Kala sih."

"Ya kali aja kamu udah nyerah gitu sama Abadi. Kan bisa sama Kala."

"Kala jadi pelampiasan dong. Mama kok ngajarin yang nggak bener sih."

"Iya iya maaf mama bercanda sayang. Lagian mata kamu udah merah gitu, pasti ngantuk kan."

"Tapi ini kan belum selesai semua ma."

"Udah nggak apa apa. Kamu mau bantuin aja mama udah seneng."

"Yaudah Kasih tidur dulu ya. Night mama." Kata Kasih sambil mencum pipi mamanya.

***

Keesokan harinya Maya dikejutkan oleh Kasih yang sedang membuat kopi di dapur.

"Kamu pagi pagi mau minum kopi? Perasaan yang begadang kemarin mama."

"Ini buat Abadi ma. Kasih mau ngembaliin kopi Abadi yang Kasih tumpahin."

"Oh gitu, oh iya sayang motornya udah bisa ya tadi mama minta tolong orang buat nambal ban motor kamu."

"Makasih mama."

"Oh iya itu mama siapin bekal buat kamu juga. Dibawa ya."

"Ih tumben mama baik banget sama Kasih."

"Iyadong sayang, mama bakal sering bawain kamu bekal biar nggak telat makan kamu."

"Mama nggak usah khawatir kalo soal makanan Kasih. Di perut Kasih ini bisa menampung apapun. Mama berangkat gih, nanti macet lho."

"Iya mama berangkat dulu. Kamu hati hati ya nanti. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikumsalam, mama juga hati hati." Teriak Kasih.

***

"Abadi." Teriak Kasih.

Sesampainya Kasih di sekolah tanpa diduga ia melihat Abadi yang beranjak pergi dari parkiran motor. Karena ia tidak mau kehilangan jejak Abadi lagi, ia pun memanggil Abadi dengan suara yang lantang.

"Lu siapa?" Tanya Abadi.

"Lu pinter tapi pikun ya. Gue Kasih."

"Oh Kasih. Mau ngapain ya?"

"Nih gue mau ngasih lu kopi. Tapi"

Kasih pun tak melanjutkan perkataannya karena ia melihat Abadi saat ini tengah meminum kopi buatannya. Oh my god mimpi apa gue, kok bisa dia berubah sedrastis itu. Napa Abadi jadi baik gini yak. Kata Kasih dalam hati.

"Makasih ya kopinya enak. Gue suka." Kata Abadi sambil tersenyum. Kasih pun dibuat cengo oleh senyumannya. Bagaimana tidak ia masih tak membayangkan bisa melihat senyum Abadi yang jarang ia tunjukan. Bahkan Abadi senyum telat dihadapannya.

"Tapi waktu itu yang gue jatuhin americano, gue pikir lu nggak suka minum latte makanya tadi gue sedikit khawatir."

"Oh iya tapi gue lebih suka latte kok."

"Abadi, kok gue ngerasa lu beda banget ya. Gue itu pernah seharian ngejar ngejar elu cuma buat balikin duit 10ribu daripada gue gantiin kopi. Tapi lu kasar banget sama gue, rada ngegas lagi ngomongnya."

"Masak sih? Kok gue nggak inget ya? Mungkin karena gue lagi banyak pikiran kali ya jadi rada kasar ke elu dan mungkin karena itu juga gue belinya americano bukan latte."

"Iya juga ya. Gue nggak kepikiran sampai situ sih."

"Maaf ya kalo gue sempet kasar sama lu. Btw makasih lattenya gue ke kelas dulu. Udah mau bel."

Kasih pun hanya menanggapi ucapan Abadi dengan seyuman manis dan anggukan kepala.

Gila tu anak kenapa jadi baik banget sih? Kesambet apa coba? Eh bukannya ini sinyal baik ya buat gue, jadi gue ada peluang buat deketin Abadi. Tapi kok rasanya ada yang ngeganjel gitu ya. Perubahan Abadi itu terlalu cepat.

Kasih yang tengah berdebat dengan pikirannya pun harus berhenti karena bel masuk sekolah telah berbunyi.

"Bodo amat, yang penting gue nggak punya hutang lagi."

Tapi kalo hutang gue udah lunas, gue nggak ada alasan buat dekatin Abadi dong. Duh bego banget Kasih. Kenapa gerakan tangan gue lebih cepat dan otak gue sih.

***

 “Kas, lu kenapa sih?” tanya Sedia.

Hari ini Sedia memang sengaja duduk di sebelah Kasih karena teman sebangku Kasih tidak masuk sekolah. Senja? Mana peduli dia, yang terpenting bagi Senja adalah lingkungan yang nyaman untuk dia fokus belajar. Saat ini sedang berlangsung pelajaran matematika dengan guru yang sangan killer. “Kas... Kasih!” bisik Senja pelan namun tidak dijawab oleh Kasih.

Yang sedang Kasih lakukan saat ini adalh melihat papn tulis dengan tatapa kosong. Entah apa yang memenuhi pikirannya.

 “Woi Kasiih!” Teriak Sedia tanpa sengaja dan mengagetkan seluruh penghuni kelas tak terkecuali guru matematika.

Kasih yang mendengar teriakan keras Sedia pun kaget dan memandang Sedia dengan tatapan bingung.

 “Kamu yang teriak dan teman yang kamu panggil keluar sekarang juga!” Perintah guru matematika.

Sedia yang mendengar perintah guru matematika itu pun segera berdiri melewati Kasih sambil melemparkan tatapan membunuhnya. Kasih pun yang merasa bersalah segera mengekor Sedia. Ketika mereka sampai di depan kelas, mereka meminta maaf kepada guru matematika dan keluar dari kelas. Kasih masih mengekor Sedia hingga tanpa sadar ia sampai di koridor dekat kantin.

 “Waah akhirnya gue bisa keluar juga.” Kata Sedia dengan ceria berbanding terbalik dengan ekspresinya ketika keluar kelas tadi. Tatapannya seakan siap menerkam Kasih hidup-hidup.

 “Apa-apaan nih kok lu seneng?”

 “Senenglah akhirnya gue bisa ke kantin. Lapar banget perut gue belum sarapan.”

 “Jadi lu dari tadi ngerjain gue? Gila, udah was-was aja gue kirain bakal kena semprot dari lu.”

 “Yee ngapain juga. Makan yuk Kas, lapeer.” Kata Sedia sambl menarik lengan Kasih.

Sedia dan Kasih pun memesan nasi pecel untuk sarapan.

 “Di, lu yakin mau makan di kantin? Tar kalo keciduk sama terus masuk BK gimana? Ogah gue.”

 “Yaelah santai Kas. Lu kira gue ngajak lu bolos tanpa pertimbangan.”

Kasih yang mendengar penjelasan Sedia pun semakn penasaran. Hal gila apa lagi yang akan dilakukan Sedia. Dan betapa terkejutna Kasih melhat Sedia duduk lesehan di bawah meja tempat ibu penjual nasi pecel.

 “Lu mau ngapain di situ?”

 “Makan lah.”

 “Di kolong meja?”

 “Ini tempat teraman Kas. Udah jangan ngomong mulu lu. Perut gue makin keroncongan.”

Kasih pun dengan sedikit terpaksa mengikuti Sedia. Kash bahkan masih sempat memnta izin ibu penjual nasi pecel. Untung saja si ibu baik hati.

 “Di, kalo gue pikir-pikir sekali lagi nih kok gue ngerasa dimanfaatin ya. Mana kalo keingat itu cara mata lu lihat gue, pengen gue colok.”

 “Nah elu mata ke papan tulis pikiran ke yang lain.”

 “Kalo gue nggak melamun sekali pun, lu pasti tetap teriakin nama gue kan? Mana berani lu teriakin nama Senja.”

 “Iya elu lah siapa lagi. Takut gue kal Senja. Takut nggak dicontekin hahaha.”

Setelah selesai makan, Kasih pun bingung kemana lagi tujuannya kali ini. Sedangkan jam istirahat masih 1 jam lagi.

 “Di, tanggung jawab dong. Mau kemana nih? Masih sisa satu jam.”

 “ke lapangan yuk.”

 “Ngapain?”

 “Kelas Bang Magenta kan hari ini olahraga. Ya walaupun waktunya udah habis, tapi biasanya Abang main basket dulu sama Abadi.”

Mendengar kata Abad membuat mata Kasih berbinar. Sorot mata itu tak luput dari penglihatan Sedia.

 “Gila lu seriusan suka sama Abadi. Sampai segitunya dengar nama Abadi doang.”

 “Yuk!” Ajak Kasih sambil melingkarkan lenngannya ke lengan Sedia.

 “Kemana?”

 “Lihat Abadi main basket.”

Sedia pun menghembuskan nafas berat dan mengikuti setiap langkah Kasih. Ya hitung-hitung membayar hutang budinya pada Kasih yang suda menemaninya bolos.

 “Dia, lu bohong ya? Mana si Abadi? Nggak ada tuh.”

 “Ya mana gue tahu. Lu kira gue emaknya.”

 “Yaah mau ngumpet kemana dong kita?”

 “Perpus aja yuk Kas!”

 “Ngapain ke perpus, yang ada gue ngantuk.”

 “Emang tujuan gue mau tidur.” Jawab Sedia sambil berjalan menuju perpustakaan dan meninggalkan Kasih yang masih mencerna perkataannya. Kasih pun segera mengikut Sedia.

Sesampainya di perpustakaan Sedia pun menuju tempat paling belakang yang nyaman untuk tidur. Namun anehnya kali ini Sedia tidak mengantuk. Pemandangan di sebelahnya membuat rasa kantuknya menghilang seketika. Lagi-lagi ia melihat Kasih sedang melamun.

 “Kas, lu mikirin apaan sih? Tadi di kelas juga lu ngelamun mulu?”

 “Abadi.”

 “Astaga bucin banget sih lu.”

 “Nggak masalah bucin. Gue tadi pagi kan bawa Americano coffee buat Abadi, dan lu tahu apa yang dilakukan Abadi? Dia senyum ke gue anjir, dia jelasi kenapa selama ini kasar ke gue.”

 “Serius lu? Tumben si Abadi baik banget?”

 “Dan begonya gue kenapa gue ngasih kopinya hari ini. Kan jadi nggak ada alasan gue buat dekat sama Abadi lagi.”

 “Itu doang yang lu pikirin dari tadi?” Tanya Sedia yang dijawab anggukan pelan.

 “Kasiih lu polos apa pura-pura polos sih. Mungkin pertemuan pertama lu sama Abadi itu kebetulan doang. Dan lu mau berharap berapa banyak kebetulan itu bakal datang ke elu? Usaha dong Kas. Bikin momen yang bisa lu lalui sama Abadi. Kayak si Senja tuh. Gila sekutu bukunya Senja dia masih paham sama masalah beginian. Nah elu yang puitisnya setinggi gunung malah nggak ngerti.”

 “Jadi intinya gue harus ngejar Abadi nih? Kok kesannya gue murahan banget ya.” Jawab Kasih yang dibalas Sedia dengan tamparan pelan di bibirnya

 “Woi, itu mulut dijaga. Ya kalo dekatin jangan terlalu agresif Kas. Bikin momen sealami mungkin. Atau bikin Abadi notice keberadaan lu.”

 “Iya iya gue usahain.”

 “Btw kenapa lu bisa naksir sama manusia se-freak Abadi sih.”

 “Karena gue cerita ke mama tentang Abadi. Dan mama bilang gue suka sama Abadi.”

Penjelasan polos Kasih pun membuat Sedia tertawa terbahak-bahak hingga seluruh penghuni perpustakaan melihatnya. Sedia yang sadar bahwa keberadaannya di perpustakaan mulai terancam, ia pun bergegas meminta maaf. 

 Tanpa Kasih dan Sedia sadari di rak bagian paling belakang, terlihat Abadi sedang tersenyum sinis setelah mendengarkan semua perakapan Kasih dan Sedia.

 “Menarik.” Kata Abadi sambil tersenyum sinis dengan tatapan tajam seperti biasa. Namun ada sedikit yang berbeda dari tatapannya. Di matanya terpancarkan aura kejahatan yang tak pernah Nampak di mata Abadi sebelumnya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status