Share

Chapter 6: Kapan Hamil?

Audrey dan Devian sekarang tengah menuju ke rumah mamanya Devian. Hari ini ada acara keluarga besar yang harus Devian dan Audrey hadiri.

Sebenarnya, Audrey sangat malas untuk datang dan menghadiri acara tersebut.

Bukan apa-apa, Audrey sangat malas ditanya, kapan punya anak? Kalian tidak menundanya bukan? Mama sama papa tak sabar ingin menggendong cucu kami. Semua pertanyaan seperti itu membuat Audrey stress memikirkannya.

Dia sangat ingin sekali memiliki anak, tetapi Tuhan belum mempercayakan mereka berdua. Audrey seringkali mengajak Devian untuk mencoba berkonsultasi, tetapi Devian tidak mau dan merasa mereka sehat-sehat saja.

Devian juga bilang itu semua sudah ketentuan dari yang Maha Kuasa, tugas kita hanya bersabar menunggu.

"Mas ..." panggil Audrey.

"Kenapa, Sayang?" tanya Devian sambil mengecup tangan Audrey dengan mesranya.

"Aku takut pasti Mama menanyakan lagi soal anak," keluh Audrey.

"Kamu jangan takut yah, aku bakalan ada di samping kamu terus." Aiden berusaha menenangkan kegundahan Audrey.

"Mas aku takut kalau aku man-"

"Audrey tolong, aku nggak pengen denger kamu ngomong kayak gitu. Kita berdua sehat, kamu meragukan takdir yang Tuhan rencanakan?" tanya Devian mulai geram mendengar Audrey mengucapkan kata yang tak seharusnya.

"Aku cuma takut, Mas. Kita nggak ada yang tau, aku sering ngajak kamu buat periksa dan konsultasi tapi kamu sering menolak," ujar Audrey sambil memandang keluar jendela mobil.

'Aku bukannya nggak mau, Audrey. Tapi aku takut kenyataan itu menyakiti kamu, Sayang,' batin Devian.

"Udah aku nggak pengen kita bahas ini, nanti ujung-ujungnya kita berdebat satu sama lain. Tetap berpikir positif aja, kalau kamu percaya Tuhan itu ada, maka ikuti alurnya dan sabar menunggu," ucap Devian ingin menyudahi pembicaraan yang tak ada habisnya.

Setelah beberapa menit menempuh perjalanan, tibalah Audrey dan Devian di rumah yang sangat megah dan terlihat mewah dari luar, apalagi di dalamnya. Orang-orang mungkin akan terkesima dan bertanya-tanya, berapa miliyar uang yang dikeluarkan untuk membangun rumah megah itu?

"Assalamualaikum," salam Audrey dan Devian bersamaan.

"Wa'alaikumussalam," jawab anggota keluarga Devian, termasuk mertua Audrey.

Audrey dan Devian pun masuk ke dalam dan bergabung dengan anggota keluarga yang lain. Audrey duduk di samping Devian dan tak ingin jauh-jauh dengannya.

"Audrey sini, Sayang," panggil mama mertua Audrey. Audrey yang mendengar dirinya dipanggil, langsung saja menatap Devian dengan pandangan takut. Tetapi Devian mengatakan agar Audrey menuju mamanya dan dia akan memantau Audrey dari tempat duduknya.

"Iyah Ma, ada apa?" tanya Audrey yang sudah duduk di samping Mama mertuanya.

"Usia pernikahan kalian sedikit lagi satu tahun bukan?" tanya Dilla, Mama mertua Audrey. Audrey hanya menganggukkan kepalanya. Untung saja di sini hanya ada Audrey dan Dilla, kerena anggota keluarga yang lain sedang menikmati hidangan. Kalau tidak Audrey akan malu ditanya seperti itu. Audrey sudah bisa menebak pertanyaan apa yang akan Mama mertuanya itu lontarkan.

"Kapan kalian mau punya anak?" tanya Dilla sambil menatap Audrey. Audrey sudah mengira pasti pertanyaan ini yang akan Dilla tanyakan.

"Kami masih berusaha, Ma. Mungkin Tuhan belum mempercayai kami," jawab Audrey berusaha tenang.

"Kamu tau bukan, kalau Devian itu anak tunggal? Keluarga kami butuh penerus dan kami juga tak sabar ingin menimang cucu pertama kami, Audrey," jelas Dilla.

Audrey hanya terdiam dan ingin sekali dirinya menjerit mengatakan bahwa, dia juga ingin mempunyai anak. Tetapi, kenapa semua orang tidak mengerti dan terus saja mendesaknya?

"Aku juga anak tunggal kalau Mama tau itu. Tetapi orang tuaku tak pernah memaksa dan mendesakku," ucap Audrey dalam hatinya.

"Apa kamu sudah mengajak Devian untuk berkonsultasi dengan dokter?" sambung Dilla bertanya lagi.

"Be-belum, Ma. Mas Vian nggak mau kalau aku ngajak ke dokter," ungkap Audrey.

"Kalian harus berkonsultasi, Audrey! Mama takut kalian gak bisa punya anak. Mama rasa Devian sehat-sehat saja," ucap Dilla.

"Terus Mama menganggap aku yang bermasalah gitu?" tanya Audrey mulai geram dengan perkataan mama mertuanya itu. Dilla menganggap seolah-olah dirinya lah yang bermasalah.

"Yah mungkin saja. Makanya kalian harus berkonsultasi untuk mengetahui, kenapa sampai sekarang kamu belum hamil," jawab Dilla memaksa kehendaknya.

"Ma, itu semua Tuhan yang menentukan. Kita cuma bisa berencana dan sabar menunggu hasilnya," ucap Audrey berusaha sabar menghadapi mama Mertuanya itu.

"Udahlah, susah memang ngomong sama orang keras kepala. Mama bakalan desak Devian supaya kalian periksa ke dokter. Mama bukannya mau ikut campur dengan urusan rumah tangga kalian, tapi Mama iri lihat teman-teman Mama yang sering pamer cucu-cucu mereka," ucap Dilla dengan sedih.

Audrey hanya diam dan bingung dengan semuanya. Dirinya butuh ketenangan bukan desakkan yang membuat pikirannya tak pernah tenang.

"Sayang, aku lapar," ucap Devian menghampiri istrinya.

"Ya udah, ayo aku temani Mas makan," ucap Audrey. Audrey bersyukur Devian menyelamatkan dirinya dari mama mertuanya yang terus saja merecoki dirinya.

"Ma, Devian ambil istri Devian dulu yah, nanti lagi kalau mau ngobrol," ucap Devian.

"Iyah, Mama mau nanti malam kalian menginap di sini," ucap Dilla sambil menatap anak dan menantunya. Audrey langsung menatap Devian dengan tatapan meminta Devian menolaknya.

Devian pun mengerti dan berucap, "Ma, besok Vian harus kerja. Jadi kapan-kapan aja yah kami nginapnya."

"Mama maunya kalian menginap malam ini! Apa kamu udah nggak sayang lagi sama Mama, Vian? Kamu beberapa bulan ini seolah-olah menghindari kami, sebenarnya ada apa dengan kalian hah?"

"Bukan gitu Ma, Vian emang sibuk. Bukan bermaksud mengindari kalian," jawab Devian kepada Mamanya itu.

"Ya udah, kalau kalian nggak ada apa-apa sama kami, kalian harus menginap di sini! Nggak ada bantahan lagi. Kami ingin menikmati waktu dengan kalian Devian, kenapa kamu sebagai anak tak mengerti itu?" tanya Dilla dengan ekspresi sedih. Devian pun tak punya pilihan lain selain mengiyakan permintaan Mamanya itu.

Sedangkan Audrey menghembuskan nafasnya yang berat dan lelah. Pasti mama mertuanya itu akan membicarakan tentang konsultasi kepada dokter. Audrey sudah pasrah dengan keadaan.

Sekarang Audrey tengah menemani Devian makan. Audrey menatap makanannya dengan tak berselera dan sesekali menghembuskan napas dengan berat.

"Sayang, kok makanannya cuma diaduk? Kamu kenapa hem?" tanya Devian berhenti menyuapi makanan di mulutnya.

"Aku terterkan dengan desakkan keluarga kamu, Mas," jerit Audrey di dalam hatinya.

Audrey masih saja bungkam dan matanya memerah menahan tangis.

"Apa ini tentang perkataan mama? Kalau memang benar, kamu hanya perlu menutup telinga seolah-olah itu hal yang tidak penting, Sayang," lanjut Devian.

"Menutup telingaku? Kamu pikir ini perkara yang mudah dan harus disepelakan, Mas. Keluarga kamu mendesak aku terus-menerus untuk memberikan mereka bayi. Apa mereka tidak punya perasaan dan otak terus saja menanyakan itu?" Audrey mengeluarkan seluruh unek-uneknya yang dia sendiri pun sudah tak tahan.

"Mereka pikir aku tidak ingin punya anak? Aku LEBIH SANGAT INGIN! Tapi Tuhan masih belum mempercayai aku untuk menjadi seorang ibu. Aku lelah," lanjut Audrey dengan nada pelan dan mirisnya.

Devian langsung membawa Audrey ke dalam pelukannya memberikan kekuatan. Devian juga ikut merasakan apa yang dirasakan Audrey. Masalah Audrey, masalah dia juga. Audrey yang sakit, dan Devian juga ikut merasakannya.

"Kita cari solusi sama-sama yah, Sayang. Kamu kuat, aku percaya itu," bisik Devian menenangkan Audrey.

Ini semua tentang waktu dan takdir yang ditetapkan oleh Tuhan. Aku menginginkannya, tetapi kalau Tuhan sudah berkehendak lain, aku bisa apa? Audrey Valencia.


To be countinue


Gimana perasaan kalian kalau didesak terus dengan pertanyaan punya anak? Pasti sangat bingung karena itu sudah ketentuan dari Tuhan. Itu yang dirasakan Audrey.

Jangan lupa dukung author dengan memberikan komentar, supaya authornya semangat yah.

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status