Share

Kau Jandakan Aku, Kududakan Dirimu
Kau Jandakan Aku, Kududakan Dirimu
Penulis: Dwi Nella Mustika

Part 1. Bukan Makan Siang Biasa

"Ratna!" Kamu bisa nyapu nggak, sih? Gitu aja nggak becus!" Suara cempreng yang kuyakin berasal dari mertuaku menggema di seluruh penjuru rumah.

Kuhentikan aktivitas tersebut dan menoleh padanya. Perempuan yang sudah berumur 55 tahun itu berjalan mendekat ke arahku yang berdiri dekat sofa single di ruang tamu.

"Maaf, Ma." Ada rasa ngilu di sanubari ini saat mama mertua tak pernah berujar dengan lembut padaku.

"Nyapu itu jangan lembek, gemulai-gemulai nggak jelas, tuh lihat nggak bersih jadinya!" protesnya diiringi dengan nada bicara yang meninggi. Bukan mulutnya saja yang berbicara, telunjuknya pun ikut bermain sembari berkacak pinggang.

"Iya, Ma. Aku akan terus belajar biar menyapunya semakin bersih," jawabku pasrah.

"Jangan iya-iya aja. Masa pekerjaan gampang begini masih juga diajarkan!" umpatnya sembari menyentak kasar tangkai sapu dalam genggamanku.

"Tuh. Begitu! Ngerti nggak? Kalau diajarin itu nyimpen dikit kek ke otak, jangan asal angguk-angguk aja!" bentaknya lagi. Perempuan berkulit sawo matang itu pun menyerahkan kembali tangkai sapu itu dengan kasar padaku setelah memperagakan cara menyapu yang benar menurutnya. Padahal, sama saja. Tak ada ubahnya.

"Iya, Ma. Ratna ngerti. Maafin Ratna," sahutku sopan.

"Nggak usah sok lembut ucapanmu. Di dalam hati kamu dendam 'kan sama saya? Ingat ya, Ratna, kamu itu banyak hutang budi sama saya. Kamu tidak akan makan enak, tidur enak kalau bukan karena anak lelaki saya. Kerjaan kamu cuma leyeh-leyeh sama cuma bisanya menadah tangan pada Bram. Nggak akan bisa tahu urusan rumah tangga kalau bukan saya yang ajarin kamu. Mana ada mertua di luar sana mengajari menantunya. Masih termasuk beruntung kamu punya mertua seperti saya," celoteh mertuaku tanpa henti, membuat hatiku bak tersayat belati.

Mendadak, terdengar suara deru mobil memasuki halaman rumah, membuat pandanganku dan mama mertua teralihkan. Begitu melihat sosok Mas Bram, suamiku, masuk ke ruang tamu, detak jantungku semakin tak karuan. Kenapa dia harus pulang di saat yang tidak tepat?

"Lho, ada apa, Ma? Ada masalah?" tanya Mas Bram saat sampai di ambang pintu utama yang terbuka lebar. Mas Bram memang paham bagaimana bahasa tubuh mamanya, dia pasti tahu mertuaku itu baru saja menegurku.

Dia mengalihkan pandangan padaku sembari melepas sepatu kets-nya. Suamiku itu baru pulang dari olahraga, rutinitas yang dia lakukan setiap akhir pekan.

"Nih, istri kamu, Bram. Dikasih tahu malah ngelawan mama. Ini nih akibat perempuan terlalu meremehkan pekerjaan rumah tangga. Mentang-mentang dulunya wanita karier, punya power giliran diajarin malah ngeyel."

Mendengar hal tersebut, Mas Bram melemparkan pandangan tidak suka ke arahku. "Kamu apaan sih, Rat? Harusnya kamu bisa seperti mama. Ulet dalam urusan rumah tangga. Semuanya beres, beda sama kamu. Apa-apa kudu dikasih tahu dulu!" Deretan kata yang keluar dari mulut mas Bram semakin membuat luka di dalam sini yang tak pernah kering.

"Mas, bu-bukan gitu. A-aku nggak…."

"Nah, kamu lihat 'kan? Mana mau perempuan egois seperti dia mau mengakui kesalahannya?" potong mama membuat Mas Bram semakin menatapku dengan penuh amarah.

"Mas, tolong dengar dulu penjelasan aku," pintaku dengan wajah memelas, memohon pengertian dari suamiku itu.

"Sudah, cukup, Rat! Aku tidak mau mendengarkan sepatah kata dari mulutmu lagi. Kamu tinggal di rumah mamaku, harusnya kamu ikuti saja peraturan di rumah ini. Lebih baik sekarang kamu ke dapur, siapkan makan siang dan rapikan rumah ini karena akan ada tamu penting yang datang. Jangan sampai kamu teledor dan membuat aku malu!"

Mas Bram pun berlalu dari pandanganku. Tak lupa dia suguhkan tatapan nanar saat berjalan di depanku menuju kamar. Sedangkan, perempuan yang bergelar mertua itu tampak tersenyum puas.

Ada apa dengan dirimu, Mas? Kenapa tidak pernah mau mendengarkanku? Aku istrimu, bukan orang asing. Dan, kenapa harus berujar kasar saat menegurku? Dulu, jangankan membentak, berucap dengan nada meninggi saja kamu tidak pernah. Setiap hari selalu memujiku cantik dan selalu memberi hadiah untukku, meski sederhana tapi sangat berharga bagiku. Sekarang, sikapmu berubah, bahkan aku seolah lupa bagaimana diperlakukan semestinya.

"Rasain! Makanya tahu diri jadi orang. Untung kamu masih dinafkahin!" bentak mama mertua dan tak lama kemudian ikut berlalu dari pandanganku.

Bagian mata ini memanas dan tak terasa ada bulir bening yang jatuh. "Sabar, Rat. Semoga esok hari ada keajaiban untukmu," ucapku dalam hati.

***

Siang ini matahari begitu terik memancarkan sinarnya.

"Sudah rapi belum?" tanya Mas Bram kala aku sibuk menata hidangan di meja makan. Aku pun menoleh padanya. Jujur, penampilannya membuat aku terkesima. Dia begitu tampan lagi wangi. Kuperhatikan dengan saksama dari ujung kaki hingga rambut.

"Hei! Dengar nggak?" bentakan Mas Bram membuyarkan pandanganku.

"I-iya, Mas. Bentar lagi kelar, kok."

Melihat penampilan Mas Bram, mengisyaratkan bahwa tamu yang datang bukanlah tamu sembarang.

Tok ... Tok ... Tok ...

"Sudah, kamu di sana saja! Biar aku saja yang buka. Lihat tuh penampilan kamu. Kumal, kucel, dan bau. Bikin malu!" cegatnya saat aku hendak melangkah bermaksud membukakan pintu.

Aku mengendus bau tubuhku sendiri, memang ada bau kurang sedap. Namun, bagaimana tidak? Karena sibuk merapikan rumah dan memasak juga menata hidangan, aku belum sempat bersolek. Jangankan dandan, mandi pun belum.

Ketika aku memutuskan masuk ke dalam kamar untuk membersihkan diri, aku mendadak mendengar sebuah suara manis bertanya, "Papa, kenapa tangan tantenya seperti itu ke Papa? Nggak sopan tahu!"

Itu suara Devina, buah cintaku dengan Mas Bram yang sudah berusia tujuh tahun.

Penasaran dengan alasan gadis kecilku mengatakan hal tersebut, kutinggalkan ruang makan dan menuju ke sumber suara, lebih tepatnya ruang tamu.

Baru saja aku menginjakkan kaki di ruangan tamu, mataku terbelalak saat melihat seorang perempuan seksi menggamit lengan suamiku. Bahkan, Mas Bram ikut memegang jemari yang menggamit lengannya itu.

Dengan usaha untuk terlihat tenang, aku berbicara pada putriku, "Devina, kamu ke kamar dulu ya, Sayang. Nanti mama susul."

"Tapi, Ma. Tante itu siapa?" Aku hanya bisa tersenyum tak berdaya menjelaskan pada Devina yang tampak bingung melihat perempuan yang sama sekali belum dia lihat itu. Pada kenyataannya, aku pun tak tahu!

"Kamu ke kamar dulu, nanti mama jelasin. Oke, Sayang?" bujukku sembari mengelus lembut bahunya. Aku tak ingin Devina melihat pemandangan jijik itu. Devina saja tahu perbuatan tadi itu tidak pantas dipertontonkan.

Selepas Devina bertolak ke kamarnya, aku langsung menoleh ke arah Mas Bram, "Apa-apaan ini, Mas!" Belum kering luka hati yang tadi sempat tersayat makian kejinya, kini Mas Bram malah menyirami lukaku dengan air garam.

"Siapa dia sampai berani bergelayut di tanganmu di depan mataku dan juga Devina?" Aku mengguncang tubuh Mas Bram karena dia tak jua menjawab, akan tetapi malah menyentak kasar dan mendorong tubuhku hingga terjatuh ke lantai. Sedangkan perempuan yang berdiri di sisi kirinya itu tampak mengulas senyum kemerdekaan padaku.

Perempuan yang sama sekali tidak aku kenal itu kemudian berkata dengan nada manja, “Mas masih belum ngomong ke istri, Mas?” Caranya berbicara membuatku mengernyitkan dahi, merasa jijik dan muak.

"Dia Laura, calon madumu."

Dwi Nella Mustika

Suami tidak tahu diri banget ya si Bram ... lupa daratan memang

| 2
Komen (3)
goodnovel comment avatar
Okta Ok
oke semoga sukses
goodnovel comment avatar
Desi
hempass suami dan mertua zolim
goodnovel comment avatar
Moh Kholid Al-Baid
oke semoga sesuai kenyataan.
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status