Beranda / Rumah Tangga / Kau Jandakan Aku, Kududakan Dirimu / Part 1. Bukan Makan Siang Biasa

Share

Kau Jandakan Aku, Kududakan Dirimu
Kau Jandakan Aku, Kududakan Dirimu
Penulis: Dwi Nella Mustika

Part 1. Bukan Makan Siang Biasa

last update Terakhir Diperbarui: 2022-11-11 11:25:56

"Ratna!" Kamu bisa nyapu nggak, sih? Gitu aja nggak becus!" Suara cempreng yang kuyakin berasal dari mertuaku menggema di seluruh penjuru rumah.

Kuhentikan aktivitas tersebut dan menoleh padanya. Perempuan yang sudah berumur 55 tahun itu berjalan mendekat ke arahku yang berdiri dekat sofa single di ruang tamu.

"Maaf, Ma." Ada rasa ngilu di sanubari ini saat mama mertua tak pernah berujar dengan lembut padaku.

"Nyapu itu jangan lembek, gemulai-gemulai nggak jelas, tuh lihat nggak bersih jadinya!" protesnya diiringi dengan nada bicara yang meninggi. Bukan mulutnya saja yang berbicara, telunjuknya pun ikut bermain sembari berkacak pinggang.

"Iya, Ma. Aku akan terus belajar biar menyapunya semakin bersih," jawabku pasrah.

"Jangan iya-iya aja. Masa pekerjaan gampang begini masih juga diajarkan!" umpatnya sembari menyentak kasar tangkai sapu dalam genggamanku.

"Tuh. Begitu! Ngerti nggak? Kalau diajarin itu nyimpen dikit kek ke otak, jangan asal angguk-angguk aja!" bentaknya lagi. Perempuan berkulit sawo matang itu pun menyerahkan kembali tangkai sapu itu dengan kasar padaku setelah memperagakan cara menyapu yang benar menurutnya. Padahal, sama saja. Tak ada ubahnya.

"Iya, Ma. Ratna ngerti. Maafin Ratna," sahutku sopan.

"Nggak usah sok lembut ucapanmu. Di dalam hati kamu dendam 'kan sama saya? Ingat ya, Ratna, kamu itu banyak hutang budi sama saya. Kamu tidak akan makan enak, tidur enak kalau bukan karena anak lelaki saya. Kerjaan kamu cuma leyeh-leyeh sama cuma bisanya menadah tangan pada Bram. Nggak akan bisa tahu urusan rumah tangga kalau bukan saya yang ajarin kamu. Mana ada mertua di luar sana mengajari menantunya. Masih termasuk beruntung kamu punya mertua seperti saya," celoteh mertuaku tanpa henti, membuat hatiku bak tersayat belati.

Mendadak, terdengar suara deru mobil memasuki halaman rumah, membuat pandanganku dan mama mertua teralihkan. Begitu melihat sosok Mas Bram, suamiku, masuk ke ruang tamu, detak jantungku semakin tak karuan. Kenapa dia harus pulang di saat yang tidak tepat?

"Lho, ada apa, Ma? Ada masalah?" tanya Mas Bram saat sampai di ambang pintu utama yang terbuka lebar. Mas Bram memang paham bagaimana bahasa tubuh mamanya, dia pasti tahu mertuaku itu baru saja menegurku.

Dia mengalihkan pandangan padaku sembari melepas sepatu kets-nya. Suamiku itu baru pulang dari olahraga, rutinitas yang dia lakukan setiap akhir pekan.

"Nih, istri kamu, Bram. Dikasih tahu malah ngelawan mama. Ini nih akibat perempuan terlalu meremehkan pekerjaan rumah tangga. Mentang-mentang dulunya wanita karier, punya power giliran diajarin malah ngeyel."

Mendengar hal tersebut, Mas Bram melemparkan pandangan tidak suka ke arahku. "Kamu apaan sih, Rat? Harusnya kamu bisa seperti mama. Ulet dalam urusan rumah tangga. Semuanya beres, beda sama kamu. Apa-apa kudu dikasih tahu dulu!" Deretan kata yang keluar dari mulut mas Bram semakin membuat luka di dalam sini yang tak pernah kering.

"Mas, bu-bukan gitu. A-aku nggak…."

"Nah, kamu lihat 'kan? Mana mau perempuan egois seperti dia mau mengakui kesalahannya?" potong mama membuat Mas Bram semakin menatapku dengan penuh amarah.

"Mas, tolong dengar dulu penjelasan aku," pintaku dengan wajah memelas, memohon pengertian dari suamiku itu.

"Sudah, cukup, Rat! Aku tidak mau mendengarkan sepatah kata dari mulutmu lagi. Kamu tinggal di rumah mamaku, harusnya kamu ikuti saja peraturan di rumah ini. Lebih baik sekarang kamu ke dapur, siapkan makan siang dan rapikan rumah ini karena akan ada tamu penting yang datang. Jangan sampai kamu teledor dan membuat aku malu!"

Mas Bram pun berlalu dari pandanganku. Tak lupa dia suguhkan tatapan nanar saat berjalan di depanku menuju kamar. Sedangkan, perempuan yang bergelar mertua itu tampak tersenyum puas.

Ada apa dengan dirimu, Mas? Kenapa tidak pernah mau mendengarkanku? Aku istrimu, bukan orang asing. Dan, kenapa harus berujar kasar saat menegurku? Dulu, jangankan membentak, berucap dengan nada meninggi saja kamu tidak pernah. Setiap hari selalu memujiku cantik dan selalu memberi hadiah untukku, meski sederhana tapi sangat berharga bagiku. Sekarang, sikapmu berubah, bahkan aku seolah lupa bagaimana diperlakukan semestinya.

"Rasain! Makanya tahu diri jadi orang. Untung kamu masih dinafkahin!" bentak mama mertua dan tak lama kemudian ikut berlalu dari pandanganku.

Bagian mata ini memanas dan tak terasa ada bulir bening yang jatuh. "Sabar, Rat. Semoga esok hari ada keajaiban untukmu," ucapku dalam hati.

***

Siang ini matahari begitu terik memancarkan sinarnya.

"Sudah rapi belum?" tanya Mas Bram kala aku sibuk menata hidangan di meja makan. Aku pun menoleh padanya. Jujur, penampilannya membuat aku terkesima. Dia begitu tampan lagi wangi. Kuperhatikan dengan saksama dari ujung kaki hingga rambut.

"Hei! Dengar nggak?" bentakan Mas Bram membuyarkan pandanganku.

"I-iya, Mas. Bentar lagi kelar, kok."

Melihat penampilan Mas Bram, mengisyaratkan bahwa tamu yang datang bukanlah tamu sembarang.

Tok ... Tok ... Tok ...

"Sudah, kamu di sana saja! Biar aku saja yang buka. Lihat tuh penampilan kamu. Kumal, kucel, dan bau. Bikin malu!" cegatnya saat aku hendak melangkah bermaksud membukakan pintu.

Aku mengendus bau tubuhku sendiri, memang ada bau kurang sedap. Namun, bagaimana tidak? Karena sibuk merapikan rumah dan memasak juga menata hidangan, aku belum sempat bersolek. Jangankan dandan, mandi pun belum.

Ketika aku memutuskan masuk ke dalam kamar untuk membersihkan diri, aku mendadak mendengar sebuah suara manis bertanya, "Papa, kenapa tangan tantenya seperti itu ke Papa? Nggak sopan tahu!"

Itu suara Devina, buah cintaku dengan Mas Bram yang sudah berusia tujuh tahun.

Penasaran dengan alasan gadis kecilku mengatakan hal tersebut, kutinggalkan ruang makan dan menuju ke sumber suara, lebih tepatnya ruang tamu.

Baru saja aku menginjakkan kaki di ruangan tamu, mataku terbelalak saat melihat seorang perempuan seksi menggamit lengan suamiku. Bahkan, Mas Bram ikut memegang jemari yang menggamit lengannya itu.

Dengan usaha untuk terlihat tenang, aku berbicara pada putriku, "Devina, kamu ke kamar dulu ya, Sayang. Nanti mama susul."

"Tapi, Ma. Tante itu siapa?" Aku hanya bisa tersenyum tak berdaya menjelaskan pada Devina yang tampak bingung melihat perempuan yang sama sekali belum dia lihat itu. Pada kenyataannya, aku pun tak tahu!

"Kamu ke kamar dulu, nanti mama jelasin. Oke, Sayang?" bujukku sembari mengelus lembut bahunya. Aku tak ingin Devina melihat pemandangan jijik itu. Devina saja tahu perbuatan tadi itu tidak pantas dipertontonkan.

Selepas Devina bertolak ke kamarnya, aku langsung menoleh ke arah Mas Bram, "Apa-apaan ini, Mas!" Belum kering luka hati yang tadi sempat tersayat makian kejinya, kini Mas Bram malah menyirami lukaku dengan air garam.

"Siapa dia sampai berani bergelayut di tanganmu di depan mataku dan juga Devina?" Aku mengguncang tubuh Mas Bram karena dia tak jua menjawab, akan tetapi malah menyentak kasar dan mendorong tubuhku hingga terjatuh ke lantai. Sedangkan perempuan yang berdiri di sisi kirinya itu tampak mengulas senyum kemerdekaan padaku.

Perempuan yang sama sekali tidak aku kenal itu kemudian berkata dengan nada manja, “Mas masih belum ngomong ke istri, Mas?” Caranya berbicara membuatku mengernyitkan dahi, merasa jijik dan muak.

"Dia Laura, calon madumu."

Dwi Nella Mustika

Suami tidak tahu diri banget ya si Bram ... lupa daratan memang

| 2
Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (4)
goodnovel comment avatar
Dimas Adrian
kenapa sih,istri/cewe selalu di perlakukan seolah bodoh,ini jaman apa? gak fair dong,apalagi sesama cewe(penulis). jadikan cewe itu tangguh,tegar,jgn selalu di rendahkan.
goodnovel comment avatar
Okta Ok
oke semoga sukses
goodnovel comment avatar
Desi
hempass suami dan mertua zolim
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Kau Jandakan Aku, Kududakan Dirimu   Part 199. Potrait Kebahagiaan

    Di pusara yang berhiaskan rumput jepang Lidya menangis sejadi-jadinya. Hari ini tepat satu bukan kepergian Santoso dan hari pertama Lidya diperbolehkan keluar dari rumah sakit. Kondisi yang sangat parah membuat dirinya sering drop."Pi, aku menyesal. Sangat menyesal. Andai waktu itu aku mendengar kata Kak Sonia, pasti semua ini nggak akan kayak gini.""Pi, kenapa harus pergi dengan cara gini? Kenapa papi perginya nggak bawa aku sekalian aja?"Air mata Lidya mengalir deras tanpa jeda. Mata dan hidungnya merah. Suaranya pun terdengar parau. Dari jarak satu meter Sonia hanya diam membisu seraya menatap sendu adik bungsunya yang meratapi kepergian lelaki tercintanya."Sudah, Lid. Papi sudah tenang di sana. Nggak sakit lagi." Sonia akhirnya menghampiri tubuh ringkih adiknya yang memeluk pusara Santoso.Lidya yang tak sesehat dulu jelas membuat Sonia khawatir. Apalagi bagian kepalanya yang bocor akibat jatuh dari tangga sebulan yang lalu itu."Lepasin aku, Kak. Aku mau disini nemenin papi."

  • Kau Jandakan Aku, Kududakan Dirimu   Part 198. Mengutuk Diri

    Rumah kediaman Santoso yang biasanya lengang, kini ramai didatangi oleh para pelayat. Pagi hari, jenazah Santoso dibawa pulang, karena atas keinginan Shanti otopsi diberhentikan, mengingat Shanti tak ingin jenazah suaminya itu melewati lima waktu sholat. Shanti tak ingin jenazah suaminya itu masih merasakan siksa dunia.Sanak saudara, klien, dan rekan kerja Santoso dulu turut hadir memberi doa sebelum Santoso dikebumikan. Dalam keramaian para pelayat yang datang, belum tampak batang hidung Ratna dan Devina. Mereka baru pagi ini terbang ke Jogja setelah semalam diberitahu oleh Arjuna.Pukul sebelas siang, Ratna dan Devina sampai juga di rumah duka. Shanti memeluk tubuh Ratna dengan erat."Maaf jika aku membawa sial, Mi. Kalau aku tidak ada mungkin papi masih ada," sesal Ratna seraya berbisik pada Shanti."Ini takdir Yang Maha Kuasa. Kamu bukan pembawa sial. Melalui kamu, Allah menyadarkan mami dari maruknya harta dan tahta."Tapi, Mi ….""Sudah, Ratna. Kamu tidak perlu terus-terusan me

  • Kau Jandakan Aku, Kududakan Dirimu   Part 197. Duka Beruntun

    Santoso mengalihkan pandangannya ke arah Lidya yang tertunduk takut."Benar apa yang dikatakan mami kamu, Lidya?" tanya Santoso dengan lantang.Hening tanpa jawaban. Tak dijawab langsung membuat emosi Santoso membuncah."Lidya, jawab papi!" teriak Santoso. Emosi yang tak terkontrol membuat Santoso drop seketika. Tangan kanannya memegang dada."Aaauuu …," pekiknya bersamaan dengan jatuhnya tubuh berbobot cukup besar itu ke lantai. Arjuna yang tidak begitu memperhatikan Santoso kalah cepat menyambut tubuh papinya itu."Mas!" pekik Shanti."Papi …," teriak Lidya histeris.Arjuna memapah tubuh Santoso dan merebahkannya di sofa.Napas Santoso tersengal-sengal menahan sesak."Ngapain kamu bengong, Lidya. Cepat telepon dokter!" desak Shanti yang panik."Sini aku telpon, mana nomor hape dokternya," ucap Arjuna."Aku nggak hapal, Mas." Lidya berlari menuju lantai dua untuk mengambil ponselnya yang ada di kamar.Namun, saat dirinya berhasil mengambil ponsel dan menuruni anak tangga kurang hati-

  • Kau Jandakan Aku, Kududakan Dirimu   Part 196. Cuti Menjadi Dua Hari

    "Mami dan Mas Arjuna pasti nggak tahu 'kan kalau papi sakit parah.""Jantung 'kan?""Bukan," bantah Lidya."Lalu apa, Lid. Kamu daritadi setengah-setengah aja ngomongnya. Bikin makin panik," sungut Shanti yang sudah mulai kesal."Papi, sakit kanker paru-paru kata dokter, Mi."Shanti dan Arjuna saling menoleh heran."Kamu jangan asal ngomong ya? Mana mungkin papi kena kanker," protes Shanti. Menurut Shanti, suaminya itu tampak seperti biasanya. Tak ada tanda jika suaminya memginap penyakit yang berbahaya itu."Sudah, sekarang kamu balik ke Jogja, biar aku temui papi besok. Dan, cukup bersikap lancang sama Ratna. Dia itu hanya korban dan kamu tidak punya hak mencampuri semua ini."Lidya bangkit dari duduknya, lalu berdiri berhadapan dengan Arjuna."Tanpa Mas suruh pun aku akan pulang. Tak sudi tinggal disini dengan orang seperti mas dan mami. Egois!"Lidya menyentak dengan kasar saat membuka pintu dan menghempaskannya dengan keras saat menutupnya kembali."Biarkan saja, Ar. Lidya meman

  • Kau Jandakan Aku, Kududakan Dirimu   Part 195 Keduanya Terperangah!

    Lidya tersentak kaget ketika melihat sosok yang sempat dia cari sebelumnya tiba-tiba datang tanpa kode."Ngapain kamu kesini? Nggak ada sopan santunnya sama sekali!" serang Arjuna yang terlihat begitu marah pada adik bungsunya itu.Mendengar suara Arjuna berada di luar rumah, Ratna pun bergegas ke sumber suara."Mas, kamu kok bisa tahu Lidya disini?" tanya Ratna penasaran."Nggak usah sok nanya, dasar perempuan bermuka dua," geram Lidya melihat Ratna tiba-tiba nimbrung. Dipikiran Lidya, Ratna lah yang menghubungi Arjuna. Dan, sekarang malah seorang bertanya."Jaga mulut kamu, Lid. Sembarangan aja kalau bicara!" sergah Arjuna. "Aku minta maaf atas sikap Lidya sama kamu, Rat. Nanti malam aku ke sini lagi.""Kamu ikut aku sekarang!" Arjuna menarik kasar tangan Lidya untuk masuk ke dalam mobil.Selama ini Arjuna tidak pernah berkata kasar ataupun bersikap kasar pada saudara perempuannya itu. Namun, tingkah Lidya yang kelewatan batas, tak ada toleransi lagi.Ratna melepas kepergian Arjuna

  • Kau Jandakan Aku, Kududakan Dirimu   Part 194. Pemisah dan Pembunuh

    Lidya sedang berdiri di sebuah rumah yang baru saja dikunjungi Arjuna dan Shanti."Permisi!" seru Lidya di depan pagar.Mendengar suara tersebut, Ratna pun bergegas ke pintu utama. Dirinya sempat mengernyitkan dahi saat berhenti di ambang pintu utama."Itu siapa? Kok asing wajahnya," gumam Ratna."Permisi, Mbak," sapa Lidya lagi seraya mengulas senyum palsu.Ratna pun melanjutkan langkah menuju pagar."Ya, Mbak. Ada yang bisa dibantu?" tanya Ratna, sama tidak membukakan gembok pagar rumahnya untuk jaga-jaga.Wajah Lidya yang tadinya menampakkan kehangatan palsu, sekarang berubah drastis tepat saat Ratna berdiri di depannya yang hanya terbatas dengan pagar."Saya Lidya, adiknya Mas Arjuna. Saya ingin mengobrol dengan Anda!" ucapnya dengan lantang. Sorot matanya pun ikut menatap Ratna dengan tajam."Oh, boleh. Silakan masuk!" titah Ratna yang setelahnya membuka gembok.Lidya mengikut langkah Ratna saat masuk ke dalam rumah. Tak ada rasa takut apalagi kesal karena melihat wajah Lidya yan

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status