Share

Part 6. Berpakaian Rapi untuk Awal Kemenangan

Sudah satu minggu berlalu sejak kuterima panggilan dari pengadilan negeri. Hari ini hari persidangan kedua perceraianku dengan Mas Bram digelar. Aku harus bergegas.

Selepas mandi, aku mematut diri di depan cermin yang menempel di dinding dekat jendela. "Devina, mama pastikan sebentar lagi kita akan kembali bersama," gumamku pada sosok di dalam cermin.

Demi terlihat rapi datang ke pengadilan, aku sengaja membeli satu setel baju, memakai baju kemeja berwarna cream dipadukan dengan rok span di bawah lutut, dilengkapi flat shoes berwarna hitam. Rambut sengaja aku gerai diberi bando hitam bermata kupu-kupu. Polesan lipstik warna peach cukup menjadi perona agar tidak terlihat pucat.

"Ya ampun, tumben banget pagi-pagi udah rapi. Nggak lagi janji sama lelaki buaya 'kan?" Tiba-tiba aku dikagetkan oleh suara melengking di belakangku. Aku pun menoleh setelah mengunci pintu kamar. Lagi-lagi Bu Soimah.

"Pamit ya, Bu," balasku tanpa menanggapi apa yang dia katakan.

"Waduh, kalau ga bisa jawab berarti bener,” ucapnya sambil menutup mulut dengan tangan kanan. Saat aku melangkah menjauh, tiba-tiba Bu Soimah memanggilku. Aku pun membalikkan badan setelah sebelumnya memutar bola mata ke atas.

“Ya, Bu?” sahutku berusaha selembut mungkin.

“Hati-hati di jalan,” ucapnya ramah. Belum sempat aku menjawab, ia kembali berujar “Maksudnya, hati-hati di jalan ketemu sama istri mangsamu.” Selanjutnya hanya gelak tawa Bu Soimah yang kudengar. Dasar sok tahu!

Tak kuhiraukan sama sekali ejekannya, karena percuma saja meladeni orang yang tidak menyukai kita, hanya membuang waktu, sia-sia.

Saat sampai di pengadilan yang ditentukan, aku pun turun dari taksi. Menyisir pandangan saat memasuki area pengadilan. Cukup ramai terlihat. Namun, ketika langkahku semakin mendekat ke ruang sidang, seseorang yang sangat hebat menaruh luka di hatiku sudah duduk di teras ruang sidang.

Netra hitamnya terpatri pada diriku, entah terkejut dengan perubahan penampilanku atau karena hal lain. Akan tetapi, aku tidak memedulikannya sama sekali.

"Kamu tampaknya sudah siap mencari lelaki pengganti aku, ya, Rat.”

Mendengar suara itu, kuhentikan langkah ketika bermaksud menduduki sebuah bangku kosong. Aku alihkan pandanganku pada sosok familier yang sekarang menatapku dengan ekspresi gelap.

“Halo, Mas Bram,” sapaku dengan sebuah senyuman ramah, sengaja memperlihatkan bahwa diriku sama sekali tidak terganggu dengan kenyataan kami akan segera memutus tali pernikahan.

Lagi pula, aku tidak mengerti. Bisa-bisanya pria itu menudingku yang tidak-tidak, padahal yang pertama mencari pengganti adalah dirinya. Ternyata, tak ada yang berubah darinya semenjak aku meninggalkan rumah.

"Kurang lebih begitu, Mas. Mencari pengganti sepertinya solusi yang tepat. Bukannya kamu sudah duluan melakukan hal itu, Mas?" balasku.

Rahang Mas Bram tampak mengeras, kedua tangannya mengepal kuat. Mungkin dia tersulut emosi, tapi kenapa dia bungkam? Malah yang merespons adalah orang di samping Mas Bram.

"Jangan sombong kamu, Rat. Kamu jangan seperti kacang lupa kulitnya. Mana mungkin kamu bisa berpenampilan seperti ini kalau bukan memakai uang dari keponakan saya," timpal Paman Toni, adik dari mama mertuaku. Tatapan nanar pun dia suguhkan. "Mengurusi perceraian ini sama halnya membuang uang dan waktu saja. Padahal, kamu ingin bercerai karena mencari sensasi saja 'kan? Menggertak Bram, 'kan?" tutur pria tersebut.

Paman Toni menoleh pada Mas Bram yang semakin tersulut emosi. Terlihat dari wajah pria paruh baya itu bahwa dia sedang berpikir keras, mungkin mencari cara membela keponakannya.

"Murahan sekali caramu!" celetuk Paman Toni tiba-tiba. “Kamu terlalu banyak kufur, Rat. Sudah dikasih hidup enak dan dicukupi segala kebutuhan. Apa salahnya kamu membiarkan Bram menikah lagi?" tambah Paman Toni kemudian. Kulihat guratan urat-urat di lehernya mulai bermunculan.

Apa dia pikir aku sangat bahagia dalam pernikahan yang diarungi kurang lebih delapan tahun ini? Apa dia pikir aku hidup enak selama ini? Apa dia pikir keponakan yang dibanggakan itu, memperlakukan aku selayaknya? Begitu gampangnya mencerca, tanpa tahu hal yang sebenarnya terjadi. Mas Bram memang punya uang, akan tetapi bukan untukku nikmati, melainkan untuk dirinya sendiri.

"Ingat, ya, Rat. Jika sampai benar-benar bercerai, aku tidak akan mengizinkan kamu bertemu dengan Devina. Jadi, jangan harap kamu akan bertemu Devina untuk selamanya," celetuk Mas Bram tiba-tiba seraya mengacungkan jari telunjuknya tepat di wajahku.

"Aku akan memperjuangkan apa yang pantas diperjuangkan, Mas. Termasuk hak asuh Devina. Tak 'kan kubiarkan kamu merampasnya!" Jujur, jika dia mengancam yang berhubungan Devina, rasanya aku tidak bisa menahan emosi. Apa dia pikir mudah merawat anak sejak dia dilahirkan?

“Diam kamu, Ratna! Sudah miskin tak punya apa-apa masih sok menantangku.” Kulihat Mas Bram hendak mendaratkan tangannya di pipiku, kalau saja dia tak ingat saat ini sedang berada di depan umum. “Ingat ya, kupastikan setelah kita bercerai hak asuh Devina akan jatuh ke tanganku! Silakan menangis darah setiap hari!" Mas Bram nampak tak mau kalah. Dia tampak begitu percaya akan menang soal hak asuh anak.

"Permisi, mohon tidak memancing keributan di sini. Sebentar lagi persidangan bapak dan ibu akan digelar!" ucap seorang petugas.

Aku pun tidak menanggapi ucapan Mas Bram, bukan hanya karena petugas, tapi juga karena malas. Kutatap saja Mas Bram dan antek-anteknya masuk ke ruang sidang dengan angkuh, membuatku memutar bola mata dalam benak.

Sejurus kemudian, majelis hakim memasuki ruang sidang melalui pintu khusus. Suasana hening seketika. Selain majelis hakim, pihak penggugat, dan pihak tergugat, ada juga beberapa jurnalis yang kulihat menjadi hadirin dalam sidang ini.

Setelah semua siap, ketua majelis hakim mulai berseru, “Sidang pengadilan negeri Kota X yang memeriksa kasus perdata nomor 113 atas nama Ratna Wulandari dan Bramantio Trianda dengan ini saya nyatakan dibuka!”

Selanjutnya hanya terdengar suara tiga ketukan palu yang menggema ke seluruh penjuru ruang sidang.

Dengan ekspresi datar, aku melirik Mas Bram yang secara terbuka melemparkan sebuah senyum mengejek padaku. Aku alihkan pandanganku ke depan, lalu memasang sebuah senyuman tipis.

‘Coba kita lihat siapa yang akan keluar dari tempat ini dengan senyuman, Mas.’

Dwi Nella Mustika

oh netijeeeeeeeennnnnnnn ... Bu Soimah nggak ada kesibukan lain kali ya .....

| 1
Comments (3)
goodnovel comment avatar
Satria izzet ilhami
kok iklan gak bisa diakses yaa...
goodnovel comment avatar
Muhe Khan
baru tahu perceraian masuk ke pidana. diperluas lagi pengetahuannya ya
goodnovel comment avatar
Ayu Dea Yuud
Keluarga Bram semua sama jahatnya
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status