Home / Rumah Tangga / Kau Jandakan Aku, Kududakan Dirimu / Part 6. Berpakaian Rapi untuk Awal Kemenangan

Share

Part 6. Berpakaian Rapi untuk Awal Kemenangan

last update Huling Na-update: 2022-11-11 12:22:55

Sudah satu minggu berlalu sejak kuterima panggilan dari pengadilan negeri. Hari ini hari persidangan kedua perceraianku dengan Mas Bram digelar. Aku harus bergegas.

Selepas mandi, aku mematut diri di depan cermin yang menempel di dinding dekat jendela. "Devina, mama pastikan sebentar lagi kita akan kembali bersama," gumamku pada sosok di dalam cermin.

Demi terlihat rapi datang ke pengadilan, aku sengaja membeli satu setel baju, memakai baju kemeja berwarna cream dipadukan dengan rok span di bawah lutut, dilengkapi flat shoes berwarna hitam. Rambut sengaja aku gerai diberi bando hitam bermata kupu-kupu. Polesan lipstik warna peach cukup menjadi perona agar tidak terlihat pucat.

"Ya ampun, tumben banget pagi-pagi udah rapi. Nggak lagi janji sama lelaki buaya 'kan?" Tiba-tiba aku dikagetkan oleh suara melengking di belakangku. Aku pun menoleh setelah mengunci pintu kamar. Lagi-lagi Bu Soimah.

"Pamit ya, Bu," balasku tanpa menanggapi apa yang dia katakan.

"Waduh, kalau ga bisa jawab berarti bener,” ucapnya sambil menutup mulut dengan tangan kanan. Saat aku melangkah menjauh, tiba-tiba Bu Soimah memanggilku. Aku pun membalikkan badan setelah sebelumnya memutar bola mata ke atas.

“Ya, Bu?” sahutku berusaha selembut mungkin.

“Hati-hati di jalan,” ucapnya ramah. Belum sempat aku menjawab, ia kembali berujar “Maksudnya, hati-hati di jalan ketemu sama istri mangsamu.” Selanjutnya hanya gelak tawa Bu Soimah yang kudengar. Dasar sok tahu!

Tak kuhiraukan sama sekali ejekannya, karena percuma saja meladeni orang yang tidak menyukai kita, hanya membuang waktu, sia-sia.

Saat sampai di pengadilan yang ditentukan, aku pun turun dari taksi. Menyisir pandangan saat memasuki area pengadilan. Cukup ramai terlihat. Namun, ketika langkahku semakin mendekat ke ruang sidang, seseorang yang sangat hebat menaruh luka di hatiku sudah duduk di teras ruang sidang.

Netra hitamnya terpatri pada diriku, entah terkejut dengan perubahan penampilanku atau karena hal lain. Akan tetapi, aku tidak memedulikannya sama sekali.

"Kamu tampaknya sudah siap mencari lelaki pengganti aku, ya, Rat.”

Mendengar suara itu, kuhentikan langkah ketika bermaksud menduduki sebuah bangku kosong. Aku alihkan pandanganku pada sosok familier yang sekarang menatapku dengan ekspresi gelap.

“Halo, Mas Bram,” sapaku dengan sebuah senyuman ramah, sengaja memperlihatkan bahwa diriku sama sekali tidak terganggu dengan kenyataan kami akan segera memutus tali pernikahan.

Lagi pula, aku tidak mengerti. Bisa-bisanya pria itu menudingku yang tidak-tidak, padahal yang pertama mencari pengganti adalah dirinya. Ternyata, tak ada yang berubah darinya semenjak aku meninggalkan rumah.

"Kurang lebih begitu, Mas. Mencari pengganti sepertinya solusi yang tepat. Bukannya kamu sudah duluan melakukan hal itu, Mas?" balasku.

Rahang Mas Bram tampak mengeras, kedua tangannya mengepal kuat. Mungkin dia tersulut emosi, tapi kenapa dia bungkam? Malah yang merespons adalah orang di samping Mas Bram.

"Jangan sombong kamu, Rat. Kamu jangan seperti kacang lupa kulitnya. Mana mungkin kamu bisa berpenampilan seperti ini kalau bukan memakai uang dari keponakan saya," timpal Paman Toni, adik dari mama mertuaku. Tatapan nanar pun dia suguhkan. "Mengurusi perceraian ini sama halnya membuang uang dan waktu saja. Padahal, kamu ingin bercerai karena mencari sensasi saja 'kan? Menggertak Bram, 'kan?" tutur pria tersebut.

Paman Toni menoleh pada Mas Bram yang semakin tersulut emosi. Terlihat dari wajah pria paruh baya itu bahwa dia sedang berpikir keras, mungkin mencari cara membela keponakannya.

"Murahan sekali caramu!" celetuk Paman Toni tiba-tiba. “Kamu terlalu banyak kufur, Rat. Sudah dikasih hidup enak dan dicukupi segala kebutuhan. Apa salahnya kamu membiarkan Bram menikah lagi?" tambah Paman Toni kemudian. Kulihat guratan urat-urat di lehernya mulai bermunculan.

Apa dia pikir aku sangat bahagia dalam pernikahan yang diarungi kurang lebih delapan tahun ini? Apa dia pikir aku hidup enak selama ini? Apa dia pikir keponakan yang dibanggakan itu, memperlakukan aku selayaknya? Begitu gampangnya mencerca, tanpa tahu hal yang sebenarnya terjadi. Mas Bram memang punya uang, akan tetapi bukan untukku nikmati, melainkan untuk dirinya sendiri.

"Ingat, ya, Rat. Jika sampai benar-benar bercerai, aku tidak akan mengizinkan kamu bertemu dengan Devina. Jadi, jangan harap kamu akan bertemu Devina untuk selamanya," celetuk Mas Bram tiba-tiba seraya mengacungkan jari telunjuknya tepat di wajahku.

"Aku akan memperjuangkan apa yang pantas diperjuangkan, Mas. Termasuk hak asuh Devina. Tak 'kan kubiarkan kamu merampasnya!" Jujur, jika dia mengancam yang berhubungan Devina, rasanya aku tidak bisa menahan emosi. Apa dia pikir mudah merawat anak sejak dia dilahirkan?

“Diam kamu, Ratna! Sudah miskin tak punya apa-apa masih sok menantangku.” Kulihat Mas Bram hendak mendaratkan tangannya di pipiku, kalau saja dia tak ingat saat ini sedang berada di depan umum. “Ingat ya, kupastikan setelah kita bercerai hak asuh Devina akan jatuh ke tanganku! Silakan menangis darah setiap hari!" Mas Bram nampak tak mau kalah. Dia tampak begitu percaya akan menang soal hak asuh anak.

"Permisi, mohon tidak memancing keributan di sini. Sebentar lagi persidangan bapak dan ibu akan digelar!" ucap seorang petugas.

Aku pun tidak menanggapi ucapan Mas Bram, bukan hanya karena petugas, tapi juga karena malas. Kutatap saja Mas Bram dan antek-anteknya masuk ke ruang sidang dengan angkuh, membuatku memutar bola mata dalam benak.

Sejurus kemudian, majelis hakim memasuki ruang sidang melalui pintu khusus. Suasana hening seketika. Selain majelis hakim, pihak penggugat, dan pihak tergugat, ada juga beberapa jurnalis yang kulihat menjadi hadirin dalam sidang ini.

Setelah semua siap, ketua majelis hakim mulai berseru, “Sidang pengadilan negeri Kota X yang memeriksa kasus perdata nomor 113 atas nama Ratna Wulandari dan Bramantio Trianda dengan ini saya nyatakan dibuka!”

Selanjutnya hanya terdengar suara tiga ketukan palu yang menggema ke seluruh penjuru ruang sidang.

Dengan ekspresi datar, aku melirik Mas Bram yang secara terbuka melemparkan sebuah senyum mengejek padaku. Aku alihkan pandanganku ke depan, lalu memasang sebuah senyuman tipis.

‘Coba kita lihat siapa yang akan keluar dari tempat ini dengan senyuman, Mas.’

Dwi Nella Mustika

oh netijeeeeeeeennnnnnnn ... Bu Soimah nggak ada kesibukan lain kali ya .....

| 1
Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App
Mga Comments (3)
goodnovel comment avatar
Satria izzet ilhami
kok iklan gak bisa diakses yaa...
goodnovel comment avatar
Muhe Khan
baru tahu perceraian masuk ke pidana. diperluas lagi pengetahuannya ya
goodnovel comment avatar
Ayu Dea Yuud
Keluarga Bram semua sama jahatnya
Tignan lahat ng Komento

Pinakabagong kabanata

  • Kau Jandakan Aku, Kududakan Dirimu   Part 199. Potrait Kebahagiaan

    Di pusara yang berhiaskan rumput jepang Lidya menangis sejadi-jadinya. Hari ini tepat satu bukan kepergian Santoso dan hari pertama Lidya diperbolehkan keluar dari rumah sakit. Kondisi yang sangat parah membuat dirinya sering drop."Pi, aku menyesal. Sangat menyesal. Andai waktu itu aku mendengar kata Kak Sonia, pasti semua ini nggak akan kayak gini.""Pi, kenapa harus pergi dengan cara gini? Kenapa papi perginya nggak bawa aku sekalian aja?"Air mata Lidya mengalir deras tanpa jeda. Mata dan hidungnya merah. Suaranya pun terdengar parau. Dari jarak satu meter Sonia hanya diam membisu seraya menatap sendu adik bungsunya yang meratapi kepergian lelaki tercintanya."Sudah, Lid. Papi sudah tenang di sana. Nggak sakit lagi." Sonia akhirnya menghampiri tubuh ringkih adiknya yang memeluk pusara Santoso.Lidya yang tak sesehat dulu jelas membuat Sonia khawatir. Apalagi bagian kepalanya yang bocor akibat jatuh dari tangga sebulan yang lalu itu."Lepasin aku, Kak. Aku mau disini nemenin papi."

  • Kau Jandakan Aku, Kududakan Dirimu   Part 198. Mengutuk Diri

    Rumah kediaman Santoso yang biasanya lengang, kini ramai didatangi oleh para pelayat. Pagi hari, jenazah Santoso dibawa pulang, karena atas keinginan Shanti otopsi diberhentikan, mengingat Shanti tak ingin jenazah suaminya itu melewati lima waktu sholat. Shanti tak ingin jenazah suaminya itu masih merasakan siksa dunia.Sanak saudara, klien, dan rekan kerja Santoso dulu turut hadir memberi doa sebelum Santoso dikebumikan. Dalam keramaian para pelayat yang datang, belum tampak batang hidung Ratna dan Devina. Mereka baru pagi ini terbang ke Jogja setelah semalam diberitahu oleh Arjuna.Pukul sebelas siang, Ratna dan Devina sampai juga di rumah duka. Shanti memeluk tubuh Ratna dengan erat."Maaf jika aku membawa sial, Mi. Kalau aku tidak ada mungkin papi masih ada," sesal Ratna seraya berbisik pada Shanti."Ini takdir Yang Maha Kuasa. Kamu bukan pembawa sial. Melalui kamu, Allah menyadarkan mami dari maruknya harta dan tahta."Tapi, Mi ….""Sudah, Ratna. Kamu tidak perlu terus-terusan me

  • Kau Jandakan Aku, Kududakan Dirimu   Part 197. Duka Beruntun

    Santoso mengalihkan pandangannya ke arah Lidya yang tertunduk takut."Benar apa yang dikatakan mami kamu, Lidya?" tanya Santoso dengan lantang.Hening tanpa jawaban. Tak dijawab langsung membuat emosi Santoso membuncah."Lidya, jawab papi!" teriak Santoso. Emosi yang tak terkontrol membuat Santoso drop seketika. Tangan kanannya memegang dada."Aaauuu …," pekiknya bersamaan dengan jatuhnya tubuh berbobot cukup besar itu ke lantai. Arjuna yang tidak begitu memperhatikan Santoso kalah cepat menyambut tubuh papinya itu."Mas!" pekik Shanti."Papi …," teriak Lidya histeris.Arjuna memapah tubuh Santoso dan merebahkannya di sofa.Napas Santoso tersengal-sengal menahan sesak."Ngapain kamu bengong, Lidya. Cepat telepon dokter!" desak Shanti yang panik."Sini aku telpon, mana nomor hape dokternya," ucap Arjuna."Aku nggak hapal, Mas." Lidya berlari menuju lantai dua untuk mengambil ponselnya yang ada di kamar.Namun, saat dirinya berhasil mengambil ponsel dan menuruni anak tangga kurang hati-

  • Kau Jandakan Aku, Kududakan Dirimu   Part 196. Cuti Menjadi Dua Hari

    "Mami dan Mas Arjuna pasti nggak tahu 'kan kalau papi sakit parah.""Jantung 'kan?""Bukan," bantah Lidya."Lalu apa, Lid. Kamu daritadi setengah-setengah aja ngomongnya. Bikin makin panik," sungut Shanti yang sudah mulai kesal."Papi, sakit kanker paru-paru kata dokter, Mi."Shanti dan Arjuna saling menoleh heran."Kamu jangan asal ngomong ya? Mana mungkin papi kena kanker," protes Shanti. Menurut Shanti, suaminya itu tampak seperti biasanya. Tak ada tanda jika suaminya memginap penyakit yang berbahaya itu."Sudah, sekarang kamu balik ke Jogja, biar aku temui papi besok. Dan, cukup bersikap lancang sama Ratna. Dia itu hanya korban dan kamu tidak punya hak mencampuri semua ini."Lidya bangkit dari duduknya, lalu berdiri berhadapan dengan Arjuna."Tanpa Mas suruh pun aku akan pulang. Tak sudi tinggal disini dengan orang seperti mas dan mami. Egois!"Lidya menyentak dengan kasar saat membuka pintu dan menghempaskannya dengan keras saat menutupnya kembali."Biarkan saja, Ar. Lidya meman

  • Kau Jandakan Aku, Kududakan Dirimu   Part 195 Keduanya Terperangah!

    Lidya tersentak kaget ketika melihat sosok yang sempat dia cari sebelumnya tiba-tiba datang tanpa kode."Ngapain kamu kesini? Nggak ada sopan santunnya sama sekali!" serang Arjuna yang terlihat begitu marah pada adik bungsunya itu.Mendengar suara Arjuna berada di luar rumah, Ratna pun bergegas ke sumber suara."Mas, kamu kok bisa tahu Lidya disini?" tanya Ratna penasaran."Nggak usah sok nanya, dasar perempuan bermuka dua," geram Lidya melihat Ratna tiba-tiba nimbrung. Dipikiran Lidya, Ratna lah yang menghubungi Arjuna. Dan, sekarang malah seorang bertanya."Jaga mulut kamu, Lid. Sembarangan aja kalau bicara!" sergah Arjuna. "Aku minta maaf atas sikap Lidya sama kamu, Rat. Nanti malam aku ke sini lagi.""Kamu ikut aku sekarang!" Arjuna menarik kasar tangan Lidya untuk masuk ke dalam mobil.Selama ini Arjuna tidak pernah berkata kasar ataupun bersikap kasar pada saudara perempuannya itu. Namun, tingkah Lidya yang kelewatan batas, tak ada toleransi lagi.Ratna melepas kepergian Arjuna

  • Kau Jandakan Aku, Kududakan Dirimu   Part 194. Pemisah dan Pembunuh

    Lidya sedang berdiri di sebuah rumah yang baru saja dikunjungi Arjuna dan Shanti."Permisi!" seru Lidya di depan pagar.Mendengar suara tersebut, Ratna pun bergegas ke pintu utama. Dirinya sempat mengernyitkan dahi saat berhenti di ambang pintu utama."Itu siapa? Kok asing wajahnya," gumam Ratna."Permisi, Mbak," sapa Lidya lagi seraya mengulas senyum palsu.Ratna pun melanjutkan langkah menuju pagar."Ya, Mbak. Ada yang bisa dibantu?" tanya Ratna, sama tidak membukakan gembok pagar rumahnya untuk jaga-jaga.Wajah Lidya yang tadinya menampakkan kehangatan palsu, sekarang berubah drastis tepat saat Ratna berdiri di depannya yang hanya terbatas dengan pagar."Saya Lidya, adiknya Mas Arjuna. Saya ingin mengobrol dengan Anda!" ucapnya dengan lantang. Sorot matanya pun ikut menatap Ratna dengan tajam."Oh, boleh. Silakan masuk!" titah Ratna yang setelahnya membuka gembok.Lidya mengikut langkah Ratna saat masuk ke dalam rumah. Tak ada rasa takut apalagi kesal karena melihat wajah Lidya yan

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status