Home / Rumah Tangga / Kau Jandakan Aku, Kududakan Dirimu / Part 7. Gelar Janda pun Disandang

Share

Part 7. Gelar Janda pun Disandang

last update Last Updated: 2022-11-14 18:50:25

“Para hadirin sekalian.” Seluruh perhatian peserta sidang kini berpusat pada ketua hakim. “Dikarenakan sidang pertama dengan agenda perdamaian dan mediasi tidak menemukan titik temu, juga setelah menimbang proses pembuktian dari pihak penggugat maupun tergugat yang telah dipaparkan, maka dengan ini saya nyatakan saudara Ratna Wulandari dengan saudara Bramantio Triandra resmi dinyatakan bercerai.”

Kusatukan kedua tanganku di wajah kala mendengar suara tiga ketukan palu menggema.

‘Semua telah berakhir,’ batinku bersyukur.

Kutolehkan pandanganku ke samping, memberikan senyum kemenangan pada pria yang kini resmi menyandang status sebagai mantan suamiku. Namun, Mas Bram langsung membuang muka sambil mengepalkan kedua tangannya.

“Lagakmu angkuh sekali, Ratna!” Tiba-tiba Paman Toni bangkit dari kursinya dan langsung mencelaku begitu melihat wajah keponakan kesayangannya itu merengut. “Aku akan jadi orang pertama yang menertawai kamu saat kamu ngemis minta balikan sama Bram!” lanjutnya.

Mendengar aksi ‘kompor’ pamannya, Mas Bram kembali ikut membara dan mengarahkan tatapan padaku. "Jangan senang dulu kamu, Rat. Pasang kedua telingamu untuk mendengar keputusan hak asuh anak setelah ini," ujarnya lantang.

Sudut bibir kiriku sedikit naik ke atas. "Jangan terlalu percaya diri, Mas."

"Tidak usah memaksakan senyum untuk menutupi rasa takutmu, Rat. Hidupmu terlalu banyak drama! Sadarlah! Pikirkan saja masa depanmu yang suram itu!" ejeknya tanpa henti.

Palu hakim kembali berbunyi saat suasana sidang menjadi riuh. “Tenang… tenang!! Barangsiapa yang membuat kegaduhan, silakan keluar dari ruangan ini!”

Sontak, kami semua terdiam. Masalah belum selesai, bagaimana kami bisa keluar begitu saja?

Begitu suasana hening, hakim kembali bersuara, “Agenda sidang selanjutnya yakni perihal perolehan hak asuh anak.” Kemudian, dia menoleh ke arah pria yang terduduk di sebelahku. “Dari pihak penggugat, silakan berikan bukti yang bisa mendukung untuk memperoleh hak asuh tersebut.”

Seorang lelaki berjanggut lebat yang duduk di seberang kiriku akhirnya maju menghadap hakim untuk memberikan beberapa berkas yang sudah kami persiapkan sebelumnya. “Mohon izin, Yang Mulia. Saya Firman selaku pengacara Bu Ratna izin memberikan bukti kelayakan atas hak asuh Devina.”

Setelah menerima dokumen tersebut, hakim lantas menyibak kertas-kertas itu dengan khusyuk. "Setelah saya pelajari, kepemilikan saham atas perusahaan properti PT Podoromo, benar atas nama Ibu Ratna Wulandari?" tanya hakim sembari melirik padaku, lalu beralih ke dokumen, begitu seterusnya hingga beberapa kali. Ada gurat tak yakin yang tercermin dari kerutan di keningnya.

Belum sempat menjawab, Mas Bram sudah berdiri dan mengambil alih pembicaraan. “Keberatan, Yang Mulia!” Wajahnya terlihat panik begitu mendengar pernyataan dari hakim, mungkin tidak percaya. “Perusahaan yang disebutkan tadi adalah tempat saya bekerja. Mustahil rasanya jika dia salah satu pemilik sahamnya,” tukas Mas Bram, lalu beralih memandangku dan berkata penuh penekanan. “Jangan kebanyakan halu kamu, Rat!”

Tanpa permisi, Paman Toni ikut menimbrung. "Benar, Yang Mulia. Ini suatu kejanggalan. Dan saya menduga ada pemalsuan atas data-data di sana. Lagi pula, jika ditelaah ulang, Bu Ratna seorang yatim-piatu. Dia dilahirkan dari keluarga sederhana. Sekalipun dulunya dia bekerja, posisinya pun tidak tinggi, hanya sebagai admin divisi. Jadi, kuat dugaan ada pemalsuan berkas."

Hakim kembali melayangkan palu saktinya hingga bunyinya bertalu-talu. “Tenang semua… tenang!!!” Mata hakim tampak memerah saat melihat pemandangan sidang yang gaduh. "Pihak tergugat saya beri peringatan! Tanpa izin, hanya perwakilan yang berhak berbicara!" tegurnya.

Suasana kembali hening. Kulihat di seberang sana Mas Bram membisikkan sesuatu ke pengacaranya. Pria di samping Mas Bram pun mengangkat tangan.

“Mohon izin berbicara, Yang Mulia.” Ketua hakim mengangguk, lalu pengacara Mas Bram berdiri dan berkata, “Berdasarkan informasi dari klien saya, kecil kemungkinan jika pihak tergugat memiliki aset yang nominalnya begitu fantastis, mengingat pihak tergugat hanya seorang pegawai entry level sebelum menjadi istri sah pihak tergugat.” Kemudian pengacara itu menghunuskan tatapan intimidasi ke arahku dan Bang Firman. “Untuk itu, kami mengajukan agar pihak penggugat menghadirkan saksi untuk menguatkan bukti tersebut,” ucap pria itu sebelum kembali ke posisi duduknya.

Mendengar usulan tersebut, majelis hakim berdiskusi sejenak dan berujar, “Kepada pihak penggugat, saudari Ratna, diharapkan menghadirkan saksi untuk menguatkan bukti yang diberikan.”

Kulihat gerakan bibir Mas Bram tanpa suara dari seberang sana seakan berkata, “Mampus kamu, Rat!” Aku paham betul watak Mas Bram yang tak suka diabaikan. Untuk itu, aku langsung melengos dan menganggapnya seperti angin lalu. Benar saja, saat kulirik lagi dengan ujung mataku, Mas Bram sedang mendengus dan wajahnya merah seperti kepiting rebus.

Sesaat kemudian, Bang Firman bangkit dari duduknya. "Izin berbicara, Yang Mulia. Kami memang sudah mengundang seorang saksi untuk memvalidasi bahwa keterangan berkas tersebut benar adanya, tapi dia belum datang." jelas Bang Firman. “Mohon kemurahan hati majelis hakim untuk memberikan kelonggaran waktu,” tambahnya.

Bukannya hakim, justru Paman Toni yang menanggapi dari bangku penonton sidang. “Rat… Rat... jadi perempuan kok ngadi-ngadi banget kamu, tuh. Seberapa lama pun persidangan, kita semua sudah tahu hasil akhirnya,” ujarnya penuh keoptimisan.

Ketua hakim langsung menghunuskan tatapan tajam ke arah Paman Toni, jelas dia kesal karena Paman Toni terus menerus menyulut kegaduhan jalannya persidangan. “Sekali lagi ada yang memotong persidangan tanpa izin, saya sendiri yang akan membuka pintu keluar untuk Anda!” Mendengar itu, Paman Toni langsung merapatkan bibirnya.

Kemudian tampak majelis hakim berdiskusi atas permintaan pengacaraku. “Baik, permohonan perpanjangan waktu sidang diterima. Selama waktu tersebut, tim kami juga akan memeriksa keaslian bukti yang diberikan,” tuturnya. “Seluruh hadirin diperkenankan keluar dari ruangan dan sidang akan dilanjutkan 15 menit lagi.”

Suara palu pun terketuk tiga kali.

***

Sepuluh menit telah berlalu, akan tetapi perwakilan perusahaan yang kuundang menjadi saksi tak kunjung menampakkan batang hidungnya.

Kugigit bibir bawahku seraya berjalan bolak-balik di hadapan pengacaraku. “Masih belum diangkat, Bang?” Namun, hanya anggukan lemah yang ia berikan. Kuhela napas berat.

Di sisi lain, tepat di seberang posisiku, kulihat Mas Bram dan Paman Toni duduk santai sambil melayangkan pandangan mengejek.

Ah, kenapa yang terjadi malah di luar ekspektasiku? Perpanjangan waktu yang diberikan bahkan sudah hampir berlalu.

Benar saja, tak lama berselang petugas persidangan meminta kami semua kembali ke ruangan untuk melanjutkan persidangan. Seluruh hadirin masuk, termasuk majelis hakim.

Setelah sidang dibuka kembali, ketua hakim berkata, “Baik, kepada pihak penggugat dipersilakan menghadirkan saksi untuk menguatkan bukti yang diberikan.”

Aku menoleh cemas ke arah Bang Firman, beliau masih berkutat dengan ponselnya. Kuusap wajahku dengan kedua telapak tangan. Aku tidak mau hak asuh Devina jatuh ke tangan Mas Bram, tapi apa yang harus kulakukan?

"Ini sudah 15 menit, jangan mengulur dan mempermainkan sidang ini," ucap ketua hakim dengan intonasi bicara mulai meninggi.

"Maaf sebelumnya, Yang Mulia. Tolong berikan kami perpanjangan waktu lagi," pintaku. Beruntung, majelis hakim mengabulkan, tapi kali ini hanya 5 menit.

Kucoba menghubungi nomor kantor perusahaan tersebut, tapi resepsionis bilang saksi yang akan didatangkan itu sudah berangkat sejak beberapa jam yang lalu. Namun, kenapa belum sampai juga? Jantungku seketika berdegup kencang, napasku memburu tak beraturan.

5 menit pun berlalu.

"Maaf, kesempatan habis." Ketua hakim kembali membacakan hak asuh tadi, dan palu yang tergeletak kembali mengudara. Perasaanku campur aduk rasanya. “Dikarenakan bukti yang diajukan pihak penggugat diragukan keasliannya dan tidak adanya saksi yang bisa menguatkan bukti tersebut, maka dengan ini pengadilan menyatakan bahwa hak asuh anak Devina Ariana jatuh ke tangan pihak tergugat atas nama Bramantio Trianda.” Perlahan palu terangkat, dan aku pun menggeleng lemah seraya memejamkan mata.

Brak!

Pintu utama ruang sidang terbuka lebar, menghentikan palu hakim yang hampir terketuk. “Tunggu, Yang Mulia!” Sontak saja seluruh hadirin sidang, tak terkecuali aku mengalihkan pandangan ke sumber suara. Tampak dua orang pria berdiri di ambang pintu. "Maaf, kami terlambat!”

Dwi Nella Mustika

Yes ... awal kebebasan Ratna pun dimulai .....

| 3
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (9)
goodnovel comment avatar
Bambang Jumanto
koinya mahal yah,, cuma dikit bab nya Uda minta koin lagi
goodnovel comment avatar
Dwi Nella Mustika
makasih kak, pantengin terus kisahnya ya
goodnovel comment avatar
Dwi Nella Mustika
makasih kak, pantengin terus kisahnya ya
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Kau Jandakan Aku, Kududakan Dirimu   Part 199. Potrait Kebahagiaan

    Di pusara yang berhiaskan rumput jepang Lidya menangis sejadi-jadinya. Hari ini tepat satu bukan kepergian Santoso dan hari pertama Lidya diperbolehkan keluar dari rumah sakit. Kondisi yang sangat parah membuat dirinya sering drop."Pi, aku menyesal. Sangat menyesal. Andai waktu itu aku mendengar kata Kak Sonia, pasti semua ini nggak akan kayak gini.""Pi, kenapa harus pergi dengan cara gini? Kenapa papi perginya nggak bawa aku sekalian aja?"Air mata Lidya mengalir deras tanpa jeda. Mata dan hidungnya merah. Suaranya pun terdengar parau. Dari jarak satu meter Sonia hanya diam membisu seraya menatap sendu adik bungsunya yang meratapi kepergian lelaki tercintanya."Sudah, Lid. Papi sudah tenang di sana. Nggak sakit lagi." Sonia akhirnya menghampiri tubuh ringkih adiknya yang memeluk pusara Santoso.Lidya yang tak sesehat dulu jelas membuat Sonia khawatir. Apalagi bagian kepalanya yang bocor akibat jatuh dari tangga sebulan yang lalu itu."Lepasin aku, Kak. Aku mau disini nemenin papi."

  • Kau Jandakan Aku, Kududakan Dirimu   Part 198. Mengutuk Diri

    Rumah kediaman Santoso yang biasanya lengang, kini ramai didatangi oleh para pelayat. Pagi hari, jenazah Santoso dibawa pulang, karena atas keinginan Shanti otopsi diberhentikan, mengingat Shanti tak ingin jenazah suaminya itu melewati lima waktu sholat. Shanti tak ingin jenazah suaminya itu masih merasakan siksa dunia.Sanak saudara, klien, dan rekan kerja Santoso dulu turut hadir memberi doa sebelum Santoso dikebumikan. Dalam keramaian para pelayat yang datang, belum tampak batang hidung Ratna dan Devina. Mereka baru pagi ini terbang ke Jogja setelah semalam diberitahu oleh Arjuna.Pukul sebelas siang, Ratna dan Devina sampai juga di rumah duka. Shanti memeluk tubuh Ratna dengan erat."Maaf jika aku membawa sial, Mi. Kalau aku tidak ada mungkin papi masih ada," sesal Ratna seraya berbisik pada Shanti."Ini takdir Yang Maha Kuasa. Kamu bukan pembawa sial. Melalui kamu, Allah menyadarkan mami dari maruknya harta dan tahta."Tapi, Mi ….""Sudah, Ratna. Kamu tidak perlu terus-terusan me

  • Kau Jandakan Aku, Kududakan Dirimu   Part 197. Duka Beruntun

    Santoso mengalihkan pandangannya ke arah Lidya yang tertunduk takut."Benar apa yang dikatakan mami kamu, Lidya?" tanya Santoso dengan lantang.Hening tanpa jawaban. Tak dijawab langsung membuat emosi Santoso membuncah."Lidya, jawab papi!" teriak Santoso. Emosi yang tak terkontrol membuat Santoso drop seketika. Tangan kanannya memegang dada."Aaauuu …," pekiknya bersamaan dengan jatuhnya tubuh berbobot cukup besar itu ke lantai. Arjuna yang tidak begitu memperhatikan Santoso kalah cepat menyambut tubuh papinya itu."Mas!" pekik Shanti."Papi …," teriak Lidya histeris.Arjuna memapah tubuh Santoso dan merebahkannya di sofa.Napas Santoso tersengal-sengal menahan sesak."Ngapain kamu bengong, Lidya. Cepat telepon dokter!" desak Shanti yang panik."Sini aku telpon, mana nomor hape dokternya," ucap Arjuna."Aku nggak hapal, Mas." Lidya berlari menuju lantai dua untuk mengambil ponselnya yang ada di kamar.Namun, saat dirinya berhasil mengambil ponsel dan menuruni anak tangga kurang hati-

  • Kau Jandakan Aku, Kududakan Dirimu   Part 196. Cuti Menjadi Dua Hari

    "Mami dan Mas Arjuna pasti nggak tahu 'kan kalau papi sakit parah.""Jantung 'kan?""Bukan," bantah Lidya."Lalu apa, Lid. Kamu daritadi setengah-setengah aja ngomongnya. Bikin makin panik," sungut Shanti yang sudah mulai kesal."Papi, sakit kanker paru-paru kata dokter, Mi."Shanti dan Arjuna saling menoleh heran."Kamu jangan asal ngomong ya? Mana mungkin papi kena kanker," protes Shanti. Menurut Shanti, suaminya itu tampak seperti biasanya. Tak ada tanda jika suaminya memginap penyakit yang berbahaya itu."Sudah, sekarang kamu balik ke Jogja, biar aku temui papi besok. Dan, cukup bersikap lancang sama Ratna. Dia itu hanya korban dan kamu tidak punya hak mencampuri semua ini."Lidya bangkit dari duduknya, lalu berdiri berhadapan dengan Arjuna."Tanpa Mas suruh pun aku akan pulang. Tak sudi tinggal disini dengan orang seperti mas dan mami. Egois!"Lidya menyentak dengan kasar saat membuka pintu dan menghempaskannya dengan keras saat menutupnya kembali."Biarkan saja, Ar. Lidya meman

  • Kau Jandakan Aku, Kududakan Dirimu   Part 195 Keduanya Terperangah!

    Lidya tersentak kaget ketika melihat sosok yang sempat dia cari sebelumnya tiba-tiba datang tanpa kode."Ngapain kamu kesini? Nggak ada sopan santunnya sama sekali!" serang Arjuna yang terlihat begitu marah pada adik bungsunya itu.Mendengar suara Arjuna berada di luar rumah, Ratna pun bergegas ke sumber suara."Mas, kamu kok bisa tahu Lidya disini?" tanya Ratna penasaran."Nggak usah sok nanya, dasar perempuan bermuka dua," geram Lidya melihat Ratna tiba-tiba nimbrung. Dipikiran Lidya, Ratna lah yang menghubungi Arjuna. Dan, sekarang malah seorang bertanya."Jaga mulut kamu, Lid. Sembarangan aja kalau bicara!" sergah Arjuna. "Aku minta maaf atas sikap Lidya sama kamu, Rat. Nanti malam aku ke sini lagi.""Kamu ikut aku sekarang!" Arjuna menarik kasar tangan Lidya untuk masuk ke dalam mobil.Selama ini Arjuna tidak pernah berkata kasar ataupun bersikap kasar pada saudara perempuannya itu. Namun, tingkah Lidya yang kelewatan batas, tak ada toleransi lagi.Ratna melepas kepergian Arjuna

  • Kau Jandakan Aku, Kududakan Dirimu   Part 194. Pemisah dan Pembunuh

    Lidya sedang berdiri di sebuah rumah yang baru saja dikunjungi Arjuna dan Shanti."Permisi!" seru Lidya di depan pagar.Mendengar suara tersebut, Ratna pun bergegas ke pintu utama. Dirinya sempat mengernyitkan dahi saat berhenti di ambang pintu utama."Itu siapa? Kok asing wajahnya," gumam Ratna."Permisi, Mbak," sapa Lidya lagi seraya mengulas senyum palsu.Ratna pun melanjutkan langkah menuju pagar."Ya, Mbak. Ada yang bisa dibantu?" tanya Ratna, sama tidak membukakan gembok pagar rumahnya untuk jaga-jaga.Wajah Lidya yang tadinya menampakkan kehangatan palsu, sekarang berubah drastis tepat saat Ratna berdiri di depannya yang hanya terbatas dengan pagar."Saya Lidya, adiknya Mas Arjuna. Saya ingin mengobrol dengan Anda!" ucapnya dengan lantang. Sorot matanya pun ikut menatap Ratna dengan tajam."Oh, boleh. Silakan masuk!" titah Ratna yang setelahnya membuka gembok.Lidya mengikut langkah Ratna saat masuk ke dalam rumah. Tak ada rasa takut apalagi kesal karena melihat wajah Lidya yan

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status