Share

Part 7. Gelar Janda pun Disandang

“Para hadirin sekalian.” Seluruh perhatian peserta sidang kini berpusat pada ketua hakim. “Dikarenakan sidang pertama dengan agenda perdamaian dan mediasi tidak menemukan titik temu, juga setelah menimbang proses pembuktian dari pihak penggugat maupun tergugat yang telah dipaparkan, maka dengan ini saya nyatakan saudara Ratna Wulandari dengan saudara Bramantio Triandra resmi dinyatakan bercerai.”

Kusatukan kedua tanganku di wajah kala mendengar suara tiga ketukan palu menggema.

‘Semua telah berakhir,’ batinku bersyukur.

Kutolehkan pandanganku ke samping, memberikan senyum kemenangan pada pria yang kini resmi menyandang status sebagai mantan suamiku. Namun, Mas Bram langsung membuang muka sambil mengepalkan kedua tangannya.

“Lagakmu angkuh sekali, Ratna!” Tiba-tiba Paman Toni bangkit dari kursinya dan langsung mencelaku begitu melihat wajah keponakan kesayangannya itu merengut. “Aku akan jadi orang pertama yang menertawai kamu saat kamu ngemis minta balikan sama Bram!” lanjutnya.

Mendengar aksi ‘kompor’ pamannya, Mas Bram kembali ikut membara dan mengarahkan tatapan padaku. "Jangan senang dulu kamu, Rat. Pasang kedua telingamu untuk mendengar keputusan hak asuh anak setelah ini," ujarnya lantang.

Sudut bibir kiriku sedikit naik ke atas. "Jangan terlalu percaya diri, Mas."

"Tidak usah memaksakan senyum untuk menutupi rasa takutmu, Rat. Hidupmu terlalu banyak drama! Sadarlah! Pikirkan saja masa depanmu yang suram itu!" ejeknya tanpa henti.

Palu hakim kembali berbunyi saat suasana sidang menjadi riuh. “Tenang… tenang!! Barangsiapa yang membuat kegaduhan, silakan keluar dari ruangan ini!”

Sontak, kami semua terdiam. Masalah belum selesai, bagaimana kami bisa keluar begitu saja?

Begitu suasana hening, hakim kembali bersuara, “Agenda sidang selanjutnya yakni perihal perolehan hak asuh anak.” Kemudian, dia menoleh ke arah pria yang terduduk di sebelahku. “Dari pihak penggugat, silakan berikan bukti yang bisa mendukung untuk memperoleh hak asuh tersebut.”

Seorang lelaki berjanggut lebat yang duduk di seberang kiriku akhirnya maju menghadap hakim untuk memberikan beberapa berkas yang sudah kami persiapkan sebelumnya. “Mohon izin, Yang Mulia. Saya Firman selaku pengacara Bu Ratna izin memberikan bukti kelayakan atas hak asuh Devina.”

Setelah menerima dokumen tersebut, hakim lantas menyibak kertas-kertas itu dengan khusyuk. "Setelah saya pelajari, kepemilikan saham atas perusahaan properti PT Podoromo, benar atas nama Ibu Ratna Wulandari?" tanya hakim sembari melirik padaku, lalu beralih ke dokumen, begitu seterusnya hingga beberapa kali. Ada gurat tak yakin yang tercermin dari kerutan di keningnya.

Belum sempat menjawab, Mas Bram sudah berdiri dan mengambil alih pembicaraan. “Keberatan, Yang Mulia!” Wajahnya terlihat panik begitu mendengar pernyataan dari hakim, mungkin tidak percaya. “Perusahaan yang disebutkan tadi adalah tempat saya bekerja. Mustahil rasanya jika dia salah satu pemilik sahamnya,” tukas Mas Bram, lalu beralih memandangku dan berkata penuh penekanan. “Jangan kebanyakan halu kamu, Rat!”

Tanpa permisi, Paman Toni ikut menimbrung. "Benar, Yang Mulia. Ini suatu kejanggalan. Dan saya menduga ada pemalsuan atas data-data di sana. Lagi pula, jika ditelaah ulang, Bu Ratna seorang yatim-piatu. Dia dilahirkan dari keluarga sederhana. Sekalipun dulunya dia bekerja, posisinya pun tidak tinggi, hanya sebagai admin divisi. Jadi, kuat dugaan ada pemalsuan berkas."

Hakim kembali melayangkan palu saktinya hingga bunyinya bertalu-talu. “Tenang semua… tenang!!!” Mata hakim tampak memerah saat melihat pemandangan sidang yang gaduh. "Pihak tergugat saya beri peringatan! Tanpa izin, hanya perwakilan yang berhak berbicara!" tegurnya.

Suasana kembali hening. Kulihat di seberang sana Mas Bram membisikkan sesuatu ke pengacaranya. Pria di samping Mas Bram pun mengangkat tangan.

“Mohon izin berbicara, Yang Mulia.” Ketua hakim mengangguk, lalu pengacara Mas Bram berdiri dan berkata, “Berdasarkan informasi dari klien saya, kecil kemungkinan jika pihak tergugat memiliki aset yang nominalnya begitu fantastis, mengingat pihak tergugat hanya seorang pegawai entry level sebelum menjadi istri sah pihak tergugat.” Kemudian pengacara itu menghunuskan tatapan intimidasi ke arahku dan Bang Firman. “Untuk itu, kami mengajukan agar pihak penggugat menghadirkan saksi untuk menguatkan bukti tersebut,” ucap pria itu sebelum kembali ke posisi duduknya.

Mendengar usulan tersebut, majelis hakim berdiskusi sejenak dan berujar, “Kepada pihak penggugat, saudari Ratna, diharapkan menghadirkan saksi untuk menguatkan bukti yang diberikan.”

Kulihat gerakan bibir Mas Bram tanpa suara dari seberang sana seakan berkata, “Mampus kamu, Rat!” Aku paham betul watak Mas Bram yang tak suka diabaikan. Untuk itu, aku langsung melengos dan menganggapnya seperti angin lalu. Benar saja, saat kulirik lagi dengan ujung mataku, Mas Bram sedang mendengus dan wajahnya merah seperti kepiting rebus.

Sesaat kemudian, Bang Firman bangkit dari duduknya. "Izin berbicara, Yang Mulia. Kami memang sudah mengundang seorang saksi untuk memvalidasi bahwa keterangan berkas tersebut benar adanya, tapi dia belum datang." jelas Bang Firman. “Mohon kemurahan hati majelis hakim untuk memberikan kelonggaran waktu,” tambahnya.

Bukannya hakim, justru Paman Toni yang menanggapi dari bangku penonton sidang. “Rat… Rat... jadi perempuan kok ngadi-ngadi banget kamu, tuh. Seberapa lama pun persidangan, kita semua sudah tahu hasil akhirnya,” ujarnya penuh keoptimisan.

Ketua hakim langsung menghunuskan tatapan tajam ke arah Paman Toni, jelas dia kesal karena Paman Toni terus menerus menyulut kegaduhan jalannya persidangan. “Sekali lagi ada yang memotong persidangan tanpa izin, saya sendiri yang akan membuka pintu keluar untuk Anda!” Mendengar itu, Paman Toni langsung merapatkan bibirnya.

Kemudian tampak majelis hakim berdiskusi atas permintaan pengacaraku. “Baik, permohonan perpanjangan waktu sidang diterima. Selama waktu tersebut, tim kami juga akan memeriksa keaslian bukti yang diberikan,” tuturnya. “Seluruh hadirin diperkenankan keluar dari ruangan dan sidang akan dilanjutkan 15 menit lagi.”

Suara palu pun terketuk tiga kali.

***

Sepuluh menit telah berlalu, akan tetapi perwakilan perusahaan yang kuundang menjadi saksi tak kunjung menampakkan batang hidungnya.

Kugigit bibir bawahku seraya berjalan bolak-balik di hadapan pengacaraku. “Masih belum diangkat, Bang?” Namun, hanya anggukan lemah yang ia berikan. Kuhela napas berat.

Di sisi lain, tepat di seberang posisiku, kulihat Mas Bram dan Paman Toni duduk santai sambil melayangkan pandangan mengejek.

Ah, kenapa yang terjadi malah di luar ekspektasiku? Perpanjangan waktu yang diberikan bahkan sudah hampir berlalu.

Benar saja, tak lama berselang petugas persidangan meminta kami semua kembali ke ruangan untuk melanjutkan persidangan. Seluruh hadirin masuk, termasuk majelis hakim.

Setelah sidang dibuka kembali, ketua hakim berkata, “Baik, kepada pihak penggugat dipersilakan menghadirkan saksi untuk menguatkan bukti yang diberikan.”

Aku menoleh cemas ke arah Bang Firman, beliau masih berkutat dengan ponselnya. Kuusap wajahku dengan kedua telapak tangan. Aku tidak mau hak asuh Devina jatuh ke tangan Mas Bram, tapi apa yang harus kulakukan?

"Ini sudah 15 menit, jangan mengulur dan mempermainkan sidang ini," ucap ketua hakim dengan intonasi bicara mulai meninggi.

"Maaf sebelumnya, Yang Mulia. Tolong berikan kami perpanjangan waktu lagi," pintaku. Beruntung, majelis hakim mengabulkan, tapi kali ini hanya 5 menit.

Kucoba menghubungi nomor kantor perusahaan tersebut, tapi resepsionis bilang saksi yang akan didatangkan itu sudah berangkat sejak beberapa jam yang lalu. Namun, kenapa belum sampai juga? Jantungku seketika berdegup kencang, napasku memburu tak beraturan.

5 menit pun berlalu.

"Maaf, kesempatan habis." Ketua hakim kembali membacakan hak asuh tadi, dan palu yang tergeletak kembali mengudara. Perasaanku campur aduk rasanya. “Dikarenakan bukti yang diajukan pihak penggugat diragukan keasliannya dan tidak adanya saksi yang bisa menguatkan bukti tersebut, maka dengan ini pengadilan menyatakan bahwa hak asuh anak Devina Ariana jatuh ke tangan pihak tergugat atas nama Bramantio Trianda.” Perlahan palu terangkat, dan aku pun menggeleng lemah seraya memejamkan mata.

Brak!

Pintu utama ruang sidang terbuka lebar, menghentikan palu hakim yang hampir terketuk. “Tunggu, Yang Mulia!” Sontak saja seluruh hadirin sidang, tak terkecuali aku mengalihkan pandangan ke sumber suara. Tampak dua orang pria berdiri di ambang pintu. "Maaf, kami terlambat!”

Dwi Nella Mustika

Yes ... awal kebebasan Ratna pun dimulai .....

| 3
Komen (9)
goodnovel comment avatar
Bambang Jumanto
koinya mahal yah,, cuma dikit bab nya Uda minta koin lagi
goodnovel comment avatar
Dwi Nella Mustika
makasih kak, pantengin terus kisahnya ya
goodnovel comment avatar
Dwi Nella Mustika
makasih kak, pantengin terus kisahnya ya
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status